OMNIBUS LAW Inkonstitusional, Bertentangan dengan Asas Lex Spesialis Derogat Legi Generalis

ARTIKEL HUKUM
Dapat dipastikan tiada Sarjana Hukum yang tidak pernah mengetahui ataupun mendengar dan memahami makna dibalik asas paling utama dalam ilmu peraturan perundang-undangan, yakni apa yang dikenal dengan sebutan asas “Lex SPESIALIS derogat legi GENERALIS”. Makna dibalik salah satu asas paling utama dalam ilmu peraturan perundang-undangan tersebut ialah, suatu peraturan yang setara derajat hierarkhinya ketika mengalami atau terjadi “overlaping” antar norma alias terjadi tumpang-tindih pengaturan, maka yang memiliki daya keberlakuan serta validitasnya ialah norma hukum pada peraturan yang bersifat lebih “spesialis” alias lebih “spesifik”, sementara peraturan yang bersifat lebih umum menjadi ter-derogasi (ter-nihil-kan) supremasi atau daya keberlakuannya.
Sebagai contoh, kita mengenal Undang-Undang bernama Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dan disaat bersamaan kita mengenal pula “kodifikasi parsial terbuka” berupa Undang-Undang tentang Perkawinan, Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Agraria, dan lain sebagainya. Di dalam KUHPerdata tersebut, terdapat norma-norma terkait perkawinan maupun hak atas tanah. Namun, sejak diterbitkannya Undang-Undang yang lebih spesifik, seperti kedua contoh Undang-Undang yang penulis contohkan di atas, maka keberlakuan norma hukum perkawinan maupun norma hukum hak atas tanah dalam KUHPerdata, menjadi ter-nihil-kan keberlakuannya, dan yang kemudian memiliki efektivitas daya keberlakuan serta memiliki validitasnya ialah Undang-Undang tentang Perkawinan maupun Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Agraria.
Sebagai contoh lainnya, peraturan perundang-undangan dengan level atau derajat hierarkhi yang setara, ialah apa yang kita kenal dengan sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, kini, disaat bersamaan kita juga mengenal Undang-Undang terkait ancaman pidana akan tetapi sifatnya lebih spesifik, yakni Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-undang Tipikor). Kita kenal pula Undang-Undang tentang Fidusia, dimana didalamnya terdapat pengaturan norma penggelapan terhadap objek benda yang secara spesifik telah diikat sebagai jaminan fidusia [NOTE: perhatikan frasa yang penulis garis-bawahi).
Maka, ketika kita menerapkan asas “Lex SPESIALIS derogat legi GENERALIS”, yang merupakan teknik paling mendasar memahami cara kerja ilmu peraturan perundang-undangan, sebagai contoh, ketika seseorang tersangka didakwa karena telah melakukan tindak pidana korupsi, manakah yang kemudian diberlakukan, norma-norma ancaman pemidanaan penjara akibat perbuatan korupsi yang terdapat pengaturannya secara umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, ataukah merujuk langsung secara spesifik dalam peraturan perundang-undangan tingkat Undang-Undang secara lebih spesialis [NOTE : Cara bacanya ialah, manakah regulasi yang sifatnya lebih “spesifik” alias terfokus] terkait perbuatan tindak pidana korupsi (yakni Undang-Undang Tipikor)?
Tepat sekali, yang berlaku ialah Undang-Undang Tipikor, bagi pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi, maka dari itu keberlakuan norma-norma ancaman pemidanaan bagi tindak pidana korupsi dalam KUHP menjadi tertutup keberlakuan maupun validitas dan efektivitasnya. Sama halnya, ketika objek kendaraan yang digelapkan oleh seorang terdakwa, ternyata ialah objek kendaraan yang diikat sebagai agunan dengan fidusia, maka yang berlaku bukanlah ancaman pemidanaan penggelapan dalam KUHP, namun pasal ancaman pemidanaan bagi setiap pelaku pidana penggelapan objek fidusia sebagaimana terdapat pengaturannya dalam Undang-Undang tentang Fidusia.
