ARTIKEL
HUKUM
Isu dan kejadian banjir yang
selalu berulang terjadi di Republik Indonesia, pemerintah semudah “cuci tangan”
dengan menjadikan masalah sukarnya pembebasan lahan sebagai “kambing-hitam”
(pengalihan isu) yang paling “seksi” dan selalu “mujarab” untuk dijadikan alibi
sempurna. Mulai dari alasan butuh anggaran besar untuk membebaskan tanah /
lahan demi kepentingan umum, hingga masalah keberatan oleh warga pemilik tanah
dan sengketa pertanahan, yang sejatinya merupakan masalah yang dibuat-buat
sendiri oleh otoritas negara.
Fakta lapangan yang pernah
penulis hadapi ketika menangani masalah hukum pembebasan tanah yang dihadapi
klien penulis, lebih banyak warga kita yang setuju dan tidak keberatan atas
harga ganti-rugi yang diajukan atau ditawarkan sepihak pihak pemerintah
ketimbang yang menolak dan memasuki ranah gugatan—justru lebih banyak diwarnai
keberatan atas “di-sunat-nya” anggaran yang dapat dicairkan pemilik lahan oleh
berbagai oknum yang bermain di lapangan.
Fakta kedua, regulasi
dibidang pembebasan lahan untuk kepentingan umum telah lebih berpihak kepada
pihak negara, dimana warga yang menolak menerima dana ganti-rugi hanya bisa
pasrah mendapati pihak Pemerintah Daerah melakukan konsinyasi penitipan uang
ganti-rugi ke Pengadilan Negeri setempat. Alias dengan kata lain, TIDAK
ADA LAGI HAMBATAN DALAM EKSEKUSI RENCANA / PROGRAM PEMBEBASAN LAHAN UNTUK
KEPENTINGAN HUKUM—itulah fakta yuridis yang paling utama sebagai acuannya, dan
dapat penulis pertanggung-jawabkan bila terdapat pihak-pihak yang berniat
melakukan konfrontir dengan penulis, lengkap dengan dasar hukumnya.
Betapa tidak, mekanisme harga pasar tanah diserahkan oleh pemerintah
kepada “mekanisme pasar”, dimana kemudian para tengkulak, para tuan tanah, dan
para partikelir yang kemudian bermain dan menentukan harga pasaran tanah. Bila
komoditas bahan kebutuhan pokok dan hal-hal kebutuhan sekunder maupun tersier
seperti harga penjualan kendaraan bermotor diawasi serta dikendalikan oleh pemerintah
lewat penerapan kebijakan imperatif bernama “harga eceran tertinggi” (HET)
hingga supremasi lembaga semacam Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), maka
ironisnya seolah pihak pemerintah maupun KPPU tidak berwenang dan tidak pernah
menyentuh satu ranah yang sejatinya salah satu dari tiga kebutuhan pokok
manusia, yakni : sandang, pangan, dan papan (rumah tinggal).
Yang perlu penulis tegaskan, yang dimaksud dengan kebutuhan pokok disini
ialah “papan” dalam artian rumah / kediaman untuk bertempat-tinggal yang mana
secara rasionalnya satu buah keluarga hanya membutuhkan rumah untuk tempat
tinggal dengan luas lantai tidak lebih dari dua ratus meter persegi atau petani
yang dapat hidup cukup dengan luas lahan tani seluas dua hektar, begitu pula
bidang-bidang tanah yang bukan untuk tujuan investasi, dikontrakkan, ataupun
berupa Hak Guna Usaha berwujud pabrik seluas ratusan meter persegi hingga Hak
Guna Usaha perkebunan hingga ribuan hektar luasannya—kesemua itu bukanlah
kebutuhan pokok rakyat, namun kebutuhan investasi pihak “pemodal”.
