ARTIKEL HUKUM
“Jangan mencari kebahagiaan yang bukan menjadi milik kita, karena sesungguhnya kebahagiaan itu ada dalam setiap tarikan nafas dan pekerjaan yang kita lakukan.”
(Bhikkhu Tejanando)
Pada salah satu pemberitaan beberapa waktu lampau, dikabarkan seorang hakim pengadilan (yang kemudian dipidana karena melakukan kolusi alias pemerasan dengan menyalah-gunakan kewenangannya memeriksa dan memutus perkara di Pengadilan Negeri) melontarkan kata-kata berikut ini saat meminta pungutan liar kepada para “pencari keadilan” : “Hanya seperti ini saja, nih? Uang LELAH-nya mana?” Ya sudah, Anda mati saja, maka beres sudah dan tidak perlu merasa lelah kembali.
Uang lelah? Timbul suatu desakan rasa “tidak terima” di dalam benak penulis, ketika membaca pemberitaan dengan kata-kata semacam itu yang ternyata dapat terbit dari mulut seorang hakim yang telah melakukan tindak pidana kolusi. Kedua, diperberat dengan melawan kewajiban sebuah pekerja lembaga peradilan untuk menghadirkan keadilan, alih-alih justru menjadi bagian dari aktor kejahatan itu sendiri. Selama ini, Anda tidak digaji? Itu sudah tugas Anda, jika Anda tidak mau letih-lelah, janganlah bekerja, dan silahkan “mati” saja, masih banyak yang mengantri untuk menggantikan posisi Anda sebagai hakim.
Kobaran amarah penulis yang seketika muncul tersebut, mengajak penulis untuk mencoba merenungkan fenomena sosial-kemasyarakatan kita di Indonesia, ternyata sejatinya “mental miskin” semacam itu ditampilkan secara seronok-berjemaah oleh barbagai pejabat dan aparatur sipil negara di negeri ini. Mereka menyebut diri mereka “bangsa agamais” dan bangga akan segala atribut keagamaannya, namun apakah guru di sekolak, orangtua di rumah, ataupun ajaran agama mereka tidak pernah mengajarkan, bahwa “mental pengemis” (lebih tepatnya “mental memeras”) demikian adalah sikap yang sangat rendah dan men-de-humanisasi diri seorang manusia dari apa yang disebut sebagai bangsa “beradab” (apakah Bangsa Indonesia sudah layak menyebut dirinya tergolong “beradab”?).
Baru-baru ini penulis mendapati fenomena yang kontekstualnya senada dan berkelindan saling serupa, bahkan untuk ukuran Pegawai Negeri Sipil kecil, tidak hanya terjadi pada mental pejabat tinggi negara. Di Jakarta tepatnya pada daerah kediaman penulis, terdapat petugas kelurahan berupa “petugas (dengan warna) seragam oranye” yang bertugas membersihkan lingkungan warga. Namun, para petugas “seragam oranye” tersebut lebih banyak mengeluh, berdiam diri sembari mengobrol ataupun bergosip, dan mengoceh sepanjang hari ketimbang bekerja.
Mulai dari mengeluh betapa teriknya matahari, betapa kikirnya warga setempat tidak memberikan “sumbangan”, betapa kikirnya Ketua Rukun Tetangga maupun Rukun Warga setempat yang tidak memberikan mereka sesuatu uang atau sejenisnya. Namun, mereka akan seketika sigap meminta-minta uang pada beberapa warga yang berpunya, menjadi bermulut “manis” serta rajin bekerja membersihkan lingkungan ketika diberikan sesuatu imbalan materi.
