Faktor Kecerdasan, yang Cerdik yang akan Menang, Bukan lagi Semata Kekuatan Otot

ARTIKEL HUKUM
Bertarung seperti Seorang Samurai yang Memiliki Keterampilan Cerdas Bersumber dari Otak dan Strategi, alih-alih dri Otot dan Tajamnya Mata Pedang atau Kerasnya Tulang Tinju.
Konsep “survival of the fittest” dalam dunia flora dan fauna adalah sama keberlakuan dengan prinsip dalam cara kerja “survival of the fittest” manusia zaman purbakala—namun menjadi berbeda tuntutannya dengan makna “survival of the fittest” dalam dunia manusia modern, yakni bertumpu pada kecerdasan otak, sebagai bagian dari evolusi manusia dimana kompetisi antar manusia bukan lagi bertumpu pada kekuatan otot belaka.
Dalam kisah fiksi zaman purbakala, digambarkan bahwa kaum “wanita purba” menyukai “pria purba” yang paling kuat dan paling maskulin (Disclaimer : Entah betul demikian atau sebaliknya, harap dimaklumi, namanya juga kisah fiksi). Namun, saat kini di era modern ini, apakah standar serupa masih berlaku dan relevan? Mungkin, jika pada zaman purbakala itu dikenal tempat-tempat semacam “shopping mall”, tampaknya para “pria purba” tersebut benar-benar akan dianggap “ketinggalan zaman” dan sukar menjadi rebutan para “gadis purba” yang mulai lebih mengenal jargon-jargon seperti, “Ada uang papa disayang, tak ada uang papa ditendang” (Disclaimer : Kaum “pria purba” mohon agar tidak tersinggung, penulis hanya mengurai realita empirik apa-adanya). Tubuh berotot, disebut “seksi” mungkin masih berlaku saat kehidupan dengan pola hidup “hedonisme” belum dikenal luas diantara kalangan manusia urban. Kini, kita harus me-redefinisi makna kata pria “seksi”.
Namun dalam ulasan ini, penulis tidak akan membahas cara pandang kaum wanita urban-modern perihal “pria seksi idaman”, juga tidak akan menyinggung perihal kriteria “wanita seksi idaman” (soal selera tidak dapat diganggu-gugat). Mari kita membahas hal yang jauh lebih serius secara lebih mendalam. Terdapat sebuah kisah penokohan, yang memberikan wawasan bagi penulis mengenai cara “bertarung” dengan cerdas, sekalipun pertarungan tersebut dalam ranah adu kekuatan fisik otot dan teknik berpedang. Yang kesatu ialah tokoh nyata yakni Miyamoto Musashi dalam novel karya Eiji Yoshikawa dan yang satunya lagi ialah tokoh fiktif-fiksi bernama Rurouni Kenshin-Batosai (di Indonesia lebih dikenal dengan nama serial animasi “Samurai-X”) yang diangkat ke versi layar kaca dengan tokoh orang nyata sebagai pemerannya.
Ketika Musashi dikisahkan bertarung dengan Perguruan Yoshioka yang terdiri dari ratusan petarung yang membuat jebakan secara beramai-ramai ditempatkan para pemanah dan samurai yang bersembunyi menunggu untuk mengepung sang target, Musashi tidak bertarung dengan bodohnya bertarung seorang diri semata-mata menggunakan kekuatan fisik dan keterampilannya bermain pedang. Musashi terlebih dahulu menganalisa situasi tanpa disadari oleh lawan-lawannya, sehingga dirinya mengetahui bahwa jebakan dan perangkap dibuat untuknya lengkap dengan segala detail lanskapnya, serta pertarungan tidak akan pernah terjadi “satu lawan satu”, namun “ratusan lawan satu”.
Musashi, dengan demikian, bertarung dengan cara pola : tebas, lari, sembunyi, beberapa detik kemudian melakukan perlawanan secara frontal, kembali kabur, lari, sembunyi, tebas, menghilang, muncul, menebas, lari, sembunyi, serangan mendadak, lari kembali dan bersembunyi dari kejaran, dan begitu seterusnya sehingga seluruh petarung dari perguruan lawannya mengalami kekalahan besar. Sehebat apapun seorang Musashi, menghadapi ratusan petarung samurai dari Perguruan Yoshioka yang termasyur, seorang diri, sama artinya mencari mati akibat kebodohan sendiri. Sekalipun harus bertarung dari segi kekuatan fisik dan pedang, namun bukan berarti fungsi dan peran utama dari “otak” manusia harus ditiadakan dan dinafikan.
Sama seperti ketika Musashi harus bertarung duel satu lawan satu melawan seorang samurai jenius-psikopat berpedang panjang yang sangat disegani dan ditakuti karena kesadisan dan teknik berpedangnya yang mematikan, bernama Sasaki Kojiro yang mampu menebas leher lawannya tanpa pernah disadari lawannya bahwa lehernya telah terpisah dari tubuhnya hanya dalam satu jentikan jari.
