Dunia REALITA Versus Dunia DONGENG

ARTIKEL HUKUM
Antara Dunia Dongeng, Dunia Realita, dan Dunia Hukum
“Dunia realita” tidak akan memiliki “tertib sosial” (social order) bilamana tidak dibingkai dalam sebuah kerangka yang diberi nama “dunia hukum” (law as social engineering function). “Dunia hukum”, dengan demikian, sejatinya hendak membatasi fenomena “dunia sosial” yang “liar” (manusia sebagai serigala bagi sesamanya) untuk dipersempit lewat rambu-rambu normatif imperatif sehingga menjelma “dunia realita yang terkondisikan”. Sementara itu, “dunia sosial” yang tidak diberi rambu hukum, maka yang terjadi kemudian ialah “dunia chaos”.
Lalu, apakah “dunia hukum” identik atau dapat disamakan dengan “dunia dongeng”? Untuk itu, mari kita terlebih dahulu mengenaii ciri khas di balik penggambaran unik dari sebuah “dunia dongeng”. “Dunia dongeng”, ialah istilah yang merujuk pada suatu kondisi dimana segala sesuatunya serba “ideal”, proprosional, dimana seluruh tokohnya diletakkan pada tempat yang semestinya (orang jahat akan kalah, orang baik akan selalu menang, dimana kebenaran dan kebaikan akan selalu selamat serta hidup makmur-sehat-sentosa). Bersediakah Anda menyaksikan tayangan fiktif dimana tokoh baiknya akan kalah dan tewas mengenaskan dimana si jahat akan tertawa penuh kebagiaan di akhir kisah penutupnya?
Itulah yang paling menarik dari sebuah “dunia dongeng”, kebenaran akan dipastikan selalu menang, orang-orang baik akan selalu dapat dipastikan selamat apapun niat jahat tokoh-tokoh jahatnya. Karenanya pula, kita tidak pernah bosan-bosannya menyaksikan dan menjadi pembaca ataupun pemirsa dari kisah-kisah dongeng, mulai dari dongeng-dongeng klasik yang terus dikisahkan dan direproduksi dengan kemasan baru, maupun kisah-kisah fiksi lainnya, yang memberikan kita inspirasi sekaligus keberanian dan semangat juang—seolah orang-orang baik akan selalu menang dan selamat, dimana hasil “ending” kisahnya sudah dapat kita tebak akan berujung pada “happy ending”, apapun dan sesulit apapun masalah yang dihadapi tokoh protagonis baiknya.
Namun, ketika kita mengharapkan harapan yang serupa dengan kondisi di dalam “dunia dongeng” untuk juga terjadi pada “dunia realita”, maka kita dapat dipastikan akan menemukan benturan-benturan nilai serta konflik norma, rasa terkejut, rasa tidak percaya, kekecewaan, atau bahkan frustasi dan menjelma seorang “apatis” ataupun menjadi seorang “radikal” yang membenci dan memusuhi dunia realita ini yang akan dianggapnya sebagai seonggok sampah yang layak untuk dihancurkan.
Karenanya, “dunia dongeng” dapat juga diberi julukan sebagai “dunia utopia”—ia hanya ada di dalam alam khayal “dunia fiksi”, harapan, serta impian. Sesukar itukah, mewujudkan dunia yang menyerupai “dunia utopia” dimana keseluruh warganya berlaku jujur dan adil, tidak perlu mencari makan dengan cara menipu ataupun merampok makanan milik orang lain? Sebaliknya, dalam “dunia realita”, seseolah seseorang tidak dapat hidup tanpa menyakiti dan tanpa merugikan warganegara lainnya—yang seringkali bukan demi bertahan hidup, namun demi kepuasan akan keserakahan pribadi pelakunya yang mencari kekayaan lewat mengorbankan kepentingan dan hak-hak warga lainnya seolah dirinya sendiri yang paling penting dan lebih tinggi derajatnya dalam kehidupan ini.
