Pelaku Kejahatan yang Justru Lebih Galak daripada Korbannya, Fabel Kisah sang Harimau dan seekor Landak Kecil

ARTIKEL HUKUM
Setiap Warganegara Memiliki HAK untuk MEMBELA DIRI dan untuk MENJAGA DIRI
Inspirasi tulisan ini bersumber ketika membayangkan seekor hewan predator mendekati hendak memangsa seekor landak yang kita tahu tubuhnya diselimuti duri-duri tajam. Ketika sang predator merasa kesakitan karena wajahnya tertusuk duri sang landak ketika menerkam si landak mungil-kecil, sang predator tampak marah pada si landak yang lugu dan dengan polosnya hanya bisa berjalan santai-santai saja tanpa terlalu hirau terhadap rasa sakit yang diderita oleh sang predator.
Ketika kita mencoba menelaah kembali rumusan dan redaksional rincian hak asasi manusia yang diatur serta diakui dalam Konstitusi Republik Indonesia, telah ternyata UUD RI 1945 belum mengakomodasi perihal hak asasi manusia yang bernama “hak untuk membela diri” dan “hak untuk menjaga diri”—sekalipun, keduanya tidak mungkin dipisahkan dari “hak untuk hidup dan hak untuk mempertahankan properti kepemilikan”.
Akibatnya, mengapa seolah-olah fenomena sosial dan fenomena aksi kriminil yang terjadi di tengah masyarakat kita, seolah “korban hanya boleh diam”, “korban hanya boleh pasrah”, “korban hanya boleh pasif”, serta “korban harus berhasil disakiti dan dirugikan oleh pelaku kejahatan”? Bahkan, tidak jarang pihak yang salah lebih “galak” serta lebih “sangar” ketimbang korbannya—untuk mudahnya, lihatlah kondisi pengendara pada lalu-lintas jalan umum kita, simaklah bagaimana perilaku mereka terhadap pejalan kaki yang seolah “kasta rendahan”, dan itulah tepatnya cerminan budaya sosial suatu bangsa.
Sebagaimana kita ketahui, setiap warganegara sama kedudukan serta derajat “harkat dan martabatnya” di hadapan hukum negara berhukum—namun tampaknya mental warga masyarakat kita belum seluruhnya cukup beradab untuk mampu memahami hal paling mendasar demikian, sehingga seolah sebagian diantara kita hanya diposisikan serta dipandang sebagai objek “mangsa empuk” belaka.
Tiada satupun diantara setiap warganegara yang berhak untuk merugikan warganegara lainnya, dan tiada seorang pun warganegara lainnya yang berkewajiban untuk disakiti ataupun dirugikan hidupnya, itulah falsafah atau esensi yang paling mendasar melandasi pembentukan hukum pada suatu komunitas bernama entitas negeri / negara—baik hukum pada era klasik maupun hukum pada era negara modern terlebih dalam tataran negara kesejahteraan.
Apa yang kemudian menjadi pengejewantahan, bila saja atau bilamana konstitusi pada republik kita secara tegas dan secara lantang mengkumandangkan kepada segenap penduduk dan segenap penjuru dunia, bahwasannya setiap warganegara memiliki “hak untuk membela diri” serta “hak untuk menjaga diri”? Hukum internasional, terutama Hukum Perang Internasional maupun Hukum Humaniter, telah lama mengakui dan mengadopsi kedua konsep hak asasi manusia demikian, sehingga istilah-istilah seperti “the right of self determination” ataupun “pre-emptive strike” menjadi salah satu persepsi yang kerap mewarnai praktik-praktik dunia hukum internasional.
Turunan dari konsepsi hak asasi manusia internasional bernama “hak untuk membela diri” serta “hak untuk menjaga diri”, pada gilirannya masyarakat kita, terutama selaku pihak “korban”, tidak perlu lagi merasa sungkan, ragu ataupun “malu-malu” untuk berteriak, menjerit, memekik, bahkan balas melawan (melakukan perlawanan) ketika mendapati hak-haknya dan keselamatan hidupnya terancam ataupun terlanggar oleh perbuatan warganegara lainnya.
