ARTIKEL HUKUM
Bila seseeorang warga menjadi korban kejahatan serupa seperti perkara-perkara pidana lain yang pernah ditindak-lanjuti kepolisian, kejaksaan, hingga terbitnya putusan pengadilan yang menjatuhkan vonis hukuman penjara bagi pelakunya, namun ternyata pihak kepolisian sama sekali tidak menindak-lanjuti alias mengabaikan dan menelantarkan aduan / laporan sang warga sekalipun dengan karakter kejahatan serupa, maka itulah diskriminasi dalam artian yang negatif, sumber dari ketidak-adilan.
Ketika seorang pengendara mengikuti banyak pengendara lainnya menerobos lampur lalu-lintas, lantas polisi lalu-lintas hanya menangkap dan menilang sang pengendara seorang diri tanpa menangkap dan tanpa turut menilang pengendara lainnya yang melanggar disaat bersamaan, maka itulah juga sumber dari ketidak-adilan, yakni diskriminasi dalam artian yang negatif. Apakah ada di antara kita, yang akan secara sukarela menerima perlakuan diskriminatif demikian? Faktanya, praktik berhukum di Negeri Indonesia tidak menerapkan daya ikat preseden, sehingga tidak jarang dijumpai disparitas antar putusan peradilan—karenanya dapat juga disebutkan, tiada keadilan yang mampu ditawarkan oleh sistem peradilan di Indonesia yang tergolong masih sangat primitif dan terbelakang.
Ditilang karena melanggar, adalah patut dan sewajarnya. Namun ketika sang pengendara mendapati adanya perlakuan diskriminatif demikian, terlepas dari abai bersalah atau tidaknya petugas lalu-lintas yang mengawasi dan menilang sehingga tidak seluruh pelanggarnya tertilang, perasaan telah diperlakukan secara diskriminatif menimbulkan perasaan diperlakukan secara tidak adil dan tidak patut. Jika saja, seluruh pengendara pelanggar turut ditilang dan ditindak, maka sang warga pelanggar tampaknya tidak akan terluka perasaannya karena diperlakukan secara diskriminatif “di depan mata-kepalanya sendiri”. Sama halnya, penindakan hukum terhadap tindak pidana korporasi yang seringkali tersistematis, justru hanya menjadikan salah satu pejabatnya sebagai tumbal sehingga merasa dikorbankan sehingga kesalahan pejabat lainnya seolah menjadi lepas begitu saja dari jerat hukum.
Dalam dunia politik, juga dikenal istilah sebaliknya, yakni apa yang lazim disebut sebagai “diskriminasi positif” semisal untuk kuota kursi minimum dalam kursi legislatif bagi calon anggota legislatif bergender wanita. Namun, disaat bersamaan tampak seperti “diskriminasi negatif” bagi calon anggota legislatif bergender pria yang merasa prinsip diskriminasi demikian telah melanggar “asas meritokrasi” dimana ajang pertarungan politik semestinya mengedepankan kemampuan serta kompetensi bukan “bagi-bagi jatah kursi” bernama kuota minimum bagi calon berlatar-belakang kaum wanita.
Jamak sebagaimana dapat kita jumpai dengan “mata kepala kita sendiri”, masyarakat Indonesia mengaku-ngaku “miskin” sekalipun sejatinya lebih dari mampu kondisi ekonomi keluarganya, sementara yang betul-betul membutuhkan subsidi dari pemerintah justru tidak mendapatkan subsidi yang semestinya, alias tidak tepat sasaran. Demikian masifnya jumlah Penerima Bantuan Iuran alias subsidi dari pemerintah, adalah “kutukan” itu sendiri, seolah bangga menjadi bangsa yang miskin dengan memiskinkan diri dan mentalnya sendiri.
Menjadi menarik kita pertanyakan, kondisi fenomena demikian ialah “diskriminasi yang positif” ataukah “diskriminasi yang negatif”? Positif bagi siapakah, serta negatif bagi siapa juga-kah diskriminasi semacam itu? Yang jelas, mereka yang memiskinkan mentalnya semacam itu, adalah orang-orang yang patut disebut “memprihatinkan” karena mentalnya sedang sakit, karena merasa bangga dapat disebut miskin demi diberi subsidi—alias merampas hak-hak warga lain yang lebih membutuhkan dan lebih patut mendapat subsidi dari negara.