Lantas, apa juga yang dimaksud dengan adanya “bentrokan norma dan nilai” ketika kita menggunakan “kacamata” dari “dunia dongeng” ke dalam “dunia realita”? Sebagai contoh, orang-orang yang menang di depan pengadilan, baik atas perkara gugatan perdata maupun perkara pidana, maka apakah dapat secara sederhana dan semudah itu kita tarik kesimpulan bahwa dirinya dapat dipastikan sebagai orang baik-baik? Apakah orang-orang yang selalu kalah atau bahkan divonis hukuman pidana penjara, selalu merupakan orang-orang jahat?
Bila kita berbicara dalam tataran “dunia agama”, para pemuka agama akan berkilah bahwa “si jahat akan dimasukkan ke neraka pada akhirnya setelah ajal dia menjelang”—yang sejatinya tetap saja hanya berupa harapan atau asumsi belaka, ketika seseorang merasa kecewa atas ketidak-adilan dalam “dunia realita” yang seolah memang tiada aturan ini kecuali kepentingan politis bagi pihak yang berkuasa secara politik maupun secara ekonomi.
Ketika kita sudah menjadi orang baik-baik, lalu menemui kekalahan demi kekalahan, bahkan orang-orang jahat menang dan menjadi pemenang atas kita, maka kita akan menemui dilematika yang dapat mendiskreditkan mental dan moralitas kita sendiri, seolah kita sendiri-lah yang merupakan tokoh jahatnya sehingga terkalahkan oleh orang-orang “domba berbulu musang” demikian. Obsesi atas “dunia dongeng” yang demikian ideal penggambarannya, dapat sangat kontraproduktif terhadap kesehatan mental kita karena akan sukar menerima kenyataan yang tidak pernah kondusif di negeri “tercinta” kita ini.
Telah kita ketahui pula, “dunia hukum” adalah bentukan “dunia manusia”, sehingga memiliki variabel terikat berupa niat baik para penyusun peraturan peraturan perundang-undangan maupun niat baik para aparatur penegak hukumnya. Ketika aturan hukum telah disusun secara ideal dan bagus adanya, namun penegakannya separuh hati, atau bahkan menyimpang dan dijadikan ajang “transaksional” lobi-lobi negosiasi-politis aparatur penegak hukum yang korup-kolutif dan menghamba pada pemegang kekuasaan, bahkan patut ditengarai merupakan semata “aturan hukum yang jahat yang dibentuk oleh parlemen yang jahat” seolah menjadi justifikasi atau alibi sempurna sebagai dasar hukum untuk pembenaran diri perbuatan jahat pelakunya, maka itulah “dunia realita”.
Karenanya, “dunia hukum” sifatnya murni, yakni bebas nilai, bebas intervensi, bebas campur tangan manusia. Pertanyaannya, mungkinkah “dunai hukum” ketika diimplementasikan dalam “dunia sosial” kita, menjelma bebas nilai? Fakta realitanya, praktik “dunia hukum” selalu sarat akan berbagai syarat eksternal hukum itu sendiri, seperti faktor politik, sosiologis, kriminologi, viktimologi, antropologi, hingga faktor agama, kultural, serta psikologis warganegara yang diaturnya maupun warganegara yang menyusun serta membuat pengaturan imperatif hukum.
Ketika kita mengidentikkan atau menaruh harapan sepenuhnya kepada “dunia hukum” dengan atau sebagai “dunia keadilan” itu sendiri, maka itulah kesalahan terbesar yang kita lakukan. Aturan-aturan normatif hukum, kerap kali digunakan sebagai “alat” (sarana maupun prasarana) bagi pemangku kekuasaan untuk mengukuhkan kekuasaan tempatnya berpijak, mengakar, dan membangun dinasti kekuasaan politis. Dengan demikian, aturan normatif hukum hanyalah alat negosiasi transaksional demi kepentingan politis, yang menghamba pada faktor politik, serta disetir oleh tendensi pelaku aktor politis maupun mereka yang kuat secara ekonomi.