Selama ini, secara irasional dan sangat tidak logis, masyarakat kita seolah mendiskreditkan pihak korban, bahkan turut melakukan “bullying”, yakni ketika pihak korban melakukan jeritan kesakitan, teriakan penolakan, komplain keberatan, makian pertidak-setujuan, emosi kemarahan, luapan ketidak-sukaan, hingga aksi demonstrasi, orasi, maupun perlawanan, dinilai sebagai bentuk-bentuk “tidak sopan”, “tukang marah”, “tidak terpelajar”, “kurang waras alias gila”, “tidak memiliki etika ketimuran”, dan segala diskredit lainnya—seolah-olah disaat bersamaan hendak berkata, bahwa pelaku kejahatannya bebas melakukan perbuatan-perbuatan yang (sejatinya) lebih tercela seperti menyakiti dan merugikan warganegara lainnya.
Penulis menyebutnya sebagai, tudingan yang “salah alamat”, karena justru mendiskreditkan dan turut menekan pihak korban alih-alih melindungi martabah dan harkat pihak korban dan turut melawan “diktatoriat” pihak pelaku kejahatan. Irasional serta sifat yang cenderung tidak logis sebagaimana demikian, itulah akar kata dari anomali sosial, yang herannya, terjadi secara masif di tengah-tengah masyarakat-sosial kita untuk dapat disebut sebagai “anomali sosial” belaka.
Dalam fantasi pada benak penulis, yang kemudian menajdi terusik atas fabel si harimau hendak memakan si landak berduri, berkembanglah dialog menarik berikut yang sejatinya pasti setidaknya pernah kita jumpai serta alami sendiri dalam kehidupan kita di negeri “serba agamanis” yang penduduknya rata-rata telah mengenyam pendidikan cukup tinggi bernama Indonesia ini, sebagai berikut:
Harimau : “Auch, sakit! ... Hei, landak, lihatlah duri dari tubuhmu menusuk wajahku!”
Landak : “Mengapa duriku bisa menempel di wajahmu, wahai harimau yang perkasa dan bertaring mengerikan?”
Harimau : “Tadi aku mencoba untuk memakanmu, dan duri tubuhmu mengenai wajahku!”
Landak : “Kau ingin memakanku?”
Harimau : “Ya!”
Landak : “Berarti salahmu sendiri. Aku tidak pernah mengganggumu, mengapa engkau yang justru merasa berhak untuk menggangguku?”
Harimau : “Enak saja kau bicara, landak kecil. Ini salahmu, wajahku sekarang menjadi terluka dan sakit mengeluarkan darah! Kau membuatku marah!”
Landak : “Mengapa engkau yang menjadi marah?”
Harimau : “Karena kau menyusahkan aku yang ingin memakanmu ini!”
Landak : “Berarti itu salahmu sendiri, salahkanlah dirimu sendiri, wahai harimau yang bodoh. Sejak kapan kau merasa punya hak untuk memangsa makhluk hiidup lainnya, dan sejak kapan bagiku ada kewajiban untuk kau mangsa?”
Harimau : “Kau membuatku makin murka, landak kecil!”
Landak : “Memangnya hanya kau saja yang punya hak untuk marah? Yang semestinya paling berhak untuk marah, adalah engkau ataukah aku yang menjadi korbanmu? Korbannya adalah aku ataukah kau? Mengapa engkau bersikap seolah pelaku kejahatannya ialah justru adalah korban kau sendiri, wahai harimau yang serakah? Mengapa juga engkau merasa seolah dirimu lebih berharga dan lebih penting daripada makhluk hidup lainnya yang juga punya hak untuk hidup tenang serta damai tanpa gangguan dari makhluk hidup lainnya?”
Harimau : “Karena aku lebih besar dan lebih kuat darimu, maka aku berhak memakanmu, dan aku berhak marah ketika kamu menggagalkan rencanaku untuk memangsamu, landak kecil!”
Landak : “JIka begitu, wahai harimau besar yang bodoh, engkau punah saja bersama dinosaurus bodoh-dinosaurus bodoh berbadan besar itu.”