Karenanya, menjadi ironis ketika rencana pemerintah yang hendak
membebaskan lahan demi kepentingan umum, justru terganjal oleh para pemilik
tanah yang seringkali adalah para “pemodal” kuat daya tawar ekonominya yang
menguasai tanah dengan maksud bukan untuk kepentingan / kebutuhan primair pokok
bertempat tinggal sang pemilik tanah (lebih tepatnya “tuan tanah”) karena hanya
dikuasai demi investasi seperti dijadikan rumah kontrakkan, perkebunan, pertambangan,
dan lain sebagainya.
Sebagaimana juga kita ketahui, masalah banjir adalah masalah menahun yang
bahkan menurut sejarah sudah menjadi masalah sejak sebelum era kemerdekaan
Republik Indonesia. Namun, hingga negeri ini berumur hampir mencapai satu abad lamanya
berdiri dan beroperasi, dengan segudang klaim keberhasilan pemerintah
mendongkrak investasi serta peningkatan daya dukung maupun pencapaian prestasi
dibidang ekonomi dan moneter maupun fiskal, menjadi pertanyaan besar bagi
penulis : MENGAPA HINGGA SAAT KINI MASIH BELUM MAMPU JUGA PEMERINTAH
MEMBEBASKAN TANAH DAN LAHAN DEMI KEPENTINGAN UMUM YANG SUDAH MERUPAKAN MASALAH
KLASIK DAN KRUSIAL, NAMUN TIDAK PERNAH KUNJUNG TERSELESAIKAN HINGGA
PEMERINTAHAN SAAT KINI? Jangankan bicara pembebasan lahan untuk menangani
banjir, program yang paling mudah dijangkau seperti pengerukan pendangkalan
sungai berupa normalisasi dan naturalisasi sungai saja nyatanya masih berjalan
terseok-seok.
Berarti, hal tersebut atau ketidak-mampuan pemerintah demikian merupakan
wujud kegagalan sistemik para penyusun kebijakan dan pemangku jabatan di negeri
ini. Mari kita membahas sekilah perihal peningkatan pertumbuhan ekonomi secara
“real”, bukan secara “di atas kertas”
sesuai klaim pemerintah demi kepentingan “politik praktis pencitraan”.
Jika betul bahwa negara dan pendapatan negara, atau klaim pemerintah
“rasio hutang terhadap PDB” (product
domestic brutto) nasional masih dalam level ambang batas “aman”, hingga
peningkatan kekayaan maupun aset milik negara, maka mengapa hingga saat kini,
otoritas negara masih belum mampu juga menyelesaikan masalah pembebasan lahan
yang bersifat urgen yang sudah lama diwariskan mulai dari pemerintah Kolonial
Belanda yang membangun rancangan sungai “Banjir Kanal”, dilanjutkan sebagai
“pekerjaan rumah” pada era Orde Lama, kegagalan Orde Baru yang sekalipun
berkuasa selama beberapa dekade masa jabatan pemerintahan yang diklaim penuh
kemakmuran diatas gelimang hutang dan kekayaan minyak bumi, berlanjut hingga
rentetan kegagalan demi kegagalan pemerintahan pada era Demokrasi dan Reformasi
ini.
Sungguh sangat membingungkan karakteristik atau falsafah arah gerak laju
bangsa ini, pada satu sisi menyatakan tidak berkiblat pada tipe negara
liberalisme dimana hak atas properti kepemilikan bersifat mutlak tanpa dapat
diganggu-gugat bahkan oleh otoritas negara. Namun pada sisi lain, karakteristik
praktik pertanahan di Indonesia sangat amat menyerupai apa yang penulis sebut
sebagai “tipe negara Tuan Tanah”, dimana sifat partikelir praktik pertanahan
demikian kentara, dapat terlihat nyata dan kasatmata lewat berbagai kegagalan
otoritas negara dalam membebaskan lahan untuk kepentingan penanganan “bencana”
banjir yang semestinya mampu segera untuk dimitigasi dan dihindari dengan
melakukan pembebasan lahan secara menyeruluh dan tuntas (tidak parsial).
