KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Memahami dan Mengenal Cara Kerja Dialektika, Tesis Antitesis Sintesa sebagai Tesis Baru, Proses yang Tidak Pernah Berkesudahan

ARTIKEL HUKUM
Dialektika pada mulanya dipopulerkan oleh seorang tokoh klasik termasyur kenamaan bernama Hegel, yang juga sekaligsu “Bapak dari ilmu logika”. Sebagian besar kalangan akademisi demikian mengagung-agungkan cara kerja dialektika dan berdialektik, yang dinilai sebagai “soko guru” perkembangan ilmu pengetahuan modern—sekalipun disaat bersamaan, secara bias tanpa mau menyadari kelemahan laten serta cacat falsafah dibalik proses sebuah dialektika. Bahasan dalam kesempatan kali ini akan menjawab berbagai keraguan kalangan skeptis terhadap proses dialektika sekaligus membantah keyakinan absolut sebagian besar kalangan akademik.
Apakah dialektika yang terdiri dari “tesis” yang selalu dibuat berpasangan (keharusan) dengan sebuah “antitesis”, selalu dapat dipastikan menghasilkan “sintesa” yang baru lain dari pada yang lain sebelumnya, lain dari apa yang pernah ada, dan selalu bergerak maju mendekati kebenaran? Sebenarnya mudah saja bila kita mau menjawabnya secara akal sehat milik orang awam sekalipun, tanpa harus bersusah-payah berjibaku dengan “teori-teoritis” (lawan kata dari “teori-terapan”), yakni : Kalau memang benar begitu adanya, mengapa sampai sekarang di era modern ini masih mudah dapat kita jumpai pengobatan tradisional klasik kuno seperti akupuntur, herbal, dan pijat-urut dan sebagainya? Bahkan, di China sendiri, Traditional Chinese Medicine (TCM) menjadi salah satu cabang ilmu medik pada fakultas kedokteran modern.
Mengapa hingga saat kini, TCM belum juga punah dari muka bumi, bahkan kian populer ke seluruh penjuru dunia? Mengapa, benda-benda antik dan kuno, dijual lelang dengan harga mahal, bahkan semakin tua umurnya semakin mahal dihargai? Mengapa, hingga saat kini, sendok bentuknya masih juga sendok, garpu bentuknya masih juga garpu, dan sumpit maupun piring bentuknya masih juga sumpit maupun piring tanpa pernah berevolusi menjadi alat-alat baru dalam membantu kita untuk makan berdasarkan proses dialektik ala Hegel? Mengapa juga, hingga saat kini, Anda maupun kita semua masih juga menyaksikan tayangan pada teater yang menggambarkan bagaimana kehidupan zaman Jurasic? Bahkan terbukti, saat kini era “romantisme” terhadap kerajaan dan keraton kuno kembali bermunculan bak cendawan di musim penghujan?
Celakanya, dialektika hanya sekadar mendekatkan diri pada penemuan kebenaran sebelum kemudian (anehnya) berlari kembali menjauh dari kebenaran, alias bukan benar-benar sedang mengejar kebenaran itu sendiri. Proses dialektik, hanya sekadar mendekatkan kita pada kebenaran, namun tidak akan pernah dapat berhenti pada kebenaran itu sendiri—itulah yang paling membingungkan dari cara berpikir kalangan “dialektik”, terutama ketika mereka mengklaim adanya “kebenaran baru” sebagai sintesa-nya (kebenaran baru?). Mengapa dapat terjadi demikian, itulah masalah paling utama sekaligus cacat falsafah yang fatal sifatnya dibalik sebuah proses dialektik.
