ARTIKEL HUKUM
Terdapat pengusaha minimarket berupa waralaba yang merajai seluruh kota dan seluruh wilayah dari desa hingga perkotaan, namun ada juga warung kecil yang hanya beromzet kecil hanya cukup untuk memberi makan beberapa kepala anggota keluarga sang pemilik warung. Terdapat industri yang menjelma grub usaha yang menyerupai dinasti kerajaan bisnis keuangan yang mungkin tidak akan habis harta-kekayaannya untuk “tujuh turunan”, namun ada juga “home industry” yang penghasilan hasil produksinya hanya cukup untuk membeli makan untuk hari itu juga tanpa ada sisa untuk ditabung.
Begitupula atau tidak berbeda dengan profesi lainnya, tidak terkecuali realita serupa tidak luput juga berlaku bagi kalangan profesi pengacara di Tanah Air—ada pengacara kelas “teri”, pengacara “abal-abal” alias gadungan, pengacara “mafia” bak preman (mudah kita jumpai pada ruang persidangan ataupun beberapa wajah kantor hukum), pengacara “makelar kasus” (dibayar mahal untuk keterampilannya melakukan suap-menyuap ketimbang pengetahuan ilmu hukumnya), pengacara kelas “kakap”, hingga pengacara “palugada” (apa elu mau, gua ada). Rentang penghasilan masing-masing kalangan profesi advokat, tidak pernah ada standar baku, karena memang tiada Peraturan Pemerintah apapun yang mengatur perihal Upah Minimum Lawyer—karenanya, bilamana terdapat laporan yang menyebutkan tingkat penghasilan seorang lawyer, adalah imajiner belaka sifatnya.
Baru-baru ini penulis membaca sebuah laporan yang menyebutkan angka nominal besaran penghasilan bulanan hingga total penghasilan dalam satu tahun kerja kalangan profesi Advokat di Tanah Air. Besaran nominal yang disebutkan dalam publikasi tersebut, cukup membuat terhenyak banyak pihak, tidak terkecuali bagi penulis yang merasa adanya kejanggalan laten seolah memungkiri fakta empirik-realita dengan keadaan sebenarnya dunia profesi hukum kepengacaraan di Indonesia, dan itulah fokus bahasan kita dalam kesempatan ini. Mari kita bahas bersama berdasarkan realita yang penulis jumpai dengan kata-kepala sendiri, bukan laporan “katanya” yang belum tentu laporan tersebut diterbikan oleh mereka yang berkecimpung langsung dalam dunia profesi berhukum.
Banyak diantara generasi atau anak muda kita, tertarik memasuki dunia profesi hukum karena iming-iming “gaji” atau penghasilan besar senilai ratusan hingga miliaran Rupiah sebagai seorang pengacara yang dikenal memiliki citra atau image sebagai “perlente”, “menaiki mobil mewah terbaru”, “ditemani asisten cantik”, “kantor mewah”, berdasi dan berjas mengilap, selalu memakai sepatu pantofel tersemir, bak selebritis. Singkat kata, pengacara seolah menjadi profesi menjanjikan yang demikian menggiurkan dan membuat “gelap mata” siapa pun sehingga pada gilirannya terjaring dalam “jebakan” jaring-jaring penuh godaan yang ditebar atau dikemas secara apik menggoda oleh berbagai pendidikan tinggi hukum yang membuka program ilmu hukum bernama Fakultas Hukum.
Alhasil, berbondong-bondong anak muda lulusan Sekolah Menengah Utama (SMU) mendaftar dan memasuki fakultas hukum, dan alhasil pula angka pengangguran terbuka fresh graduate Sarjana Hukum tergolong paling tinggi di Indonesia, mengingat lapangan kerja yang terbuka sangat sempit. Secara rasional dan fakta empirik, perusahaan-perusahaan besar sekalipun lebih banyak membutuhkan dan merekrut tenaga terampil lulusan Fakultas Ekonomi (calon salesman) ketimbang Fakultas Hukum—kondisi di daerah lebih ironis, Sarjana Hukum muda yang pulang ke kampung halamannya tidak mendapat satu pun lapangan pekerjaan terkait hukum pada perusahaan-perusahaan kecuali membuka kantor hukum sendiri—karena keterpaksaan, suatu fakta empirik yang penulis jumpai sendiri fenomena unik demikian.