Saat hari duel tiba, Musashi justru tiba dengan sangat terlambat dari waktu duel yang telah disepakati sebelumnya, dan disengaja mengulur waktu oleh Musashi demi memancing keresahan serta gejolak emosi dari lawannya yang temperamental tersebut. Alhasil, saat mereka saling berhadapan, emosi yang labil dari Sasaki Kojiro membuatnya dikalahkan oleh Musashi hanya dengan bermodalkan pedang kayu dalam pertarungan yang sangat singkat dan seketika.
Musashi tidak pernah perduli, menghiraukan, ataupun “ambil pusing” dengan gunjingan banyak orang yang menunggu dan menyaksikan duel antara dirinya dan Sasaki Kojiro, bahkan sekalipun diduga akan melarikan diri atau takut menghadapi tantangan dengan tidak tiba tepat waktu pada lokasi duel. Yang terpenting, ialah MENANG. Yang memang akan diagungkan, yang kalah akan menjadi pecundang, itulah prinsip paling utama dari pertarungan. Dunia politik internasional pun memiliki prinsip yang sama, yang menang yang akan menuliskan sejarah.
Toh, aturan mainnya masih sama jantan-nya dalam aturan dunia samurai, yakni : satu lawan satu, dan memakai senjata pedang. Hanya saja, Sasaki Kojiro membengkalaikan fungsi otaknya. Sementara itu, Musashi menggunakan strategi yakni memberdayakan serta mengoptimalkan fungsi otaknya dalam bertarung. Sehingga, Musashi keluar sebagai pemenang secara jantan, karena tidak bermain curang seperti “keroyokan” ataupun menggunakan senjata api, maka dari itu nama baiknya dikenang, dijadikan panutan, dan tentu saja namanya tercatat dalam sejarah hingga saat kini.
Karenanya juga, dalam sebuah pertarungan yang “fairness”, apapun itu, entah pertarungan tinju “western boxing” maupun ala “Muay Thai” di atas sebuah ring tinju, pertarungan Wing Chun ala “Ip Man’ yang legendaris (guru dari Bruce Lee), pertarungan Karateka, Taek Kwon Do, maupun pertarungan antar samurai, bukan hanya pertarungan dengan dua buah aturan main, namun : 1.) satu lawan satu; 2.) menggunakan senjata yang setara dan proporsional antar pertarung; dan 3.) menggunakan fungsi atau kapasitas OTAK yang diberdayakan secara efektif serta tepat guna.
Mereka yang justru melupakan kebolehan memakai “otak” alias “kecerdasan”, “kepandaian”, atau “kecerdikan”, memang sudah sejak semula divonis akan menemui kejatuhan dan patut dikodratkan dan ditakdirkan untuk keluar sebagai “pecundang”—dan sudah selayaknya menjadi “kalah akibat kebodohannya sendiri”, bukan karena lawannya lebih kuat. Siapa juga yang atau aturan mana yang melarang Sasaki Kojiro untuk menggunakan “otak”-nya ketika menghadapi duel melawan Musashi? Jangan pernah lupakan organ terkuat dan tervital dari diri kita seorang manusia, yakni kekuatan “otak”, alias kecerdasan atau kepandaian itu sendiri.
Kisah kedua, masih seputar kehidupan samurai berpedang di zaman ke-Shogun-an, tepatnya para era Meiji di Jepang, ialah kisah manga-animasi yang diangkat ke layar kaca dengan pemeran aktor manusia nyata, yakni kisah Kenshin “sang Batosai” yang tentunya dikenal luas dan populer, tidak terkecuali diantara kalangan anak-anak muda pada tahun 2000-an. Yang menarik dari penggambaran kisah versi layar kaca dari Kenshin ialah, tidak dipertontonkan kemampuan perang frontal dari “sang Batosai” yang mampu membantai ratusan lawan dalam medan pertempuran, namun kecerdikannya untuk “menarik-ulur” kondisi pertarungan, alias dikondisikan oleh sang Kenshin, bukan didikte cara main atau gaya permainan lawannya.
Dalam pertarungan dengan “musuh bebuyutannya” di sebuah lokasi pertarungan di hutan, sang lawan bertarung dengan gaya serangan frontal, sementara itu Kenshin justru berkelit dengan seolah-olah “kabur” alias melarikan diri dari lawannya, dengan gesit berkelit menuju rerimbunan pepohonan dan lebatnya hutan untuk “bersembunyi”. Tentu saja, pada akhirnya siasat dan strategi “bertarung secara cerdas” oleh Kenshin yang sukar ditebak oleh sang lawan yang hanya mengetahui cara bertarung secara frontal, membuahkan hasil, lawannya jatuh tersungkur sebagai hasil akhirnya dari pertarungan itu. Adakah diantara para penggemar Kenshin, yang menyatakan sang “jagoan” telah bersikap “pengecut”, dan tidak kuat sepenuhnya sebagaimana penggambaran dalam versi animasinya, karena sempat melarikan diri dari lawannya ketika beradu teknik berpedang?