Sebaliknya, lawan kata dari proses “dialektik”, ialah apa yang dikenal dengan istilah sebagai sebuah “postulat”. Salah satu postulat, ialah bahwa Planet Bumi berotasi mengitari Matahari dimana Matahari menjadi pusat dari salah satu Tata Surya pada Galaksi ini. Kita belum pernah melihat langsung Planet Bumi berotasi mengelilingi Matahari, atau kita bahkan belum pernah berjumpa langsung dengan Albert Einstein, maka apakah artinya Einstein tidak benar-benar pernah ada dan Teori Relativitas hanyalah sebuah mitos belaka? Itulah postulat, ia benar dan dianggap sebagai benar adanya tanpa perlu diragukan, kecuali dikemudian hari ditemukan fakta sebaliknya. Karenanya, cara berpikir atau paradigma “kaum postulat” sejatinya bertolak-belakang dengan perspektif milik “kaum dialektik” yang sangat skeptis dalam derajat yang ekstrim.
Sebaliknya, pelaku “dialektik” bagai orang-orang yang “kurang kerjaan”—dimana serta apapun itu yang sejatinya tidak perlu dibantah, tetap juga dibantah atau diperdebatkan, dan apapun yang sudah jelas di depan mata tetap juga dipungkiri, dengan falsafah “yang terpenting melawan arus umum”, bahkan ironisnya membantah bantahannya sendiri. Dunia tidak bekerja berdasarkan dialektik, namun berdasarkan berbagai postulat yang kini banyak dikenal dengan nama hukum-hukum ekonomi, hukum matematika dengan algoritmanya, hukum fisika dengan berbagai rumusannya, hukum kimia dengan hukum campuran unsur-unsur kimiawinya dalam membentuk karakter hasil senyawa campuran, hukum karma dengan ajaran sebab-akibatnya, hukum alam dengan siklus perputarannya, dan berbagai hukum-hukum lainnya.
Jika dunia ini murni mengandalkan dan bekerja semata dengan dialektika, maka dunia ini tidak akan pernah benar-benar bergerak maju, namun menjelma dunia skeptis yang mana penghuni serta penduduknya menjelma demikian apatis, statis, kaku, membisu, serta terbujur kaku layaknya sebongkah batu. Dunia dialektik bukanlah dunia yang ideal untuk sebuah ukuran dunia yang bergerak cepat dan bergerak maju tanpa selalu harus menunggu terlalu lama untuk mendekati “kebenaran” itu. Bagi kaum dialektik, kebenaran demikian seolah demikian jauh tidak terjamah, karena selalu dibenturkan dengan antitesis.
Seorang tokoh bernama Master Shih Cheng Yen, pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi, pernah menyebutkan, didalam pekerjaan kita atau apa yang kita kerjakan, kita dapat bertumbuh serta belajar. Karenanya, proses belajar tidak harus menunggu segala sesuatunya sempurna dan sudah benar “on the track”. Dialektik menuntut kesempurnaan, “kebenaran” itu sendiri yang dikejar. Namun, dialektika gaagal total saat mencoba untuk menjawab apakah “kebenaran” itu, seperti apakah “kebenaran” yang dimaksud olehnya, dan sampai kapankah dialektika benar-benar mencapai titik puncak “kebenaran akhir”, atau apakah indikator dari kebeanran itu sendiri yang hendak didekati dan dicapai olehnya? Pelaku dialektik, ibarat seekor kura-kura buta yang berenang dari satu samudera ke samudera lain untuk kembali ke samudera semula alias hanya sekadar berputar-putar tanpa tahu arah tujuan, dengan harapan menemukan samudera baru yang lain dari samudera yang pernah ada sebelumnya.
