Rugi karena Waras, dapat Dipidana. Menjadi Tidak Waras, Tidak dapat Dimintakan Pertanggung-Jawaban Pidana?

LEGAL OPINION
Bila Tidak Waras adalah ALASAN PEMAAF, maka Algojo yang Diperintahkan Negara untuk Mengeksekusi Orang Tidak Waras tersebut Punya ALASAN PEMBENAR
Question: Apa benar, orang gila tidak dapat dihukum pidana oleh pengadilan? Jika betul demikian adanya, artinya adalah merugi menjadi orang waras di tengah-tengah komunitas masyarakat kita yang lebih banyak sakit jiwa dan sedang “tidak eling” cara berpikirnya. Seperti kata pepatah, “zaman edan”.
Brief Answer: Perihal pertanggung-jawaban pidana, secara teori maupun regulasi pemidanaan, tampaknya memang disebutkan bahwa mereka yang sakit akalnya tidak dapat dimintakan pertanggung-jawaban pidana. Namun, dalam tataran praktik menjadi ambigu dan berkembang menuju polemik, sebagai contoh kelainan mental seperti penyimpangan perilaku seksuil semacam ped0f!l!a maupun h0m0seksual, berujung pada wacana ancaman pidana semacam “suntik kebiri”. Beitupun seorang penderita “sakit jiwa” semacam psikopat (pembunuh berdarah dingin), tidak pernah ada sejarahnya dibebaskan dari jerat vonis pemidanaan.
Pertanyaan tersebut mungkin perlu diberikan sentuhan “humor” agar lebih segar dan relevan, menjadi : Apakah menjadi “tidak waras”, dapat menjadi “alasan pemaaf” yang dapat menghapus kesalahan pidana? Teori ilmu hukum pidana menyebutkan, “gila” adalah “alasan pemaaf”. Apakah artinya, masyarakat kita tidak luput dari aksi-aksi “tidak waras” (bahasa halus dari “sinting”), seperti warga yang memakai knalpot “racing” yang bersuara berisik-mengganggu di perumahan, atau knalpot yang menyemburkan gas asap menusuk ke arah wajah muka pejalan kaki atau pengendara lain di belakangnya?
Fakta empiriknya, orang “tidak waras” dapat menjelma menjadi orang-orang yang berbahaya, terutama bila mereka memiliki faktor-faktor kriminogen seperti sumber daya kekuatan berupa kekuatan ekonomi, kekuatan fisik, kekuatan peralatan untuk kejahatan maupun kriminalitas, terutama bila terdapat komplikasi tiga faktor yang menjadi satu-kesatuan, yakni: gila, jahat, dan kuat dalam satu sosok. Tidak sedikit diantara orang-orang pecandu obat terlarang, menjadi kriminil yang tidak takut ancaman sanski hukum ketika melakukan kriminalitas-premanisme dan tidak segan melukai ataupun menyakiti korban-korbannya. Itulah sebabnya, menjadi “tidak waras” bukanlah “alasan pemaaf”, karena bisa jadi itu adalah “alasan yang dibuat-buat”.
Idealnya, hukum bukan hanya “humanis” kepada pelaku yang “tidak waras”, namun juga harus memberi perlindungan kepada para calon korbannya. Orang “tidak waras” tidak pernah memiliki hak untuk melukai ataupun menyakiti orang-orang “waras”. Hak untuk tidak dilukai serta hak untuk tidak disakiti, bukan hanya berlaku bagi orang “waras” terhadap sesama orang “waras”, seolah mengecualikan orang-orang “tidak waras”.
Bila orang-orang “tidak waras” memiliki kekebalan hukum untuk menyakiti, merugikan, dan melukai orang lain, maka mengapa juga otoritas negara lewat algojonya tidak berpura-pura “gila” untuk atau saat mengeksekusi para kriminil “tidak waras” demikian, seperti zaman Orde Baru yang dikenal dengan sosok “Petrus” sang “penembak misterius”? Para mafia-berdasi yang mengkorupsi uang rakyat, alias merampok nasi dan merampas hak-hak orang lain yang lebih miskin daripada sang koruptor, adalah wujud “sakit jiwa” derajat parah, karena sudah “putus urat malunya” tidak ubahnya dengan orang-orang “tidak waras” lainnya.
