Memahami Makna Kata Menyalahgunakan dan Contoh Penyalahgunaan

ARTIKEL HUKUM
Secara sederhana, penyalahgunaan dapat dimaknai sebagai sebentuk perilaku, sikap, perbuatan, ucapan, maupun pemikiran, baik sendiri-sendiri ataupun secara bersama-sama melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu disertai niat buruk dengan tujuan untuk mengambil keuntungan demi kepentingan diri sendiri secara merugikan pihak lain, dengan menggunakan instrumen ataupun alat yang dimiliki ataupun melekat padanya secara laten, dimana pihak korbannya berada dalam posisi tersudutkan yang “dilematis”. Kata kerjanya ialah “menyalah-gunakan”, sementara pelakunya disebut sebagai “penyalah-guna”. Contoh sederhananya, kecerdasan dan pengetahuan yang disalah-gunakan dapat menjelma modus tipu-menipu—alias “pandai-cerdik menipu” alias “penipu ulung”.
Karenanya, sebuah perilaku atau sikap-sikap yang menjurus pada perbuatan “penyalah-gunaan” baik secara terselubung maupun terang-benderang (vulgar), sangat menyerupai aksi kriminil seperti tindak pidana “penggelapan”, dimana pelakunya menyalah-gunakan posisinya selaku karyawan untuk mengakses data-data rahasia milik perusahaan tempatnya bekerja, menyalah-gunakan koneksi klien milik perusahaan tempatnya bekerja untuk kemudian “dibajak” dan diambil-alih menjadi klien pribadi karyawan bersangkutan ketika telah berhenti bekerja pada tempatnya bekerja semula, atau untuk mengambil sesuatu inventaris milik kantor tempatnya bekerja, tidak terkecuali seorang penyewa mobil yang justru membawa lari dan kabur objek kendaraan yang disewa dan diberikan kepercayaan untuk dipinjamkan / disewakan kepadanya. Karenanya pula, tindak pidana penggelapan selalu disebut sebagai tindak pidana penyalah-gunaan yang paling klasik sekaligus paling “purba” bentuk derajatnya yang dikenal dalam sejarah ilmu hukum pidana—yang hingga kini tampaknya tidak pernah surut seolah tidak ancaman hukumannya tidak pernah membawa “efek jera” bagi masyarakat umum secara luas.
Penyalah-gunaan, sangat identik atau sinonim dengan frasa kata “mentang-mentang”. Sebagai contoh, “mentang-mentang” berstatus sebagai konsumen yang dilindungi oleh Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, sang konsumen mendalilkan bahwa dirinya berada pada posisi lemah, sehingga bentuk pasal-pasal baku dalam akta perjanjian yang ditetapkan sepihak oleh pihak yang lebih kuat posisi dominan dan daya tawarnya, adalah klausula baku yang tidak dapat mengikat sang konsumen. Sebaliknya, pelaku usaha yang kuat secara ekonomi, dapat menyalah-gunakan kekuatan ekonomi yang dimilikinya untuk menyuap aparatur penegak hukum untuk memberikannya “kekebalan hukum” sehingga dapat mengubah fungsi peruntukan pemukiman padat penduduk menjelma tempat usaha berskala besar yang merugikan serta mengganggu ketenangan hidup warga pemukim setempat.
Pada dasarnya, setiap individu atau pribadi maupun kelompok yang memiliki itikad tidak baik, dapat berpeluang melakukan aksi “penyalah-gunaan” dalam derajat dan wujud apapun bentuknya di keseharian terhadap warganegara lainnya yang menjadi korban laten. Sebagai contoh, seorang pria yang menjadi penjahat, berani merampok dan melakukan aksi kejahatan asusila terhadap korban wanita, karena menyalah-gunakan kekuatan ototnya sebagai bergender pria. Karenanya, kaum wanita lebih baik memilih menyingkir dan menjaga jarak sejauh mungkin ketika mendapati adanya indikasi pemikiran jahat dari seseorang bergender pria.
