Penegakan Hukum yang Canggih, namun Tebang Pilih, Terhambat oleh Mental dan Perilaku Aparatur Penegak Hukumnya itu Sendiri yang Masih Primitif

ARTIKEL HUKUM
Canggih, itulah yang dapat kita sandangkan bagi Polisi Republik Indonesia yang lebih populer disebut dengan sebutan akronim “POLRI”. Betapa tidak, pelanggaran seperti melampaui batas kecepatan maksimum dapat dideteksi secara terperinci oleh sensor pengukur kecepatan, tidak terkecuali pelanggaran terhadap ketentuan plat nomor kendaraan “ganjil-genap” yang boleh melintasi ruas jalan tertentu, pelanggaran marka maupun rambu jalan, kelebihan daya angkut maupun dimensi, menerobos “lampu merah”, berkendara melawan arus, tidak menggunakan helm, tidak menggunakan sabuk pengaman, hingga menggunakan ponsel saat berkendara sekalipun kaca kendaraan bermotor roda empat sang pengendara dilengkapi kaca yang gelap sehingga kondisi dalam kabin tidak kasat mata orang biasa.
Kamera pencintai CCTV milik Direktorat Lalu Lintas (Ditlantas) POLRI yang menjadi andalan Electronik Trafic Law Enforcement (ET-LE), bahkan daya cakup pandangnya mampu menembus hingga ke dalam bagian kabin dengan lebih jelas dan mendetail sehingga dapat memantau aktivitas pengemudi semisal menggunakan handphone, lengkap dengan kemampuan untuk menangkap citra tangan sang pengemudi yang sedang mengoperasikan layar sentuh pada gadget miliknya di dalam kendaraan, sebagai bukti adanya pelanggaran terhadap norma lalu-lintas. Kamera juga bisa mengidentifikasi jenis, warna, bahkan emblem kendaraan. Praktis, kini tiada data yang tidak dapat dihimpun terlebih luput dari pengamatan dan pengawasan POLRI dan jajaran dibawahnya.
Namun, negara ini “serba lucu”, kejahatan primitif yang selalu terjadi setiap harinya sejak dahulu kala (bukan kejahatan musiman dan bukan kejahatan “kambuhan”), seperti penebar “ranjau paku” yang kita semua ketahui karena sudah jelas siapa pelakunya (siapa lagi jika bukan “tukang tambal ban”?), sekalipun kita ketahui juga bahwa dampaknya dapat demikian fatal menjelma kecelakaan lalu-lintas secara serius jika kecepatan pengendara dalam kondisi kecepatan tinggi saat terkena ranjau paku, dimana hingga kini ironisnya tidak bisa sepenuhnya dibersihkan oleh aparat penegak hukum.
Menjadi pertanyaan yang patut kita pertanyakan : Apalagi kejahatan inkonvensional? Bahkan saat kini harus pihak masyarakat yang secara swadaya dan mandiri turun-tangan dengan inisiatif pribadi menjadi sukarelawan tim sapu-bersih (Saber) “ranjau paku”, sementara polisi lebih sibuk menilang dan menarik pungutan liar kendaraan-kendaraan yang melintas—sekalipun menertibkan pelaku usaha yang menjadi penebar “ranjau paku” jelas merupakan tanggung-jawab pemerintah, dalam hal ini aparatur penegak hukum yang berwenang menangkap, menyita, serta mengejar hingga mempidana para pelakunya.
Selaku sipil kita merasa terjepit sekaligus dalam posisi terdesak dan rentan akibat aparatur kepolisian yang memegang monopolistik kekuasaan untuk menggunakan senjata, melumpuhkan, menangkap, menahan, dan bahkan jika perlu menembak mati ditempat orang-orang yang melakukan perbuatan ilegal. Namun ketika sipil harus berhadapan dengan ulah “premanisme”, maka posisi sipil selalu di “ujung tanduk”—tanpa perlindungan serta tanpa hak untuk membela diri berupa upaya layaknya seperti seorang anggota kepolisian—sekalipun sebelum terbentuknya hukum negara, setiap warga dan setiap penduduk memiliki hak untuk melindungi dirinya dengan kemampuan bela diri yang dilengkapi persenjataan agar pihak-pihak lain yang beritikad buruk tidak tergoda untuk “mencoba-coba”. Ular yang tidak bertaring dan tidak berbisa cenderung lebih cepat punah ketimbang ular yang bertaring dan berbisa.
