PUTAR BALIK FAKTA Cerminan Sikap Pengecut, Tidak Berani Mengakui Apa Adanya, Terlampau Lemah untuk Berkata Jujur

ARTIKEL HUKUM
  Terdapat satu tipe jenis makhluk bernama manusia yang sangat membuat penulis merasa “alergik” dan seketika akan memandang rendah diri bersangkutan, yakni seseorang dengan kepribadian yang mudah mengumbar sikap-sikap “putar balik fakta”. Sikap-sikap yang mampu masuk hingga ke dalam ranah mengandalkan perilaku lewat ucapan berupa “putar balik fakta”, merupakan cerminan dari sebentuk budaya “mental penipu”, “mental miskin”, serta “mental tidak punya malu”. Janganlah merasa heran, bila dirinya dikemudian hari ditemui melakukan perbuatan-perbuatan buruk dan tercela—masalah “mental” yang bermasalah.
Ketika seseorang berbuat keliru, tidak jujur, mengambil apa yang bukan haknya, bahkan menipu, menyakiti, dan merugikan warganegara lainnya, namun berkelit ketika dimintakan pertanggung-jawaban, bahkan melakukan aksi “putar balik fakta” demikian, maka perilaku demikian sejatinya menyerupai melakukan tiga buah kesalahan secara berangkai, yakni: berbuat buruk / jahat, berkelit (dusta kedua), dan upaya “putar balik fakta” sebagai puncak sifat keburukan karakter pelaku yang bersangkutan.
Singkatnya, jangan pernah sekalipun “berkelit”, karena ketika seseorang berkelit, maka akan selalu membutuhkan / menuntut rangkaian dusta dan kata-kata bohong untuk menutupi kebohongan sebelumnya yang kita buat—menyerupai “lingkaran setan”, menjebak diri si pelakunya itu sendiri ibarat “kontrak mati” dengan sang “malaikat pencabut nyawa”. Karenanya, “berkelit” tidak pernah menjadi opsi ataupun solusi, namun menjadi akar masalah itu sendiri. Tiada hubungan yang harmonis bila landasannya ialah ketidakjujuran serta tiada akuntabilitas dan transparansi diri (integritas itu sendiri).
Sikap “putar balik fakta”, membuat pelakunya menyerupai orang-orang dengan mental “tidak punya malu”. Betapa tidak, sekalipun fakta sudah berada di depan mata demikian terangnya (bahkan sudah di depan “hidung” sang pelaku dan sudah tidak lagi dapat terbantahkan, karena bila tetap dibantah justru akan membuat terlihat “konyol” diri pelakunya sendiri), namun dirinya lebih sibuk berkelit dan ajang “maling teriak maling”. Mengherankan memang, seorang penipu dapat merasa berkeberatan dan melakukan komplain ketika dirinya sendiri tertipu. Bukankah, seorang penipu memang sudah selayaknya “mencicipi” bagaimana rasanya menjadi korban penipuan? Mengapa dirinya merasa berhak menipu orang lain sementara dirinya sendiri akan berkeberatan dijadikan korban penipuan serupa?
Bila fakta sudah terang-benderang, namun masih juga berkelit atau bahkan melontarkan tuduhan lewat aksi “putar balik fakta”, sama artinya si pelaku menyakiti korbannya untuk kesekian kalinya, bukan lagi satu buah peristiwa kejahatan—namun seketika menjelma serangkaian kejahatan “berantai”. Sejatinya hanya orang-orang bodoh yang menerapkan strategi berkelit dan “putar balik fakta”, karena membuat keadaan makin memanas, ibarat menyiram api ke dalam bara api.
Aksi berkelit dan “putar balik fakta”, membuat wibawa serta reputasi pelakunya merosot hingga jatuh ke titik nadir di mata para korbannya, alias cerminan betapa tidak berintegritas diri yang bersangkutan karena dapat dengan mudahnya melontarkan kata-kata penuh fitnah, berkelit, hingga ajang “putar balik fakta” secara vulgar—sama sekali tidak “elegan”. Adalah tidak logis, upaya berkelit dan “putar balik fakta” dianggap dapat menutupi fakta dan menghapus segala kesalahan sang pelaku—penulis menyebutnya sebagai “asumsi semu yang konyol”, cerminan dari kedangkalan berpikir sang pelakunya itu sendiri.