Negara lewat aparatur penegak hukumnya perlu menyadari, orang-orang tidak waras dapat sangat berbahaya dan membahayakan keselamatan jiwa orang-orang waras. “Gila” namun cerdas, itulah tipikal wajah dibalik seorang “psikopat”. Contoh sederhana yang dapat kita lihat sehari-hari di tempat umum, serupa pengendara yang memakai suara sirine serta lampur rotator-strobo, pengendara motor roda dua melawan arus dimana justru pejalan kaki yang harus mengalah dan menghindar atau akan terserempet, korban yang justru dimarahi dan dipersalahkan (pelaku kejahatan lebih galak ketimbang korbannya), bahkan pengendara motor roda dua melintas dan mengebut di atas jembatan penyeberangan orang, melaju di trotoar dan menendang tubuh para pejalan kaki seolah pejalan kaki itu telah menghalangi jalan sang pengendara kendaraan bermotor roda dua, membakar sampah ataupun membakar makanan menggunakan arang / kayu di tengah-tengah pemukiman warga padat penduduk (polusi udara maupun polusi suara pihak-pihak yang menjadikan lingkungan pemukiman penduduk sebagai tempat usaha yang menimbulkan suara gaduh), mengerti hukum namun masih juga melanggar hukum (Sarjana Hukum), mental “mendadak miskin”, aparatur penegak hukum yang justru melakukan kejahatan atau setidaknya mengabaikan dan menelantarkan aduan korban pelapor, dengan merasa senang “menggali lubang kubur sendiri” berupa rajinnya menanam timbunan karma buruk, dan berbagai perilaku tidak rasional lainnya dimana logika yang justru dipertontonkan ialah “akal sakit milik orang-orang sakit”.
Bahkan dikenal pula orang-orang yang “mencari kegilaan” dengan menjadi pecandu tembakau maupun obat-obatan terlarang (perilakunya menjadi “sakau”, dan berubah watak emosionalnya secara gradual) yang bahkan tanpa merasa bersalah menjadikan orang lain sebagai korban “penghisap pasif”, atau membuat kian depresi dirinya akibat mencandu alkohol atau minuman keras lainnya, begitupula gaya hidup hedonis menjadi “gila uang”, tidak terkecuali menjelma “predator anak” akibat mencandu tontotan yang tidak patut dilihat. Penulis menyebutnya sebagai, penyakit dan kegilaan yang dicari-cari sendiri oleh pelakunya.
Tidak pernah kurang-kurangnya kita jumpai orang-orang “tidak waras” demikian di tengah-tengah komunitas warga kita di Indonesia, negeri “agamais” ini seolah agama tidak mengajarkan untuk menghargai dan menghormati hak-hak orang lain. Hanya orang-orang “gila” namun “bodoh” plus “lemah” yang benar-benar berhak dilekatkan keistimewaan berupa imun terhadap ancaman hukum negara bernama “alasan pemaaf” (“gila”, “bodoh”, dan “lemah”).
Hal ini ibarat seseorang dengan niat buruk menempatkan atau menempatkan seekor anjing ganas peliharaannya sedemikian rupa sehingga menerjang, menerkam, dan menewaskan seseorang yang hendak dibunuh secara direncanakan oleh si pemilik anjing yang telah dilatih agar menjadi ganas-beringas demikian. Atau, seseorang menempatkan seseorang berpenyakit gila di suatu tempat, memperlengkapinya dengan atau mempersiapkan pula senjata tajam di lokasi yang telah di-setting sedemikian rupa, sehingga saat target korban datang dan tiba di tempat tersebut maka terjadilah pembantaian oleh orang gila yang telah ditempatkan oleh “aktor intelektual” dibaliknya.
Umpama yang paling ekstrim, penjahat perang sekelas Lenin, Pol Pot, dan Adolf Hitler adalah orang-orang dengan cara pikir yang jauh dari kata “waras”, maka demi melindungi segenap banyak orang yang tidak bersalah, maka “waras” atau tidaknya Adolf Hitler, Pol Pot, maupun Lenin tidak lagi perlu dipertanyakan, oleh sebab ancaman sudah berada tepat di depan mata.
Maka, otoritas negara beradab memiliki “alasan pembenar” untuk merampas hidup seorang diktator “bertangan besi” demi menyelamatkan lebih banyak kehidupan. Penulis menyebutnya sebagai “paradoks”, orang “tidak waras” mendalilkan alibi “alasan pemaaf”, namun disaat bersamaan kita jangan melupakan, bahwa otoritas negara juga memiliki “alasan pembenar” bernama “algojo”.