Hukum negara sejatinya telah merampas hak-hak warga sipil untuk membela diri, dengan ancaman akan dapat dipidana sang warga yang membela diri lewat aksi bela-diri dengan “jurus mematikan”, dengan dakwaan “main hakim sendiri”, namun disaat bersamaan negara tidak pernah benar-benar hadir di tengah masyarakat saat sedang dibutuhkan, kecuali saat sedang lapar-laparnya menilang pengendara kendaraan bermotor. Setiap pengendara, tahu betul kebenaran fakta yang penulis ulas secara lugas sebagaimana di atas.
Jika sipil yang harus turun-tangan dan melakukan perlawanan, maka sama artinya warga sipil harus berhadapan dan berurusan dengan para pelaku yang dalam beberapa kejadian melakukan aksi premanisme terhadap sukarelawan tim Saber Ranjau Paku. Bahkan dikabarkan pernah pihak sukarelawan anggota tim Saber Ranjau Paku dianiaya saat sedang menyapu ranjau paku, disamping terkena teror serta bentuk-bentuk intimidasi lainnya.
Dimanakah pihak kepolisian yang personelnya selalu serba “gemuk” dan masif saat melakukan operasi patuh berkendara lengkap dengan buku tilangnya yang tebal? Mengapa wajah (citra) Kepolisan RI lebih menyerupai “musuh” masyarakat ketimbang sebagai sahabat dan kawan dari masyarakat sipil? Jangan tanyakan mengapa, namun tanyakan untuk apakah semua sikap yang dipertontonkan secara vulgar demikian, beraninya hanya terhadap sipil yang tidak bersenjata hanya karena memegang kekuasaan monopolistik untuk menggunakan senjata api? Belum tentu anggota kepolisian tersebut akan berani menghadapi “tantangan duel” seorang sipil dengan syarat “1 lawan 1” dan “tangan kosong” tanpa senjata.
Tidak perlu kita berbicara soal intel agen rahasia yang mendeteksi penyabotase tingkat tinggi internasional, persoalan “ranjau paku” saja tidak “becus” ditangani hingga tuntas meski pelakunya sudah jelas terang-benderang. Bila kepolisian serius dan sepenuh hati memberantas oknum-onkum penebar “ranjau paku”, dapat dipastikan efek jeranya benar-benar membuat takut pelaku usaha lainnya untuk turut mencoba-coba. Tiada komitmen dan konsistensi, maka tiada efek jera, yang ada menjadi hukum dan penegakannya seolah menjadi demikian transaksional dan dapat dinegosiasikan oleh aparatur pemegang kekuasaan atas senjata api untuk “menjual” hukum.
Sekalipun telah kita pahami dengan baik, sekali lagi, penebaran “ranjau paku” merupakan jenis kejahatan konvensional “jaman dulu” (jadul) yang klasik, dimana modus demikian muncul sejak pertama kali munculnya keberadaan “tukang tambal ban” di pinggir jalan berbagai ruas jalan perkotaan, namun negara lebih sibuk membiayai infrastuktur berbiaya tinggi guna menghadirkan tilang elektronik, hingga pemasangan CCTV canggih segala macam teknologi terbaru yang fenomenal, namun kejahatan yang sudah di depan mata dan lebih urgen untuk dibenahi / diatasi, serta seolah sudah menjadi “menu sehari-hari” pengendara pelintas jalan untuk menjadi korban kesekian kalinya, yang sejatinya masalah “basi” klasik saja ternyata realitanya belum bisa ditangani hingga tuntas guna memberi efek jera bagi para pelakunya dan demi memberi rasa aman disamping perlindungan real time bagi masyarakat umum. Kepentingan umum berupa bersih dari aksi “ranjau paku” masih jauh lebih urgen ketimbang “tilang elektronik” yang “genit” serta “pamer” kecanggihan kepada publik.
Suspect atau pelakunya sudah sangat jelas, dimana aparatur intel yang paling “hijau” sekalipun dapat dipastikan mengetahuinya (sudah rahasia umum). Tiada orang yang sedemikian “kurang kerjaan” setiap harinya menebar “ranjau paku”, selain motif ekonomi pelaku usaha bermental “jahat pemeras”. Menjadi menggelikan, ketika yang terduga pelaku kejahatannya masih sama-sama penuh misteri, masih “gelap” tidak seterang-benderang modus pelaku kejahatan “ranjau paku”, seperti kasus pelaku penyiraman air keras terhadap wajah penyidik KPK Novel Baswedan, POLRI ternyata mampu meringkus para pelakunya sekalipun kasusnya sudah terbilang sangat lama dengan alat bukti yang mungkin sudah “luntur” guna mampu menemukan pelakunya dalam rangka penyidikan.