Sebaliknya, tidak jarang terjadi, “mentang-mentang” berjenis gender wanita, seorang wanita atau kaum perempuan kerap menantang kaum pria dengan segala ucapan buruk dan kasarnya, tidak lain dengan secara semudah menyalah-gunakan gendernya sebagai seorang wanita, dimana bila sang pria yang “diculasi” secara verbal olehnya menjadi “murka” dan melakukan pembalasan berupa kekerasan fisik, maka dapat dipastikan masyarakat akan menilai betapa “pengecut” seorang pria justru menganiaya seorang wanita yang “lemah”—namun lidahnya sangat jauh dari kata “lemah”.
Dalam praktik di keseharian, penulis menilai jamaknya terjadi segala ketimpangan gender, diakibatkan oleh kaum wanita yang lebih acapkali menyalah-gunakan bias gender miliknya, yang dengan kata lainnya ialah, kaum wanita yang lebih banyak “menikmati” bias gender yang terjadi di masyarakat kita di Indonesia—dan mohon maaf bila terdapat diantara para pembaca yang berlatar-belakang kaum wanita bila mendapati dirinya tersinggung oleh pengungkapan realistis penulis sesuai fakta empirik di lapangan.
Dapat kita saksikan sendiri sebagai pembuktian, terdapat gerbong kendaraan / transportasi publik khusus wanita, lelaki atau suami yang secara norma sosial diwajibkan mencari nafkah (dengan ancaman pidana “kekerasan dalam rumah tangga” alias KDRT bila tidak memberi nafkah lahir-batin), wanita mendapat affirmative action (positive discrimination) berupa alokasi persentase tertentu untuk menduduki jabatan pada kursi parlemen, hingga “hari ibu” yang dirayakan setiap tahunnya. Diatas kesemua itu, kaum wanita lebih sering “menyalah-gunakan” gender miliknya untuk menekan kalangan pria (secara sosiologis-antropologis), dengan “mentang-mentang” wanita lantas merasa seenaknya dapat melecehkan secara verbal kaum laki-laki atau pria, bahkan tidak jarang terjadi kaum wanita kerap menantang secara lancang : “Ayo, coba tampar aku, jika kamu berani!
Ketika sang pria benar-benar “naik pitam” dan menghantam telapak tangan ke arah pipi “berjerawat” dari sang gadis “berlidah ular” demikian, sang wanita seketika menjadi menangis dan langsung pergi mengadu atau melaporkan kepada keluarganya agar menuntut balas serta melakukan aksi premanisme—tentu saja, dengan versi aduan yang parsial seolah kejadian “penamparan wajah” demikian terjadi secara begitu saja tanpa mau menceritakan duduk perkaranya secara utuh bahwa diri sang wanita itu sendiri yang memulainya dan dirinya sendiri yang memintanya untuk “ditampar” (“you asked for it”).
Aduan, yang sifatnya parsial, hanya menceritakan satu penggalan momen kejadian yang tidak utuh, merupakan bentuk variasi lainnya dari penyalah-gunaan itu sendiri, yakni aduan yang tidak benar, atau aduan yang tidak utuh, aduan sepihak, aduan provokatif, serta aduan yang mengandung muatan fitnah ataupun motif terselubung yang tidak baik atau bahkan mengandung anasir niat buruk yang memang hendak memanfaatkan keadaan “keruh” untuk memancing “ikan”.
Sialnya bagi kaum pria, ketika sang wanita seketika menangis dan mengadu, sekalipun semula dirinya sendiri yang menantang dan meminta “ditampar”, sang pria memprotes sikap “suka mengadu” sang wanita karena bersikap “tidak jantan”. Dimana kemudian inilah yang menjadi tanggapan sang wanita, yang lagi menyalah-gunakan isu bias gender yang lebih menguntungkan dirinya : “Saya memang bukan seorang ‘jantan’, namun seorang ‘betina’.” Menjadi tidak mengherankan dan patut dimaklumi, hingga kini penulis selalu merasa “risih” ketika menghadapi kalangan wanita yang tidak mampu menjaga mulut serta lidahnya—lebih baik sebisa mungkin menghindari jenis makhluk satu ini yang jahat dalam menyalah-gunakan lidah miliknya. Seperti kata pepatah, “mengalah bukan berarti kalah”.