Justru itulah yang membuat kisah Kenshin versi layar kaca, menjadi tampak lebih relevan dan rasional dengan kehidupan nyata, ketimbang membandingkan dengan sosok penggambaran citra Kenshin yang “serba tidak terkalahkan” dalam pertarungan frontal “membuta” dalam versi “manga” atau versi komik dan animasinya. Penggambaran dalam penokohan Kenshin versi layar kaca, sangat realistis dan masih meninggalkan kesan serta menorehkan ingatan kuat dalam benak penulis, sekaligus menjadi inspirasi dan pembelajaran utama yang perlu para pembaca maupun penulis pelajari serta terapkan.
Mundur dan berkelit, menghindar, berlari berputar, mengelak, bukan artinya sudah kalah. Ada kalanya kita perlu mundur satu langkah untuk dapat maju satu langkah, atau untuk menghimpun momentum guna melompat lebih jauh ke depan. Mundur dan berlari berkelit sebagai cara yang dianggap atau diasumsikan sebagai sebentuk sikap “pengecut”, maka itu akan menjadi pemikiran yang merugikan lawan kita itu sendiri—lebih tepatnya, cara berpikir seseorang dengan kapasitas berpikir yang dangkal. Biarlah yang menyaksikan berkomentar sesuka mereka, toh yang akan menderita kekalahan adalah diri kita selaku “pemain lapangan” bila tidak menggunakan strategi dan kecerdasan “otak” ketika bertarung duel dengan lawan yang kita ketahui lebih unggul dalam beberapa aspek daripada kita.
Dalam sejumlah pertarungan “jalanan” (street fighting) dengan berbagai warga di Jakarta yang lebih kerap seperti warga “preman” dengan aksi premanismenya baik di jalan umum maupun di lingkungan perumahan, sudah berulang kali bingkai kacamata yang penulis kenakan, rusak terkena pukul oleh para warga pria Jakarta yang menyerupai “preman” ini—tentunya tanpa mau untuk bertanggung-jawab selain sekadar mudahnya mengumbar “gimmick” akan bersedia mengganti kerugian atas luka maupun kerusakan yang mereka timbulkan—akibat penulis dahulu kala tidak pernah bertarung dengan menyertakan ramuan “otak”, semata frontal linear “membuta”, hanya tahu maju, bukan “mundur untuk maju” yang tidak pernah penulis kenal jauh sebelum itu. Pola “primitif”, tidak kenal kata mundur dan tidak berkelit agar dapat disebut sebagai pemberani dan handal ataupun petarung yang “jantan”.
Sehingga, pernah suatu ketika, tatkala penulis mulai telah menyadari filosofi pertarungan Miyamoto Musashi serta Kenshin (versi layar-kaca), ketika penulis “dikeroyok” oleh beberapa preman kulit putih bersama-sama dengan anak buahnya yang merupakan para preman “pribumi” berkulit hitam, di sebuah daerah perumahan atau kawasan pemukiman di Jakarta, seketika penulis menyadari bahwa posisi penulis tidak memungkinkan untuk bertarung, karena proses kejadian pengeroyokan terjadi secara mendadak tanpa deklarasi ataupun peringatan untuk memulai pertarungan apapun, dan saat itu penulis sedang mengenakan kacamata. Maka, penulis hanya membiarkan para pengeroyok tersebut berulang-kali memukuli tubuh penulis hingga terluka dan berdarah, namun yang terpenting dari semua itu ialah penulis tidak melawan dengan tujuan menyelamatkan kacamata di bagian wajah yang penulis kenakan pada saat itu.
Dalam kejadian lainnya, bila seseorang warga atau individu hendak menjadi bak preman, silahkan saja, namun mengapa harus menyerang mendadak, tiba-tiba, atau bahkan berpura-pura menjadi penonton lalu seketika ikut menyerang dari arah belakang, atau bahkan tanpa mengajukan tantangan “adu fisik” ternyata seketika melancarkan pukulan dan serangan, atau bahkan secara tidak “jantan” bermain curang dengan menggunakan senjata ataupun secara berkeroyokan, hal mana kesemua itu tidak pernah dapat disebut “hebat” terlebih dibanggakan, namun sikap “pengecut” yang memalukan, hal mana juga kesemua pengalaman demikian pernah penulis “cicipi” dan rasakan sebagai korban nyata. Siapa pun bisa berhasil dengan mudahnya menyerang dan menusuk orang lain dari arah belakang, namun hanya seorang “pengecut tulen” yang melakukan cara-cara tidak jantan demikian. Faktanya, semua preman menggunakan cara-cara tidak jantan memalukan demikian.