Kembali lagi terlontar pada benak penulis, Kalian semua tidak digaji atas pekerjaan kalian? Apa juga yang menjadi tugas serta kewajiban pekerjaan Anda? Yang menggaji kalian, siapa jika bukan dari “uang rakyat” yang menjadi “bos” Anda? Anda pikir, bos Anda adalah Lurah di Kelurahan, bukan rakyat pembayar pajak sumber gaji Anda? Jika kalian rajin bekerja, itu memang sudah kewajiban Anda. Jika Anda atau sekalian mereka semua tidak bersedia berletih diri dalam pekerjaan dan tanggung-jawab profesi, maka silahkan berhenti dari pekerjaan dan masih banyak yang mengantri untuk bisa mendapatkan pekerjaan.
Kejadian serupa tidak terkecuali terjadi pula pada petugas kebersihan pengangkut sampah harian yang digaji dengan sumber iuran bulanan warga dan dipekerjakan oleh Rukun Warga di lingkungan kediaman penulis, dimana dirinya akan rajin mengangkut setiap helai sampah pada pagi hari, bila warga pemilik rumah rutin memberikan sesuatu materi berupa uang kepada sang petugas kebersihan, atau baru akan rajin mengangkut sampah di kediaman Ketua RT / RW dimana warga yang mengeluh tidak dapat memberhentikan dan berkuasa untuk mencarikan pengganti petugas kebersihan yang mereka bayar lewat iuran bulanan setiap bulannya.
Tiada ada korelasi antara “telah bersikap baik” dan “tugas”, karena itu memang sudah tugasnya melayani masyarakat, sebagaimana nama istilahnya “civil servant” yakni “pelayan masyarakat”—karena itu jugalah, penulis tidak pernah menyetujui istilah-istilah “Pegawai Negeri Sipil” ataupun “Aparatur Sipil Negara” karena seolah “bos”-nya yang memberi gaji mereka ialah negara, bukan rakyat selaku pembayar pajak, bahkan lebih terkesan meminta dilayani oleh masyarakat dengan berbagai modus pemerasan bernama “pungutan liar” ataupun monopolistik kewenangan yang membuat seolah masyarakat sipil harus “mengemis-ngemis” meminta pelayanan publik yang sudah semestinya mereka terima selaku rakyat sipil pembayar pajak.
Seseorang yang memang telah menjadi tugasnya untuk melayani masyarakat, hanya mengenal atau hanya berhak atas dua buah kemungkinan, yakni disebut sebagai “tidak bertanggung-jawab” bila melalaikan tanggung-jawab dan tugasnya melayani masyarakat, serta “itu sudah tugas Anda” bila sang “civil servant” melayani masyarakat secara tulus, ramah, proaktif, giat, penuh perhatian, rajin, dan bertanggung-jawab, serta tidak mempertontoan watak “jika bisa dipersulit, mengapa dipermudah?”.
Bahkan, dalam derajat yang lebih tinggi dan lebih ideal, bila sang Aparatur Sipil Negara / Pegawai Negeri Sipil tidak melayani masyarakat secara ramah penuh senyum, penuh perhatian, penuh tanggung-jawab, mudah dijangkau (tanpa harus pulang-pergi yang membuang-buang waktu, cukup “online” dan ditanggapi secara sigap), gesit, cekatan, maka dirinya tetap hanya dapat disebut sebagai “tidak bertanggung-jawab”. Mengapa?
Tidak lain karena secara politis pegawai institusi pemerintahan bersifat monopolistik terhadap layanan publik, sehingga tidak terdapat substitusi, terlebih mengedepankan asas meritokrasi kompetitif layaknya berbagai perbankan “plat merah” dibawah payung Badan Usaha Milik Negara maupun Badan Usaha Milik Daerah dimana bila para pegawai Badan Usaha Milik Negara / Daerah tersebut tidak menampilkan pelayanan yang paling opminal kepada publik umum, maka masyarakat pengguna jasa dapat semudah berpindah hati atau beralih menjadi “setia” pada penyedia jasa perbankan swasta lainnya. Karenanya, perbankan “plat merah” tidak akan dapat “sok jual mahal” bila mereka tidak ingin ditinggalkan oleh loyalitas konsumennya.