“Bencana” banjir di Jakarta, sebagai contoh, terjadi secara terstruktur
dimana konsekuensi logisnya jelas dapat ditarik kesimpulan dari berkurangnya
fungsi resapan permukaan tanah disamping instrusi air laut, menurunnya permukaan
tanah akibat eksploitasi air tanah, hingga pendangkalan dan penyempitan sungai
dari hulu kota-kota penyangga Ibukota Jakarta. Karenanya, ketika negara
bersifat pasif, absen, tidak hadir untuk segera membebaskan lahan untuk
membangun embung, sodetan, atau untuk melebarkan bantaran sungai, maka
“bencana” banjir PASTI akan terjadi dan berulang, seolah-olah sedang menantang
“bencana” ini untuk terus berulang dimana yang membayar mahal harganya
lagi-lagi ialah rakyat kecil yang lemah secara ekonomi namun disaat bersamaan
dibungkam suaranya lewat ancaman pemidanaan.
Karena sejatinya banjir dapat dimitigasi, diantisipasi, dan dihindari
sampai terjadi, maka “bencana” banjir yang kerap melanda Ibukota Jakarta
merupakan “bencana” by design akibat
pembiaran otoritas negara kita terhadap praktik-praktik “tuan tanah” yang
menguasai dan mencengkeram kuat sendi-sendi ekonomi pertanahan di negeri ini.
Secara logika sederhana, lewat pungutan berbagai Pajak Bumi dan Bangunan yang
dipungut dari warga penghuni atau pemiik tanah selama puluhan tahun dengan luas
bidang tanah seluas kota ini (hampir tiada lagi permukaan tanah di Jakarta yang
tidak dikuasai sipil dan pemodal, dimana luas tanah milik Pemerintah Daerah
dilaporkan hanya kurang dari 15 persen dari luas kota), kesemua dana tersebut sudah
cukup dihimpun untuk menjadi cadangan bila suatu waktu membutuhkan eksekusi
terhadap rencana pembebasan sebagian kecil luasan permukaan tanah di kota
maupun di daerah.
Rencana atau proyek pembebasan lahan untuk mengatasi ancaman “bencana”
banjir, tidaklah semasif jumlah luas (total) permukaan tanah yang kita
bayangkan, namun dapat kita bayangkan menyerupai sebuah pembebasan tanah untuk
proyek pembangunan “jalan tol berbayar” yang entah mengapa seolah dana
perbantuan dari pemerintah pusat maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja
(Pemerintah) Daerah selalu cukup untuk membayar ganti-rugi kepada pemilik
tanah, dengan proses yang terkesan terbilang sangat cepat, namun selalu tumpul
saat harus berurusan dengan kepentingan yang lebih bersifat kepentingan bagi
khalayak ramai non-komersiel seperti pembebasan lahan untuk menangani ancaman
“bencana” banjir yang selalu mengancam setiap kali memasuki musim penghujan.
Luasan tanah yang hingga saat ini telah dibebaskan untuk kepentingan
pembangunan inftrastuktur “jalan tol” yang dikelola oleh pemerintah, dalam hal
ini Jasa Marga, yang menghubungkan Jakarta, Bogor, Banten, Bekasi, hingga
Depok, jika kita total seluruh bidang luas tanah yang telah berhasil dibebaskan
dalam proyek atau program pembebasan lahan untuk kepentingan komersiel “jalan
tol” yang merampas ruang jalan bagi pengendara roda dua maupun pesepeda dan pejalan
kaki atas permukaan jalan umum yang dilintangi oleh lajur jalan tol, apakah
jumlahnya kalah kecil dengan luas permukaan tanah yang dibutuhkan dalam
pengelolaan ancaman banjir di Ibukota republik ini? Penulis bahkan memprediksi
jumlah total luas tanah antara pembebasan lahan untuk kepentingan “jalan tol”
jauh lebih masif daripada total luasan tanah untuk kepentingan penanganan
banjir.
