ARTIKEL HUKUM
Baru-baru ini pada suatu pagi penulis menuju suatu tempat tujuan dengan berjalan kaki pada salah satu ruas jalan di Jakarta, namun betapa mengejutkan ketika mendapati kondisi jalan tertutup akibat seorang Lurah (kepala kelurahan) setempat sedang asyik berpidato di depan warga. Yang membuat penulis terheran-heran, ruas jalan tersebut selebar lebar tiga buah mobil yang dapat berpapasan secara sekaligus, namun keseluruh ruas jalan tersebut ditutup penuh tanpa menyisakan sedikit pun ruang untuk lalu-lintas, bahkan untuk seorang pejalan kaki untuk dapat melintas.
Ketika penulis yang sedang diburu waktu untuk segera menuju halte kendaraan umum, demi mengejar waktu sesuai perjanjian dengan klien, karena sedang memiliki tanggung-jawab profesi pekerjaan, penulis keberatan harus berjalan memutar yang lebih memakan waktu dengan menempuh rute jalan lain yang mana “musibah” demikian adalah hal yang justru dibuat-buat oleh faktor manusia. Alhasil, penulis memutuskan untuk berjalan melintas di hadapan sang Lurah yang sedang berpidato di depan warga.
Akan tetapi baik petugas kelurahan maupun warga setempat, mengolok-olok dan mencibir penulis sebagai telah berlaku “tidak sopan”. Tidak sopan? Yang tidak sopan itu siapakah? Ingin rasanya berdebat, namun mengingat tidak memiliki banyak waktu dan berdebat dengan kalangan manusia dari bangsa yang “kurang beradab” ini, sama artinya “mencari penyakit sendiri”. Akal mereka terlampau pendek dan dangkal, untuk mampu menerima dan mencerna ucapan yang logis dalam suatu perdebatan ilmiah—ibarat ekstrim perumpamaannya, Albert Einstein yang melompat “menembus waktu” dan hidup di zaman manusia “batu” prasejarah, lalu berdebat perihal teori relativitas dengan manusia-manusia purbakala tersebut, maka sama artinya sang Einstein yang dengan bodohnya hendak membuang waktu berdebat dengan manusia-manusia “purba”.
Itu adalah jalan umum, tiada kewajiban moril, kewajiban yuridis, maupun kewajiban sosiologis bagi penulis untuk meminta izin melewati jalan umum. Namanya juga jalan umum, mengapa sebagai pejalan kaki harus meminta izin untuk melintasi sebuah jalan umum? Sang Lurah justru memberikan teladan yang buruk dengan mencontohkan kepada khalayak ramai, betapa korup sang Lurah, yakni Korup terhadap hak pengguna jalan milik umum. Sehingga, yang sejatinya atau semestinya dijuluki sebagai telah “tidak sopan”, siapakah?
Baru menjabat sebagai Lurah, sudah menampilkan wujud korup terhadap waktu, hak, dan tenaga milik penulis selaku pejalan kaki / pelintas / pengguna jalan dan para pengguna jalan lainnya. Maka, bagaimana jika dirinya kelak menjebat sebagai seorang Gubernur, Camat, Walikota, atau bahkan sebagai seorang Presiden? Tidak heran di negeri patrialisme ini, bila teladan yang dipertontonkan secara vulgar demikian sangat tidak mendidik, maka jangan mengherankan bila banyak diantara para warga penontonnya tersebut yang merasa juga terpanggil untuk “abuse of power”, “to corrupt”, pamer kekuasaan, “diktator”, dan “tidak tahu malu”—korban yang justru dipersalahkan.
Penulis tidak melarang sang Lurah untuk berorasi, berpidato, atau apapun itu sebutannya, namun mengapa caranya harus menutup seluruh bidang ruas jalan (milik) umum, bahkan tidak menyisakan sedikit pun jengkal tanah atau ruang bagi pejalan kaki untuk melintas? Dengan mengatas-namakan seorang penguasa sedang ada “hajatan”, maka apakah artinya hak-hak milik umum menjadi sah untuk dirampas dan terampas?