Selama ini, kalangan Pegawai Negeri Sipil maupun Aparatur Sipil Negara kita mengandalkan apa yang lugasnya disebut sebagai : “Seburuk apapun pelayanan kami, toh masyarakat tetap butuh kami, maka rakyat dan masyarakat yang menghamba pada kami, bukan sebaliknya”. Watak paradigma demikian tercermin kuat lewat wajah-wajah lembaga seperti Perusahaan Listrik Negara (PLN), Kantor Pertanahan, maupun instansi pemerintahan yang menerbitkan perizinan.
Sama halnya, umat yang menjalankan “perintah” agama, tidak ada sangkut-paut dengan isitlah telah berbuat “baik” terlebih mendapat “pahala”. Sebuah “perintah”, dasariah sifatnya ialah berwatak imperatif, keharusan (“ought to”), atau kewajiban, maka suka atau tidak suka tetap harus dijalankan. Tidak menjalankan sebagaimana mestinya, itu artinya “melalaikan” serta “menelantarkan”—dan sudah saatnya Pegawai Negeri Sipil yang menelantarkan (tidak menindak-lanjuti) warga di-kriminalisasi lewat kebijakan penalisasi hukum pidana, agar para Aparatur Sipil Negara kita serius dalam memberikan pelayanan kepada publik, bukan sekadar menjadi benalu, makan “gaji buta”, dan lintah penghisap “uang (milik dan dari) rakyat” [bukan “uang (milik) negara”]. Hanya hal yang sifatnya atau yang bersifat fakultatif semata, yang berpotensi membuka peluang disebut “baik” serta sejumlah “pahala” bagi yang melakukannya secara “kesuka-relaan”.
Sama seperti ketika para pelaku penyalah-guna nomor kontak kerja profesi penulis, dengan tujuan semata untuk “memperkosa” profesi penulis (yang mana sudah begitu jelasnya) selaku penjual jasa tanya-jawab seputar hukum (konseling hukum), alias meminta dilayani tanpa bersedia membayar SEPERAK PUN, mereka bersikap seolah tidak bekerja dan tidak menuntut upah atas pekerjaan mereka atau profesi mereka selama ini.
Ironisnya, sebagaian dari mereka berlatar-belakang buruh yang memiliki sengketa berupa tidak dibayarkannya upah ataupun pesangon mereka, namun disaat bersamaan menyuruh penulis untuk “makan batu”—penulis menyebut mereka sebagai “para munafik berjubah buruh”. Itulah yang membuat penulis, saat kini dengan sangat kontrasnya menjadi berbalik dari empati menjadi antipati terhadap kalangan buruh di Tanah Air, mengingat terlampau masifnya kejadian dimana profesi penulis “diperkosa” kalangan-kalangan yang mengaku sebagai buruh.
Dengan mulai menyadari dan memahami apa yang menjadi “hak dan kewajiban” kita terhadap pengguna jasa serta apa yang menjadi “hak dan kewajiban” pengguna jasa terhadap kita, maka ketika kita menjumpai pernyataan oleh pengguna jasa kepada kita, dengan kata-kata menyerupai “Terimakasih”, maka kita perlu menjawab tegas sebagai berikut, “Itu memang sudah menjadi TUGAS saya, Anda berhak untuk layanan yang terbaik.”—itulah jawaban yang paling rasional dan paling bertanggung-jawab, jika kita memang telah dibayar / digaji atas jasa dan layanan yang kita berikan. Hanya ketika seseorang menyuruh kita yang merupakan pekerja swasta untuk “makan batu”, yang barulah layak kita berikan “sumpah-serapah” terbaik yang mampu kita lontarkan.