Terbukti, dari tahun ke tahun jumlah peminat / pelamar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk lowongan yang dibuka oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia selalu tercatat sebagai lowongan dengan jumlah peminat terbesar, karena memang selama ini angkatan kerja yang terbuka bagi kalangan Sarjana Hukum sangat sempit dalam bidang swasta, dan hanya terbuka paling lebar dalam institusi Pegawai Negeri Sipil (PNS) seperti Kejaksaan, Kepolisian, Kehakiman, dan lembaga-lembaga dibawah pengawasan Kementerian Hukum seperti Lembaga Pemasyarakatan—namun itu pun jumlahnya tidak mencapai sebagian kecil dari seluruh angkatan kerja Sarjana Hukum.
Bukanlah karena institusi-institusi tersebut benar-benar diminati masyarakat angkatan kerja kita, namun tiada pilihan lain bagi jutaan Sarjana Hukum “menganggur” kita (tingkat pengangguran terbuka) untuk dapat mencari peluang pekerjaan hukum yang tersisa untuk mereka rebut dan perebutkan. Sejatinya, mereka adalah kaum yang “tersisih”—semula kita sepakati, bahwa persepsinya ialah penghasilan pengacara demikian menjanjikan, maka mengapa juga masih memilih memasuki dunia PNS yang upahnya “tidak seberapa” ketimbang berkecimpung dalam bidang bisnis korporasi swasta maupun membuka kantor hukum pengacara sendiri? Bukanlah maksud penulis untuk “menertawai” ataupun “merendahkan”, namun fakta terkadang selalu “pahit” adanya. Namun fakta adalah fakta, apa adanya, itulah kejujuran informasi terutama produk jurnalistik sebagaimana website yang penulis asuh ini.
Faktanya, banyak pengacara “pengangguran” (dalam arti harafiah sesungguhnya), kantor hukum yang gulung tikar, hingga pengacara yang pada gilirannya menyerah dan melakukan rasionalisasi dengan “banting-setir” menjadi “driver kendaraan berbasis daring online” karena dapur di rumah harus dipastikan tetap “ngebul” ketimbang membiarkan kantor hukum mereka hanya disinggahi lalat dan nyamuk sehari-harinya. Bahkan untuk sekelas kota besar seperti Jakarta, dapat dengan mudah kita jumpai kantor-kantor hukum pengacara yang kumuh, terkesan mengenaskan, dan tidak terawat disamping “mengerikan” kondisinya—sangat jauh dari bayangan fantasi kita perihal profesi pengacara yang kehidupan profesinya glamor.
Gambaran perihal kehidupan dan penghasilan kalangan profesi pengacara yang serba “WAH”, sejatinya ialah komoditas yang sengaja di-“umbar” dan di-“sponsori” oleh kalangan pemilik akademi atau perguruan tinggi hukum di Indonesia—bisnis lembaga pendidikan sekalipun dibawah payung yayasan-universitas, adalah bisnis yang paling menggiurkan, industri pencetak sarjana yang tidak siap pakai dan tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang terbuka bagi mereka. Karenanya, mengherankan bila demi sebuah teori, bukan ilmu praktis bernama keterampilan, seseorang harus membayar mahal semata untuk gelar “genit-centil-mahal” bernama Magister-Master Hukum maupun Doktoral-Doktor Hukum.
Tahukan Anda, banyak pengacara kita yang “menganggur”, bahkan hanya memiliki penghasilan jauh dibawah upah minimum seorang “sales”, hingga bahkan mengalami kebangkrutan dan ditarik oleh debt collector objek kendaraan yang mereka kendarai untuk pergi bersidang akibat gagal mencicil? Ternyata, kesan “glamor” belum tentu seindah yang kita bayangkan pada kenyataannya. Apakah fakta empirik ini pernah diberitahukan dan dibuka serta diungkap kepada publik secara terbuka dan se-transparan mungkin?