Hal demikian juga terjadi sebelumnya, ketika seorang pejabat Lurah lainnya dari kantor Kelurahan yang sama yang kebetulan berdomisili persis di seberang kediaman keluarga penulis tinggal dan menetap, secara “sekonyong-konyong” memblokade jalan, bahkan menjadikan seluruh bidang jalan keluar dari pagar pintu rumah penulis disulap sebagai lahan liar untuk menggelar hajatan, yang dipasang panggung resepsi pernikahan anak sang Lurah, lengkap dengan segala kursi bagi tamu undangan—tanpa menyisakan sedikit pun jengkal lahan bagi anggota keluarga penulis selaku pemilik rumah untuk keluar-masuk (fakta empirik yang penulis alami secara langsung, tanpa melebih-lebihkan). Ketika penulis mengajukan protes atas ulah demikian, seorang warga alih-alih prihatin pada kondisi penulis, justru secara tidak simpatik menyalahkan pihak penulis dengan berkata : “Penguasa sedang hajatan mengapa dilarang-larang?!”
Tiada yang pernah melarang seseorang untuk menggelar hajatan, dimana bahkan untuk ukuran seorang Lurah di wilayah DKI Jakarta dengan gaji bulanan yang mencapai puluhan juta rupiah, dimana pada lokasi yang masih pada lingkup kelurahan yang sama, bahkan berlokasi dekat kantor Kelurahan, terdapat gedung kesenian milik Pemerintah Daerah yang selama ini menganggur dimana sejatinya dapat disewa oleh sang Lurah untuk menggelar hajatan bagi anak-anaknya ketika menikah.
Kejadian demikian, ditutupnya seluruh ruas jalan (milik) umum bahkan mengokupasi halaman depan kediaman warga dan rumah penulis oleh sang Lurah, bukan satu atau dua kali terjadi. Itulah ajang pamer kekuasaan yang dipertontonkan secara vulgar oleh sang Lurah. Alih-alih merasa malu dan takut “dikutuk”, justru merasa bangga dan seolah menjadi prestasi yang patut dibanggakan ketika berhasil melakukan aksi diktatoriat. Baru menjadi Lurah, sudah mengokupasi hak-hak tetangganya, maka bagaimana bila dirinya terpilih sebagai seorang Kepala Negara?
Sama halnya ketika kalangan buruh berorasi menuntut agar kesejahteraannya diperhatikan oleh pemerintah. Orasi mana, menurut penulis adalah “salah-kaprah” dan “salah tempat”. Betul bahwa hak atas nafkah adalah “hak asasi manusia” yang patut dihormati dan dihargai. Namun, apakah hak atas nafkah harus semata berupa gaji atau upah bulanan sebagai pegawai / karyawan / buruh?
Mereka yang kreatif, bila ingin mendapatkan tingkat penghasilan dan meningkatkan taraf kehidupan yang lebih sejahtera, mengapa juga memilih menjadi buruh, alih-alih menjadi seorang “bos bagi diri kita sendiri”? Apakah terdapat pihak-pihak, yang selama ini memaksa mereka untuk menjadi seorang buruh? Bahkan orang-orang tanpa gelar akademik pendidik formil sekalipun pun, tidak sedikit diantara mereka yang mampu meraih kesuksesan dan menciptakan lapangan kerja serta kesempatan bagi karir dan profesinya sendiri.
Setidaknya, ketika mengalami kondisi “merugi” kita akan sadar atas apa yang disebut sebagai “resiko usaha”, dan jika berhasil mencetak keuntungan yang lumayan memuaskan yang lebih dari cukup untuk menutupi kebutuhan serta pengeluaran bulanan, maka itu akan menjadi haknya sepenuhnya untuk dinikmati. Seorang pengusaha yang paham sepenuhnya atas prinsip ini, tidak akan mengeluh saat merugi dan tidak akan diam-diam saja saat mencetak laba besar.
Fakta empirik-sosiologisnya, tiada yang memaksa mereka untuk menjadi seorang buruh, mereka sendiri yang memilih menjadi buruh karena tidak berani menempuh resiko merugi seperti langkah yang ditempuh oleh para wirausahawan yang menjadi tempat mereka bekerja. High gain, high risk. No risk, no gain. Bekerjalah bagi dan pada diri kita sendiri, bila kita ingin memegang kendali atas tingkat / taraf ekonomi kita bebas serta mandiri. Itulah prinsip-prinsip kesetimpalan.
Begitupula ketika seorang pengusaha ilegal justru (dengan logika yang terputar-balik) menyalahkan warga setempat ketika sang warga keberatan lingkungan pemukiman padat penduduk tempatnya menghuni, menetap, maupun beristirahat justru dijadikan sebagai tempat usaha berskala cukup besar yang mengundang baik “polusi suara” akibat kendaraan pengangkut barang yang hilir-mudik maupun polusi “sosial berupa” berbagai ajang parkir liar yang meraja-lela demi kepentingan sang pelaku usaha. Dirampasnya hak-hak ketenangan hidup warga pada suatu lingkungan pemukiman, adalah derajat kejahatan yang sangat serius, karena sejatinya merampas dan merusak hak paling personal seorang warganegara.
