KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Mental Arogan Bangsa Preman, Tidak dapat Diperbaiki karena Tiada Kemauan Memperbaiki Diri

ARTIKEL HUKUM
Konon, Bangsa Indonesia disebut-sebut sebagai bangsa yang sopan, santun, berbudi luhur, berkarakter baik, ramah, bersahabat, toleran, serta saling bertenggang-rasa. Untunglah, bangsa ini belum mengklaim dirinya sebagai bangsa beradab sekalipun telah berpendidikan cukup tinggi—karena klaim demikian hanya akan membuat bangsa ini dijadikan bahan tertawaaan oleh bangsa lainnya dan juga oleh penduduknya sendiri.
Tidak dapat penulis pungkiri, terdapat beberapa warga lokal di Indonesia yang memang ramah dan gemar menolong, namun tidak kalah sedikitnya dengan jumlah preman-preman lokal maupun preman-preman “etnis keturunan” yang mempertontonkan perilaku bangsa yang belum beradab dan dapat kita jumpai di setiap ruas jalan maupun pemukiman di negeri ini.
Baru-baru ini, sebagai sumber inspirasi penulisan artikel berikut, penulis sedang berjalan kaki pada suatu daerah pemukiman, persis saat akan melewati atau berjalan melintasi sebuah mobil truk yang diparkir di pinggir jalan, mendadak muncul puntung r0k0k dalam kondisi terbakar dari balik kaca pintu mobil yang terbuka, Ternyata, terdapat pengemudi truk yang sedang asyik mer0k0k dengan posisi puntung rokok disodorkan keluar kaca pintu mobil tepat pada jalan sisi pejalan kaki sebagai “asbak” sang pecandu nikotin tersebut. Kejadian demikian, bukanlah satu atau dua kali terjadi dan penulis alami sebagai korban yang terancam keselamatan indera penglihatan kedua bola matanya.
Jika dirinya merasa berhak untuk mencemari udara dan memiskinkan diri disamping merusak kesehatan dirinya sendiri dengan menghisap bakaran produk tembakau, maka mengapa dirinya tidak melakukan aktivitas tersebut dengan turun dari dalam mobil truk itu dan lakukanlah di tempat aman yang tidak membawa resiko bagi keselamatan mata pejalan kaki yang melintas? Mengapa juga memberi resiko yang tidak perlu bagi pejalan kaki pelintas?
Kejadian demikian bukanlah kejadian kali pertama penulis harus mendapati kedua pasang mata penulis terancam oleh batang r0k0k yang dalam kondisi terbakar mengepulkan asap diayun-ayunkan oleh jari-jari tangan sang pecandu yang menjepit puntung dengan jarinya sembari mengayunkan tangannya ke segala arah tatkala asyik berbicara panjang-lebar dengan orang lain tanpa mau menghiraukan apakah ada orang lain yang melintasi tempat umum tersebut.
Begitupula para buruh yang sedang sibuk mengangkut barang sembari mer0k0k, seringkali posisi jemari tangannya yang memegang puntung r0k0k sejajar dengan kedua bola mata pejalan kaki lainnya yang melintas, sehingga korban yang harus seringkali menjaga diri dalam setiap waktunya dengan menghindar secepat mungkin agar tidak “tersundur” saat berjumpa dengan seorang per0k0k yang terus saja melaju seolah tanpa hambatan yang merasa berhak untuk mengancam keselamatan orang lain dengan sikap ceroboh maupun disengaja.
Apakah semua potensi resiko bagi keselamatan orang lain tersebut, sifatnya hanya kelalaian semata dari sang pecandu bakaran tembakau? Tidak juga. Fakta empirik memperlihatkan bahwa para pecandu tersebut kerap melakukan aktivitas menghisap bakaran tembakau di dalam gedung perkantoran sementara tidak semua penghuninya merupakan per0k0k aktif dan sekalipun telah ditegur ataupun dilarang, justru sang pecandu lebih “galak” dan lebih keras ketimbang korbannya. Artinya, mereka tahu bahwa perbuatannya keliru, buruk, dan merugikan orang lain, namun mereka sengaja tetap melakukannya.
Ibarat seorang pemerkosa yang sedang mencandu untuk memperkosa, tidak dapat lagi mengontrol nafsu “birahi libidonya”, sehingga akan merasa “berhak” untuk menjadi marah ketika korbannya justru keberatan dan melakukan perlawanan—penulis menyebutnya sebagai, “mental predator” bangsa “bar-bar” terbelakang dan tidak beradab disamping belum beradab. Itulah tragedi kemanusiaan bangsa yang sudah mengaku “merdeka” namun ternyata masih dijajah oleh “bangsa preman”.