PEMBAHASAN:
Parameter “waras” atau tidaknya, untuk mudahnya dapat menggunakan dua parameter sederhana yang penulis adopsi dari konsep Buddhisme, yakni : 1.) apakah pelaku merasa malu (Bahsa Pali “hiri”) berbuat jahat; dan/atau 2.) apakah pelaku merasa takut (“ottapa”) akan ancaman sanksi atas perbuatannya. Adapun ketentuan mengenai “alasan pemaaf” akibat adanya keadaan atau kondisi kejiwaan berupa “tidak warasnya” seorang pelaku kejahatan, diatur dalam ketentuan normatif lewat Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
1.) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
2.) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
3.) Ketentuan dalam Ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.”
Meski demikian, SHIETRA & PARTNERS berpendirian bahwa seseorang subjek hukum yang “sakit akalnya” dapat “lepas dari segala tuntutan hukum”, sepanjang dirinya hanya mengancam atau menyakiti dirinya sendiri, tidak mengancam ataupun melukai orang lain, sebagaimana dapat kita cerminkan lewat putusan Pengadilan Negeri Kisaran perkara pidana register Nomor 575/Pid.B/2013/PN.KIS tanggal 24 Maret 2014, dimana terhadapnya Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dakwaan Kesatu melanggar Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Nark0t!ka mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Setiap orang;
2. Tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar attau menyerahkan Nark0t!ka golongan I:
“Menimbang, bahwa terdakwa ... sudah dewasa menurut hukum, dalam keadaan sehat jasmaninya, namun rohaninya dalam keadaan sakit sebagaimana dibuktikan berdasarkan Surat Keterangan Dokter Nomor : ... , tanggal 14 Maret 2006, yang dibuat dan ditanda-tangani oleh dr. Hj. Mariati, Sp. K.J., dokter Spesialis Kejiwaan pada Rumah Sakit Jiwa Medan, Jalan ... , yang memeriksa pasien atas nama ... (terdakwa) yang pada pokoknya menerangkan bahwa ... benar diopname sejak tanggal 10 Februari 2006 s/d tanggal 14 Maret 2006 karena mengalami gangguan jiwa berat dengan diagnosa : Skizofrenia Kronik;
“Menimbang, bahwa sejak terdakwa mengalami gangguan kejiwaan pada akhir tahun 2005 sampai dengan sekarang, terdakwa belum pernah sembuh dari penyakit gangguan jiwa tersebut sebagaimana diterangkan keluarga terdakwa, saksi Fauzi, Kepala Desa Kuala Tanjung, Kecamatan Sei Suka, Kabupaten Batubara sebagaimana dalam Surat Keterangan Nomor : ... , tanggal 10 Desember 2013 yang menerangkan bahwa ... mengidap penyakit gangguan jiwa sejak tahun 2006 sampai dengan saat ini dan bersesuaian dengan Surat Keterangan Ahli Kedokteran Jiwa Nomor : ... , tanggal 6 Maret 2014, yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Friedrich Lupini Sp. K.J., dokter Spesialis Kejiwaan pada Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara, yang memeriksa pasien atas nama ... (terdakwa) yang pada pokoknya menerangkan dengan kesimpulan bahwa ... pada saat ini menderita Skizofrenia Hebefrenik;
“Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas, yang dimaksud “Setiap orang” disini adalah terdakwa ... , namun lebih lanjut akan dipertimbangkan mengenai pertanggung-jawaban terdakwa atas perbuatan yang dilakukan terdakwa sebagaimana dalam Dakwaan Penuntut Umum, apakah pada saat melakukan perbuatan tersebut terdakwa dalam keadaan sehat atau tidak jiwanya;
“Menimbang, bahwa perbuatan yang dilarang dilakukan dengan tanpa hak dan melawan hukum dalam dakwaan kesatu ini adalah perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Nark0t!ka golongan I, sehingga untuk mengetahui tentang adanya sifat tanpa hak dan melawan hukum pada diri terdakwa haruslah dibuktikan terlebih dahulu tentang perbuatan terdakwa apakah ada menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Nark0t!ka golongan I;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan bahwa pada hari Jumat, tanggal 16 Agustus 2013 sekira pukul 17.30 WIB, saksi ... , saksi ..., saksi ... dan saksi ... mendapat informasi dari masyarakat bahwa ada seseorang yang menjual Nark0t!ka di daerah ... , kemudian setelah mendapatkan ciri-ciri, identitas dan nomor handphone orang tersebut, lalu saksi ... menyamar sebagai pembeli dengan menelepon orang diduga menjual Nark0t!ka tersebut dan setelah disepakati, pertemuan saksi ... dan orang tersebut akan diadakan di depan Perumahan ... sehingga saksi ..., saksi ..., saksi ... dan saksi ... pergi ke tempat yang disepakati tersebut, lalu sekira