Fakta empirik demikian, membuat penulis menarik sebuah kesimpulan sederhana, bahwa ternyata semua preman adalah pengecut—dan itulah yang paling menakutkan dari sosok seorang preman, yakni pengecut (dapat seketika menggunakan senjata tajam ketika kalah, menyerang dari arah belakang, berpura-pura hanya sekadar menonton, cara-cara curang lainnya, dan lebih sering lagi “bermain” secara keroyokan). Tiada seorang pun dari para preman tersebut yang penulis olok-olok secara verbal sebagai seorang atau para “pengecut” pasca mereka menggunakan cara-cara tidak jantan demikian, mampu untuk berdebat. Mereka pun sadar, bahwa diri mereka tidak lebih dari seorang pengecut berbadan besar.
Menyadari bahwa sang pelaku yang menganiaya dan mengeroyoki penulis ialah kalangan pengusaha Tionghua yang kuat secara ekonomi dan dilindungi oleh aparat pejabat kelurahan setempat, serta demi keselamatan keluarga penulis, maka penulis memilih untuk memohon pada Hukum Karma untuk membuat pembalasannya. Benarlah, tidak sampai setengah tahun berlalu, gedung tempat usahanya yang mengubah alih-fungsikan wilayah perumahan sebagai tempat usaha berskala besar yang mengganggu ketenangan warga penduduk setempat di daerah pemukiman penulis berdomisili, mengalami kebakaran gedung usahanya.
Kini, bila kembali menghadapi pertarungan fisik yang tidak terhindarkan, maka penulis tidak akan pernah menggunakan gaya pertarungan frontal ala “IP Man” yang sangat tidak realistis dan cenderung membodohi publik karena semata frontal—hanya beberapa bagian adegan dari pengisahan layar kacanya yang mencapai empat buah serial yang menggambarkan “IP Man” menggunakan teknik serang-lari-kabur-serang-lari-kabur-serang, selebihnya pertarungan jenis frontal linear “membuta” ala “1 lawan 10 karateka sabuk hitam”.
Bagus jika kekuatan tinju Anda atau tubuh Anda lebih besar dari lawan Anda, namun penulis seringkali harus menghadapi dan berhadapan dengan preman-preman bertubuh yang jauh lebih besar dari postur tubuh penulis—harap maklum, penulis selama ini melakukan praktik latihan “Uposatha”, yakni puasa umat Buddhist yang hanya makan dua kali dalam sehari setiap harinya, yakni makan pagi dan makan siang tanpa makan malam. Sanggupkah para preman berbadan tersebut, menahan rasa sakit karena lapar maupun nafsu makan mereka? Mengapa juga para preman tersebut hanya berani terhadap orang-orang yang lebih kecil tubuhnya dari mereka, bahkan memakai cara keroyokan pula? (penulis menyebutnya sebagai “pengecut pangkat dua”)
Jika tinju Anda belum tentu lebih kuat dari lawan, maka gunakan dan andalkan kecepatan serta kegesitan tubuh Anda untuk berkelit, mengelak, menghindar, berlari menjauh, berlari memutar, berlari mundur untuk menerjang kembali, berlari demi memancing emosi lawan agar sang lawan terjungkal sendiri, dan berbagai strategi cerdik lainnya.
Namun, diatas kesemua itu, aturan paling utama bagi penulis, tentu saja, segera menjauh mencari tempat aman untuk mengamankan kacamata yang penulis kenakan. Barulah, aturan keduanya ialah, bertarung menghadapi lawan-lawan “preman” tersebut dengan menggunakan kekuatan dibalik “otak”. Sungguh adalah menyia-nyiakan, bila kapasitas “otak” kita tidak diberdayakan, dimanfaatkan, serta diolah.
Sialnya, ketika penulis tidak mengenakan kacamata, penulis hanya menyanggupi pertarungan “tangan kosong” melawan “tangan kosong”—penulis menyadari, tanpa berbekal kacamata, bertarung melawan preman pengecut yang menggunakan senjata tajam, sama artinya “mencari penyakit sendiri”. Beruntunglah, Hukum Karma selalu dapat menjadi saksi, juri, serta hakim sekaligus eksekutornya, sebagai tempat mengadu yang paling dapat penulis andalkan ketika segala kemampuan penulis ada kalanya membentur realita yang kurang menguntungkan posisi dan kondisi yang penulis hadapi. Mereka pikir, dapat benar-benar mencurangi kehidupan dan lari bersembunyi dari supremasi Hukum Karma?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.