Kembali pada kisah pengemudi truk yang merasa berhak menjadikan jalan umum pinggir jalan tempat melintasnya pejalan kaki sebagai tempat “asbak”, ketika penulis telah melintasinya beberapa meter di depan mobil truk yang diparkir, penulis mencoba melihat sosok di balik kaca depan kendaraan truk tersebut, dan sang pelaku justru kemudian memasang badan hendak menantang.
Jangankan memberitahukan kesalahannya agar memperbaiki diri, baru ditatap mata oleh pejalan kaki yang menjadi korbannya pun dirinya sudah “memasang badan” dan menantang dengan sorot wajah mengancam. Baiklah, akan penulis biarkan saja dan untuk selanjutnya biarlah Hukum Karma yang akan mengambil-alih sebagai hakim dan eksekutornya untuk memberi hukuman. Yang hidup dari aksi premanisme dan arogansi, akan mati karena premanisme dan aksi arogansi. Mereka (sang preman) berpikir, dapat benar-benar bersikap curang dan mencurangi hidup ini?
Sungguh arogansi khas seorang preman—seorang preman tidak pernah menghargai kehidupan orang lain serta “mau menang sendiri”, karakter tipikal preman dan aksi premanisme, ciri khasnya ialah nuansa “egoisme” yang sangat kental dan dominan. Bukannya penulis merasa takut akan preman demikian, namun perangai preman sang preman sangat mencolok dari sikapnya yang seketika bersikap arogan serta bahasa tubuhnya yang mengancam tersebut, sementara kita ketahui bahwa seorang preman biasanya adalah seorang pengecut (seorang ksatria selalu akan berani untuk mengakui kesalahannya) yang hanya berani “main keroyokan” serta “main senjata tajam” jika kalah bertarung fisik dengan warga lain yang menjadi korbannya, itulah yang paling penulis cemaskan dari berbagai pengalaman sebelum-sebelumnya jika melakukan kontrontasi dengan seorang preman. Maka, biarlah dirinya melakukan perbuatan buruk tersebut sepanjang hidupnya, ibarat membiarkannya dengan bangga “menggali lubang kuburnya sendiri” dengan terus membuat banyak warga sebagai korban serupa yang terus berjatuhan olehnya.
Dirinya tidak malu dan juga tidak takut berbuat jahat, maka untuk apa lagi memberitahukan kesalahannya dengan resiko dianiaya oleh sang preman? Penulis bukan bermaksud berpraduga buruk, namun penulis lewat pengalaman pribadi pernah dianiaya semata karena menegur kelakuan buruk seorang preman terhadap warga lainnya yang dijadikan korban—hingga penulis pada gilirannya turut menjadi korban luka fisik dianiaya oleh sang preman. Adalah tugas negara untuk memberantas preman-preman demikian, bukan tanggung jawab penulis selaku warga sipil—sementara hak menyandang senjata api untuk membela diri justru disaat bersamaan dimonopolisir oleh aparatur penegak hukum. Tanggung jawab moril penulis, cukup sebatas menghadirkan tulisan yang mencoba menggugah ini sebagai sarana edukasi bagi mereka yang masih mau memperbaiki diri dan diperbaiki lewat teguran serta himbauan.
Orang-orang yang tidak takut dan tidak malu berbuat buruk, adalah orang-orang yang paling malang, lebih malang ketimbang korban mereka—karena mereka selain “menggali lubang kubur” untuk dirinya sendiri kian dalam dan kian dalam lagi, juga adalah tipikal orang-orang yang secara sosiologis dan psikologis tidak akan pernah mampu untuk berbuat baik sepanjang hidupnya, alias miskin luar dan dalam. Kehidupan mereka pada kehidupan berikutnya, sudah sangat jelas, yakni memiliki tubuh yang sakit-sakitan, mata yang rusak, paru-paru buruk, lahir dalam keadaan cacat fisik dan mental—itu pun bila mereka masih cukup beruntung terlahir kembali sebagai seorang manusia alih-alih jatuh ke dalam alam rendah “apaya” (alam “tanpa kebahagiaan”).
Demikianlah menurut cara bekerjanya Hukum Karma—tiada yang benar-benar dapat kita ataupun mereka curangi dalam didup ini, segala sesuatu baik besar maupun kecil selalu ada “ganjarannya” lebih dari setimpal, yang bahkan menurut Abidhamma Pittaka dapat menjelma miliaran kali lipat buahnya yang akan berbuah bagi sang pelaku jika pelakunya melakukan segala perbuatan tersebut dengan tanpa rasa penyesalan dan tanpa rasa takut bahkan gembira saat menjatuhkan korban-korbannya.
Karenanya, berpikirlah beribu-ribu kali sebelum berniat berbuat buruk, kecuali otak sang pelaku memang benar-benar telah rusak akibat candu nikotin dan racun tembakau—dari pengalaman penulis mengamati perubahan karakter kalangan pecandu tembakau, fakta demikian betul-betul terjadi, yakni degradasi moralitas akibat mencandu produk tembakau, terutama rasa malu dan rasa takutnya untuk berbuat jahat.