pukul 18.00 WIB terdakwa datang, kemudian setelah bertemu dengan saksi ... , terdakwa langsung mengeluarkan 1 buah bungkusan dari kantong celananya dan menunjukkannya kepada saksi ... , seketika saksi ... langsung menangkap terdakwa, namun terdakwa berusaha melawan, melihat hal tersebut saksi ..., saksi ... dan saksi ... yang berada tidak jauh dari tempat tersebut langsung datang dan membantu saksi ... untuk menangkap terdakwa, kemudian melakukan penyitaan terhadap 1 bungkusan dari kantong celana yang ditunjukkan sebelumnya kepada saksi ... yang ternyata isinya adalah shabu-shabu;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Berita Acara Analisis Laboratorium Barang Bukti Nark0t!ka Nomor ... , tanggal 26 Agsutus 2013 dengan kesimpulan bahwa barang bukti milik tersangka atas nama ... adalah benar mengandung ... dan terdaftar dalam golongan I Nomor urut 61 Lampiran I Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang Nark0t!ka;
“Menimbang, bahwa dari fakta hukum tersebut Majelis Hakim berpendapat terdakwa telah ada melakukan perbuatan menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan Nark0t!ka golongan I;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan bahwa terdakwa dalam melakukan perbuatan menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan Nark0t!ka golongan I tersebut tidak ada memiliki ijin dari pihak yang berwenang, oleh karena itu perbuatan terdakwa tersebut tergolong tanpa hak atau melawan hukum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas Majelis Hakim berpendapat bahwa unsur kedua Dakwaan Kesatu Jaksa Penuntut Umum telah terpenuhi ada dalam diri terdakwa;
“Menimbang, bahwa selanjutnya yang perlu dipertimbangkan adalah apakah terdakwa dapat dimintakan pertanggung-jawaban atas segala perbuatan yang telah dilakukannya tersebut;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan bahwa sejak akhir tahun 2005 sampai dengan saat sekarang ini terdakwa menderita penyakit gangguan jiwa dan penyakit tersebut tidak pernah sembuh walaupun saat terdakwa mengkomsumsi obat penenang terdakwa akan menjadi tenang, namun setelah daya obat tersebut habis terdakwa akan kembali bersikap tidak normal, bahkan di persidangan walaupun terdakwa sudah memakan obat penenang namun tidak juga dapat membuat sikap terdakwa menjadi normal;
“Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa menderita atau mengidap gangguan jiwa berat sejak akhir tahun 2005 sampai dengan sekarang, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa ketika terdakwa melakukan perbuatan yang terbukti yaitu menjadi perantara dalam jual beli dan meyerahkan Nark0t!ka golongan I sebagaimana dalam Dakwaan Kesatu Jaksa Penunut Umum, terdakwa dalam keadaan sakit jiwa atau sakit berubah akalnya (gila);
“Menimbang, bahwa oleh karena itu, Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa digolongkan sebagai orang yang sakit berubah akalnya atau gila, dan berdasarkan ketentuan Pasal 44 KUHP, orang yang melakukan suatu perbuatan sedangkan pada saat melakukan perbuatan orang tersebut menderita sakit berubah akalnya atau gila maka perbuatan tersebut tidak dapat dimintakan pertanggung-jawaban kepadanya dan orang tersebut tidak dapat dihukum;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa terbukti ada melakukan perbuatan sebagaimana dalam Dakwaan Kesatu Jaksa Penuntut Umum, namun perbuatan tersebut tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban kepada terdakwa dan oleh karena itu terdakwa haruslah dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum;
“Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa selama proses pemeriksaan ditahan dalam RUTAN dan berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim terdakwa dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum, maka terdakwa haruslah segera dibebaskan dari tahanan RUTAN;
M E N G A D I L I :
1. Menyatakan terdakwa ... terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘menyerahkan Nark0t!ka golongan I dalam bentuk bukan tanaman’;
2. Menyatakan terdakwa ... tidak dapat diminta pertanggung-jawaban pidana atas perbuatannya tersebut karena terdakwa menderita sakit berubah akalnya (Gangguan Jiwa Berat);
3. Melepaskan terdakwa ... oleh karena itu dari segala tuntutan hukum;
4. Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk melepaskan terdakwa dari dalam Rumah Tahanan Negara.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.