Tiada yang lebih jahat ketimbang “industri pendidikan tinggi hukum” kita, menjual dengan harga mahal sebuah “teori” yang sejatinya bisa dipelajari sendiri dan tidak benar-benar kita butuhkan saat mengimplementasikan profesi berhukum. Fakultas Hukum di Indonesia, lebih banyak membuang-buang waktu produktif generasi muda ketimbang memanfaatkan waktu yang ada dan berbiaya mahal untuk hal-hal yang benar-benar berfaedah—lihatlah fakta empirik berikutnya, tiada Sarjana Hukum fresh graduate yang siap pakai.
Secara data yang penulis himpun, dengan angka kasar, jumlah advokat di Indonesia hampir mencapai angka 50.000 kepala atau orang advokat bila kedua organisasi advokat terbesar di Indonesia kita himpun, sementara jumlah perkara yang masuk ke lembaga Mahkamah Agung RI, mencapai sekitar 20.000 perkara per tahunnya (dengan asumsi : setiap gugatan ke Pengadilan Negeri, dapat dipastikan akan ditempuh upaya hukum kasasi, karenanya jumlah perkara kasasi yang masuk ke lembaga MA RI dapat cukup mencerminkan total jumlah perkara di pengadilan setiap tahunnya). Artinya, satu orang lawyer belum tentu mendapat jatah satu perkara dalam setahunnya. Bayangkan fakta tersebut, maka Anda akan terhenyak untuk beberapa waktu lamanya, dan masih belum ada kata terlambat untuk mengurungkan niat Anda “membakar uang” untuk sebuah gelar Magister Hukum terlebih Doktor Hukum yang lebih menyerupai “buang-buang uang dan buang-buang waktu”.
Betul bahwa terdapat beberapa kalangan pengacara, baik pengacara pada kantor hukum maupun pengacara “in house” (corporate lawyer) yang memiliki penghasilan mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah per tahun-nya, tidak penulis pungkiri. Namun, semua itu hanya terkonsetrasi pada segelintir kantor hukum dan perusahaan di Jakarta. Praktis, di sejumlah daerah di luar Jakarta, angka demikian tergolong “fantastis” disamping tidak rasional—juga cenderung tendensinya menjerumuskan disamping menyesatkan khalayak. Dengan demikian, hanya kurang dari 0,01% dari jumlah pengacara kita yang benar-benar mengalami dan pernah mencicipi “mimpi indah” demikian. Selebihnya, hanya dapat “gigit jari”.
Dengan kompetisi yang demikian ketat sebagaimana gambaran di atas, saling berebut pangsa “kue” yang terbatas, strategi “banting harga” tidak dapat terhindarkan—oleh sebab jika tidak, masyarakat pengguna jasa pengacara akan berpikir dengan kalkulasi berikut: “JIka harus membayar ratusan juga untuk menggugat atau melawan gugatan, mengapa juga harus memakai lawyer di kantor hukum pinggiran ini, mengapa tidak sekalian saja mencari pengacara dari kota besar seperti Jakarta?” Alhasil, impian memiliki hidup “mewah” ala pengacara “glamour” hanya menjadi sekadar impian, mimpi belaka, jauh hayal dari kenyataan, jauh panggang dari api.