Kini, penulis akan membahas sesuatu isu yang lebih sensitif, tetap dengan kerangka tema “diskriminasi sebagai sumber ketidak-adilan”, yakni menanggapi “kutukan” berbagai kalangan di Indonesia yang menyatakan bahwa Virus Corona di Tiongkok (seolah epidemik hanya terjadi di Tiongkok tanpa melanda negara-negara lainnya) adalah “azab dari Tuhan”. Jika demikian, mengapa di dunia global juga mengenal epidemi Virus Onta yakni virus dari hewan onta di Timur Tengah, apakah itu juga adalah “azab dari Tuhan yang sama”?
Luar biasanya sekali Bangsa Indonesia, sudah merasa menjadi seorang “nabi” yang bisa dan mampu berkomunikasi dengan Tuhan, dan terlebih lancang mencoba mencatut nama Tuhan seolah itu memang adalah “azab dari Tuhan” sebagai perkataan Tuhan. Pertanyaannya, bagaimana jika Tuhan tidak pernah berkata demikian, bukankah itu artinya Bangsa Indonesia telah melakukan fitnah besar terhadap Tuhan dengan mengandai-andaikan secara demikian lancang seolah sudah “pasti”?
Jika memang benar itu sebagai “azab dari Tuhan”, mohon berikan dan tunjukkan bukti pada penulis, Surat Kuasa dari Tuhan untuk Anda membuat pernyataan demikian. Apa jugakah hukumannya bagi aksi-aksi yang mencoba mencatut nama Tuhan, dan menjadikan nama Tuhan sebagai alat spekulasi seolah untuk dipermainkan secara tidak patut? Sayangnya, Tuhan tidak dapat menjadi pelapor untuk membuat aduan di kantor kepolisian untuk mengadukan pada pencatut nama Tuhan tersebut—berspekulasi dengan menggunakan nama Tuhan.
Penipuan “travel haji dan umroh”, pelakunya ialah sesama anak Bangsa Indonesia sendiri. Pelaku begal, kekerasan fisik, aksi-aksi penipuan, aksi-aksi pencurian, pencopetan, aksi-aksi asusila terhadap anak dibawah umur, peredaran obat-obatan terlarang yang merusak generasi bangsa, aksi-aksi intoleran radikalisme (virus-virus kemanusiaan, yang sangat membahayakan kemajemukan karena merongrong Pancasila sekaligus paling mengerikan), hingga perampokan, aksi-aksi korupsi berjemaah dimana pelakunya tidak dihukum mati serta tidak dimiskinkan, aksi-aksi premanisme, aksi-aksi pengrusakan sumber daya alam, aksi-aksi kejahatan dunia maya, lebih banyaknya penjahat yang diabaikan tidak ditindak bahkan dipelihara oleh aparat penegak hukum, dan berbagai aksi-aksi kriminil lainnya, apakah pelakunya ialah “Bangsa Tiongkok”?
Orang-orang Indonesia, ke Tiongkok atau berjumpa langsung dengan orang Tiongkok pun, mungkin belum pernah sepanjang dan seumur hidupnya, lantas mengapa kemudian orang-orang Indonesia demikian penuh kebencian dan penuh permusuhan mengutuk bangsa lain seolah-olah Bangsa Indonesia sendiri sudah benar “suci dan bersih” baik gaya hidup maupun cara hidupnya dari segi perilaku maupun dari segi kesehatan seperti tidak membuang sampah ke sungai, mencuci tangan sebelum makan, menjauhi produk tembakau, dsb?
Jika memang Virus Corona, betul adalah “azab”, maka mengapa tidak orang-orang Indonesia tidak menantang dirinya sendiri untuk pergi ke Tiongkok alih-alih mengindahkan “travel warning” untuk tidak pergi ke Tiongkok-China? Mengapa juga Bangsa Indonesia justru tampak panik luar biasa dan over-protected terhadap berita virus satu ini seolah-olah sebelumnya belum pernah ada epidemi virus serupa seperti SARS, kutukan virus Demam Berdarah dan Malaria mematikan yang menahun dan selalu merenggut nyawa warga Indonesia tiap tahunnya, virus Ebola di Afrika, HIV Aids, HPV (virus penyebab kanker serviks yang mematikan, dimana konon dalam setiap 1 jam jatuh korban jiwa 1 orang penderita), Virus Antraks, Flu Babi, Flu Burung, Virus Onta di Timur-tengah (MERS), dsb? Beruntunglah dikenal pula “Flu Burung”, karena bila tidak maka sang hewan ternak “babi” yang yang dijadikan “bulan-bulanan” kutukan segelintir kalangan.
