Pentingnya Memahami Konsep Dasar Ilmu Hukum, dan Cara Mengimplementasikan dalam Praktik Nyata

ARTIKEL HUKUM
Suatu waktu, klien dari penulis dalam sesi konsultasi sempat mengajukan pertanyaan hukum yang tampak sederhana, namun baru akan dapat kita jawab dengan menggunakan pengetahuan serta keterampilan berhukum, bukan dari meriset bunyi pasal peraturan perundang-undangan, akan tetapi dari analisa terhadap “konsep dasar” ilmu hukum. Bahasan ini sekaligus menjadi contoh paling mendasar serta paling konkret, dari betapa pentingnya memiliki pemahaman akan “konsep dasar” paling mendasar dari ilmu hukum.
Kapankah seseorang dapat terus ditagih atas hutangnya, apakah seumur hidup, terutama sejak telah terbit putusan pengadilan terkait sengketa wanprestasi kontraktual? Kadaluarsa hak menagih hutang-piutang, dalam hukum perdata, berlangsung selama 30 (tiga puluh) tahun. Pertanyaannya, 30 tahun terhitung atau dihitung dari sejak apakah? Ada atau tidak jawabannya dalam peraturan perundang-undangan, menjadi tidak relevan serta tidak menjadi terlampau penting lagi, sepanjang kita telah memahami “konsep dasar” dalam ilmu hukum terutama bagi seseorang yang berprofesi sebagai Konsultan Hukum dalam membuat analisa serta opini hukum demi kepentingan klien.
Namun baiklah, akan penulis ilustrasikan secara lebih ekstrimnya, yakni peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara tegas perihal terhitung sejak kapankah, kadaluarsa hak menggugat dan hak menagih dapat mulai dihitung tempo waktunya, alias terdapat adanya “lubang dalam hukum”, sebagaimana bunyi norma Pasal 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
Semua tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena lewat waktu dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan orang yang menunjuk adanya lewat waktu itu, tidak usah menunjukkan suatu alas hak, dan terhadapnya tak dapat diajukan suatu tangkisan yang didasarkan pada itikad buruk.”
Bisakah Anda menemukan jawaban terhitung sejak kapankah, kadaluarsa hak menagih menjadi gugur atau hapus? Bila kronologi peristiwa terjadi secara linear sederhana adanya, semisal tiada sengketa gugat-menggugat, dan tiada putusan hakim, maka jawabannya tidak membutuhkan serta tidak menuntut analisa hukum apapun. Namun, acapkali “konteks” suatu permasalahan hukum tidak pernah se-linear bunyi “tekstual” pasal berbagai peraturan perundang-undangan—itu jugalah sebabnya, peran Konsultan Hukum tidak akan pernah dapat sepenuhnya tergantikan oleh sosok semacam robotik “AI” (artificial intelligence, alias kecerdasan buatan).
Bunyi pasal peraturan perundang-undangan terkait “tekstual”, sementara peristiwa konkret yang diwarnai berbagai faktor dan berbagai fakta hukum maupun kompleksitas isu hukumnya, menjadi sebentuk “konteks”. Sebuah “AI” hanya bermain dalam tataran “teks” dan input asosiasi terhadap “teks” semata (itulah rahasia sekaligus kelemahan paling utama dibalik sebuah proyek “AI”, yakni input asosiasi “tekstual”), tidak akan pernah mampu memasuki ranah “konteks”.
Bagaimana bila hak menagih demikian, masuk hingga tahap gugat-menggugat di pengadilan, dan telah terbit putusan perkara perdata “wanprestasi”? Bila putusan perkara perdata terkait “perbuatan melawan hukum” (PMH), nilai ganti-rugi yang wajib dibayarkan pihak Tergugat dan dapat ditagih oleh pihak Penggugat, menjadi jelas terhitung sejak terbitnya putusan pengadilan. Namun, apakah semua jenis perkara perdata, masa berlaku kadaluarsa menuntut hak berupa piutang ataupun ganti-rugi demikian, selalu dihitung sejak terbitnya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht)?
Dalam konteks kepailitan, pihak pengusaha barulah dapat dipailitkan oleh pekerjanya, sepanjang telah terdapat putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang menetapkan secara eksplisit dan tegas terperinci berapakah tunggakan terhadap “hak atas pesangon” yang belum dibayarkan oleh pihak pengusaha. Tanpa membekali diri dengan putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang telah berkekuatan hukum tetap, seorang pekerja tidak akan pernah dapat mengajukan permohonan pailit terhadap pengusaha pemberi kerja yang lalai membayarkan hak-hak normatif buruh.
