Budaya Mental Miskin Bangsa Pengemis, Cerminan Negara Terbelakang

ARTIKEL HUKUM
Saat bahasan singkat ini penulis susun, dunia global tidak terkecuali di Indonesia, sedang disemarakkan oleh hari raya nasional Imlek, alias “Chinese New Year” yang menjadi budaya masyarakat etnik Tionghua. Sebagaimana kita ketahui, etnik Tionghua dan Jepang, telah tersebar ke berbagai belahan negara di dunia, dan mendapat tempat kehormatan tersendiri pada struktur masyarakat di masing-masing negara-negara tersebut karena terbukti turut membangun dan berkontribusi terhadap perkembangan ekonomi maupun pembangunan negeri tempatnya menetap sebagai penduduk dan berbaur dengan masyarakat lokal.
Namun, tulisan ini akan membahas bagaimana “pelecehan tradisi” terjadi terhadap budaya warisan etnik Tionghua. Di Jakarta, kini, setidaknya pada wilayah pemukiman penulis bertempat tinggal, pada hari-hari biasa di luar Imlek sekalipun oleh beberapa orang kaum “pribumi” (kesemuanya “pribumi”) memainkan Barongsai lengkap dengan segala pernak-pernaik dan busananya, yang dijadikan sebagai ajang “mengamen” meminta-minta uang dari satu rumah ke komplek perumahan lainnya.
Penulis yang termasuk sebagai salah satu masyarakat lokal Indonesia beretnik keturunan Tionghua, patut merasa tersinggung ketika dimintakan uang oleh pemain Barangsai tersebut yang menyodorkan kantung uang ke balik pintu pagar kediaman penulis, kejadian mana membuat penulis terdorong untuk menyatakan pada mereka, “Sejak kapan, Barongsai dijadikan alat mengamen?” Dengan arogan, sang peminta-minta yang mengamen dengan Barongsai “milik” tradisi etnik penulis, menjawab secara arogan dan dan bernada melecehkan: “Sudah sejak lama.”
Jika ingin mengikuti budaya Tionghua, silahkan, tiada yang melarang. Namun, mengapa menjadikan budaya Tionghua sebagai alat untuk mengamen? Bagaimana jika terjadi sebaliknya, etnik Tionghua melecehkan budaya etnik “pribumi”? Mengapa, mencari nafkah dengan cara melecehkan budaya etnis lainnya, dianggap sebagai suatu cara yang benar untuk mencari nafkah tanpa rasa takut maupun tanpa rasa malu—bahkan lebih “galak” ketimbang penulis yang beretnik Tionghua dan paling berhak atas pemakaian maupun untuk melarang pemakaian (penyalah-gunaan) properti Barongsai tersebut?
Kaum “pribumi” di Indonesia memiliki budayanya sendiri, seperti masyarakat Betawi dengan “Ondel-Ondel-nya”, Pancak Silat, si Pitung, si Buta dari Goa Hantu, Abang-None Jakarta, “Odong-Odong”, dan sebagainya. Mengapa harus melecehkan budaya warisan etnik Tionghua, dan menjadikannya ajang atau alat untuk mengamen dan mengemis-ngemis dari satu rumah ke rumah lainnya? Mengapa, bangsa ini, yang terdiri dari pluralitas etnik, tidak dapat saling menghargai dan saling menghormati ketika hidup berdampingan, namun selalu membenturkan antara entik minoritas dan kaum mayoritas yang sudah tidak relevan lagi untuk dijadikan isu sosial? Apakah sesukar itu, hidup berbagi ruang tanpa saling melecehkan satu sama lain?
Fenomena kedua, yang sudah terjadi sejak lama—entah sejak kapan—yakni saat hari-H perayaan Imlek, hari raya ini di jalan-jalan perumahan di Jakarta lebih banyak diwarnai dan “dimeriahkan” oleh perayaan bocah-bocah kaum “pribumi” meminta-minta dan mengemis-ngemis “Ci, minta ampaunya, Ci!”—terjadi dan mereka lakukan dari satu rumah ke rumah lainnya, baik sendiri-sendiri maupun secara bergerombol, dimana koor demikian dilakukan secara berulang-ulang sehingga terkesan memaksa yang mana bila tidak lekas diberikan maka koor demikian akan terus berlangsung sepanjang hari seolah sedang berorasi di depan rumah kediaman seorang TIonghua. Tidak tanggung-tanggung, setiap kali mereka menjumpai pejalan kaki di jalan yang beretnik Tionghua, mereka pun akan begitu tampak penuh “kelaparan”, mengerubunginya, dan meminta-minta dengan cara yang serupa, yakni ujaran bersahut-sahutan : “Ci, minta ampaunya, Ci!” Menyerupai “koak” bersahut-sahutan burung gagak pemakan bangkai.