Tidak ada orang yang sebodoh itu melarang orang lain untuk membuka usaha dan berusaha mencari nafkah dan membuka lapangan pekerjaan, namun haruslah bijaksana dengan melihat peruntukkan lokasi atau tempatnya, bukan justru secara “arogan” membuka tempat usaha di perumahan yang fungsinya jelas demi kepentingan warga penghuni / pemukim untuk bebas dari segala gangguan, polusi suara udara, hingga parkir liar. Ironisnya, sang pengusaha ilegal serakah demikian justru mengolok-olok warga yang keberatan sebagai warga “tidak sekolah”. Apakah menjadi seseorang yang berpendidikan tinggi, artinya menjadi alasan pembenar baginya untuk melanggar sebuah Peraturan Daerah perihal Tata Ruang Wilayah Perkotaan untuk kawasan pemukiman? Tampaknya dirinya perlu dikembalikan ke bangku sekolah dasar, untuk belajar dan diajarkan tentang apa itu “Budi-Pekerti”.
Mengganggu fungsi pemukiman yang peruntukkannya bagi warga atau penduduk beristirahat bebas dari segala gangguan sebagaimana “asas pemukiman” dan “asas perumahan”, dengan mengalih-fungsikan wilayah pemukiman sebagai tempat usaha yang menimbulkan kerugian bagi warga setempat, itulah yang dinamakan sebagai telah merampas hak warga. Usaha-lah di kawasan usaha yang memang diperuntukkan untuk kegiatan bisnis, komersiel, dan industri, di ruko yang memang untuk peruntukkan usaha, bukan lingkungan perumahan.
Fakta empirik berikutnya, masih ingat kisah pembuka di bagian awal tulisan ini, seorang Lurah yang sibuk berorasi di depan warga dengan mengokupuasi seluruh lebar ruas jalan umum? Sang pejabat Lurah itulah yang telah diberi “suap” oleh sang pengusaha ilegal-serakah sehingga bahkan sang Lurah mengirim banyak personel resmi berseragam dari Kelurahan untuk menjadi bodyguard bagi kepentingan sang pelaku usaha ilegal ketika menghadapi warga yang memprotes—sekalipun sang Lurah mengetahui betul sang pengusaha berkegiatan usaha di wilayah yang melanggar hukum alias ilegal. Lurah (yang jelas-jelas) “korup” semacam itu, patutkah dihormati dan dihargai? Bagi penulis secara pribadi, tidaklah mengherankan bila sang Lurah penulis dapati sedang meng-korupsi jalan (milik) umum, karena memang sudah terbukti korup dengan mem-“beking”-ngi sang pengusaha ilegal-serakah.
Bukan hanya pejabat negara yang dapat korup, bahkan kalangan rakyat jelata kecil pun dapat demikian korup atas “sikap preman” miliknya yang mempertontonkan arogansi otot. Betapa tidak, bukan hanya beberapa kali terjadi pada berbagai lokasi tempat parkir informal luar ruang di Jakarta, seorang “tukang parkir” justru memaki penulis karena memarkir kendaraan bermotor roda dua milik penulis dalam kondisi terkunci “kunci stang” motor. Ketika penulis datang pertama kali memarkir, tiada terdapat “tukang parkir” tersebut ataupun “tukang parkir” manapun.
Jika sampai hilang karena tidak terkunci dengan kunci maksimum, maka apakah sang “tukang parkir” bersedia dan dapat dengan mudah dimintai pertanggung-jawaban? Mengapa seolah dirinya merasa berhak memaki dan memarahi pemilik kendaraan, bahkan bersikap seolah dirinya adalah pemilik tanah parkir tersebut? Logika yang paling tidak masuk akal pribadi penulis, dirinya masih merasa berhak pula menarik / menerima sejumlah pungutan parkir setelah secara sewenang-wenang memaki pemilik kendaraan yang tidak bersalah dan memang sudah seharusnya memiliki tanggung-jawab pribadi untuk mengamankan kendaraan miliknya sendiri dengan mengunci dan memastikan kondisi kendaraan aman sebelum ditinggalkan.