Mungkin, hal tersebut terjadi akibat POLRI dan jajaran dibawahnya memandang remeh apa yang setiap hari menjadi “menu sehari-hari” warga pengendara—menu yang terlampau “getir” untuk dicicipi oleh siapapun. Rata-rata pengendara kendaraan bermotor harus “mencicipi” setidaknya dua kali ban bocor akibat terkena “ranjau paku” dalam setahunnya di DKI Jakarta. Syukur tidak terjadi kecelakaan, namun akibatnya kerugian masif harus dialami masyarakat tanpa perlindungan dari negara (seolah negara hanya dan selalu hadir dengan gegap-gempitanya dalam urusan tilang-menilang), disamping bahaya bagi lalu-lintas dalam kecepatan tinggi dimana korbannya pun terbilang sangat masif, yakni seluruh pengguna kendaraan bermotor sebagai calon potensial yang mengalami terkena “ranjau paku”—belum lagi kondisi pejalan kaki atas kondisi jalan yang sudah tidak ramah, tidak kondusif bagi keberadaan pejalan kaki, harus saling berebut ruang dengan pedagang kaki lima (PKL) maupun intimidasi pengendara kendaraan bermotor, harus pula berpotensi resiko terhinjak “ranjau paku” yang bertebaran di sekujur jalan. Masih “untung” ban kendaraan bermotor yang meletus, bagaimana jika telapak kaki yang tertancap paku hingga terluka?
Sebetulnya bila ada kemauan, penanggung-jawab keamanan republik ini dapat mengetahui dan dapat menindak seluruh pelaku kejahatan termasuk praktik premanisme hingga bersih tuntas sebersih-bersihnya di negeri ini, baik di pusat perkotaan maupun di perkampungan. Namun, permasalahan utamanya selalu ialah persoalan keseriusan, kemauan, serta kesungguhan hati apartur penegak hukumnya (lagi-lagi “masalah klasik” pula).
Perihal sarana dan prasarana penegakan hukum, perihal tilang-menilang saja POLRI kita mampu demikian gagah-perkara, canggih (sophisticated), up to date teknologi terbaru, setajam “mata elang” (eagle eye), tiada yang luput dari pengamatan serta pengawasan, benar-benar “tajam setajam silet”, akurat, cerdik-cerdas, tegas, keras, serta efektif disamping efisien. Akan tetapi, mengapa hal-hal diluar urusan perihal tilang-menilang, POLRI kita kalah dari Komisi Pemberantasan Korupsi, bahkan kalah terhadap preman-preman berbaju busuk maupun “preman-preman berdasi” yang menguasai berbagai sipul jalanan di ibukota kita dimana warga sipil dibiarkan harus beradu dengan wajah serta ulah para preman dengan aksi premanismenya?
Tidak terkecuali kejahatan-kejahatan klasik primitif seperti pungutan liar, korupsi, kampanye hitam, kekerasan oleh pemegang kekuasaan bersenjata kepada sipil, hingga aksi premanisme itu sendiri, ataupun seperti penelantaran dan pengabaian aduan warga korban oleh pihak berwajib (bila POLRI merilis klaim jumlah aduan ke sentra aduan kepolisian menurun, data demikian harus dibaca : warga sudah jemu, jenuh, bosan, dan serta “kapok” mengandalkan kepolisian.
Dianiaya, melapor, bahkan harus membayar biaya visum atas rujukan rumah sakit yang dirujuk oleh pihak kepolisian yang bisa jadi ada unsur “kongkalikong” antara rumah sakit yang dirujuk untuk visum dan pihak kepolisian). Bila luka luar telah menampakkan luka berdarah-darah, mengapa juga kepolisian masih mensyaratkan dokumen visum dari dokter rumah sakit untuk membuktikan adanya penganiayaan? Melaporkan pada pihak kepolisian, sama artinya “rugi (sebanyak) empat kali”, yakni : rugi luka fisik, rugi waktu, rugi biaya, hingga rugi “makan hati korban perasaan”.
Bayangkan, warga pelapor yang diharuskan bertindak layaknya penyidik untuk mencari alat buktinya sendiri, sementara kewenangan untuk mencari tahu siapa nama pelaku, siapa saja saksi mata, alamat pelaku, alamat saksi, dan kesemua itu adalah kewenangan mopolistik penyidik kepolisian untuk menangkap, menggelegah, menginterogasi, menyita, menahan, dan lain sebagainya, sama artinya warga korban dihadapkan kepada keadaan serba buntu akibat sikap “pragmatis” kalangan kepolsiian yang selalu berdalih : terlampau banyak kejahatan dan penjahat di luar sana, kami sampai bosan menangkap penjahat bak mati satu tumbuh seribu, tidak habis-habisnya—itulah komentar yang terlampau sering harus didengar oleh para korban pelapor di berbagai kantor kepolisian di Tanah Air.