Harimau : “Kurang hajar, engkau sangat tidak sopan, landak kecil. Kau meledekku ya, kurang hajar kau ini, landak kecil. Kata-katamu kasar sekali, tidak sopan, tidak terdidik, kurang dihajar ... Eh, maksudku, kurang digigit! Aku menjadi semakin marah karenamu sekarang ini!”
Landak : “Oh, aku paham maksudmu sekarang ini, wahai harimau. Seolah engkau hendak berkata, bahwa korban hanya boleh bungkam, korban hanya boleh berdiam diri saja menjadi mangsa dan menunggu mati dimangsa menjadi mayat? Kata siapa, korban hanya boleh pasif-pasrah tanpa daya menghadapi segala perbuatan engkau yang hendak merugikan dan melukai diriku? Engkau disakiti oleh ketamakan dirimu sendiri, wahai harimau serakah. Engkau dilukai oleh dirimu sendiri, bukan oleh korbanmu yang hanya sedang mencoba membela dan menjaga dirinya sendiri.”
Harimau : “Diam kau, dasar kurang hajar tidak sopan, kata-katamu kasar sekali!”
Landak : Hanya mayat yang bisa dituntut untuk diam saja ketika disakiti, dilukai, dan dirugikan, wahai harimau dungu, dan aku tidak akan membiarkan diriku menunggu menjadi mayat oleh engkau ataupun oleh makhluk lainnya. Aku memilih untuk menjaga dan melindungi diriku dari makhluk lain yang memiliki niat jahat terhadapku, dan evolusi memberiku hadiah duri-duri ini. Aku punya tanggung jawab untuk melindungi serta menjaga ketenangan maupun keselamatan diriku sendiri.”
Harimau : “Tapi kau telah membuatku marah dengan tidak membiarkan dirimu dimakan olehku! Kau bahkan kini melukai wajahku dengan duri tubuhmu!”
Landak : “Mengapa engkau tidak hidup berdampingan tanpa merugikan makhluk hidup lainnya, wahai harimau. Kita saling berbagi ruang atas hutan ‘beton” ini, mengapa engkau merasa seolah tidak bisa hidup tanpa memangsa dan merugikan makhluk hidup lainnya yang juga ingin hidup? Mengapa engkau merasa dirimu lebih penting daripada makhluk hidup lainnya? Sudah berapa banyak tubuh korbanmu bertumbangan, hanya demi satu buah tubuh milikmu itu sendiri?”
Harimau : “Ya sudah, jika engkau menolak menjadi mangsaku, mengapa juga engkau masih berkata-kata sekasar itu dan melukai wajahku?”
Landak : “Engkau yang melukai dirimu sendiri, wahai harimau. Aku tidak memiliki kemampuan untuk menembakkan jarum-jarum yang menempel pada tubuhku. Untuk apa juga aku mencari penyakit dengan sengaja menantang dan melawan raksasa seperti dirimu. Aku hanya melindungi dan menjaga serta sedang membela diriku sendiri dengan mengenakan perisai duri pada tubuhku ini. Kedua, apakah adalah suatu kesopanan, mencoba memangsa hidup makhluk lainnya demi kepentingan engkau sendiri, wahai harimau? Yang tidak sopan, yang kasar, dan yang melukai, sebenarnya adalah aku ataukah engkau sendiri?”
Harimau : “... Umn, Entahlah, aku hanya menuruti insting hewani-ku.”
Landak : “Kalau begitu cobalah belajar sifat-sifat karakter humanis agar bisa menyerupai seorang manusia. Jangan seperti manusia di luar sana, yang tubuhnya manusia namun wataknya hewani.”
Harimau : “Tapi aku ingin makan enak dengan memangsa daging makhluk hidup lainnya.”
Landak : “Itu urusanmu sendiri, bukan urusanku, wahai harimau si predator. Demi urusan perutmu sendiri, engkau mengorbankan hidup makhluk lainnya. Apakah itu, tujuanmu hidup selama ini? Bagaimana jika ada hewan lain yang lebih besar daripada tubuhmu, seperti homo-sapiens bernama manusia cucu-buyut si monyet, mencoba memburu dan membunuhmu demi mendapatkan bulu dan kulitmu, apakah engkau bersedia, wahai harimau yang perkasa?”
