Polemik Diktatoriat Aturan Hukum yang Dibuat oleh Pendahulu Kita yang Sudah Lama Meninggal

ARTIKEL HUKUM
Saat ulasan ini penulis susun, di Indonesia sedang marak serta mulai tumbuh menjamurnya berbagai kerajaan hingga keraton-keraton dengan berbagai model dan ciri khasnya tersendiri, mulai dari yang serius hingga yang menyerupai dagelan. Apakah tren demikian lengkap dengan euforia masyarakat yang menjadi pengikutnya, dapat disebut sebagai “makar”? Bila segala sesuatu dapat disebut makar, maka sejatinya bendera berbagai tim kesebelasan hingga bendera berbagai partai politik pun dapat disebut sebagai upaya makar karena tiada persatuan.
Istilah “makar”, tidaklah dimaksudkan untuk merujuk sebuah ideologi, namun dimaknai sebagai sebuah gerakan yang lebih mengarah pada perbuatan lahiriah untuk menumbangkan dengan cara kekerasan fisik, bukan dari segi menggulingkan tata negara maupun sistem pemerintahan dengan ideologi baru lainnya tanpa gejolak kekerasan fisik. “Makar”, lebih identik dengan “revolusi dengan pertumpahan darah”—namun bukanlah perihal makar yang menjadi fokus bahasan kita dalam kesempatan kali ini.
Bila Negara Kesaturan Republik Indonesia (NKRI) itu sendiri dibentuk atas dasar konsensus publik, menjadi diskursus menarik untuk menjawab pertanyaan : Apakah mungkin, tata negara dan sistem pemerintahan di Indonesia, kembali mewujud berupa kerajaan-kerajaan atau keraton? Memang belum pernah ada sejarahnya, negara berbentuk Republik kembali menjelma Kerajaan. Namun, kembali lagi, hukum tertinggi ialah “konsensus publik” itu sendiri.
Bila segenap rakyat menghendaki referendum untuk menghapus konstitusi Republik Indonesia lalu merubah bentuk negara Republik menjelma Kerajaan, tiada yang tidak mungkin dalam konteks pembicaraan perihal “konsensus publik” yang cair (liquid) sifatnya, tidak kaku / rigid. Apapun bisa terjadi dibalik sebuah “konsensus publik” (kita perlu belajar dari preseden lepasnya salah satu wilayah dari NKRI, yakni Timor Leste).
Ada pihak-pihak yang mengaku sebagai pakar hukum tata negara, menyebutkan bahwa adalah tidak boleh alias terlarang membuat kerajaan di wilayah Negara Kesaturan Republik Indonesia, karena founding father kita telah menetapkan Negara Kesaturan Republik Indonesia sebagai “harga mati”. Pertanyaan pertama dari penulis, jika negara berbentuk Republik itu sendiri adalah hasil dari “konsensus publik”, maka mengapa rakyat kita seolah dilarang dan terlarang untuk membuat “konsensus publik” yang menghendaki bentuk tata negara yang baru? Mengapa seolah generasi penerus menjadi “sandera” dari konsensus para pendahulu kita?
Sejatinya, istilah “Negara Kesaturan Republik Indonesia” terdiri dari tiga buah sub elemen pembentuk sistem ketata-negaraan, yakni: 1.) negara berbentuk kesatuan; 2.) negara berbentuk Republik; dan 3.) negara bernama Indonesia. Untuk nomor ke-1, negara berbentuk kesatuan, dapatlah kita bersikap konservatif dengan melestarikannya dari segala perubahan. Namun untuk butir ke-2 dan ke-3, mengapa konsensus publik seolah “ditabukan”? Bentuk negara sah-sah saja diubah, karena bentuk negara bukanlah “falsafah negara”. Pancasila ialah satu-satunya falsafah dari sebuah negara bernama Negara Kesaturan Republik Indonesia, dan falsafah atau pilar identitas negara bernama Pancasila itulah, yang benar-benar tidak dapat diubah dan baru dapat kita jadikan sebagai “harga mati” untuk turut kita wariskan.
Kini, mari kita garis-bawahi pada butir ke-2 dari unsur konsep “Negara Kesaturan Republik Indonesia”, yakni negara berbentuk Republik. Bila “konsensus publik” bernama referendum segenap rakyat Indonesia memang menghendaki adanya “Negara Kesatuan Kerajaan” atau bahkan berbentuk “Serikat Kerajaan” dengan sebuah “Kerajaan Federal”, mengapa tidak? Menjelma, sebentuk negara dengan kemasan baru bernama “Negara Kesatuan Kerajaan Indonesia” atau “Negara Serikat Kerajaan Indonesia”.