Kini, mari kita bahas tema utama kita, perihal “Omnibus Law”, bila kemudian disahkan dan diterbitkan dengan kemasan Undang-Undang, maka apakah Undang-Undang “Omnibus Law” demikian memiliki validitas untuk bisa diterapkan secara efektif tanpa adanya cacat-cela secara falsafah pembentukannya? Sebagaimana kita ketahui, norma-norma yang dimasukkan ke dalam “Omnibus Law”, bersifat sangat-amat umum (super generalis), menyerupai “gado-gado” dimana kesemua aspek bidang hukum dicampur menjadi satu ke dalam satu Undang-Undang yang diberi judul sebagai “Omnibus Law”.
Semangat dibalik perumusan serta diterbitkannya “Omnibus Law” (seolah tidak ada istilah yang lebih kreatif untuk memberi label nama dengan Bahasa Indonesia, alih-alih menggunakan istilah dari negeri “antah berantah”), ialah untuk kembali pada era dimana di negara kita ini masih hanya dikenal kodifikasi ala “Code Napoleon” yang kemudian menjelma KUHPerdata dan KUHP, sebelum pada era modern sekarang ini dikenal berbagai “kodifikasi parsial terbuka”. Sifat paling mencolok dari “kodifikasi tertutup”, ialah menjadikan satu seluruh bidang aspek hukum terkait ke dalam satu buah Undang-Undang.
Resiko paling utama dari “kodifikasi tertutup”, ialah sifatnya terlampau umum (general), disamping cepat mengalami kebuntuan ketika norma didalamnya sudah tidak lagi relevan karena cepat tertinggal oleh dinamika zaman (“kodifikasi tertutup” lebih sukar diubah ataupun direvisi ketimbang “kodifikasi partial terbuka”, seolah pemerintah tidak belajar dari pengalaman masa lampau), mengingat norma pengaturan didalamnya begitu masif, jamak mengatur berbagai bidang, serta sifatnya yang sangat umum. Itulah sebabnya, hingga kini produk hukum Undang-Undang seperti KUHPerdata dan KUHP, sukar direvisi sekalipun sudah sangat tertinggal oleh dinamika kemajuan zaman—alias bersifat “menyandera”.
Dua bidang aspek hukum yang tidak terkecuali diatur pula dalam konsep “Omnibus Law”, ialah terkait perpajakan maupun ketenagakerjaan. Sebagaimana kita ketahui, saat kini telah terdapat “kodifikasi parsial terbuka” berupa Undang-Undang terkait Perpajakan maupun Undang-Undang Ketenagakerjaan (yang notabene Lex Spesialis dari ketentuan pesangon dalam KUHPerdata).
Dengan demikian, ketika “Omnibus Law” disahkan dan diberlakukan menjadi produk hukum dengan kemasan berbentuk “Undang-Undang”, maka di masyarakat terdapat dua produk Undang-Undang yang mengatur hal yang sama atas masalah yang sama (alias “overlaping”), manakah yang kemudian diberlakukan dan memiliki validitasnya alias diefektifkan? Itulah pertanyaan terbesarnya, yang hanya dapat dijawab dengan kembali kepada asas paling mendasar dalam ilmu peraturan perundang-undangan.
Bila pemerintah menyatakan bahwa yang berlaku ialah norma hukum dalam “Omnibus Law”, apakah landasan falsafah maupun asas ilmu peraturan perundang-undangan yang mampu menopang argumentasi pihak pemerintah, kecuali mempertontonkan sikap diktatoriat penguasa terhadap rakyat sipil selaku pengemban dan subjek hukum yang diatur didalamnya sehingga notabene juga merupakan konstituen dari segala produk hukum yang berlaku di Indonesia?
Ketika, sebagai contoh, norma pengaturan terkait pajak dan norma-norma pengaturan terkait ketenagakerjaan saling tumpang-tindih antar Undang-Undang terkait, yakni antara “Omnibus Law” Vs. Undang-Undang Perpajakan dan “Omnibus Law” Vs. Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka keseluruh peraturan perundang-undangan tersebut sifatnya saling setara derajat hierakhirnya, namun ketika kita berlakukan atau kembali kepada asas paling utama dalam ilmu peraturan perundang-undangan, yakni asas “Lex SPESIALIS derogat legi GENERALIS”, manakah yang akan berlaku bila Anda adalah seorang hakim yang memiliki kewenangan memutus di pengadilan?