Untuk mampu meraih penghasilan sebesar itu, bukan berarti tanpa resiko. Sekali lagi, “high gain, high risk” (Note Penulis : Jangan pernah prinsip ini putar cara membacanya menjadi “high risk , high gain”). Untuk mencetak laba usaha kepengacaraan yang tinggi, tentu saja, idealisme harus digadaikan, sebagaimana para pengacara muda perlu meniru langkah Profesor Hukum Tata Negara (HTN) Yusril Izra Mahendra yang bahkan harus membela Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menggugat Presiden Joko Widodo—seolah sang Guru Besar HTN ini hendak berkata, paham Khilafah (menafikan pluralisme) dapat eksis bersamaan dengan Pancasila (kemajemukan). Namun hanya berselang beberapa waktu kemudian, saat berlangsung Pilpres (pemilihan umum presiden) 2019, sang pengacara kemudian menjelma “kutu loncat” dengan menjadi kuasa hukum sang presiden RI. Bandul terus bergerak, demi membela yang bayar (jika perlu siap mati demi membela yang bayar), idealisme “digadaikan” demi membela ALFAmart guna menggugat konsumen sekaligus donaturnya sendiri.
Tidak sedikit pula dapat kita saksikan, dari yang semula adalah komentator dan pengamat / penggiat anti korupsi, ketika banting-setir (mungkin akibat tergiur iming-iming citra mewah kehidupan seorang pengacara) menjelma menjadi seorang pengacara “pragmatis” karena tidak tanggung-tanggung, membela seorang terdakwa kasus korupsi, salah satunya Denny Indrayana dengan terdakwa kasus Meikarta. Dikemanakan segala idealisme miliknya sebelum ini? Apakah semua itu hanya sandiwara polesan bibir semata demi menaikkan pamor di mata publik?
Menjadi kuasa hukum (pengacara) kalangan koruptor, dinilai sebagian kalangan pengacara adalah cara instan memupuk kekayaan—dan memang diajarkan demikian dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), setidaknya PKPA yang pernah penulis enyam di waktu lampau. Praktis, hampir tiada satupun kantor hukum besar di Indonesia, yang menjadi besar tanpa membela para koruptor-koruptor, dimana uang hasil korupsi itu sendiri (uang “haram”) bisa jadi menjadi sumber pembayaran tarif sang pengacara dari kliennya yang notabene koruptor. Mengapa juga, pihak pengacara tidak turut dipidana dengan mengenakan pasal penyertaan “turut menikmati” uang hasil kejahatan?
Lihatlah juga praktik kartel harga oleh produsen kendaraan bermotor HONDA dan YAMAHA dalam mengeksploitasi pangsa pasar (konsumen skutik) di Indonesia (sudah menyerupai raksasa bisnis, namun ternyata kian besar kian serakah), sekalipun masyarakat dirugikan demikian amat sangat, tetap saja salah satu kantor hukum terbesar di Jakarta justru membela sang terhukum yang dihukum oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bahkan mengajukan upaya hukum hingga tahap kasasi terhadap vonis yang dijatuhkan oleh KPPU—dan disaat bersamaan melukai perasaan seluruh warga masyarakat di Indonesia selaku konsumen, salah satunya pihak penulis yang juga notabene selaku konsumen produk keluaran sang produsen pada tahun terjadinya kartel harga.
Pernah sekali waktu penulis masih seorang paralegal (pekerja magang) pada sebuah kantor hukum kepengacaraan di Jakarta, ketika penulis utarakan ketidak-sediaan penulis menyusun konsep surat pembelaan pihak “penjahat”, penulis justru mendapati komentar berikut dari sang pemilik kantor hukum: “Berarti kamu tidak profesional.” Mengapa, untuk dapat disebut profesional dibidang hukum, harus juga membela penjahat dan koruptor? Sejak saat itulah baru penulis sadari sepenuhnya, tiada idealisme dalam profesi pengacara di Indonesia. Semua dinasti bisnis kantor hukum kepengacaraan, dibangun dari gelinang darah korban masyarakat oleh ulah para klien yang dibela oleh sang pemilik kantor hukum.
Dalam berbagai pengalaman, penulis jumpai fakta yang paling menohok, yakni Corporate Lawyer pada berbagai perbankan, terutama perbankan negeri maupun perbankan swasta, dalam menghadapi berbagai gugatan debitor yang masif jumlah perkaranya (sehingga tiada hari tanpa persidangan), hanya mendapati upah sedikit diatas tingkat Upah Miminum Kota (UMK/R) alias “sedikit” diatas tingkat upah seorang Office Boy pada perkantoran. Miris, memang, namun itulah faktanya dan lazimnya yang dapat kita jumpai di lapangan.