Mari kita beralih pada fokus utama dari topik yang hendak penulis angkat, yakni pertanyaan psikologis sebagai berikut : Mengapa juga, orang-orang yang sudah mati (para pendahulu kita) masih mengatur-ngatur serta memerintah orang-orang yang masih hidup (kita sebagai generasi penerus)? Sama juga, berbagai “norma bentukan preseden” dan tidak terkecuali norma peraturan perundang-undangan, dibentuk oleh para pendahulu kita yang bisa jadi kini telah berstatus “almarhum”, mengapa juga masih harus mengatur-ngatur kita yang masih hidup?
Banyak diantara anak-anak muda di era modern ini yang demikian “arogan”, menertawai praktik sembahyang kaum tradisional yang memasang lilin, dupa, serta persembahan buah-buahan di meja altar peringatan almarhum pendahulu serta leluhur kita. Mereka menyebutkan, “yang sudah mati masih merepotkan yang masih hidup?” Namun, bagai menerapkan “standar ganda” yang irasional, para anak-anak muda tersebut justru demikian tegas dan “kolot” (orthodoks) dalam menerapkan peraturan perundang-undangan yang dibuat dan dibentuk oleh para pendahulu kita yang juga mungkin sudah sejak lama  menjelma “almarhum” dibalik batu nisan bertuliskan “Rest in Peace” (yang maknanya ialah : tidak lagi mencampuri urusan dunia).
Sekadar menguji, bisakah untuk sekadar Anda sebutkan, siapakah nama founding father maupun founding mother pembentuk UUD RI 1945 yang masih hidup hingga saat kini? Itulah tepatnya, yang penulis maksud atau sebut dengan polarisasi pola berpikir terdistorsi yang tidak rasional, karena menerapkan dua standar untuk satu hal isu / topik pemikiran yang sama adanya. Penulis menyebut mereka sebagai, kaum yang tidak konsisten dalam pendirian.
Tidak terkecuali, perihal “budaya” alias tradisi itu sendiri. “Budaya”, tidak lain ialah simbol betapa “latah”-nya umat manusia, masih disandera kebiasaan buatan manusia yang telah sejak lama mati terkubur dan terurai menjadi unsur hara di tanah beribu-ribu tahun lampau. Warna merah untuk warna kebahagiaan, sementara putih atau hitam untuk suasana berkabung—kesemua itu adalah bagian dari tradisi, kebiasaan. Adakalanya, adalah tidak bijak bila kita sama sekali tidak memandang dan memperhitungkan nilai keberlakuan tradisi (norma sosial), sekalipun sifatnya tidak imperatif layaknya norma hukum. Ingatlah selalu pepatah, “lain ladang, lain belalang”—maka karenanya, kita tidak bisa secara arogan melawan ikatan budaya sosial antropologi warisan para pendahulu kita, sebagai bentuk penghormatan.
Kedua, janganlah pula bersikap arogan seolah kita tidak membutuhkan segala warisan itu. Banyak warisan ilmu pengetahuan dari para pendahulu kita. Tiada ilmu-ilmu terapan modern masa kini yang tidak dibangun dari sendi-sendi dasar ilmu-ilmu dan konsep ilmu yang sebelumnya ditinggalkan serta diwariskan oleh para pendahulu kita. Ilmu-ilmu modern, tanpa dibekali ilmu-ilmu warisan para pendahulu kita, tidak akan pernah muncul ataupun eksis. Karenanya juga, berbagai produk  aturan hukum peninggalan Hindia Belanda di Indonesia, sekalipun telah mencapai usia ratusan tahun Undang-Undang tersebut, masih juga memiliki nilai validitas dan daya ikat keberlakuannya, karena normatif aturan hukum juga termasuk dalam salah satu warisan budaya sosial, yakni tradisi yang terlembagakan bernama “hukum negara” itu sendiri. Silahkan saja bila terdapat satu diantara para pembaca yang cukup berani dan cukup arogan untuk menantangnya dengan mencoba menyimpangi aturan-aturan normatif peninggalan para pendahulu kita, maka dapat dipastikan akan menyesali perbuatannya sendiri terjerat oleh aparatur penegak hukum.