Kontras dengan “dunia realita”, “dunia dongeng” tidak pernah benar-benar membutuhkan aturan hukum bentukan manusia, karena logika yang dibangun serta diberlakukan pada “dunia dongeng”, ialah logika linear sederhana sebagai berikut : 1.) yang baik selalu akan selamat pada akhirnya; 2.) yang jahat akan kalah pada akhirnya dan menerima hukuman lebih dari setimpal atas perbuatan buruknya; 3.) yang benar akan selalu menang pada akhirnya apapun pada mulanya terjadi; 4.) kisahnya selalu ditutup dengan manis penuh momen-momen indah yang sudah kita harapkan, alias “happy ending”.
Bahasa sederhananya, “too good to be true”. Karenanya pula, mereka yang selalu mengharapkan dapat menjadi jutawan tanpa berkeringat dan “banting tulang” dengan termakan oleh iming-iming yang sejatinya modus penipuan yang selalu kembali terulang serta selalu kembali jatuh korban serupa di Indonesia, sejatinya para korbannya tersebut lebih baik hidup dalam “dunia dongeng” di Negeri Utopia sana.
Yang benar akan menang, yang baik akan selamat, apakah itu “hukum” yang berlaku pada “dunia realita”? Hukum yang berlaku pada “dunia realita”, ialah “hukum evolusi”, yakni : “the survival of the fittest”. Sebaliknya, dalam “dunia dongeng” atau dapat kita sebut saja sebagai “dunia utopia”, tujuan utamanya bukanlah si benar akan menang ataukah kalah. Alih-alih terjebak dalam jebakan demikian, “dunia dongeng” ternyata menjadi memikat karena lebih ferfokus pada serangkaian momen menuju “happy ending” bagi tokoh-tokoh yang baik dan benar di dalam alur ceritanya.
Di dalam hidup, ia yang menang akan menjadi sombong dan lupa diri, dan ia yang kalah akan sedih serta sakit hati. Tetapi mereka yang tidak mencari menang atau kalah, yang tetap damai dan bahagia.”
(Bhikkhu Tejanando)
Dalam “dunia hukum”, menang tidak identik dengan kebahagiaan, karena kerap dijumpai koruptor dipenjara namun masih bisa hidup bahagia di penjara dan selepasnya dari penjara setelah menjalani masa hukuman yang tergolong singkat, atau perkara-perkara gugatan perdata yang tidak dapat dieksekusi sekalipun dinyatakan “menang” dan dikabulkan gugatannya (non-executable).
Singkat kata, “dunia hukum” identik atau sebatas pada tatanan dua kemungkinan, yakni “menang” atau “kalah”. Itukah yang dapat kita sebut sebagai dunia yang ideal, dimana satu pihak didudukkan sebagai pihak yang menang dan pihak lain sebagai pihak yang kalah. Dimana pula, yang kalah selalu diidentikkan dengan pihak yang salah dan buruk atau jahat.
Mungkin, opsi paling bijak yang dapat kita tempuh ialah tidak membenturkan antara “dunia realita” (tidak terkecuali “dunia hukum”) terhadap “dunia ideal” (alias “dunia dongeng” yang penuh harapan atau hidup dalam “utopia”), memperbandingkannya, dan terobsesi dengan harapan kita agar kedua dunia tersebut adalah dunia yang sama tanpa terkecuali. Bersikap realistis artinya tidak terobsesi pada dambaan yang tidak dapat kita realisasikan dalam kenyataan, alias tidak memaksakan kenyataan.
Banyak orang menyembunyikan kejahatannya. Tetapi bila seseoang memiliki rasa takut dan rasa malu untuk berbuat jahat, maka tidak ada yang perlu ditakutkan ataupun disembunyikan lagi.