Berhubung jumlah supply and demand antara jumlah angkatan kerja Sarjana Hukum dan lapangan profesi hukum sangatlah timpang, maka berlaku asas pragmatis : Daripada tidak bekerja sama sekali, hanya mendapat sedikit diatas Upah Minimum juga sudah cukup bersyukur. Karenanya pula, tidak mengherankan, bila kalangan pebisnis kita tahu betul, bahwa Sarjana Hukum adalah calon pekerja yang selalu siap dieksploitasi keringat dan nuraninya. Lihatlah, bobot kerja sama dan setara beratnya dengan para pekerja kantor hukum swasta, namun perihal besaran upah, hanya disetarakan sedikit lebih tinggi dari seorang Office Boy. Perusahaan-perusahaan swasta, hanya mengalokasikan remah-remah dana bagi pekerja hukum pada kantor mereka, dan lebih banyak membayar “labor cost” untuk pekerja administrasi dan Office Boy. Ironis, namun itulah faktanya di lapangan yang dapat kita jumpai di setiap sudut-sudut maupun pusat kota.
Pernah suatu ketika penulis menjumpai seorang Staf Hukum (Legal Staff) pada suatu perusahaan besar, dengan bobot kerja yang berat, bahkan menjadikan sang Legal Staff (dirinya seorang diri menjadi Legal Staff) sebagai “superman” yang apapun harus bisa menjawab dan dituntut untuk bisa dikerjakan dan diselesaikan, menjadi petugas “cuci piring” masalah-masalah yang ditimbulkan sang pelaku usaha (seringkali masalah yang dibuat-buat alias mencari penyakit sendiri namun orang lain yang harus membereskan dan bersih-bersih), bahkan diminta pula untuk “loyal” dengan cara menuruti segala keinginan manuver bisnis ilegal sang pelaku usaha, menjadi “bumber” (“kambing-hitam”) sang pelaku usaha bila sampai tertangkap tangan oleh penegak hukum, hingga untuk menjadi “tangan” bagi sang pelaku usaha melakukan hal-hal kotor seperti memecat karyawan lain secara menyimpangi prosedur hukum.
Ironisnya, dari sekian besar usaha sang pengusaha, dengan jumlah pegawai mencapai ribuan pekerja, dengan aset demikian besar dan bobot kerja demikian berat, jumlah Legal Staff pada perusahaan bersangkutan hanya ditumpukan pada satu orang Legal Staff, alias LLM (“lama-lama mati”)—dimana ironi kedua ialah, tingkat upah bulannya benar-benar hanya sedikit diatas upah seorang petugas kebersihan Office Boy di kantor tempat bekerjanya sang Legal Staff.
Penulis pun pernah mengenyam pengalaman serupa, dimana pengalaman-pengalaman serupa tersebut juga disuarakan oleh para Sarjana Hukum lain yang pernah berkecimpung sebagai Legal Staff pada berbagai perusahaan. Apakah sempat terpikirkan oleh mereka, alangkah baiknya tidak berprofesi dibidang Legal Staff, dimana Divisi HRD (Human Resource Development) bahkan memiliki banyak jumlah pegawai HRD sehingga bobot kerja tidak demikian berat dan tingkat upah pun sama-sama hanya selisih sedikit dari seorang Office Boy. Itulah bukti, kalangan pengusaha kita tidak pernah benar-benar “respect” terhadap kalangan pekerja Sarjana Hukum.
Karenanya pula, adalah tidak rasional bila mengharap kalangan pengusaha bersedia membayar mahal untuk sebuah jasa profesi Sarjana Hukum lainnya seperti pengacara. Bayangkan dalam benak Anda, bila perusahaan sang pengusaha berjumlah ribuan pengawai, namun dari seluruh pegawai perusahaannya tersebut hanya terdapat satu orang Legal Staff, maka apakah logis baginya untuk bersedia membayar mahal jasa pengacara? Dari pengalaman, mereka lebih memilih memakai “orang dalam” lewat aksi suap-menyuap untuk menyelesaikan masalah hukum, ketimbang menyewa seorang pengacara.