Mengapa juga Virus Corona turut menyerang negara-negara lain selain Tiongkok yakni salah-satunya turut melanda Malaysia yang juga populasinya mayoritas beragama sama dengan populasi mayoritas di Indonesia? Mengapa juga orang-orang Indonesia panik serta menolak masuk warganegaranya sendiri yang dievakuasi dari China dan dikarantina oleh “sesama anak bangsa” alih-alih langsung dipulangkan ke rumahnya sendiri di Indonesia, jika memang itu adalah “azab dari Tuhan (khusus) untuk China”?
Bangsa Indonesia telah menikmati banyak barang-barang importasi dari China, menjadi begitu bergantung pada produk-produk China, terbantu oleh produk-produk China yang terjangkau dari segi harga maupun kegunaan pemakaiannya untuk kehidupan sehari-hari, namun justru adalah doa buruk berupa kutukan yang diberikan, menjelma “air susu dibalas air tuba”. Beranikah Bangsa Indonesia benar-benar mutlak menutup diri dari importasi produk asal China?
Dapat dipastikan, harga beras, bawang merah, buah-buahan, barang-barang elektronik, komoditas rumah tangga lainnya akan naik drastis meningkat tanpa terkontrol hingga terjadi kelangkaan barang seperti ketika kuota importasi bawang merah dihentikan oleh pemerintah sehingga terjadi kepanikan massal konsumen di pasaran Indonesia. Pasokan bawang merah pada pasar-pasar di Indonesia, berumber dari importasi Negara Tiongkok yang kini sedang diberi “kutukan” oleh Rakyat Indonesia.
Bangsa Indonesia sejatinya cukup patut merasa berhutang-budi terhadap kontribusi barang-barang “Made in China” yang selama banyak beredar di pasaran sehingga tiada terjadi kelangkaan produk di pasaran dan beragamnya pilihan ragam barang substitusinya. Bahkan, terdapat satu kabupaten di Pulau Jawa dimana mayoritas penduduk “pribumi” lokalnya mengandalkan kehidupan ekonominya dengan berjualan barang-barang produk Tiongkok.
Jika memang itu adalah kehendak Tuhan bagi rakyat Tiongkok untuk diserang wabah virus semacam Corona, maka mengapa Warga Negara Indonesia di China, harus dievakuasi kembali ke Indonesia, dan mengapa juga orang-orang Indonesia menjadi histeria panik penuh ketakutan untuk melakukan perjalanan ke luar negeri?
Jika perlu, tantang saja maut dengan pergi mengunjungi China, toh jika Tuhan tidak berkehendak menjadikan warga Indonesia terserang Virus Corona, maka tidak akan terjangkit sekalipun dengan gaya hidup sama kotor dan sama joroknya dengan keadaan di China. Apakah kondisi bantaran sungai, rumah-rumah kumuh, maupun pasar-pasar tradisional di Indonesia, lebih bersih daripada kondisi di Indonesia? Kondisi Beijing dan Jakarta, bagai “langit dan bumi”.
Mengapa juga banyak hewan ternak sapi di Indonesia yang terjangkit Virus Antraks sehingga tidak jarang diberitakan banyak diantara warga di Indonesia jatuh sakit akibat menyembelih dan memakan sapi-sapi yang telah jatuh sakit? Bukankah adalah lebih bodoh serta mencari penyakit sendiri, menyembelih dan memakan hewan yang sudah jelas-jelas sedang sakit? Dalam pandangan penulis, “azab” di Indonesia telah menewaskan jauh lebih banyak daripada kuantitas korban jiwa di Wuhan-China terkait epidemi Virus Corona.
Itulah akibat menantang maut, dengan seolah bermain-main dengan Tuhan, dengan berasumsi bahwa tanpa kehendak Tuhan maka tiada penyakit apapun bagi Bangsa Indonesia. Sekalipun pepatah telah berpesan, berani bermain api maka berani terbakar. Jika betul demikian, maka mengapa Rumah Sakit serta Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Indonesia tidak pernah sepi dari pasien yang mengantri hingga “mengular” setiap harinya? Mengapa lagi-lagi, pada gilirannya, rakyat yang harus menanggung resiko defisit BPJS Kesehatan sehingga pada muaranya terjadi peningkatan nominal harga iuran mencapai 100% kenaikan harga iuran bulanan?
Banyak di antara orang-orang Indonesia yang merasa demikian mampu mendikte dan “mencoba-coba” Tuhan (berkebalikan dari dogma Tuhan yang mencoba-coba manusia). Betapa tidak, jika Tuhan tidak berkehendak seseorang umatnya akan mati, maka sang umat tidak akan mati. Jika betul asumsi demikian adalah fakta, bukan sekadar asumsi, maka mengapa juga anak-anak kita di Indonesia dibawa ke Posyandu untuk diberi vaksin, diberi Jaminan Kesehatan Nasional, serta pemberian-pemberian lainnya oleh negara hingga semacam karantina produk hewan dan tumbuhan di bandara kedatangan? Mengapa tidak kita impor saja secara bebas, hewan-hewan ternak dari negara-negara epidemi penyakit menular hewan dan ternak? Mengapa juga kini pemerintah Indonesia memblokir visa masuk bagi turis asal China?
