Pada Dasarnya Setiap Manusia Terlahir dalam Kondisi Bebas, Karenanya Butuh Pengaturan tentang Kewajiban Asasi Manusia

ARTIKEL HUKUM
Dalam terminologi ilmu hukum, kita mengenal apa yang disebut sebagai “hak asasi manusia”, bahkan diatur pula dalam Konstitusi Negara Kesaturan Republik Indonesia. Namun, tidak banyak yang mengetahui dan menyadari bahkan diantara kalangan internal Sarjana Hukum, bahwasannya paradigma demikian adalah salah-kaprah bila tidak dapat disebut sebagai sangatlah keliru, “jauh panggang dari api”.
Pada dasariahnya setiap individu selaku pribadi terlahir mandiri dan “born with freedom” (mohon untuk tidak di-“plesetkan” menjadi “born to be free”). Sebaliknya, karakteristik hukum justru bersifat “mengekang”, “membatasi”, “me-limitasi”, “mengontrol”, “melarang”, “meng-koridor”, “menyempitkan”, “mengendalikan” (to control), “menyandera”, serta “mengurangi” kebebasan itu sendiri, alih-alih mengharap untuk memberikan kebebasan—karena, sekali lagi, manusia pada dasariah dan naturalnya (by nature) memang telahir dalam kondisi “bebas”.
Sebagai contoh, sebelum dibentuknya hukum negara, setiap individu bebas membela dirinya dengan menggunakan senjata tajam maupun senjata api. Sebelum diterbitkannya hukum negara pula, kita semua tanpa terkecuali bebas untuk melakukan “main hakim sendiri”, bebas untuk tidak membayar pajak, bebas untuk melakukan tindak kriminil, bebas untuk menyerobot rumah yang dihuni penduduk lainnya (menjajah atau meng-okupasi), bebas untuk melakukan praktik perbudakan dan “human trafficking”, bebas untuk berbicara sebebas-bebasnya sekalipun itu bermotif fitnah ataupun pencemaran nama baik, bebas untuk melakukan aksi-aksi yang merugikan warganegara lainnya, dan berbagai kebebasan yang tidak terkendalikan lainnya. Dapat kita saksikan sendiri, kebebasan tidak selalu bermakna atau berkonotasi positif. Power, tends to corrupt­—tidak terkecuali bagi kebebasan yang tiada mengenal batasan (hanya kebebasan yang mengenal batasan yang disebut sebagai “kebebasan moderat”).
Alhasil, kebebasan tanpa kendali dan tanpa kontrol dari otoritas, berujung pada muara apa yang disebut sebagai “perang semesta”, dimana manusia saling memakan manusia, manusia sebagai serigala bagi sesamanya. Itulah sebabnya, adagium klasik yang masih cukup relevan hingga saat kini pernah mengingatkan pada kita, bahwasannya kebebasan dan demokrasi tanpa hukum yang bersifat me-limitasi akan berujung pada keonaran (“chaos”) karena tidak terkendalikan situasi dan kondisi kemasyarakatannya.
Lantas, apa yang kemudian dimaksud dengan “hukum tanpa demokrasi, menjelma otoriter”? Maksudnya ialah bukan dimaknai bahwa atau agar hukum negara mengadopsi konsep-konsep liberalis layaknya konsep “hak asasi manusia”, namun artinya hukum yang bersifat normatif-imperatif tidak demikian “mencekik” sendi-sendi kehidupan nafas rakyatnya dengan berbagai pungutan seperti pajak yang tinggi, pemerasan terselubung seperti berbagai retribusi maupun iuran program pemerintah yang justru dibebankan kepada rakyat, maupun berbagai norma berupa perintah, ketidak-bolehan, restriksi, limitasi, keharusan, kewajiban, maupun larangan yang sangat berlebihan sehingga menjelma atau menyerupai praktik negara berpaham “k0mun!sme”.