Karenanya, patut bagi penulis untuk menduga, setelah menimbang serta
membaca secara kritis situasi sebagaimana terutai tersebut di atas, “bencana”
banjir di Jakarta adalah “by design”,
bukan “by nature”. Bila kebijakan dan
kemauan (political will) pemerintah
memang serius menangani banjir, maka menjadi pertanyaan besar : Tidak sampai
separuh umur republik ini, kota-kota tersebut di atas telah berdiri berbagai
“jalan tol” yang masif bak jaring laba-laba di mana pada setiap ruas jalan
dapat mudah kita jumpai lajur “jalan tol” yang memotong ruas jalan umum, namun
selalu terganjal dalam isu yang sama, pembebasan lahan untuk kepentingan
“mitigasi banjir”.
Mengapa dapat terjadi demikian? Ada apa sebenarnya, apakah juga yang
selama ini menjadi agenda tersembunyi (hidden
agenda) yang selama ini dimainkan pemerintah sekalipun kepala negara telah silih-berganti
bahkan menjadi incumbent selama dua
periode masa jabatan yang lebih dari cukup untuk serius menyelesaikan masalah
banjir? Apakah banjir benar-benar tidak dapat ditangani, diatasi, diantisipasi,
dicegah, dan hanya dapat “pasrah”? Jika benar demikian, maka bubarkan saja
negeri ini, biarkan terjajah oleh bangsa lain yang lebih maju yang lebih dapat
menjamin kemakmuran rakyatnya. Tidak lagi penting apakah negeri ini dipimpin
oleh bangsa sendiri atau oleh bangsa lain, yang terpenting apakah pemimpinnya
serius terhadap kemakmuran rakyatnya ataukah tidak. Lebih ironis bila republik
ini dijajah dan terjajah oleh anak bangsanya sendiri, karena tidak sedang
dibaca dalam buku sejarah anak-anak sekolah ketimbang kisah betapa negeri ini
mampu bertahan dimasa-masa penjajahan pemerintahan kolonial.
Bila negeri “di bawah permukaan air laut” seperti Belanda saja bisa
berhasil menangani banjir sejak lama sebelum Republik Indonesia mencapai
kemerdekaannya dan berdaulat, namun hingga mencapai satu abad umur Republik
Indonesia masih juga dilanda dan dihantui “bencana” banjir yang terus berulang
dan seolah sudah menjadi ritual rutin bagi negeri ini. Mungkin saja pemerintah “mengkambing-hitamkan”
Tuhan dengan menyebut bahwa itulah “hadiah” atau mungkin juga “azab” dari
Tuhan. Keseriusan pemerintah pusat dan daerah, itulah yang selalu kekurangan
dari pemangku kebijakan di negeri ini.
Tampaknya, pemerintah menggunakan paradigma berpikir yang selalu
berorientasi pada “pemodal”. Rakyat dan penduduk, dipandang bukan “pemodal”,
maka tidak diberikan skala prioritas dan dibiarkan menanggung sendiri kerugian
akibat “bencana” banjir menahun. Sebaliknya, untuk kepentingan “pemodal”, maka
kepentingan pembangunan “jalan tol” dapat di-“genjot” hingga skala maksimum hitungan
tahun, bukan proyek atau program puluhan tahun untuk bisa berdiri dan terwujud.
Penulis secara pribadi telah beberapa kali menangani klien pengguna jasa yang
berurusan dengan kejadian pembebasan lahan untuk kepentingan pembangunan “jalan
tol”, dan karenanya penulis menjadi tahu betul seolah proyek pembangunan “jalan
tol” tampak sangat cepat terealisasi dalam proses pembebasan lahannya tanpa
pernah berlarut-larut ketika eksekusi kebijakan direalisasi oleh Pemerintah
Daerah.