Bila kaum penjelajah dan petualang menjadikan harapan serta eksplorasi sebagai “bintang pemandunya” sehingga Cristoforus Columbus yang asal Eropa bisa menemukan Benua Amerika, kalangan ilmuan mengandalkan hipotesis untuk berkarya dan berkegiatan, kaum hukum menjadikan “kebenaran hukum (negara)” sebagai momentum “apriori” maupun “priori” untuk menetapkan norma imperatif, lalu adapun kaum “dialektik” lebih menyerupai seorang “skeptik”, bahkan skeptis terhadap kebenaran dengan menyebutnya sebagai “kebenaran semu”—karena memang proses dialektika tidak mengenal kata “kebenaran” dan tidak akan berhenti pada satu titik bernama “kebenaran” sekalipun, dimana semua “kebenaran” berakhir sebagai tesis baru yang dilawan atau dibenturkan dengan antitesis, menjelma sintesa yang “harus” lain bunyinya dari tesis semula—alias “anti-truth”, alias “alergi” terhadap kebenaran akhir.
Tiada kesimpulan dalam dialektika, yang ada ialah proses tiada henti yang sejatinya “hanya berputar-putar di situ saja” dengan memakan harapan berupa menemukan “kebenaran versi baru”. Ternyata, hanya dalam kamus kaum dialektik, terdapat “kebenaran usang” dan “kebenaran baru”, seolah kebenaran memiliki beragam versi. Apakah mungkin, kita akan menemukan serta mendengar adanya “hukum gravitasi Newton BARU”? Akan tetapi itulah harapan kaum dialektik.
Hal ini ibarat seseorang hendak menjadikan teori yang menyebutkan bahwa Planet Bumi berputar berotasi mengelilingi Matahari sebagai “input” proses dialektik (membuta) yang tidak lain ialah sebagai “tesis” baru, dengan antitesis berupa kaedah atau lebih tepatnya doktrin dan dogma berbagai agama yang menyebutkan bahwa Matahari-lah yang mengelilingi Bumi, maka terbitlah “sintesa” baru berupa kesimpulan yang melenceng dari kebenaran, yakni : Fatamorgana maupun fenomena badai semesta membuat para ilmuan keliru dengan penglihatannya sendiri, dikecoh oleh fenomena alam, dan tersesatkan oleh asumsi belaka. Itulah tepatnya, nasib sekaligus kodrat kalangan “dialektik”, berakhir pada “kegilaan” sintesa miliknya sendiri, seperti pernah diberitakan seorang agamawan masa kini di era modern ini, menggambarkan peta dunia yang berbentuk “datar” alih-alih berbentuk bundar (globe).
Ilmu pengetahuan tidaklah menentukan kebenaran, ilmu pengetahuan hanya sekadar berfungsi pendekatan dalam memahami kebenaran, namun kaum dialektik meyakini proses dialektika sebagai kebenaran itu sendiri, bukan sebagai sekadar sarana menemukan dan memahami kebenaran—dengan demikian, cara kerja dialektika tidak memenuhi syarat untuk dapat disebut sebagai “ilmu pengetahuan”. Seperti juga ilmu maupun norma “hukum negara”, bisa jadi dahulu kala dilarang suatu perbuatan, lalu diubah aturannya menjadi diperbolehkan, namun tidak tertutup kemungkinan kelak akan kembali dilarang peredarannya. Dengan demikian, sifat “kebenarannya” sangalah nisbi serta tentatif. Frasa “kebenaran”, tidak dapat dimaknai sebagai hal yang relatif, namun mutlak. Kebenaran yang tidak mutlak, bukanlah kebenaran, namun sekadar “asumsi” belaka.
Jika seorang dokter, saat meresepkan obat bagi pasiennya, dan kebetulan sang dokter lebih menyukai pendekatan dialektik, maka sang dokter tidak akan pernah meresepkan obat apapun bagi sang pasien, sekalipun aturan hukum dan praktik kedokteran sesama rekan dokternya selama ini boleh serts diizinkan bagi profesi dokter meresepkan suatu obat tertentu bagi suatu penyakit tertentu bagi kalangan pasien penderita.