Hukum negara yang me-nihil-kan atau menafikan ruang untuk kebebasan alias sama sekali tidak menyisakan sedikit pun ruang untuk kebebasan bereskpresi warganya, ruang untuk bernafas bagi penduduknya, ruang untuk melakukan aspirasi bagi segenap warganya, dengan menutup rapat segala kebebasan tersebut dengan larangan ataupun kepatuhan absolut yang mutlak tanpa terkecuali, dengan tresshold yang maksimum menutup rapat segala pintu untuk disalurkannya aspirasi rakyat terhadap keberadaan aturan normatif hukum, maka ruang kebebasan benar-benar dimatikan tanpa sisa. Itulah gambaran citra sebuah hukum negara yang ekstrim, bahkan untuk sekadar bernafas menjadi demikian sukar atau bahkan membutuhkan “izin untuk menghirup oksigen”.
Dalam tipe negara “sosialisme”, hukum bersifat moderat, dalam artian masih menyisakan “ruang nafas” dan “ruang gerak” alias kebebasan itu sendiri yang disisakan bagi seluruh rakyatnya tanpa diatur secara over-regulated oleh pihak pemerintah selaku otoritas negara. Dari penggambaran sederhana tersebut di atas saja, kita sudah dapat menarik benang-merah, bahwasannya hukum negara tidak mengatur perihal kebebasan, namun ialah tidak menyentuh ranah tertentu dari kebebasan warga yang dibiarkan tanpa suatu pengekangan berarti dari hukum negara. Sebagai contoh, ranah privat personal (privasi), ranah keyakinan dalam memeluk dan berganti agama, ranah untuk melakukan komplain atau keberatan (beraspirasi dan menyatakan pendapat), dan lain sebagainya.
Dengan kata lain, apa yang tidak diatur oleh hukum negara (yang selalu bersifat melarang, mengekang, membatasi, dan/atau memerintahkan), maka itulah “residu” kebebasan yang dibiarkan hidup di tengah masyarakat dan penduduk suatu negara tanpa dirampas oleh negara. Penulis menyebutnya sebagai “teori residu kebebasan”, dimana negara memang merampas kebebasan penduduknya untuk “main hakim sendiri”, namun disaat bersamaan negara membiarkan warganya untuk menjerit dan berteriak tanpa dilarang untuk “menjerit sejadi-jadinya” serta untuk “mengutuk” ketika seorang warga diperlakukan secara sewenang-wenang oleh warga lainnya.
Yang terburuk ialah ketika otoritas negara lewat aturan normatif hukumnya merampas kebebasan rakyatnya untuk, katakanlah sebagai contoh, membela diri dengan memperlengkapi diri dengan senjata api demi menghadapi ancaman sikap jahat warga lainnya, namun sebagai korban yang tidak berdaya tanpa perlindungan diri dengan senjata api karena dilarang oleh negara dan dijadikan monopoli kewenangan aparatur penegak hukum untuk menyandang senjata api, akan tetapi aduan / laporan warga sang korban justru tidak ditindak-lanjuti, ditelantarkan, serta diabaikan, maka itulah yang sering disebut sebagai “negara sebagai aktor kejahatannya” (state-actor crime).
Karenanya, sebagaimana kini dapat kita pahami, perbuatan buruk oleh negara bukan hanya dalam bentuk ekses serupa tindakan represif terhadap warganya, namun juga dapat berupa sikap-sikap penelantaran dan pengabaian, dimana “negara tidak pernah hadir saat benar-benar dibutuhkan oleh warganya” yang telah dirampas kemerdekaannya oleh hukum negara untuk membela diri dan menuntut balas (retributif) serta penghukuman.
Adalah tugas dan kewajiban bagi otoritas negara untuk memastikan tindak-lanjut keselamatan dan keamanan warganya atas properti kepemilikan maupun keselamatan jiwa setiap warga-negaranya, sebagai konsekuensi logis dari telah dirampasnya / dikekangnya kebebasan milik rakyatnya untuk kemudian dimonopolisir kebebasannya oleh otoritas negara untuk menggunakan cara-cara seperti penggunaan senjata api, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyadapan, penyitaan, hingga pemenjaraan yang tentunya pula disamping eksekusinya oleh algojo selaku eksekutor.