Kembali lagi, kepentinganlah yang bermain di sini, siapa yang paling merasa diuntungkan oleh keberlakuan dan keberadaan “Omnibus Law”, tentunya akan memihak “Omnibus Law” dengan dalil asas “Lex POSTERIOR Derogat Legi PRIORI” (yang bermakna : Undang-Undang yang terbit dikemudian hari men-derogasi keberlakuan Undang-Undang yang lebih lama), namun ketika Anda adalah seorang pengacara yang melihat adanya keuntungan dibalik Undang-Undang yang sebaliknya, maka tentu saja menjadi “seksi” dan “menggoda” menyinggung kembali perihal asas “Lex SPESIALIS derogat legi GENERALIS” sebagai topangan argumentasi paling utamanya.
Kebijakan pemerintah incumbentI yang saat kini merumuskan “Omnibus Law”, bersifat “banci”, tidak tegas, dan “plin-plan”. Betapa tidak, pemerintah mendalilkan bahwa dirumuskan serta diterbitkannya “Omnibus Law” ialah demi merampingkan regulasi yang “gemuk” dan “obesitas regulasi” di Indonesia, namun disaat bersamaan pemerintah tidak mencabut atau membatalkan seluruh isi Undang-Undang “gemuk” demikian, akan tetapi menerbitkan kembali Undang-Undang baru lainnya bernama “Omnibus Law”—yang sama artinya menambah keruh dan kian menambah gemuk “rimba” peraturan di Indonesia, sehingga benar-benar menjelma menyerupai “hutan rimba belantara hukum”, dimana kini bukan hanya lagi dapat kita jumpai Undang-Undang seperti Tipikor, Perkawinan, Pokok-Pokok Agaria, Perpajakan, Ketenagakerjaan, namun juga masih juga diper-“gemuk” serta diperkeruh oleh Undang-Undang baru lainnya yang bernama Undang-Undang “Omnibus Law”.
Kita patut menyebut kebijakan pemerintah bersifat “banci”, tidak tegas, seolah menjadikan rakyat umum sebagai laboratorium raksasa untuk bereksperimen dan uji-coba kebijakan—alias dijadikan sebagai “kelinci percobaan”. Jika dari sedari awal kebijakan pembentukan hukum nasional ialah bersifat “kodifikasi parsial terbuka”, maka kita perlu tegas dan konsisten pada arah kebijakan atau roadmap “kodifikasi parsial terbuka”, bukan justru pada satu waktu atau pada satu posisi menerapkan kebijakan “kodifikasi parsial terbuka” namun pada waktu atau kondisi lainnya justru menerapkan kebijakan terdahulu yakni “kodifikasi tertutup” bernama “Omnibus Law”.
Alih-alih memberi contoh teladan dengan patuh terhadap asas hukum, pemerintah justru memilih membuat kebijakan “blunder” yang membuat kian “gemuk” rimba peraturan perundang-undangan kita. Yang kemudian menjadi prediksi penulis, pemerintah kita itu sendiri yang kemudian akan terjerat “lehernya” oleh keberadaan “Omnibus Law” yang mereka rumuskan dan terbitkan, bernasib sama seperti KUHP dan KUHPerdata, sudah usang namun sukar untuk direvisi dan menjadi kontraproduktif disamping buah simalakama yang sukar untuk “digugurkan” oleh sang “bunda yang mengandung dan melahirkan”.
Ketika pemerintah dikemudian hari mendapati dan menyadari bahwa pengaturan norma-norma dalam “Omnibus Law” sudah tertinggal oleh tuntutan zaman dengan sangat cepatnya, lalu kembali mencoba untuk menghapus Undang-Undang “Omnibus Law”, langkah demikian sama artinya menampar wajah pemerintah itu sendiri. Pada gilirannya, lagi dan lagi, rakyat umum yang dikorbankan oleh kian “gemuk-obesitas”-nya peraturan perundang-undangan di Republik Indonesia—seolah tanpa mau belajar pengalaman buruk dengan “kodifikasi tertutup” seperti KUHP dan KUHPerdata yang sukar untuk diubah dan direvisi.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.