(Bhikkhu Tejanando)
Dalam “dunia dongeng”, terdapat satu pola yang menjadi ciri khas paling menonjol dari alur kisah ceritanya yang mudah kita kenali, yakni seluruh fitnah akan terurai tuntas, semua akan mengerucut pada kebenaran yang terkuak, dan menjadi terang-benderang, benar sebagai benar, dan yang salah sebagai salah. Fakta realita empirik yang penulis temui di lapangan, sekalipun banyak Sarjana Hukum yang mengerti betul aturan-aturan pidana terkait tindak pidana penipuan lengkap dengan segala sanksi ancaman hukumannya, tetap saja tidak sedikit di antara mereka yang justru menjadi aktor atau pelaku kejahatan seperti penipuan, dan kejahatan lain sebagainya—sekalipun mereka tahu itu salah, dilarang, ilegal, serta terdapat ancaman sanksi hukumannya.
Dalam “dunia dongeng”, yang berlaku ialah “hukum karma” (hanya saja hukum karma yang dipercepat keberlakuannya). Sementara itu dalam “dunia realita”, berlaku juga pengaturan “hukum karma” dimana semua individu tidak terkecuali memang menjadi subjek dari kekuasaan “hukum karma” maupun eksekutornya. Namun, “hukum karma” dalam “dunia realita” berjalan secara tidak efisien serta tidak efektif—dimana kadang baru berbuah “di waktu yang sangat kurang tepat” seperti pada kehidupan berikutnya dari si pelaku yang sama sekali tidak tepat guna untuk memberi “efek jera”.
Karenanya, tidak mengherankan bila Sang Buddha menyatakan bahwa “dunia realita” bukanlah dunia yang ideal, bahkan Sang Buddha tidak pernah menyatakan bahwa “hukum karma” adalah bersifat adil sehingga juga tidak layak untuk dilekati bahkan perlu diperjuangkan untuk dapat memutuskan hubungan diri kita dengan belenggu rantai karma yang selama ini mengikat kita, mempermainkan, dan memperbudak diri kita.
Karenanya pula, Sang Buddha seringkali menasehati para siswanya, agar mampu menerima kenyataan secara “apa adanya”, hidup bersama realita sebagaimana “apa adanya”, dimana seringkali “fakta selalu pahit” adanya. Perlu adanya keberanian untuk menerima kenyataan, secara “apa adanya”. Manisnya “dunia dongeng”, cukuplah menjadi “dunia utopia”, dimana kita tetap perlu tegar serta menguatkan diri agar mampu bertahan dalam “dunia nyata” bernama “dunia realita”—lengkap dengan segala kekurangan serta kelemahan cacat-cela “dunia hukum” kita.
“Dunia realita” yang bila bisa diperbaiki serta kita benahi lewat kontribusi nyata kita, itu baik. Namun, bila tidak, atau bahkan berjalan mundur diluar kemampuan kita untuk membendungnya, atau diluar kemampuan dan usaha terbaik kita, maka kita tetap perlu hidup berdampingan dengan “dunia realita”, dimana “lives goes and move on”, tanpa perlu menipu diri lewat terperosok dalam obat-obatan terlarang maupun barang madat lain yang membuat pengkonsumsinya menjadi mencandu.
Karenanya pula, kita janganlah pernah “sedikit-sedikit” selalu berkata “hukum”, seolah “dunia hukum” adalah dunia yang ideal menyerupai “dunia dongeng” dalam kisah-kisah fiksi pada berbagai novel bergenre hukum. Banyak hal yang tidak dapat diselesaikan dalam “dunia hukum”, sekalipun itu negara semaju Belanda ataupun Perancis dan negara-negara Inggris, negara-negara berbudaya demokratis tinggi seperti di Barat maupun Eropa. Bahkan, kerapkali hukum itu sendiri menjadi aktor dibalik “the perfect crimes”, dimana hukum menjelma “law as a tool of crime”. Itukah utopia yang kita tunggu dan harapkan?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.