Kini, penulis perkenalkan pula apa yang penulis sebut sebagai “teori kebebasan bersyarat”. Negara, lewat kebijakan bernama hukum pemidanaan (penalisasi), membiarkan kebebasan untuk bergerak bagi setiap warganegaranya. Namun, ketika terjadi pelanggaran atas syarat-syarat yang diatur dalam norma hukum pidana materiil (seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) seperti larangan untuk merugikan dan menyakiti warga lainnya, namun atas larangan demikian tetap juga baik karena disengaja maupun karena lalai, dilanggar oleh seseorang penduduk dengan melukai penduduk lainnya, maka berlakulah prinsip “kebebasan bersyarat”, yakni setiap warga bebas untuk hidup dan bergerak, dengan syarat tidak melanggar aturan normatif pemidanaan (hukum negara), yang bilamana dilanggar maka konsekuensi yuridis dan konsekuensi logisnya ialah “dirampasnya kemerdekaan” milik sang pelanggar oleh otoritas negara lewat aparatur penegak hukumnya (divonis berupa pidana pemenjaraan ataupun sekadar kurungan badan).
Begitupula kebebasan untuk hidup, sifatnya ialah “kebebasan bersyarat” itu sendiri, bilamana, sebagai contoh, aturan normatif pemidanaan telah mengatur dan melarang praktik peredaran obat-obatan terlarang, dengan disertai norma yang mengatur ancaman sanksi hukumannya berupa “hukuman mati”. Namun ketika seseorang warga tetap “nekat” untuk melanggarnya (menantang hukum), sama artinya ia menyerahkan kebebasan hidupnya untuk juga dirampas oleh negara—alias vonis hukuman mati yang diminta olehnya sendiri (you asked for it).
Asas legalitas pemidanaan telah menjadi “jaring pengaman” (safety nett) atau jaminan kebebasan warga agar otoritas negara tidak sewenang-wenang dalam merampas kebebasan warga masyarakat penduduknya, yakni sifat non-retroaktif (tidak diberlakukan secara “surut”) suatu kebijakan penalisasi. Namun ketika seseorang warga tetap melanggar aturan normatif hukum negara seperti pada contoh di atas, dengan tetap secara disengaja menjadi pengedar atau bahkan bandar obat-obatan terlarang, maka ketika negara menjatuhkan vonis “perampasan kemerdekaan untuk hidup” bagi individu sang pelanggar, maka adalah salah-kaprah ketika suatu organisasi yang mengatas-namakan dirinya sebagai “human right defender” (Lembaga Swadaya Masyarakat dibidang Hak Asasi Manusia) menolak vonis “hukuman mati” bagi sang bandar obat-obatan terlarang. Sang bandar (pelanggar) itu sendiri yang memintanya agar kemerdekaan dan kebebasannya untuk hidup diserahkan dan dirampas oleh negara, sehingga keberatan dari organisasi hak asasi manusia demikian tidaklah pada tempatnya serta “salah alamat”.
Dengan mulai memahami bahwa adalah salah-kaprah bila hukum mengatur “kebebasan”—oleh sebab bila tiada diatur oleh negara maka artinya ialah “kebolehan” alias “kebebasan itu sendiri. Sebagai contoh sebelum terbit regulasi oleh negara saat mulai maraknya pemesanan transportasi berbasis daring (online), maka tiada satu pun otoritas negara yang berhak untuk melarang praktik pemesanan transportasi berbasis daring karena baik sang penyedia jasa maupun pengguna jasa bebas dan memiliki kebebasan untuk “bermain dengan masuk ke pasar” dalam ranah tersebut karena belum terdapat aturan hukum yang membatasi, mengatur, maupun melarangnya.
Sederhananya, antara “hukum” dan “kebebasan” tidak bisa jadi satu subjek yang saling disinonimkan, justru karena sifatnya saling bertolak-belakang alias saling menegasikan. Aturan normatif hukum sangat menyerupai sebuah atau segala sesuatu yang dapat kita analogikan sebagai suatu “disiplin”. Disiplin memiliki karakteristik yang sifatnya membatasi kebebasan itu sendiri. Disiplin diri, artinya diri kita sendiri yang membatasi ruang-lingkup kebebasan dan ruang gerak diri kita sendiri, semisal nurani panggilan hati (moralitas) yang membuat kita tidak menyalah-gunakan pengetahuan kita perihal “celah hukum”, yang sejatinya dapat dan bebas kita lakukan tanpa konsekuensi yuridis apapun bila tetap dipraktikkan, akan tetapi kita memilih untuk membatasi diri dengan tidak masuk ke dalam tataran kemungkinan serta kebolehan demikian. Moralitas, ialah pengejewantahan dari “disiplin internal diri”.