Pernah terjadi, lama sebelum ini, saudara penulis menuturkan sebuah kisah yang sangat serupa dan senada ketika dirinya masih duduk di bangku perkuliahan. Kejadiannya terjadi sama persis dengan apa yang terjadi dengan yang kerap penulis alami, yakni seorang wanita teman kuliah dari saudara penulis, menantang saudara penulis untuk benar-benar menginjak kaki dari sang wanita. Ketika itu, sungguh-sungguh dilakukan oleh saudara penulis, sang gadis rupanya tidak menerima diperlakukan sebagaimana diminta dan ditantang oleh sang wanita itu sendiri.
Keesokan harinya setelah kejadian insiden diinjaknya kaki sang wanita, wanita tersebut datang ke kampus dengan membawa serta sang ayah yang dijadikan bodyguard untuk “membalas dendam”. Ketika mereka berhasil menemukan saudara penulis pada lingkungan kampus, sang gadis menuntut pembalasan, lewat menyalah-gunakan tangan sang ayah, tentunya dan sudah pasti. Namun, ketika saudara penulis menuturkan kepada ayah dari sang gadis, bahwa anak gadisnya itu sendiri yang meminta dan menantang agar kakinya diinjak.
Sang ayah meminta konfirmasi dan verifikasi dari puterinya tersebut, dan (untungnya) diakui oleh sang puteri. Terungkap sudah fakta, sang ayah kini mengetahui bahwa sang puteri telah menutupi fakta paling penting yang menjadi “conditio sine quanon” atau asas kasualitas yang melatar-belakangi insiden demikian dapat terjadi. Setelah mengetahui bahwa sang puteri yang ternyata “you asked for it”, sang ayah kemudian menyatakan bahwa itu salah puterinya sendiri dengan kata-kata : “Kamu sendiri yang minta!”, dan pergi berlalu tanpa merasa berhak untuk meminta pertanggung-jawaban apapun dari sang pria atas insiden yang dialami oleh sang puteri (yang memang perlu “diajari” dan diberi “pelajaran”). Meski demikian, ayah atapun suami semacam itu, yang berani untuk mendidik puteri atau istrinya, sangatlah langka, lebih banyak yang bersikap “membuta”.
Seorang guru dapat juga menyalah-gunakan posisi atau statusnya sebagai seorang guru dengan membuat peraturan “elok” (namun tidak sedap didengar), sebagai berikut : Aturan Pertama, guru tidak pernah salah. Aturan Kedua, jika guru salah maka lihat Aturan Pertama. Tidak terkecuali murid-murid yang juga dapat saja menyalah-gunakan posisinya sebagai seorang siswa, dimana seorang peserta didik “membalas air susu dengan air tuba”—sebagaimana perilaku sebagian diantara pembaca publikasi ilmu hukum dalam website ini, yang sudah menikmati berbagai bahasan dan ulasan ilmu hukum yang penulis suguhkan dengan begitu banyak jirih-payah hingga tidak terhitungnya jumlah pengorbanan waktu maupun biaya serta tenaga yang penulis kerahkan, justru membalas “air susu” yang penulis suguhkan dalam publikasi website hukum ini dengan “perkosaan” tanpa rasa malu serta tanpa rasa bersalah terhadap profesi penulis.
Seseorang pelaku penyalah-guna justru merasa keberatan ketika dirinya sendiri menjadi korban penyalah-gunaan. Contohnya real-nya, seperti penyalah-gunaan yang kami alami sebagai korban dari seseorang yang mengaku bernama Raymond +62 081264792880 (ray lee <joag8888@gmail.com>), dengan judul subjek email “Sengketa sewa kios”, disertai isi email sebagai berikut: “Selamat malam, Saya mau mengajukan beberapa pertanyaan mengenai hal penyalah gunaan hak sewa kios saya tanpa sepengetahuan saya. Mohon konfirmasinya dan terima kasih.” Belum apa-apa, sudah meminta dilayani, melanggar, maupun menyalah-gunakan nomor kontak ataupun email kerja profesi kami yang sudah jelas-jelas mencari nafkah dari menjual jasa layanan tanya-jawab (konseling) seputar hukum. Untuk itu kami berikan respons tanggapan sebagai berikut: “Anda bila bisa dapat nomor kontak / email kerja profesi kami, berarti Anda TELAH MEMBACA PERINGATAN ‘term and condition’ layanan. Sebutkan PASSWORD LENGKAP, atau Anda akan kami nilai beritikad tidak baik dengan menyalahgunakan email profesi kerja kami.”