Harimau : “Tentu aku akan melawan sekuat tenaga, jika perlu mengaum sekeras-kerasnya dan menerkamnya, mencakarnya, mencabik-cabiknya, dan menikamnya dengan taringku ini untuk membela dan menjaga diri.”
Landak : “Itu namanya standar ganda, wahai harimau, engkau menerapkan standar berbeda terhadap diriku ketika engkau mencoba memangsa diriku. Mengapa engkau merasa berhak memangsa makhluk hidup lainnya dengan alasan engkau lebih kuat dan lebih besar, sementara engkau sendiri menolak ketika akan dimangsa oleh ‘hewan’ lainnya yang lebih besar dan lebih kuat daripada tubuhmu? Apa juga yang membuatmu berpikir seolah makhluk / orang lain akan dengan senang hati dimangsa, dirugikan, dilukai, serta dikorbankan? Adalah tidak waras, bila ada yang sampai berpikir bahwa makhluk / orang lain akan merasa senang dirugikan, dieksploitasi, dimanipulasi, dan dikorbankan.”
Tidak ada satu pun hak bagi seseorang warganegara untuk melukai dan merugikan warganegara lainnya. Namun, ketika seseorang warga akan atau terancam dilukai dan dirugikan, melahirkan hak baginya untuk membela diri dan menjaga diri dengan melakukan perlawanan, dalam rangka “tidak menunggu menjadi “mayat” korban nafsu “hewani” sang pelaku kejahatan yang tidak mampu membendung sifat serakah / ketamakan dirinya sendiri sehingga “mengorbankan” / “menumbalkan” manusia dan makhluk hidup lainnya.
Meski demikian, sukar untuk menuntut setiap individu untuk memiliki itikad baik terhadap warganegara lainnya—sebagaimana sering penulis utarakan dengan sebutan sebagai berikut : “Orang-orang baik, kecil, dan orang-orang lemah selalu tampak seperti ‘mangsa empuk’ yang menggoda untuk disakiti dan dirugikan oleh para manusia ‘predator’ yang seolah tidak bisa hidup tanpa melakukan kejahatan dengan merampas hak hidup orang lain (alias tidak punya kreativitas untuk hidup tanpa menyakiti makhluk hidup lainnya).”
Karenanya, daripada alih-alih mencoba memasukkan konsep “kewajiban asasi manusia” seperti kewajiban untuk tidak merugikan dan tidak menyakiti warganegara lainnya ke dalam redaksional konstitusi kita (yang pastinya akan ditolak parlemen Ri meski sangat penulis dukung sepenuhnya), maka akan lebih elok serta ideal memasukkan redaksional berikut dalam konstitusi kita, yakni : “hak untuk membela diri” serta “hak untuk menjaga diri”.
Bila dalam konsepsi hak asasi manusia dibedakan antara “derogable rights” dan “non-derogable rights”, maka dua jenis hak asasi manusia bernama “hak untuk membela diri” serta “hak untuk menjaga diri” wajib dikategorikan sebagai “non-derogable rights” alias hak yang tidak dapat dipisahkan dari setiap masing-masing individu manusia itu sendiri, karena tanpanya, maka “hak untuk hidup” tidak akan mendapat topangan legitimasi aktualnya—terlebih pilar konstitusionalnya.
Hak untuk hidup, hanya dimungkinkan bila otoritas negara maupun setiap warganegara mengakui bahwa setiap pribadi dan setiap individu manusia, memiliki hak primair yang melekat pada masing-masing warga, tidak lain apa yang bernama “hak untuk membela diri” serta “hak untuk menjaga diri”. Kedaulatan manusia atas dirinya sendiri, yakni lewat pemberlakuan konsepsi “hak untuk membela diri” serta “hak untuk menjaga diri”, menjadi jaminan yang paling konkret sehingga tiada warga lain yang berani terlebih merasa memiliki hak untuk merasa bebas “memangsa” warga lainnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.