Dari kejadian tersebut, penulis membuat satu kesimpulan sederhana saja. Bahwa sebagian diantara bangsa ini berisi para preman yang menjadi warga negara penghuni negeri ini, seolah dirinya adalah “penguasa jalanan” (cermati dan pantau saja tingkah-pongah ulahnya), tidak akan pernah dapat diperbaiki. Mereka menutup diri untuk memperbaiki diri, maka dirinya tidak dapat diperbaiki, karenanya pula kita tidak perlu menyibukkan diri melakukan teguran dengan resiko dianiaya, sehingga juga adalah percuma untuk menegur kesalahan dan perilaku buruknya—alias sikap “mau menang sendiri”. Bila kita telah mengetahui hal ini, namun tetap mencoba memberi teguran, maka sama artinya kita sendiri yang “konyol” bila akhirnya dirugikan dan disakiti dua kali oleh sang preman.
Baginya, mereka selalu berhak mengorbankan hidup orang lain, sehingga bagi mereka pula korban selalu dibungkam ketika melakukan perlawanan. Entah preman berwujud “tukang parkir, Pak Ogah, ataupun kuli berbaju lusuh” hingga “preman berdasi”, seringkali gagal untuk mengoreksi perilakunya sendiri. Jangankan melakukan introspeksi diri dan minta ditegur ataupun dikritik, mereka sangat “anti kritik”—bahkan kerapkali membalas teguran dan kritik dengan intimidasi serta kekerasan fisik.
Orang-orang bodoh merasa dirinya telah sempurna, tanpa cacat cela untuk dikritik, sekalipun sejatinya perilaku mereka sangat tidak beradab. Maka, biarlah mereka jatuh dalam lubang kubur yang digali oleh mereka sendiri, tanpa perlu kita berikan rasa prihatin ketika mereka kemudian terlahir kembali dalam kondisi cacat dan mengenaskan. Orang-orang cerdas berinvestasi dalam perbuatan baik, sementara si dungu hanya pandai dan gembira menimbun karma buruk.
Ketika mereka telah menjelang usia uzur, wajar jika mereka mulai merasa tubuh fisik mereka menjadi lemah, maka mereka tidak lagi dapat mengandalkan kekuatan fisiknya untuk mengintimidasi ataupun untuk menyakiti dan menindas pihak lainnya. Mereka pun segera mengalihkan strategi “manipulasi mental” dengan memasang wajah alim dan “innocent”. Untuk urusan cara berpikir “licik”, para preman tua tersebut tergolong “pandai”.
Karenanya, penulis tidak pernah menaruh hormat kepada seseorang berdasarkan umur, terlebih bagi mereka yang telah berusia tua dan ringkih—sekalipun diri mereka tampak renta tidak berdaya dan tidak mengancam, berkeriput, rambut penuh ubah, jalan terbungkuk-bungkuk, giginya rontok, bicaranya lemah. Bisa jadi ketika mereka masih muda dan kuat, perilaku mereka lebih mendekati perilaku seorang “hewan”—buas, beringas, dan tidak “manusiawi”, namun “hewani”.
Sehingga, ketika terdapat seruan pepatah “bijak” agar anak muda menaruh hormat dan memberi “respect” terhadap kaum lansia (lanjut usia), bagi penulis seruan demikian lebih menyerupai slogan “propaganda” yang tidak moralis dan tidak tahan terhadap “uji kritik”. Seseorang yang baru “tobat” dan menyesal ketika menjelang lanjut usia, ketika tubuhnya mulai lemah dan sakit-sakitan tidak lagi dapat “memakan hidup” orang lain lewat otot lengannya yang selama muda dan kuat terbiasa mengintimidasi serta menindas kaum yang lebih lemah, adalah SUDAH TERLAMBAT.
Tidak sedikit penulis menjumpai berbagai kalangan yang ketika masih muda dan kuat, demikian gagah perkasa dalam menindas, mengintimidai, menyakiti, melukai, memeras, mendikte, mengotoriter, menekan, menganiaya, hingga menakut-nakuti warganegara lainnya, seolah menjadi prestasi membanggakan bagi mereka. Namun ketika menjelang lanjut usia dirinya tampak menjadi demikian agamais, spiritualis, penyabar, bijaksana, alim, baik hari, murah hati, dan segala tampilan khas orang “bijaksana” lengkap dengan membuat testimoni bahwa dirinya telah tertaubat serta bersih dari segala kelakuan lamanya—yang bila dapat kita nilai dengan bahasa mudahnya, aktor “munafik” yang memerankan tokoh bernama “kemunafikan”.