Mengapa juga, alih-alih mengakui kesalahan, meminta maaf pada korban, dan memperbaiki kesalahan, seolah begitu tidak “terjangkau” oleh para pelakunya? Karena itu dia, seperti yang telah penulis singgung di muka, “mental miskin” sang pelaku membuat dirinya demikian “miskin” serta “kreing” sehingga tidak memiliki sumber daya mental untuk mengaku dan bertanggung jawab, terlebih untuk melakukan introspeksi diri dan meminta maaf. Sungguh, kurikulum pendidikan kita pada berbagai sekolah perlu ditanamkan keterampilan untuk mampu bertanggung-jawab bagi para peserta didik—baik bertanggung jawab terhadap orang lain juga untuk mampu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Berkelit dan “putar balik fakta”, sejatinya membuat permasalahan kian keruh, menjelma benang-kusut yang dipastikan tidak akan dapat lagi diperbaiki, alias memperparah keadaan, “putus seputus-putusnya” jalinan relasi (karenanya, jangan pernah untuk mencobanya, sebetapa menggoda pun dorongan untuk melakukan aksi “putar balik fakta” yang selalu tampak menggoda bagi akal picik diri seorang pelaku picik). Hal sepele sekalipun, bila dibarengi anasir berkelit dan “putar balik fakta”, dapat dipastikan akan menjelma masalah besar karena pada gilirannya akan menyinggung perasaan sang korban.
Seringkali, ketika mendapati aksi berkelit dan “putar balik fakta” semacam itu, penulis akan melontarkan kalimat respons sebagai berikut: “Anda mau bilang kalau saya ini buta huruf dan tidak bisa membaca pesan yang sebelumnya Anda kirimkan kepada saya? Anda mau bilang kalau saya ini bodoh, tidak bisa memahami makna implisit kata-kata Anda yang mengandung niat buruk terhadap saya? Anda mau bilang kalau saya ini tuli, tidak bisa mendengar apa yang barusan Anda katakan kepada saya? Anda mau bilang kalau otak dan ingatan saya ini sudah pikun, sehingga dapat mudah melupakan apa yang selama ini menjadi perilaku Anda terhadap saya? Saya tidak butuh komentar atau pendapat Anda, saya bisa menilai sendiri maksud dan niat dibalik segala sikap Anda ini. Jika perlu, kita buka semua ini ke audiens publik umum, saya tantang Anda jika perlu!
Sikap berkelit dan “putar balik fakta” bukan berarti tanpa resiko bagi si pelaku itu sendiri, karena “segala sesuatu selalu ada harga yang harus dibayarkan”. Dalam praktik peradilan pidana, ketika seorang Terdakwa bersikap “berbelit-belit” saat proses persidangan terutama saat memberikan keterangan di hadapan Majelis Hakim, sebagai contoh, maka Majelis Hakim pada pengadilan akan memperberat vonis hukuman, dengan pertimbangan bahwa sikap “berbelit-belit” diri sang Terdakwa menjadi pertimbangan hukum yang memberatkan hukuman dan kesalahan diri Terdakwa. Sebaliknya, bersikap jujur-terbuka dan kooperatif selama proses persidangan, memang tidak menghapus kesalahan ataupun menjadi “alasan pemaaf” (janganlah meminta dan mengharap terlampau serakah seperti ingin lolos dari tanggung-jawab), namun setidaknya dapat meringankan vonis yang akan dijatuhkan oleh Majelis Hakim. Selalu ada penerapan kebijakan reward and punishment, yang tanpanya maka peradaban umat manusia yang mengaku beradab dapat bergerak mundur.
Resiko kedua, ialah ketika segala perkataan “kelit-berkelit” dan kata-kata mengandung rangkaian “putar balik fakta” diajukan ke hadapan audiens, setidaknya ke hadapan juri (yang netral serta objektif) atau penonton atau bahkan hakim di persidangan, maka sejatinya hanya orang-orang paling bodoh di semesta ini yang masih dapat merasa aman menerapkan strategi atau trik “berkelit” dan “putar balik fakta”.
Fakta adalah fakta, sejarah adalah sejarah. Fakta dan sejarah tidak akan pernah dapat dihapus, terlebih-lebih perihal “Hukum Karma”—diakui ataupun tidak diakui oleh pelakunya, diingat ataupun sudah dilupakan oleh pelakunya, diakui ataupun dipungkiri oleh pelakunya, diremehkan ataupun tidak diremehkan perilaku demikian oleh pelakunya, besar ataupun kecil, benar ataupun salah, perbuatan itulah yang akan diwarisi oleh pelakunya sendiri, sehingga sejatinya tiada yang benar-benar dapat kita curangi dalam hidup ini.