Mungkinkah, Anda tidak menyadari dan tidak mengetahui bahwa penulis mencari nafkah dengan profesi sebagai seorang Konsultan Hukum yang menjual jasa tanya-jawab seputar hukum? Hingga kini, dirinya tidak bertanggung-jawab atas pesannya yang meminta dlayani tanpa mau menghargai SOP kami tersebut, alias bahwa Raymond +62 081264792880 (ray lee <joag8888@gmail.com>) telah terang-terang dan tanpa rasa malu MENYALAH-GUNAKAN EMAIL KERJA PROFESI KAMI, MELANGGAR SYARAT DAN KETENTUAN LAYANAN, SERTA TELAH MELECEHKAN PROFESI KAMI.
Otoritas negara dapat menyalah-gunakan kekuasaannya absolut maupun kekuatan daya pemaksa militernya maupun monopolistik penggunaan senjata api dengan melakukan “abuse of power”, menjelma diktator dengan segala rezim kebijakannya seperti pembebanan iuran demi berbagai iuran yang tidak logis dan tidak adil terhadap rakyat sipil, pajak yang memberatkan sementara para aparatur pemerintah melakukan aksi korupsi “berjemaah”, serta pungutan-pungutan resmi maupun berbagai pungutan liar terhadap kaum sipil, hingga pembentukan serta pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang dinilai tidak “pro” terhadap rakyat kecil dan hanya menguntungkan sebagian elit politik.
Sebaliknya dapat juga terjadi, sipil menjadi “benalu” atau “lintah” dengan menerima dan terus menghisap subsidi yang tidak layak diterima olehnya, atau rakyat sipil yang melakukan tindak kejahatan seperti menjadi bandar ataupun pengedar obat-obatan terlarang, seringkali berlindung dibalik kedok adanya “hak untuk hidup sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat di-derogasi dengan alasan apapun”—alias menyalah-gunakan konsep perihal hak asasi manusia.
Orangtua, berbekal ajaran budi pekerti etika ke-Timur-an yang seolah hanya anak yang dapat “durhaka” dan “wajib berbakti”, kaum orangtua dapat semudah dan secara sewenang-wenang mengeksploitasi anaknya sendiri—“mentang-mentang” derajat orangtua selalu lebih tinggi dari anak. Begitupula orang-orang bertubuh besar, kerap melakukan apa yang disebut oleh Lord Acton sebagai “power tends to corrupt” dengan menyalah-gunakan kekuatan ototnya untuk mengintimidasi pihak-pihak yang lebih lemah secara fisik. Jangankan itu, dua orang yang saling berteman yang berjalan bersama-sama lebih cenderung mem-bully pejalan lain yang melintas seorang diri.
Tidak terkecuali berbagai Organisasi Massa (Ormas) di Tanah Air, menyalah-gunakan kekuatan massa yang digalang olehnya untuk melakukan tekanan serta intervensi kepada publik maupun kepada penyusun kebijakan ataupun hakim pada lembaga peradilan agar tidak lagi independen dalam membuat keputusan ataupun putusan. Begitupula ketika berbagai kalangan masyarakat dengan mengatas-namakan Ormas atau “mentang-mentang” memiliki banyak massa pendukung, melakukan aksi razia atau “sweeping” ke berbagai lembaga usaha swasta dengan maksud untuk melakukan pemerasan terselubung hingga aksi pengrusakan.
Jumlah orang, selalu mengundang niat penyalah-gunaan karena jumlah orang dapat melahirkan “kekuatan” itu sendiri. Semakin banyak massa yang digalang, semakin besar kekuatannya. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Ibarat batang lidi sebuah sapu lidi, barulah memiliki kekuatan ketika batang-batang lidi tersebut dihimpun menjadi satu-kesatuan untuk dapat menyapu kerikil dan dedaunan yang berguguran dan berserakan di jalan. Namun, seringkali kekuatan massa menggoda untuk disalah-gunakan oleh mereka yang tergabung atau oleh pemimpin dari gerakan massa tersebut, untuk kemudian disetir dan dimobilisasi demi agenda kepentingan elit politik tertentu. Bahkan, dua orang saja sudah cukup untuk melahirkan aksi bullying maupun premanisme yang memeras seorang pejalan kaki di tengah jalan.