Mengapa dapat terjadi demikian? Oleh karena, sang dokter yang berpaham “dialektik”, akan berpikir bahwa obat tersebut tidak benar-benar aman untuk dikonsumsi oleh pasiennya karena selalu terdapat antitetis yang bisa jadi berujung pada sintesa baru yang menyatakan bahwa obat tersebut berbahaya bagi kesehatan pasien sebagaimana selama ini banyak dijumpai obat-obatan yang semula dianggap manjur dan efektif mengobati penyakit pasien namun ternyata kemudian dilarang beredar karena terbukti membawa efek negatif berbahaya bagi kesehatan pasien.
Pertanyaannya, obat mana yang benar-benar manjur dan aman bagi pasien? Sekali lagi, seorang dokter berpaham “dialektik” hanya akan berputar-putar dan diam di tempat (statis-apatis, menjelma statis akibat apatis), tanpa pernah berani meresepkan obat apapun. Bayangkan, apa yang akan terjadi bilamana penyusun kebijakan negeri ini seperti sekelas Kepala Pemerintahan, tidak berani membuat keputusan apapun hanya karena takut dikritik oleh para kaum “dialektik” yang selalu mencari-cari kesalahan dibalik sebuah kebijakan pemerintah?
Ilmu pengetahuan, sifatnya kebenaran nisbi, sifat kerberlakuan dari “kebenarannya” hanya tentatif semata, nisbi, tidak mutlak sifat “kebenarannya”. Ibarat sudah berada di tempat yang benar, akan tetapi mengingat kaum “dialektik” demikian terobsesi pada proses dialektika yang menyerupai monyet yang selalu berkeliaran tanpa kenal diam melompat dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya, akhirnya dibentuk antitesis yang “dipaksakan” dimana kemudian menghasilan “sintesa baru” yang sayangnya, justru membuat mereka berakhir pada tempat yang salah sama sekali—tersesat dan kian jauh dari “kebenaran”.
Sebagai penutup, penulis hendak mengajukan pertanyaan sederhana bagi kaum / kalangan “dialektik” yang demikian terobsesi menjadi orang-orang yang paling pandai serta paling ulung mengkritik serta mendebat, yakni : apakah antitesis dari “kebenaran” jika bukan “kesesatan berpikir”? Itulah tepatnya, kesesatan berpikir, sintesa baru yang dibangga-banggakan oleh para kaum “dialektik” yang demikian terobsesi pada proses dialektika (secara dipaksakan) sehingga juga lebih terkesan “kurang kerjaan” serta memungkiri “realita kenyataan” tentang “apa itu kebenaran”. Faktanya, sebuah kebenaran tidak pernah membutuhkan dialektika, kebenaran adalah kebenaran itu sendiri, ada atau tidak adanya dialektika.
Kebenaran, hanya mengenal dua kata tanggapan respons-nya, yakni “diakui” atau “tidak diakui”, namun tidak pernah mengenal kata “antitesis” ataupun “sintesa”. Karenanya pula, seringkali kita akan sukar “nyambung” atau terkoneksi dengan cara berpikir kaum “dialektik” yang demikian sempit serta terkungkung, karena membingungkan dan sukar dipahami “apa maunya”, bahkan tidak jarang mereka dibingungkan dan merasa bingung atas pemikirannya sendiri.
Coba pertanyakanlah kepada mereka, “Anda mau kemana?” Kaum dialektik hidup hanya demi antitesis itu sendiri, tergila-gila karenanya, dan menjadi “gila” akibatnya. Biarlah kaum “dialektik” dibutakan oleh obsesi antitesisnya, sepanjang tidak turut memperkeruh suasana umum dan tidak mengganggu ketertiban umum. Penulis menyebut proses dialektik sebagai seorang “kaum pemimpi” sekaligus sedang menjalani “mission imposible” karena selalu dibenturkan oleh obsesi antitesisnya sendiri dan berhalusinasi akan “sintesa baru”. Apakah kebenaran adalah “sintesa baru”? Pertanyaannya ialah, “sintesa baru” yang manakah?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.