Jika orang-orang betul-betul “agamais”, percaya pada Tuhan yang mereka sembah dengan seyakin-yakinnya dan sepenuh-penuhnya yakin, maka untuk apa juga produk bisnis perusahaan “asuransi” berkembang pesat bak cendawan di musim penghujan di Indonesia? Untuk apa juga Warga Indonesia seolah begitu mengandalkan Jaminan Kesehatan Nasional? Bukankah, itu sama artinya Bangsa Indonesia sedang mencoba “membentengi diri” dari kuasa dan kehendak Tuhan-nya sendiri? Mereka yang betul-betul yakin atas ucapannya sendiri perihal Tuhan, tidak akan membentengi dirinya dengan dibuatnya karantina, vaksin, asuransi kesehatan, dan sebagainya—bila tidak, maka itulah yang disebut sebagai “kemunafikan”.
Jika memang betul, Virus Corona ialah “azab dari Tuhan” untuk Tiongkok, maka yang menjadi pertanyaan dari penulis, “Tuhan yang mana?” dan “Tuhan versi keyakinan yang manakah”? Mengapa juga Warga Negara Indonesia yang dievakukasi dari Wuhan-China kembali ke Indonesia, justru dimasukkan ke sebuah pulau untuk dikarantina alih-alih langsung seketika dipulangkan ke rumah dan kampung halamannya sendiri?
Mengapa, sikap Bangsa Indonesia, demikian “kekanakan”, seolah Virus Corona merupakan “virus terakhir” yang akan dikenal dalam sejarah umat manusia? Apakah “azab” dari Tuhan bernama Virus Corona ini, betul-betul akan mampu memusnahkan seluruh Rakyat China dari Tiongkok yang berjumlah miliaran orang penduduk? Bagaimana, jika nantinya, juga muncul virus versi baru yang mungkin mewabah serta epidemi muncul pertama kalinya di Indonesia?
Musibah, banyak wujudnya, bisa berupa epidemik wabah penyakit, hingga berupa musibah bencana alam seperti gunung meletus, tsunami, kekeringan / kemarau parah, banjir hujan ekstrim, gempa bumi, semburan lumpur, kerusuhan atau konflik komunal antar anak bangsa, korupsi merajalela—apakah kesmeua yang disebut terakhir demikian, belum pernah dan tidak sering harus dicicipi oleh Rakyat Indonesia?
Mungkin, pada saat itu, Rakyat RRC yang akan mengatakan, “itulah azab bagi orang-orang Indonesia”—menurut Tuhan versi mereka sendiri, tentunya, dan janganlah kita mengira Pemerintah China melarang kehidupan spiritual warganya, karena Bangsa China juga dikenal sebagai bangsa yang “agamais” yang tidak kalah “agamais”-nya dengan Bangsa Indonesia.
Antraks, virus ini dan virus itu, banyak terdapat di Indonesia sehingga dikenal banyak vaksin untuk mencegah wabah campak, cacar (yang bisa menjadi mimpi buruk bagi kalangan wanita), rubella, karenanya anak-anak di Indonesia merasa membutuhkan diberi “benteng diri” bernama vaksin. Mengapa juga dijual bebas alat kontrasepsi pencegah perpindahan cairan tubuh medium virus HIV? Mengapa ibu hamir positif HIV harus melahirkan bayi dengan cara caesar, bila memang kesemuanya adalah berdasarkan kehendak Tuhan? Janganlah mencoba menjadi seorang sosok “sok tahu” yang seolah tahu dan mampu membaca isi pikiran Tuhan, bisa “kualat” (terkutuk) sendiri nantinya. [Tambahan Penulis per Maret 2020 : Benar-benar terjadi, petaka di China menyebabkan ekonomi global dan di Indonesia tanpa terkecuali, turut anjlok. Virus Corona COVID-19 pada gilirannya pun turut menghantui Negara Indonesia dan telah jatuh korban, disamping memukul kehidupan ekonomi dan sosial warga penduduknya.]