Coba saja jika memang terdapat “pil ajaib” yang mampu mengembalikan keperkasaan otot fisik sang preman tua, maka dapat dipastikan mereka hanya sekadar “tobat sambal”, alias akan kembali memeras, menyakiti, melukai, menganiaya, hingga mengintimidasi dan merugikan warganegara lainnya.
Penulis menjadi teringat kembali pada adagium klasik dari Lord Acton, bahwa “power tends to corrupt”. Sang preman, merasa “sayang” bila ototnya disia-siakan untuk tidak melukai dan mengintimidasi orang lain. Mubazir, mungkin demikian alam batin dari otaknya yang kecil—otak limbik hewaninya lebih berkembang ketimbang otak manusia beradab pada umumnya (sehingga boleh juga untuk kita “maklumi” dan menjadi prihatin). Semakin besar ototnya, semakin licik otaknya, semakin jahat dan curang cara-cara yang dapat ditempuh olehnya, semakin serakah dirinya, hingga semakin arogan kelakuan dirinya, maka semakin tidak terbendung niat jahatnya untuk melampiaskan dan menyalurkan “libido” nafsu hewaninya.
Negara pun dapat mempertontonkan aksi “premanisme” (ciri khasnya ialah memaksa dan pemaksaan). Contoh, iuran Jaminan Kesehatan Nasional alias Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial Kesehatan, memaksa seluruh warganegara untuk menjadi anggota dan membayar iuran secara rutin—yang bila tidak diindahkan dan tidak membayar “upeti” ini maka pelayanan publik tidak akan diberikan akssesnya. Bila memang ada warga yang bersedia membayar dan merasakan manfaatnya, maka silahkan mendaftar dan membayar iuran. Namun bila ada warga yang menolak dan merasa keberatan dipaksa, maka mengapa dipaksakan? Apa bedanya wajah pemerintah kita dengan aksi premanisme? Dimana hak warganegara untuk memilih dan membuat pilihannya sendiri, seolah negara merasa berhak untuk merampas kebebasan warganya dan penduduknya untuk menentukan hidupnya sendiri?
Sebagai penutup, tepat kiranya penulis mengutip kembali apa yang dibabarkan oleh Sang Buddha, guru para dewa dan para manusia, bahwasannya si dungu merasa senang berbuat kejahatan, sementara orang-orang bijaksana menjauhi sifat-sifat tercela, takut berbuat jahat, dan malu berbuat kejahatan. Seorang kawan yang baik, akan memberi teguran ketika kawannya melakukan kejahatan. Sebaliknya, kawan yang buruk akan membiarkan kawannya melakukan perbuatan-perbuatan buruk dan tercela.
Lewat cinta kasih, kita perlu memberi teguran serta nasehat bagi orang yang berbuat kekeliruan agar tidak terjerumus dalam lubang kejahatan yang digali olehnya sendiri. Namun, untuk kalangan preman-preman jalanan yang banyak bertebaran bak cendawan di musim penghujan di negeri bernama Indonesia ini, maka biarkanlah saja mereka dengan senang dan bangga menggali lubang kuburnya sendiri. Mereka sendiri yang menutup diri untuk ditegur, terlebih untuk memperbaiki diri dan untuk diperbaiki. Karenanya pula, seorang Buddha tidak pernah merasa perlu untuk menaruh banyak belas-kasihan kepada mereka yang terlahir dalam kondisi menderita akibat karma buruk perbuatannya mereka—sebab, mereka sendiri yang memintanya, “you asked for it”. Sang Buddha tidaklah “kepo”.
Sang Buddha lebih terfokus kepada mereka yang masih mau diperbaiki dan masih dapat diperbaiki. Bila tidak dapat dikoreksi akibat menolak dikoreksi, maka itu menjadi urusan mereka sendiri dan konsekuensi karma yang harus mereka hadapi sendiri. Bila seorang Buddha pun akan “kurang kerjaan” untuk memperbaiki perilaku orang-orang yang menutup diri untuk memperbaiki diri dan untuk diperbaiki, maka untuk apa juga kita menjadi “pahlawan kesiangan” yang pada gilirannya hanya dibalas dengan “bogem tinju” otot sang preman yang bangga akan otot tubuhnya yang disalah-gunakan oleh sang preman?
Preman, selalu adalah seorang pengecut, oleh sebab mereka hanya berani terhadap orang-orang yang tampak lebih lemah darinya, dan kerap mengandalkan cara-cara curang seperti “keroyokan” dan bermain senjata tajam. Kita hanya perlu takut pada cara-cara curang seorang preman, bukan sosok besar sang preman itu sendiri. Itulah citra preman di mata penulis, sebagaimana kerap kali penulis hadapi di lapangan. Sungguh, Indonesia tidak pernah kekurangan preman-preman, baik preman-preman “berbaju lusuh” maupun preman “berdasi”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.