Tidaklah mengherankan, bila dirinya tidak bisa menjadi seorang hakim, namun hanya dapat mencari nafkah secara “tidak halal” dengan cara-cara pemerasan seolah dirinya adalah pemilik lahan parkir demikian. Tiada keluar modal apapun selain memaki-maki pemilik kendaraan (premanisme), lalu merasa berhak memeras pemilik kendaraan dengan sejumlah biaya parkir seolah lahan tersebut adalah miliknya. Bagaimana jika dirinya menjadi seorang Kepala Negara, hancurlah bangsa dan negeri ini—beruntung belum pernah berdiri “Partai (politik) Preman, Parprem”.
Sebagai penutup, berikut penulis tampilkan “parodi lapangan” yang penulis potret di sebuah jalan umum yang mana lahan di pinggir jalan tersebut ialah lahan milik Pemerintah Daerah, sehingga menjelma menjadi lahan usaha “liar” ketika terdapat pedagang kaki-lima ataupun pelapak-pelapak liar meng-“okupasi”-nya demi tujuan komersial pribadinya seolah itu menjadi bidang tanah miliknya dengan cara menempatkan sejumlah barang-barang di atas bidang tanah milik pihak lain secara liar demikian.
Ketika Pemerintah Daerah lewat Satpol-PP melakukan pembersihan terhadap lapak-lapak usaha liar demikian (penertiban), mereka akan kabur dan tidak bersedia ditertibkan, untuk kemudian muncul kembali secara “kucing-kucingan”. Setidaknya, para pedagang liar demikian membayar pajak ataupun sewa tanah ke kas negara, sehingga menjadi pendapatan negara bagi kepentingan rakyat. Ulah para pedagan liar demikian jugalah, yang secara senyatanya merugikan hak-hak warga karena berusaha dan berdagang secara liar.
Berikut inilah transkrip kata-kata yang tertulis di atas papan peringatan milik sang pengusaha liar di atas sebidang tanah / lahan liar: “Tanaman yang di-sini milik pribadi / di jual. Jangan diambil atau dicabut, ingat dosa.” Serta : “Bagi yang suka / sering ambil tanaman kami, semoga diberi hidayah oleh...” Semoga yang sering menyerobot lahan milik pihak lain, lebih dahulu diberi hidayah sebelum menggurui dan mengharap orang lain diberi “hidayah”.
Tanah tersebut milik yang menjual tanaman? Ingat dosa? Yang semestinya merasa berdosa karena berdagang secara liar mengokupasi lahan yang bukan miliknya, adalah siapakah? Yang semestinya mendapat “hidayah” agar sadar diri, sebetulnya siapakah? Mengapa tidak kita taruh saja, papan berisi klaim, bahwa bukit itu atau gunung ini adalah milik kita? Semua orang pun bisa, bila hanya semudah meng-klaim secara sepihak.
Atau kita pasang papan peringatan, bahwa laut ini dan danau itu adalah milik kita, sehingga menjadi terlarang ketika Anda atau orang lain hendak memetik daun di atas sebatang pohon yang berdiri di atasnya? Sekali lagi, kita tidak perlu berdebat dengan mereka, kecuali Anda sedang bermaksud untuk membuang-buang waktu dan bersiap untuk justru dianiaya secara fisik maupun secara verbal oleh mereka yang belum mengenal kata “beradab” demikian—berdasarkan pengalaman pribadi penulis, seperti yang sudah-sudah pernah terjadi dan penulis alami secara langsung kenyataannya, sekalipun memang pahit rasanya.
Kira-kira, sekadar berandai-andai, jika Anda atau kita memiliki sebuah pot berisi tanaman hias lalu kita letakkan di atas pekarangan milik orang lain, maka apakah artinya kita masih berhak mengklaim bahwa itu adalah tanaman pribadi milik kita dimana orang lain tidak boleh memetiknya? Dimanakah letak perbedaan antara tanaman bunga dagangan milik pedang liar dengan sebuah bunga dari tumbuhan liar yang tumbuh di pinggir jalan?
Bedanya ialah, tumbuhan liar maupun gulma dapat kita pangkas dan singkirkan dengan mudah seketika, tanpa perlu izin siapapun. Namun, ketika terdapat pedagang liar mengokupasi lahan secara liar, disingkirkan tidak akan semudah itu, mereka alih-alih merasa berkewajiban untuk membayar uang sewa, justru meminta “uang kerohiman”. Sungguh, akar-akar mereka lebih mengganggu daripada gulma yang tumbuh liar.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.