Dari pengalaman penulis pula, hal terburuk dari semua itu, seorang Legal Staff dipaksa atau diposisikan memang untuk dijadikan sebagai “tukang stempel”—dimana jika draf kontrak baku pihak rekanan sang pengusaha tidak di-ACC, akan dituduh divisi “marketing” sebagai menghambat kinerja perusahaan, sementara bila mudah di-ACC akan menjadi “kambing hitam” oleh berbagai divisi dan pemilik usaha ketika benar-benar terjadi skenario terburuk.
Seorang yang juga pernah mengenyam profesi Legal Staff serupa, kepada penulis pernah mengutarakan, daripada “tanggung” menjadi tangan bagi kepentingan pengusaha pemilik usaha untuk melakukan perbuatan-perbuatan ilegal dan jahat, lebih baik sekalian saja menjadi “orang jahat” bernama pengacara yang membela orang-orang jahat dan koruptor, toh sama-sama melakukan perbuatan “kotor” namun dengan level / tingkat penghasilan yang jauh “bagai langit dan bumi”.
Kini, jumlah kantor hukum menyaingi jumlah gerai minimarket. Di perkotaan seperti Jakarta, di setiap sudut-sudut perumahan dapat mudah kita jumpai kantor-kantor pengacara—yang mana ironisnya, tampilan kantornya sangat tidak meyakinkan karena kumuh, jauh dari kata bonafide, dan lebih menyerupai “sarang penyamun”. Bila memang tingkat penghasilan profesi pengacara demikian ideal, mengapa kondisinya demikian memprihatinkan? Daripada memalukan diri sendiri, mengapa tidak juga mencoba strategi membuka “Kantor Hukum Online” alias “Virtual Law Firm / Office” yang saat kini memang menjadi fenomena baru di negara-negara Barat?
Kembali pada tema utama kita, mengapa laporan atau publikasi yang menggambarkan tingkat penghasilan profesi pengacara seolah terkesan “mewah” demikian, tergolong “menyesatkan”? Pastinya akan timbul kecemburuan sosial rekan-rekan profesi pengacara ataupun profesi hukum lainnya, yang pada buntutnya akan menimbulkan ketidak-puasan. Efek berantainya, seorang hakim tidak akan puas atas gajinya, melakukan aksi jual-beli putusan, suap-menyuap. Jaksa melakukan transaksional perkara, polisi menjadi makelar kasus, dan aksi keluar-masuk karyawan hukum tergolong tinggi akibat ketidak-puasan.
Bila fakta-fakta empirik di atas belum tergolong “mengerikan” ceritanya, maka mari kita beralih pada fenomena “ancaman pembunuhan profesi pengacara” yang kini sudah di depan mata kita, yakni e-court dan e-litigation. Sebagaimana kita ketahui, fenomena tumbuhnya ecommerce telah banyak mematikan pelaku usaha “offline”, dan hal demikian tidak terkecuali terhadap pelaku usaha dibidang profesi atau penyedia jasa hukum, yakni salah satunya kepengacaraan.
Dahulu kala, mental paradigma berlitigasi itu “mahal”, yakni mahal dalam artian waktu yang terbuang untuk proses persidangan demikian memakan waktu dan berbelit-belit. Kini, semua birokrasi dan hambatan persidangan dipangkas dengan terobosan mekanisme evolusioner bernama “bersidang secara jarak jauh” bahkan dapat dilakukan dari rumah secara “online” sembari menyeruput segelas coklat panas.