Seorang sipil tanpa terkecuali, dapat pula menyalah-gunakan status sipilnya untuk melawan / merongrong pemerintah selaku pemegang kedaulatan rakyat. Sebagai contoh, kombatan yang menyaru sebagai sipil, seringkali mengakibatkan dampak serius bagi para Tentara Nasional Indonesia ketika melakukan aksi penumpasan pemberontak bersenjata pada daerah operasi militer (DOM) seperti di Aceh maupun di Papua. Tentara, baik oleh hukum nasional maupun oleh hukum perang internasional, dilarang menyerang sipil. Namun, secara diam-diam pihak sipil tersebut kemudian dari arah belakang menembakkan senapan api miliknya terhadap para tentara yang tidak bersiaga penuh terhadap mereka yang memakai baju sipil layaknya warga biasa yang tidak berbahaya.
Pengendara kendaraan bermotor roda empat cenderung lebih arogan ketimbang pengedara kendaraan bermotor roda dua, dimana pengendara kendaraan bermotor roda empat yang berukuran besar cenderung lebih besar lagi godaannya untuk menyalah-gunakan kendaraannya untuk mengintimidasi pejalan kaki yang lemah. Sama halnya, pengendara kendaraan motor roda dua lebih cenderung bersikap “mentang-mentang” terhadap pejalan kaki, sekalipun itu trotoar hak milik pejalan kaki. Kekuatan, selalu cenderung disalah-gunakan. Semakin besar dan semakin absolut kekuatan itu, semakin menggoda untuk disalah-gunakan secara absolut. Pernahkah Anda sadari, pengendara motor roda dua berukuran besar (moge) maupun yang bertipe sport dengan knalpot “racing”-nya lebih cenderung arogan ketimbang pengendara motor bertipe “bebek”?
Mengapa orang-orang baik dan lemah, lebih cenderung dijadikan “mangsa empuk” oleh orang-orang jahat dan buruk perangai? Karena, kembali lagi pada postulat klasik di atas, karena “mentang-mentang” pelakunya lebih kuat dan lebih jahat daripada korbannya. Seseorang yang lebih baik menuruti keinginan hatinya untuk berperilaku korup ala “mentang-mentang”, adalah cerminan mental yang sakit. Pelakunya, paham betul orang-orang baik tidak akan balik membalas dengan menyakiti pelakunya, terlebih orang lemah yang tidak berdaya untuk melawan dan membalas (itulah fakta yang paling “sensuil” dan paling menggoda untuk disalah-gunakan oleh pelaku kejahatan), adalah wujud sikap pengecut disamping menyalah-gunakan kondisi korbannya yang rentan disakiti dan dirugikan secara tanpa daya untuk melawan ataupun untuk melakukan perlawanan.
Terdapat tidak sedikit di antara masyarakat kita, yang penulis nilai memang sudah “tidak waras” atau tidak sehat cara berpikirnya, sekalipun daya atau kemampuan berpikirnya telah cukup terdidik secara formal di bangku persekolahan dan perkuliahan formal. Sebagai contoh, bila Anda mendapat kartu nama dari seorang psikolog ataupun konsultan, entah konsultan pajak, konsultan properti, maupun konsultan hukum, maka apakah artinya Anda boleh dan merasa berhak untuk seketika menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi sang psikolog ataupun sang konsultan? Faktanya, sejauh ini telah tercatat ribuan ID pelanggar dan “pemerkosa” profesi konsultan yang telah penulis cantum dalam laman BLACKLIST akibat menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi penulis selaku konsultan hukum.
Negara yang tergolong maju peradabannya, tidak pernah melakukan ajang “aji mumpung” bernama “mentang-mentang”. Sekalipun negeri mereka kaya akan sumber daya alam, tidak serta-merta mereka akan seketika mengeksploitasinya tanpa memastikan kelestarian alam dan keberlangsungan lingkungan hidup serta ekosistem yang menghuninya. Sebaliknya, di negara yang bernama Republik Indonesia ini, “mentang-mentang” alamnya kaya dan subur, terjadilah ekploitasi hingga deforestasi serta alih fungsi lahan menjadi areal terbuka pertambangan hingga perkebunan sawit, yang pada gilirannya merusak ekosistem mikro maupun makro.