Namun, ketika kita tidak digaji sebagai seorang “civil servant” juga tidak bersedia seperak pun untuk membayar tarif konsultasi namun sekonyong-konyong tanpa rasa malu suatu pihak “memaksa” bahkan menuntut agar dilayani oleh seorang konsultan dan hanya bersedia membayar dengan semudah melontarkan kata-kata “terimakasih”, maka inilah jawaban paling logis yang sebetulnya tidak perlu sampai dilontarkan terhadap orang-orang dewasa berakal sehat (kecuali dirinya sakit akalnya sehingga “sudah putus iurat malunya”), yakni:
“Terimakasih? Sejak kapan kata ‘terimakasih’ dapat direbus dan dimakan? Mengapa tidak Anda sendiri saja yang bekerja untuk kami, namun tanpa diupah, dan mengapa juga tidak Anda sendiri saja yang memberi makan diri Anda dan keluarga Anda dengan ‘BATU goreng’? Anda menyuruh saya makan BATU? Silahkan Anda ‘mati’ atau setidaknya masuk ‘tong sampah’. Anda ‘mati’ sekalipun, apa urusannya dengan saya?”
Gaibnya masyarakat di Indonesia, ketika para kalangan penyalah-guna dan “pemerkosa” profesi penulis diberi respons oleh penulis bahwa mereka semestinya merasa malu karena menyuruh penulis “makan batu”, alih-alih benar-benar malu dan meminta maaf, mereka justru “lebih galak daripada korbannya”. Luar biasa, tidak punya malunya dan betapa tebalnya wajah sebagian kalangan masyarakat di negeri ini.
Sebagai “hadiah” bagi para “putus urat malunya” tersebut, penulis selalu menutup pengalaman pahit demikian dengan mendoakan agar mereka benar-benar menjadi “pengemis” tanpa rumah dan tanpa pekerjaan, hidup dari mengemis-ngemis menggelandang dari satu tempat ke tempat lainnya dan tidur beralaskan tikar di trotoar jalan layaknya sikap yang mereka pertontonkan tanpa malu tersebut—bahkan pernah dan tidak jarang terjadi, memiliki sengketa pailit senilai 29 miliar Rupiah serta sengketa tanah senilai 15 miliar Rupiah, namun tidak bersedia membayar tarif konsultasi SEPERAK PUN—itulah fakta serta fenomena empirik yang penulis alami secara langsung selama berkecimpung sebagai profesi Konsultan Hukum di Indonesia, dan jumlah pelakunya telah mencapai ribuan pelaku.
Mereka layak untuk menjadi pengemis tulen, kerena mereka “you asked for it”. Apa pula urusannya dengan penulis, mereka “mati” atau tertabrak gajah hingga tewas terkapar sekalipun, tidak ada sangkut-pautnya dengan penulis. Sama halnya para Aparatur Sipil Negara yang bermental layaknya “premanisme pemeras”, Tuhan memiliki kewajiban moril untuk menghukum atau setidaknya menjadikan mereka sebagai pekerja rodi di “surga” (yang tidak ubahnya sebentuk neraka-menyiksa penuh siksaan bagi mereka), dimana para Aparatur Sipil Negara tersebut tidak dapat menuntut agar Tuhan menjalankan tugasnya untuk bersikap Tuhan-is, dimana Tuhan berhak untuk berkelit dengan berkata “You asked for it”.
Perlu kita ingat selalu ketika “libido” keserakahan muncul tidak terkontrol, bahwa tiada siapa pun atau sesuatu pun yang dapat benar-benar kita curangi dalam hidup ini, karena orang-orang paling bersabar di dunia ini sekalipun, tidak terkecuali (terlebih) Tuhan, bukanlah orang-orang bodoh yang dapat kita bodohi, eksploitasi, ataupun manipulasi. Ketika “birahi” demikian tidak mampu dikontrol dan dikendalikan, maka pastilah akan jatuh korban “pemerkosaan” oleh sifat-sifat dan sikap-sikap penuh keserakahan demikian.
“Banyak orang yang percaya bahwa segala sesuatu dapat diselesaikan dengan uang, namun mereka tidak sadar bahwa uang juga dapat menimbulkan banyak masalah.”
(Bhikkhu Tejanando)
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.