Mengapa, seolah kita memandang negeri kita di Indonesia ini “bersih suci” dan “bebas hama” dari berbagai serangan virus yang telah ada maupun yang akan mungkin ada dikemudian hari? Mengapa segala ancaman virus yang ada di negeri kita sendiri tersebut, bukan dan tidak dipandang sebagai sebuah “azab”? Sekadar merujuk kembali sejarah, tahun 1951, Negeri Indonesia diserang epidemi luar biasa bernama Virus Cacar yang mematikan, tidak kalah menggemparkan. Sesama negeri yang pernah dilanda “azab”, janganlah saling mengutuk sesama negeri yang pernah di-“azab”.
Karenanya pula, seolah Bangsa Indonesia hendak menyatakan bahwa “vaksin adalah produk haram” karena “membentengi diri dari kehendak dan kuasa Tuhan”? Justru Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia (BPJS Kesehatan) mengalami defisit puluhan miliar Rupiah karena orang Indonesia banyak yang jatuh sakit dan gemar berobat (bukankah hanya orang-orang sakit yang butuh berobat?)—apakah fakta empirik riel demikian itu bukan sebentuk “azab” yang konkret di depan mata bagi rakyat Indonesia itu sendiri?
Apakah belum cukup jorok kehidupan orang-orang di Indonesia, dimana daging dan lontong berformalin bergentayangan di setiap pasar, daging ayam diberi pewarna tekstil, sayur-sayuran berpestisida yang tidak dicuci bersih oleh penjual makanan, gorengan minyak jelantah, minuman dan cemilan mengandung senyawa berbahaya sehingga tidak jarang tersiar berita anak-anak keracunan sehabis membeli jajanan kaki lima, piring-gelas hingga sendok tidak dicuci bersih sebelum dipakai kembali oleh konsumen lain, bahkan terdapat juga penjual air kepala hijau di pinggir jalan yang menjual “racun dikemas sebagai air kelapa” dimana konsumennya membayar mahal racun untuk diminum karena dikira air kelapa murni sebagaimana pengalaman pribadi penulis menghadapi ulah para pedagang tidak jujur di Indonesia.
Padahal, pada berbagai lembaga pemasyarakatan (Lapas) alias penjara di Indonesia yang sudah “kelewat over-kapasitas), narapidana yang selama ini banyak menipu dan menyakiti Rakyat Indonesia justru ialah sesama anak Bangsa Indonesia itu sendiri, bukan Bangsa Yahudi ataupun orang-orang Tiongkok. Mengapa seolah kita sebagai orang-orang Indonesia, lebih pandai dan lebih bersemangat untuk membuat ujaran kebencian penuh permusuhan yang parsial dan terkesan “kekanakan” sehingga memperlihatkan kebodohan cara berpikirnya sendiri yang sudah dangkal itu (seolah dirinya sendiri sudah benar dan sudah bersih)?
Akhir kata, sebagai penutup, pepatah telah mengingatkan, ketika kita menunjuk pihak lain dengan jari telunjuk kita, maka disaat bersamaan setidaknya terdapat tiga jari yang sedang menunjuk ke arah diri kita sendiri. Mereka yang gagal bercermin diri, sama artinya sedang menampar wajahnya sendiri dan memperlihatkan kebodohan dirinya sendiri. Bila terdapat diantara pembaca yang merasa tersinggung atas ulasan sejujur-jujurnya ini, maka penuliskan persilahkan untuk tersinggung sebebas-bebasnya—karena itu artinya Anda telah “merasa”, sehingga kemudian menjadi tersinggung.
Kembali kepada topik semula, hubungan antara diskriminasi dan ketidak-adilan, adalah sebentuk ketidak-adilan itu sendiri terutama ketika Bangsa Indonesia mengutuk “azab bagi China”, tanpa mau menyadari betapa negaranya sendiri kerap ditimpa musibah bencana alam, bencana kemanusiaan, maupun epidemi penyakit bahkan tercatat dua kali uji materiil undang-undang terkait importasi hewan ternak yang berpotensi terpajan penyakit hewan menular.
“Azab” yang sudah di depan mata, sebesar gajah, seolah tidak nampak. Namun semut di seberang samudera, ditunjuk-tunjuk, cerminan kebodohan cara berpikir bangsa ini sendiri, tidak logis, tidak mencerdaskan, serta kekanakan. Mungkin, disaat bersamaan, ketika terbit revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang membuat langkah gesit Komisi Pemberantasan Korupsi terganjal oleh Dewan Pengawas yang lebih menyerupai Dewan Pemberi Izin, Rakyat China akan berkata bahwa itulah “hadiah” terbesar (dari Tuhan, mungkin) bagi Bangsa Indonesia dimana para koruptor menggerogoti uang rakyat dengan riang-gembira tanpa hambatan lagi.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.