Ibarat petugas penyapu daun yang berguguran di jalan, itulah tugasnya tanpa perlu mengeluh, karena bila esok hari tiada daun berguguran, sama artinya ia terancam kehilangan pekerjaannya sebagai seorang penyapu daun. Bagaimana bila esok daun akan kembali berguguran dari pepohonan dan mengotori kembali jalanan ini, sementara daun yang berserakan hari ini dibersihkan? Seseorang yang bekerja secara picik dengan cara berpikir yang dangkal, tidak akan pernah menghasilkan pekerjaan besar, sekalipun hanya sebagai seorang penyapu jalanan. Itulah juga sebabnya, ada petugas kepolisian yang menjadi “legenda”, dan ada juga polisi yang lebih cocok disebut sebagai “penyakit sekaligus sampah (bagi) masyarakat”.
Sekalipun betul dan benar sepenuhnya bahwa tugas kepolisian menyerupai “never ending story”—yang bahkan dapat dibilang menjelma “mission impossible” dimana seberapa banyak pun penjahat di luar sana yang berhasil ditangkap dan disidangkan oleh aparatur penegak hukum, akibat “terlampau banyaknya anggota masyarakat kita yang penjahat”, namun membiarkan laporan warga selaku korban untuk kemudian diabaikan dan ditelantarkan, sama artinya negara memelihara preman, sehingga aksi premanisme dapat tumbuh subur di negeri ini.
Lagi-lagi, warga sipil merasa seorang diri dan berjuang seorang diri tanpa perlindungan, sementara hak-haknya untuk menggunakan senjata api ataupun senjata tajam guna “main hakim sendiri” sudah dilucuti oleh hukum negara untuk kemudian dimonopoli kewenangannya oleh aparatur kepolisian yang mengabaikan aduan laporan sang warga sipil yang menjadi korban. Itulah, yang lebih tepatnya disebut sebagai “perfect crime”, dimana pengabaian dan penelantaran oleh negara itu sendirilah kejahatan yang paling tidak tersentuh—dimana bahkan hukum negara justru kurang menguntungkan bagi warga sipil, contohnya seperti hak monopolistik Penyidik Kepolisian serta Kejaksaan untuk mempidana pelaku kejahatan, suatu keluhan yang tidak jarang penulis dengar dilontarkan oleh para klien dalam sesi konseling masalah hukum yang mereka hadapi terkait kinerja aparatur penegak hukum.
Ironi kedua, tiada yang canggih dari modus penebaran “ranjau paku” oleh para pelakunya, bahkan cara-cara para pelakunya masih terbilang konvensional serta klasik hingga saat kini, alias metode kejahatan kuno “primitif”, menggunakan kantung kresek berisi satu kilo paku ataupun potongan tulang payung yang ditebar saat pelaku melajukan kendaraannya sepanjang perjalanan. Namun, POLRI untuk sekelas POLDA MERTO JAYA hingga saat kini gagal untuk “sapu bersih” para pelaku penebar “ranjau paku”—bahkan dapat ditengarai oknum pada pejabat kepolisian itu sendiri turut menerima “jatah” dari para pelakunya yang setiap waktu melakukan “setoran” bulanan.
Bayangkan, pada kantor markas kepolisian semisal tempat pembuatan Surat Izin Mengemudi maupun tempat pembayaran plat nomor kendaraan lima tahunan, berbagai pungutan liar terjadi secara seronok dan vulgar disaksikan ribuan warga setiap harinya (para korban), maka bagaimana dengan kejahatan vulgar lainnya di luar markas kepolisian? Pengabaian dan kejahatan saja terjadi demikian masif di “sarang” kepolisian, maka mental seperti apakah yang selama ini menjadi budaya serta karakter institusi POLRI kita beserta dengan jajaran dibawahnya?
Teknologi boleh bergerak maju, namun bila mental aparatur penegak hukumnya masih tetap saja “primitif”, maka kejahatan “primitif” semacam premanisme dan penebaran “ranjau paku” demikian akan terus lestari—karena memang dilestarikan oleh pemangku kebijakan negeri ini beserta aparatur pemegang kekuasaan monopolistik untuk menyandera, menangkap, meringkus, hingga membekuk dan menembak mati para pelaku kejahatan.
Sebetulnya, menurut hemat dan pengamatan penulis, bukan modus kejahatan yang kian canggih yang terjadi di negeri ini, sehingga seolah sukar ditangani dan diatasi oleh aparatur penegak hukum, namun mental serta budaya perilaku aparatur penegak hukum kita itu sendiri yang cenderung masih “primitif”, yakni : masih lapar “pungutan liar” dan permisif terhadap pemberi “suap” sehingga wibawa penegak hukum mudah untuk “dibeli”—yang mana kedua perilaku demikian sejatinya “lebih primitif daripada segala perilaku primitif lainnya”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.