“Konsensus publik” yang telah “usang”, memang “mengunci” hajat hidup generasi penerus. Namun, bukan berarti tiada jalan keluar untuk mengubah keadaan. Sama seperti referendum segenap publik untuk merubah konstitusi negara, sebuah Undang-Undang sekalipun bukanlah mustahil, namun selalu niscaya, untuk diubah dan digantikan dengan Undang-Undang baru, yakni tidak lain tidak bukan “konsensus publik” itu sendiri. Sepanjang tiada “konsensus publik” baru yang mengatur dan menggantikan / menghapus “konsensus publik” terdahulu, maka “konsensus publik” terdahulu itulah yang paling “legitimate” dan sahih keberlakuannya—karena disaat bersamaan, diasumsikan “konsensus publik masa kini” masih menyatakan bahwa “belum saatnya atau untuk saat ini masih tidak perlu merubah norma bentukan konsensus publik terdahulu”.
Selama tradisi atau budaya tersebut baik, tidak menyakiti terlebih merugikan orang ataupun makhluk hidup lainnya, maka silahkan dilanjutkan dan kita wariskan. Toh, menurut hukum, “hukum waris” itu memberikan hak bagi ahli waris untuk menerima ataupun menolak warisan pemberian pewaris. Karenanya, tradisi-tradisi yang baik patut kita tetap ikuti, jalankan, lestarikan, praktikkan, serta wariskan bagi generasi penerus kita nantinya. Salah satunya ialah tradisi “norma-norma budi pekerti”. Namun, untuk tradisi-tradisi yang tidak baik, cukup kita sudahi sampai di sini saja. Bila kita tidak melestarikan tradisi “norma sosial” kita, toh akan terputus secara sendirinya dan tidak akan dikenal lagi oleh generasi penerus pengganti kita—hanya tinggal sejarah.
Demikianlah, sekalipun kita perlu menghormati peninggalan para pendahulu kita, namun kita sebagai generasi penerus perlu bersikap arif-bijaksana dengan tidak menjadi bangsa yang serba “latah” dengan mengadopsi seluruh tradisi tradisional peninggalan leluhur kita tanpa pernah tahu makna maupun tujuannya, tanpa mau mengetahui itu baik atau buruk, namun secara mentah-mentah dan bulat-bulat memakan serta melestarikannya, atau sebaliknya, menentangnya.
Sebagai penutup, kisah gambaran dari pengalaman nyata penulis berikut dapat cukup mencerminkan budaya “latah” bangsa kita—yang mungkin juga acapkali penulis lakukan tanpa penulis sadari, tidak tertutup kemungkinan itu. Suatu ketika, penulis mengendari kendaraan bermotor roda dua pada salah satu ruas jalan raya yang padat. Tanpa penulis sadari, kendaraan penulis melaju memasuki ruas jalan masuk menuju jalan pintu tol khusus untuk kendaraan roda empat.
Ternyata, saat penulis menghentikan laju kendaraan tatkala menyadari kekeliruan ini untuk berbalik arah, terdapat pengendara bermotor roda dua lainnya di belakan laju kendaraan penulis yang juga melakukan kesalahan serupa mengikuti kekeliruan laju kendaraan penulis alias “latah” saat berkendara. Kejadian demikian terjadi lebih dari satu kali, menegaskan pengalaman demikian bukanlah kebetulan belaka perihal fakta adanya “mental latah”.
Akhir kata, bisa atau tidaknya adalah bergantung pada kehendak dan konsensus segenap rakyat kita pada generasi masa kini, bukan lagi “diktatoriat” generasi pendahulu kita yang telah tutup usia. Kita pun jangan menutup peluang bagi generasi masa kini maupun bagi generasi di masa mendatang untuk menentukan nasibnya sendiri (the right of self determination). Peluang itu sendiri tetap ada, karena generasi masa lampau maupun masa kini, tidak punya hak monopolistik untuk menentukan nasib generasi masa mendatang.
Mungkin, kita perlu mengingat kembali definisi dari frasa “kedaulatan” dan “berdaulat”. Berdaulat, artinya kemampuan untuk menentukan nasibnya itu sendiri, yang tidak lain tidak bukan ialah berdaulat dari bangsa lain (faktor luar) maupun berdaulat dari internal bangsanya sendiri (faktor intern). Konsensus publik adalah bagian esensial dari “kedaulatan”—yang mana tanpanya, maka kedaulatan menjadi hanya sekadar jargon semata, tidak ubahnya terpenjara dalam bentuk “sandera” bernama “Undang-Undang yang (sejatinya bisa jadi) telah usang”. Bangsa yang merdeka, selalu adalah bangsa yang berdaulat, dengan menjadikan suara rakyat sebagai “konsensus publik” sekaligus pilar kedaulatan negeri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak eMoril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.