Dahulu kala, sejak masih zaman manual—belum digital—dimana internet belum lazim dan belum cukup populer dijumpai di tengah masyarakat kita, kalangan pengusaha akan secara pragmatis membuat kalkulasi antara waktu yang akan mereka habiskan dan tersita bila mereka maju sendiri ke persidangan untuk menggugat dan untuk menghadapi gugatan, maka akan timbul angka sejumlah besar demikian. Maka, daripada membuang waktu dengan “cost” yang sama, alangkah lebih ideal menyewa seorang jasa pengacara untuk menjadi mewakili sebagai kuasa hukum. Itulah awal mula sejarahnya, mengapa profesi advokat dibayar mahal. Namun, itu adalah cerita masa lampau, hanya tinggal sejarah. Adakah fakta ini pernah diungkap kepada publik?
Kini, pada era keterbukaan informasi dimana draf baku gugatan, peraturan perundang-undangan, hingga Surat Edaran Mahkamah Agung yang dahulu adalah “rahasia” dan sukar diakses publik umum awam hukum, kini semua itu terbuka lebar segala informasi secara deras tanpa batasan, tanpa sekat ruang maupun waktu. Masyarakat umum, kini tidak lagi merasa persidangan dan lembaga peradilan dimonopolir oleh kalangan profesi pengacara.
Terutama, sejak era eCourt dan eLitigation, secara “biaya waktu”, “biaya perhatian”, “biaya energi”, terpangkas hingga ke titik level efisiensi yang tidak lagi rasional menghasilkan output berupa nilai nominal yang masih sama dengan beberapa dekade lampau. Bahkan kini, fenomena terbaru, banyak diantara klien penulis kemudian memilih maju sendiri ke persidangan untuk menggugat dan untuk melawan gugatan setelah semua data hukum dan analisa hukum penulis berikan pasca sesi konsultasi hukum yang hanya selama beberapa jam. Terutama, ketika telah mengetahui adanya era eCourt dan eLitigation, timbul pertanyaan pada benak klien penulis, membayar ratusan juta Rupiah hanya untuk jasa seorang pengacara bersidang dengan duduk santai dibalik sofa sebuah kafe? Mengapa tidak saya maju sendiri saja bersidang dari jarak jauh? Dengan demikian saya hanya butuh analisa hukum dari seorang konsultan hukum yang objektif memberi nasehat, prediksi, serta pandangan hukum.
Singkat kata, jika ingin tetap eksis dalam profesi hukum pada era modern yang serba maju-canggih dan cepat ini, maka kita tidak boleh terlampau “tamak” dan “serakah” sebagaimana beberapa dekade lampau. Semakin “serakah”, semakin cepat jatuh-terjerembab dan kehilangan motivasi (de-motivasi)—itulah yang paling berbahaya. Jangan lukai kecintaan terhadap profesi kita sendiri dengan membanding-bandingkan antara “si kecil” dan “si raksasa”. Menjadi kecil asalkan mampu menjaga “idealisme” demi dapat tidur dan menutup mata maupun menutup nafas selamanya dengan tenang, maka idealisme menjadi harta-karun terbesar kita, yang tidak dapat digadaikan demi uang sebesar apapun, sebagai mahkota sekaligus kebanggaan dan harga diri serta nilai diri kita sendiri.
Karenanya pula, buang jauh-jauh gambaran persepsi seolah profesi hukum adalah profesi yang glamor, dan nikmati saja prosesnya tanpa menuntut terlampau banyak, dan tidak juga manaruh harapan secara tidak rasional—karena, sekali lagi, zaman telah berubah, kita hanya dapat memilih untuk mengikuti dan menyesuaikan diri dengan zaman, ataukah untuk tergerus oleh perubahan dan kemajuan zaman, perlahan namun pasti zaman terus bergerak maju bukan stagnan terlebih bergerak mundur. Satu hal terakhir, harta tidak dibawa mati, namun Hukum Karma yang akan membuat kita harus membayar apa yang pernah kita curangi dalam hidup ini, terutama bagi mereka yang telah kehilangan idealismenya. Terlampau arogan sekaligus naif, bila terdapat pengacara yang berpikir dapat mendebat hakim dan eksekutor dari Hukum Karma.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.