Sebaliknya, dalam kasus-kasus pembebasan lahan untuk kepentingan mitigasi
“bencana” banjir, selalu yang pertama kali tampak ialah kesan “tarik-ulur”
dimana kesan demikian tidak dapat dihindari dan dapat kita saksikan sendiri
sebagai sebuah “rahasia umum” yang dipertontonkan secara vulgar di depan publik
tanpa rasa malu oleh para petinggi bangsa ini yang bahkan masih ingin menjawab
untuk periode jabatan berikutnya. Karenanya, penulis mulai menggeser asumsi
dari betapa kuatnya para “tengkulak” dan “tuan tanah” partikelir yang
mencengkeram faktor hajat hidup orang banyak berupa tanah, namun lebih kepada “political will” penyusun kebijakan.
Sama seperti “road map” transportasi
umum yang bersifat massal yang digadang-gadang mampu menggantikan tren transporatasi
pribadi roda dua maupun roda empat, disebutkan oleh berbagai pakar tata-kota
bahwasannya di Jakarta dapat terwujud transportasi massal dengan “grand design” yang tidak kalah masif,
terintegrasi, dan tersistematis dengan kota-kota maju lainnya sehingga tingkat
penggunaan kendaraan pribadi warga lokal maupun pendatang dapat ditekan hingga
ke titik derajat paling minimum.
“Road map” dan “blue design” telah lama tersedia untuk
tata-kota yang modern ini, menurut sang pakar sebagaimana pernah disiarkan oleh
salah satu media massa belum lama ini, namun selalu terganjal oleh “political will” pemerintah yang
tampaknya selalu lebih berpihak kepada pabrikan kendaraan bermotor—lagi-lagi
faktor “pemodal” yang menjadi kiblat rah kebijakan pemerintah, dimana rakyat
banyak yang kemudian dijadikan penonton semata dan diekspoitasi, bila tidak
dapat kita sebut sebagai telah “dikorbankan”.
Mental “kapitalis” pemerintah menjadi penyakit yang sukar diobati dan
ditangani, bersimbiosis dengan para “pemodal” yang dengan mudah mendikte dan
menyetir arah kebijakan tata ruang kota di negeri ini, sehingga vaksin mental
“kapitalis” demikian perlu segera ditemukan dan diwujudkan untuk disuntikkan ke
dalam kepala para pemegang kekuasaan negeri ini. Musuh bersama rakyat di
Indonesia, sejatinya bukanlah “bencana” banjir, namun adalah mental “kapitalis”
penyusun kebijakan dan pengendali otoritas negeri ini, baik Pemerintah Pusat
maupun Pemerintah Daerah, yang memang cukup patut diragukan keseriusan dan
itikadnya dalam mengelola republik yang disebut-sebut “democratic” ini.
Bukannya tiada anggaran (memindahkan ibukota negara yang lebih berbiaya
tinggi saja mampu sekalipun dengan biaya yang sama dapat membebaskan luas
bidang lahan lebih dari cukup untuk manangani banjir), namun tiadanya “kemauan
politis”. Ingat mega-super-proyek pemindahan ibukota negara, maka ingat
mega-korupsi proyek e-KTP. Bila sekelas produk e-KTP dapat mengundang semut-semut
korup (koruptor kelas kakap) berdatangan dan meng-korupsi keuangan (milik)
rakyat dengan nilai yang luar biasa besarnya, maka apakah mega-super-proyek
pemindahan ibukota negara akan bebas dari “agenda tersembunyi” serupa, selain
berdampak memiskinkan rakyat? Pemerintah yang hendak berganti ibukota, namun rakyat
selaku para pembayar yang harus menanggungnya.
Bayangkan, bila seluruh ruas “jalan tol” (berbayar) tersebut adalah
sungai yang menghubungkan Jakarta dengan berbagai kota lainnya seperti “jalan
tol” (berbayar) yang ada saat kini, apakah banjir masih merupakan suatu niscaya
atau hanya tinggal sejarah? Jutaan besi tiang pancang fondasi “jalan tol” (berbayar)
tersebut, disamping cor beton dengan jumlah luasan hektaran dengan ketebalan
yang mencapai angka meter, berkontribusi nyata menenggelamkan Jakarta. Jakarta
tenggelam oleh para penyusun kebijakan, banjir yang diundang dan dibuat-buat “by design”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.