Disiplin dalam derajat kedua, ialah “disiplin eksternal diri” berupa norma hukum yang dibentuk dan ditegakkan keberlakuannya oleh otoritas negara—tidak lain tidak bukan dipaksakan kepatuhan serta keberlakuannya oleh otoritas negara lewat eksistensi aparatur penegak hukumnya, lewat ancaman hukuman pemidanaan, maupun lewat ancaman sanksi administrasi, atau berbagai ancaman sanksi serta sebentuk hukuman / restriksi lainnya. Ketika aparatur penegak hukum justru absen dalam melindungi serta mengakomodasi aduan / laporan warga yang menjadi korban, atau tidak pernah ada untuk rakyatnya, maka itulah yang kerap disebut sebagai “negara tidak hadir di tengah-tengah masyarakat”.
Ketika “negara tidak hadir di tengah masyarakat”, dan seseorang atau suatu komunitas masyarakat tidak mampu memiliki “disiplin internal diri”, yang kemudian terjadi tidak lain tidak bukan ialah aksi-aksi barbarisme dan premanisme itu sendiri. Karenanya, ketika dua unsur saling bersimbiosis antara absennya “disiplin eksternal diri” serta absennya “disiplin internal diri”, itulah yang dapat kita sebut sebagai “negara / bangsa preman”, dimana sifat-sifat “liar” yang timbul atau lahir akibat kebebasan tanpa batasan. Pernahkah Anda menemukan seorang “preman” yang tidak “liar” tindak-tanduknya? Sebaliknya, seseorang yang terlampau “liar” karena gagal membatasi dirinya sendiri (tidak memiliki kemauan untuk mengontrol diri, sekalipun dapat dipastikan dirinya mampu untuk membatasi diri), maka dapat dipastikan diri yang bersangkutan akan terjerumus dan terpuruk dalam apa yang disebut sebagai lingkaran “premanisme”. Itulah tepatnya, dalam analogi sistem kendaraan, dikenal “rem blong” (lepas kendali, karenanya pengendalian diri selalu berkonotasi dengan mengekang atau membatasi keinginan diri sendiri) alias akselerasi tanpa dapat dilakukan deselerasi, menggelinding secara liar dan dapat mencelakai diri sang pengemudi serta mencelakai pula pengguna jalan lainnya.
Dapat juga karenanya kita simbulkan : Kebebasan tanpa aturan berupa disiplin (baik disiplin diri maupun disiplin patuh hukum) yang membatasi kebebasan diri, maka yang kemudian terjadi ialah “keliaran”. Karena itu jugalah, berangkat dari falsafah berpikir demikian, hukum lebih tepat jika menggunakan istilah “kewajiban asasi manusia” (KAM), alih-alih menggunakan istilah “hak asasi manusia” (HAM) untuk dimasukkan ke dalam konstitusi maupun judul pengaturan sebuah Undang-Undang.
Maka, yang semestinya kita jumpai baik dalam Konstitusi Republik Indonesia maupun dalam Undang-Undang tentang Kewajiban Asasi Manusia, ialah norma-norma perintah bagi setiap warga-negaranya tanpa terkecuali dibebani kewajiban untuk menghormati hak orang lain untuk hidup, tidak mengganggu orang lain yang sedang mencari nafkah (alih-alih “hak untuk mencari nafkah”), negara tidak dapat menganggu warga yang sedang beraspirasi, dsb. Tanpa disiplin diri, seorang manusia bisa merusak dirinya sendiri, menjadi liar. Tidak terkecuali absolutisme kekuatan dan kekuasaan otoritas negara, tidak luput dari pengaturan limitasi kewenangan otoritas negara lewat konsep “KAM” ini. Tanpa membatasi diri lewat disiplin diri, kita bisa jadi akan hidup bak “binatang malam”. Contoh lainnya ialah disiplin monastik ke-bhiksu-an, terdiri dari ratusan “sila” bernama “vinaya” dengan tujuan untuk memberi koridor dari para bhiksu untuk melakukan praktik latihan jalan persamuan para bhiksu yang bukanlah perumah tangga.