Seringkali, dengan sengit orang-orang yang melanggar hak-hak penulis melakukan aksi “berkelit” dan mempertontonkan betapa hebat dirinya berakrobatik “silat lidah” dengan lontaran demi lontaran “putar balik fakta” (dan disaat bersamaan memperlihatan “betapa bodoh dan dangkal dirinya”). Namun, ketika semua itu penulis lempar ke hadapan publik dan khalayak ramai, seketika diri para pelaku tersebut “menciut” perilakunya, ibarat kerupuk yang semula keras dan perkasa, menjelma seekor siput yang lunak, melunak dan tunduk, suaranya menghilang menjelma bisu hening, hingga “nyaris tidak terdengar”. Penulis menyebutnya sebagai “si jago kandang”, hanya berani ketika tiada orang lain yang turut menyimak dan memberi penilaian secara netral dan objektif.
Bercermin dari ilustrasi pengalaman demi pengalaman pribadi demikian, yang sudah cukup “kenyang” menghadapi orang-orang dengan watak serupa “putar balik fakta” demikian, penulis sampai pada satu konklusi atau kesimpulan pribadi, bahwasannya aksi “berkelit” dan “putar balik fakta” cerminan dari mental dari seseorang yang menjadi pelakunya. Mental apakah yang bekerja dan bertanggung-jawab dibalik benak maupun paradigma berpikir sang pelaku?
Ternyata, sang pelakunya terlampau “lemah” untuk sanggup menanggung sejumlah kecil maupun sejumlah besar tanggung-jawab, dipersalahkan, terkuak fakta, terbuka kedok / topeng wajahnya, terlampau ketakutan “dikuliti hidup-hidup”, terlampau gentar dipermalukan akibat perbuatannya sendiri, dan terlampau miskin serta kering untuk mau dimintai pertanggung-jawabkan. Dirinya bahkan terlampau “lemah” untuk mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Bahkan, dirinya sendiri terlampau “takut” untuk mengetahui siapa dirinya sendiri (seringkali, seseorang gagal untuk “bercemin”, sehingga seringkali orang lain yang harus memberi penilaian dan pendapat berupa “kritik” tentang diri seseorang lainnya). Dirinya bahkan alergi terhadap “otokritik”, sekalipun itu kritik yang “membangun” sifatnya.
High gain, high risk. Itulah resiko terbesar dari aksi “berkelit” dan “putar balik fakta”. Ketika para pelakunya tersebut menghadapi korban-korban yang kurang kuat dari segi logika berpikir, aksi “berkelit” dan “putar balik fakta” mudah sekali dilakukan dan seringkali berhasil lewat daya-guna mekanisme tipu-daya maupun “manipulasi emosi dan mental” para korban mereka. Namun, ketika mereka justru mencari dan berurusan dengan orang yang “keliru”, sama artinya para pelaku tersebut “mencari mati sendiri”—alih-alih berhasil mengeksploitasi dan membodohi orang lain (sang korban), dirinya yang justru akan “dikuliti” habis-habisan. Jika sudah demikian, siapa yang akan menyesal sendiri dikemudian hari?
Terkadang, para pelaku tersebut memang perlu dididik dengan cara “diberi pelajaran”, agar ada “efek jera”, sehingga dengan harapan para pelakunya tersebut akan belajar bahwa dirinya tidak akan mendapatkan keuntungan apapun lewat aksi “berkilah” dan “putar balik fakta” selain hanya semakin mempermalukan dirinya sendiri. Bila tidak, para pelaku tersebut akan menjelma “predator” yang selalu kelaparan untuk mencari mangsa-mangsa (jatuhnya korban) baru lainnya.
Lantas, bagaimanakah solusinya ketika menghadapi orang-orang “tidak punya malu” yang selalu pandai dan lebih sibuk untuk “berkelit” serta “putar balik fakta”? Kata kuncinya sebagai jawaban, ialah jangan berdialog dan adu “debat” secara “empat mata” dengan diri mereka, namun angkat isu dan substansi perbincangan sengit “perang kata” tersebut ke ranah publik, agar terdapat penonton atau pendengar lain (yang netral dan objektif) yang dapat menjadi juri, atau bila perlu dimoderasi oleh pihak ketiga, dan jika lebih perlu lagi dibawa isu perdebatan ke ranah peradilan untuk dapat diputus dan dinilai oleh Majelis Hakim pada pengadilan. Si dungu hanya akan mempermalukan dirinya sendiri ketika masih secara tidak logis berpikir dirinya akan terlindungi dan mampu lari-bersembunyi dibalik aksi “berkelit” serta aksi “silat lidah” bernama “putar balik fakta” (terlebih aksi vulgar seperti premanisme dan penganiayaan fisik, ketika otak kalah maka otot yang akan “bermain” bagi orang-orang yang belum beradab).