Akan tetapi, bagaimanakah dengan sengketa keperdataan “wanprestasi” pada umumnya? Untuk menemukan jawabannya, seorang analis hukum perlu menggunakan cara sedikit “memutar”, yakni membongkar ulang pengetahuan perihal “konsep dasar” dalam ilmu hukum terkait hukum acara perdata mengenai jenis-jenis amar putusan hakim pada suatu pengadilan. Amar putusan dalam perkara perdata pada pengadilan, setidaknya terbagi menjadi tiga kategori, yakni:
1.) Konstitutif; semisal butir dalam amar putusan yang mengatakan “Menyatakan Penggugat sebagai pemilik yang sah atas objek sengketa.”—yang artinya mengubah keadaan dari semua Tergugat yang dianggap sebagai pemilik, menjadi Penggugat-lah yang kini sebagai pemilik yang paling sah terhitung sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
2.) Condemnatoir. Sebagaimana namanya yang berasal dari akar kata “to condemn” dari Bahasa Inggris, yang artinya ialah “menghukum”, sebagai contoh: “Menghukum Tergugat untuk membayar sejumlah uang sebesar Rp. ... kepada pihak Penggugat secara tunai, seketika. dan sekaligus.”
3.) Deklaratif (declaratief). Sebagaimana juga namanya, amar berjenis deklaratif artinya hanya sekadar menerangkan atau mendeklarasikan, tanpa membuat keadaan hukum baru dan juga tidak berupa penghukuman (sehingga, bila seluruh butir amar putusan dalam suatu putusan hanya mengandung jenis amar putusan ini tanpa disertai jenis amar Condemnatoir, maka putusan pengadilan menjadi non-executeable, alias “menang diatas kertas” karena tidak dapat dieksekusi). Sebagai contoh jenis amar putusan deklaratif, ialah : “Menyatakan perjanjian hutang-piutang antara Penggugat dan Tergugat, ialah sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat.”
Jenis amar putusan deklaratif, dengan demikian, hanya sekadar penegasan atau menegaskan suatu peristiwa hukum yang telah ada dan terjadi sebelumnya, semisal lainnya : “Menyatakan sah perkawinan antara Penggugat dan Tergugat berdasarkan kutipan akta perkawinan antara Penggugat dan Tergugat tertanggal ...” Dapat juga dikatakan, jenis amar putusan deklaratif hanya sekadar sebagai amar putusan “pelengkap”, “dekoratif”, atau sekadar “atribut” semata dalam suatu surat gugatan maupun putusan—karena, bila tiada terdapat jenis amar putusan konstitutif / constitutief, seperti “Menyatakan tidak sah perjanjian milik beding antara Penggugat dan Tergugat, karena melanggar asas kepatutan”, maka perjanjian tetap sah berlaku tanpa harus didahului adanya “pengesahan” berupa amar putusan deklaratif demikian.
Semua perjanjian, sepanjang memenuhi “syarat sah perjanjian” (vide Pasal 1320 KUHPerdata), maka tidak dibutuhkan adanya putusan dari lembaga peradilan manapun untuk mengesahkan ataupun untuk mengukuhkan validitas dan kekuatan hukum dari suatu perikatan perdata kontraktual apapun. Itulah maksud dibalik istilah “kesepakatan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang saling mengikatkan diri di dalam perjanjian”.
Seringkali, amar putusan berjenis “condemnatoir” menyertakan pula amar putusan berjenis “deklaratif” dalam satu gugatan dan putusan pengadilan—sementara adalah kekeliruan fatal ketika rumusan surat gugatan tidak menyertakan petitum (pokok tuntutan dalam surat gugatan) yang menjadi sumber bagi hakim dalam merumuskan amar putusan berupa tuntutan agar dijatuhkan putusan dengan amar berjenis “condemnatoir” (asas non-ultra petita).
Sekalipun betul dalam suatu amar putusan, katakanlah, terdapat amar putusan “condemnatoir”, seperti : “Menghukum dan memerintahkan Tergugat untuk melunasi hutangnya sebagaimana tertuang dalam Akta Kredit Nomor... tanggal ... secara seketika, tunai, dan sekaligus”, namun patokan utama menetapkan tempo waktu kadaluarsa menuntut hak-hak keperdataan ialah dapat kita lakukan dengan merujuk amar putusan “deklaratif”, yang biasanya berbunyi: “Menyatakan Akta Kredit Nomor ... tanggal ... adalah sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat.”
Dengan demikian, bila Akta Kredit dimaksud sebagaimana lazimnya memiliki masa efektif keberlakuan sejak saat dibuatnya kesepakatan lewat penanda-tanganan akta oleh para pihak, antara debitor dan kreditornya, maka tempo waktu kadaluarsa menuntut hak-hak keperdataan berupa hubungan hukum hutang-piutang demikian dihitung atau terhitung sejak tanggal efektif keberlakuan akta / perjanjian berisi kesepakatan dimaksud—bukan terhitung dari sejak terbitnya putusan pengadilan yang berisi amar putusan “condemnatoir”.
“Tekstual” pengaturan dalam peraturan perundang-undangan, dapat sewaktu-waktu berubah. Namun, “konsep dasar” ilmu hukum cenderung rigid dan konstan, lekang tidak dimakan oleh waktu—itulah kabar baiknya di tengah norma aturan “tekstual” hukum yang kian menjelma “hutan rimba belantara”. “Konsep dasar” ilmu hukum merupakan pilar atau fondasi hukum itu sendiri. Mereka yang mampu memahami dan menguasai “konsep dasar” ilmu hukum, dapat dipastikan terampil dalam bidang disiplin ilmu hukum.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.