“Mentang-mentang” membutuhkan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, apakah artinya rakyat dan bangsa kita harus “menjual murah” negerinya bagi investor-investor asing tersebut yang belum tentu beritikad baik terhadap rakyat Indonesia serta keberlangsungan daya dukung alam negeri ini? “Mentang-mentang” memiliki kedaulatan, negara kita kerap memproduksi asap pembakaran hutan dari aktivitas usaha perkebungan sawit yang di-“back up” pemegang kekuasaan (kolusi), sehingga meng-impor polusi udara yang kerap dikeluhkan oleh negara-negara tetangga kita, terutama Singapura. Itulah yang penulis sebut dengan julukan “menyalah-gunakan kedaulatan”.
“Mentang-mentang” memiliki izin, lantas kalangan pelaku usaha merasa berhak merusak ekosistem maupun ketenangan hidup warga lokal maupun warga suku adat, semisal menjadikan hutan adat masyarakat lokal sebagai Hak Guna Usaha monopoli usaha milik sang pemegang konsesi untuk memungut hasil hutan dan tambang pada wilayah tersebut, dengan mengkriminalisasi warga adat. “Mentang-mentang” memiliki perizinan pula, seolah menjadi pembenaran sempurna baginya (perfect crime) untuk merugikan warganegara lainnya, sehingga tidak heran bila terdapat seorang penulis tersohor kenamaan bernama John Grisham yang memberi judul pada novelnya yang termasyur, “A License to Kill”.
“Mentang-mentang” memasuki era otonomi daerah, para kepala daerah yang (juga) dipilih secara langsung oleh rakyat (serupa dengan seorang Kepala Negara), menjelma raja-raja kecil di berbagai wilayah di daerah. Berbagai Peraturan Dareah yang bersifat intoleran dan membangkang kebijakan Pemerintah Pusat, disertai penyalah-gunaan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi RI yang menyatakan baik Gubernur maupun Menteri Dalam Negeri tidak lagi berhak untuk membatalkan berbagai Peraturan Daerah sekalipun berbagai Peraturan Daerah tersebut bertolak-belakang dengan kaedah norma hukum Pemerintah Pusat.
“Mentang-mentang” menjadi hakim, bahkan bergelar Hakim Konstitusi yang paling berhak menafsirkan Konstitusi RI, maka sekalipun sang hakim tidak mungkin dan adalah mustahil mengerti segala bidang disiplin ilmu hukum yang telah demikian luas dan kompleks, tetap juga memeriksa dan memutus berbagai perkara isu hukum dalam uji materiil yang diajukan oleh para pencari keadilan, dengan membuat amar putusan menerima, tidak menerima, mengabulkan, ataupun menolak permohonan uji materiil—sekalipun belum tentu sang hakim memahami atau menguasai betul bidang disiplin ilmu hukum yang kini kian terspesialisasi disamping terpolarisasi, tidak lagi dapat bersifat general seperti dahulu kala. Karenanya, Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI masih lebih ideal dan masih lebih mendekati keadilan oleh sebab dibagi kewenangannya sebatas “kamar” yang diduduki oleh sang hakim, semisal hakim kamar perdata, kamar pidana, kamar tata usaha negara, kamar pidana militer, kamar hubungan industrial, kamar pajak, dan sebagainya.
Singkat kata, sebagai penutup, kembali hendak penulis ingatkan kepada kita semua, siapapun yang memiliki itikad tidak baik dapat sewaktu-waktu dan dapat pula selalu menyalah-gunakan segala macam hal dalam keseharian hidup kita, mulai dari menyalah-gunakan hal-hal kecil maupun berbagai hal besar dalam kegiatan kita sehari-hari, dalam status kita, dalam kekuatan sosial maupun kekuatan ekonomi kita, tidak terkecuali menyalah-gunakan frasa “mentang-mentang” itu sendiri.
Mereka yang mengaku sebagai manusia, perlu membuat dirinya berbeda dari hewan yang “hewani”, yakni dengan hanya melakukan perbuatan yang “manusiawi” serta “humanis”—dengan begitulah kita baru dapat mengaku sebagai seorang “manusia”. Seorang manusia, tidak akan melakukan kejahatan dengan menyalah-gunakan kesempatan untuk berbuat hal-hal yang tercela yang dapat dicela oleh para bijaksanawan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.