Secara pribadi, penulis menyebut perilaku demikian sebagai suatu jenis “penyakit mental” yang sukar disembuhkan, kecuali dirinya berhadapan langsung dengan orang-orang yang kuat secara logika dan cara bertutur yang tegas serta “tajam setajam silet” untuk meng-counter segala rangkaian kata-kata “berkelit” dan “putar balik fakta” yang justru bisa dibalik menjadi sebuah / sebentuk bumerang bagi diri si pelaku “putar balik fakta” itu sendiri. Ingatlah selalu pesan berikut: HIGH GAIN, HIGH RISK—bukan lagi “high risk, high gain”. Si dungu tidak akan mempu memperhitungkan resikonya.
Dibutuhkan jam terbang yang cukup terlatih serta teknik tersendiri dalam merumuskan kata-kata untuk mampu menghadapi aksi-aksi “berkelit” dan “putar balik fakta”—namun bukan berarti teknik counter demikian tidak dapat dipelajari, seiring pengalaman dan latihan, maka teknik untuk menghadapi orang-orang bermental “putar balik fakta” pun dapat diasah, dipertajam, serta dikuasai dan dapat dengan efektif melawan serta melakukan perlawanan.
Mungkin yang paling unik serta menarik dari kesemua fakta empirik demikian sebagaimana tidak sedikit telah penulis jumpai dan alami langsung, orang-orang yang seketika mampu untuk meminta maaf dan bertanggung-jawab ketika melakukan kesalahan (sekalipun tanpa diminta oleh korbannya), bahkan tanpa sedikit pun berkelit ataupun berkilah, cenderung bersikap dermawan dan murah hati dalam keseharian hidupnya. Mungkin karena mental dalam jiwanya “kaya” akan sumber daya, yakni : sumber daya kekuatan mental yang sanggup untuk mengaku bersalah dan dimintai pertanggung-jawaban, kaya akan kejujuran, kaya akan karakter ksatria, kaya akan tanggung-jawab itu sendiri, serta kaya akan integritas diri. Sebaliknya, jangan pernah mengharapkan sikap-sikap murah hati dari orang-orang yang lebih pandai “berkelit” dan lebih sibuk melakukan aksi “putar balik fakta”—buktikan sendiri sifat “mental kikir-miskin-pengemis” pelakunya.
Perilaku luar, baik perbuatan maupun ucapan, sungguh cerminan internal mental diri orang bersangkutan masing-masing, tidak lagi dapat terbantahkan. Dengan demikian, orang-orang yang tidak mampu bertanggung-jawab sungguh adalah orang-orang yang “miskin” (miskin secara mental), miskin jiwa keadilan, miskin empati, miskin simpati, miskin integritas, miskin harga diri, miskin kejujuran, serta miskin tanggung-jawab itu sendiri. Mereka sendiri, mungkin merasa “jijik” terhadap dirinya sendiri—tiada seorang pun mampu bersembunyi dari kejujuran internal kata hati kita sendiri. Nurani kita sudah akan membuat penilaian terhadap diri kita sendiri, karenanya tidak akan mampu kita menipu diri kita sendiri.
Seseorang yang betul-betul “hebat” dan yang benar-benar dapat dikatakan “berbobot”, ialah ketika dirinya tidak pernah merasa butuh untuk lebih sibuk “berkilah” terlebih mengandalkan aksi “putar balik fakta” (yang membuang-buang waktu serta energi korbannya), karena dirinya kaya akan sifat “bertanggung jawab” (penuh tanggung-jawab).
Apa jadinya, bila seseorang istri menikahi suami atau seorang anak yang memiliki seorang ayah yang yang tidak mampu untuk bertanggung-jawab, dan lebih sibuk “berkilah” serta lebih pandai “putar balik fakta” sehingga sang istri atau sang anak yang harus bekerja mencari nafkah dan memberesi segala kekacauan yang ditimbulkan oleh sang suami atau sang ayah? Mereka yang lebih pandai berkelit serta “putar balik fakta”, bahkan gagal untuk bertanggung-jawab terhadap dirinya sendiri, maka bagaimana mungkin diri mereka diharapkan dan diandalkan untuk mampu menopang beban dunia ini? Justru diri mereka menjadi ‘beban” bagi dunia itu sendiri—dimana bila mereka tidak pernah eksis di dunia ini sekalipun, dunia ini tidak akan pernah merasa kekurangan dan tidak akan menitikkan air mata, justru akan menjadi berita menggembirakan dan berita baik bagi semesta kemanusiaan. Sebagai pesan penutup, ketika kita membuat kekeliruan baik karena lalai atau kesengajaan, segera lakukan introspeksi diri (jangan menunggu terlebih dahulu ditegur atas perilaku kita), meminta maaf, dan bertanggung-jawab secara inisiatif pribadi, jangan pernah memperkeruhnya terlebih berasumsi dapat mengambil keuntungan diatas derita orang lain.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.