Disiplin diri, karena itulah, sangat menyerupai seperti sebentuk aturan hukum negara yang bersifat membatasi ruang gerak dan kebebasan setiap individu, dibentuk agar kita tidak secara bodoh menyakiti diri sendiri dan agar setiap individu bisa saling menghargai martabat dan harkat satu sama lain, saling berbagai ruang hidup maupun ruang gerak. Bila aturan normatif hukum negara dibentuk secara eksternal oleh pihak luar diri kita, maka kesadaran pribadi membentuk apa yang disebut sebagai disiplin diri.
Yang mana bila bahasan ini kita sarikan, esensinya ialah bahwa : Aturan hukum negara selalu bersifat membatasi ruang gerak dan mengekang (seperti dahulu kala orang bebas memakai senjata api untuk “main hakim sendiri”, kini menjadi monopoli aparatur penegak hukum negara) dan disaat bersamaan juga berisi perintah ataupun keharusan seperti membayar pajak, dan berbagai iuran lainnya, dengan disertai berbagai ancaman sanksi hukumannya, baik vonis pidana maupun sanksi administratif.
Sebaliknya, tanpa disiplin (internal) diri, seseorang dapat dicelakakan oleh kekotoran batinnya sendiri, sehingga semasa hdupnya justru memupuk timbunan karma buruk dengan gemar menyakiti dan merugikan orang lain, tanpa rasa malu ataupun rasa takut akan akibatnya. Yang paling malang, ialah mereka dari kalangan yang memandang dirinya “kebal hukum”, meski sejatinya tiada siapa pun diantara kita yang “bebas dari Hukum Karma”. Menyadari hal tersebut, kita menjadi paham bahwa kita tidak pernah benar-benar bebas mencurangi kehidupan, namun “terbelenggu oleh ikatan rantai karma”. Dari segi kualitas, disiplin (internal) diri jauh lebih berbobot ketimbang disiplin berupa kepatuhan hukum. Seperti yang dikatakan oleh Ajahn Brahm, “bebas dari keinginan” (freedom from wanting), bukan “bebas untuk berkeinginan” (freedom to wanting).
Disiplin kepatuhan hukum sifatnya sangat deterministik, layaknya robot, dimana seorang warga yang “kebal hukum” atau yang mengetahui dimana letak “celah hukum” dapat mempermainkan hukum negara, bahkan hukum negara dapat menjadi alat politik untuk menghamba pada pemegang kekuatan dan kekuasaan. Kontras dengan itu, Hukum Karma selalu lebih berpihak kepada mereka yang menegakkan apa yang disebut sebagai disiplin diri, yakni bagi mereka yang mampu mengekang dan mengontrol kebebasan diri sendiri pribadinya seperti praktik Uposatha, Sila, dan Vinaya yang dilakukan oleh para dhutangga (“bhiksu petapa hutan”) yang sangat terbatas hidupnya karena telah memilih untuk menundukkan diri ke dalam disiplin diri berupa aturan kebhiksuan yang ketat, dimana ketiganya juga dapat menjadi praktik latihan diri para umat Buddhist dalam rangka menempa moralitas secara nyata.
Terkadang, kita perlu mengendalikan, mengekang, serta membatasi diri, tidak terjerumus maupun terjebak dalam “kebebasan semu”. Bila kita tidak pernah dapat benar-benar dapat bebas mencurangi “jam biologis” tubuh kita untuk tidur, maka terlebih Hukum Karma. Apa itu kebebasan, kebebasan sangat amat abstrak, kita bahkan dapat menjadi budak dari kebebasan diri kita sendiri. Bila kita merasa mengetahui dan berkuasa atas kebebasan, maka pada saat itu jugalah kita telah menjadi budak dari sang “kebebasan”. Buktikan sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.