Masih ingat dalam ingatan penulis, saat kejadian demonstrasi massal benturan antar enik dalam perkara ujaran “penistaan agama” yang melanda sang mantan Gubernur DKI Jakarta, Basoeki Tjahaja Poernama alias yang lebih akbrab dipanggil “Ahok”, terjadi aksi rasisme yang berlangsung secara masif (meski sudah lama terdapat Undang-Undang tentang Anti Diskriminasi yang mengandung ancaman sanksi pidana penjara bagi pelaku aksi rasisme, namun seolah hanya tajam kepada kaum minoritas dan tumpul terhadap pelaku dari kaum mayoritas), dimana terpampang spanduk “Anti CINA”, “Tolak CINA”, “Usir CINA”. Bahkan, bocah-bocah di dekat kediaman penulis saling menyorakkan dan memekikkan yel-yel penuh kebanggaan dengan lantangnya, “Cina itu Kaf!r, Cina itu Kaf!r, Cina kaf!r.”
Ironis, satiris, sekaligus miris melihatnya, dengan mata kepala penulis sendiri, bukan “katanya” orang lain. Sangat menakutkan kejadian tempo hari, dimana tempat-tempat ibadah keyakinan tertentu turut “memanasi” situasi dengan memasang spanduk maupun ceramah keagamaan bernada hasutan serta rasisme—beruntunglah, konflik diametral tidak kembali terjadi seperti preseden yang terjadi pada tahun 1998 pra-kejatuhan Orde Baru. dimana bilamana investor asing mengetahui berita atau fakta demikian, tidak terbayangkan dampak berantai bagi iklim investasi maupun kondisi ekonomi bagi negeri ini yang akan lebih memilih “hengkang” atau setidaknya menolak untuk berinvestasi di Indonesia.
Entah mengapa dan bagaimana, seolah orangtua mereka tidak mendidik putra-putrinya agar tidak bermental “pengemis”, bahkan mereka tahu dan turut mendorong putra-putri mereka untuk tidak ketinggalan ambil bagian dalam arus massa bocah-bocah “pribumi” dalam “merazia” dari satu rumah ke rumah lainnya yang berpenghuni etnik Tionghua, untuk mengujarkan yel-yel penuh semangat : “Ci, minta ampaunya, Ci! Ampaunya mana, Ci! Ampaunya dong, Ci!” Penulis lebih merasakan perasaan takut dan terancam, ketimbang merasa sedang “berbaur” dalam suatu komunitas pemukiman ini.
Ketika kejadian baru-baru ini tersebut, penulis kaitkan kembali dengan “kriminalisasi” terhadap sang “Ahok” disertai hujatan penuh kebencian serta penuh permusuhan terhadap entik Tionghua beberapa tahun lampau di Jakarta (penulis tidak tahu pasti kejadian di luar Jakarta pada kejadian beberapa tahun lampau tersebut), menjadi agak “menggelikan” juga bagi penulis, ketika membayangkan bocah-bocah yang sama tersebut kemudian justru meminta-minta dan mengemis-ngemis “minta ampau” kepada kaum Tionghua yang beberapa waktu lampau mereka “kutuk” serta mereka lecehkan dengan sebutan sebagai “Cina itu Kaf!r”.
Rasisme itu seolah “luntur” ketika menyambut tahun baru China, Imlek di Jakarta, karena seolah kasta kaum Tionghua “naik daun” dimana kaum “pribumi” yang kemudian merasa harus mengemis-ngemis dan meminta-minta kepada etnik TIonghua. Fenomena demikian mungkin juga terjadi diluar DKI Jakarta, namun penulis hanya menduganya tanpa tahu secara pasti untuk kejadian serta kondisi diluar Jakarta. Namun, demikianlah adanya budaya masyarakat di kota terbesar dan termaju di Indonesia, Jakarta.
Meski demikian, bukanlah itu fokus bahasan penulis. Apa yang penulis bahas diatas, hanyalah prolog belaka. Indonesia, hendak berpacu menjadi negara maju yang tinggi pertumbuhan ekonominya. Menjadi miris, ketika orangtua daripada generasi penerus bangsa, justru mendidik putra-puteri mereka untuk menjadi anak-anak yang memiliki mental “pengemis”, peminta-minta, dengan tangan yang selalu “ditengadahkan ke atas”—dengan demikian bangganya, tanpa rasa malu apapun, bahkan mungkin dipandang sebagai suatu prestasi.
Tidaklah mengherankan, bila kemudian dari pengalaman penulis menyediakan jasa layanan jual-beli konseling seputar hukum, sekalipun pihak-pihak yang menghungi penulis memiliki permasalahan seputar tanah yang bernilai miliaran Rupiah, mereka tanpa malu mengemis-ngemis meminta dilayani tanpa bersedia membayar seperak pun. Itulah hasil bentukan budaya “mengemis” ini, dampaknya terlihat nyata dan langsung, dan telah ribuan pelakunya penulis “blacklist” serta publikasikan dalam laman “Blacklist Pelanggar dan Pemerkosa Profesi Konsultan” dalam website ini.
Master Shih Cheng Yen, pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi, pernah berkata, “Lebih luhur bagi seorang manusia untuk membiasakan diri menengadahkan tangan ke bawah (memberi donasi), daripada menengadahkan tangan ke atas (meminta-minta).” Tulisan ini tidak tergolong “menghina” suatu kaum, namun bisa jadi kaum itu sendiri lewat kelakuannya sendiri yang merendahkan harkat dan martabatnya sendiri. Penulis hanya sekadar mengungkap pengalaman serta pengamatan pribadi langsung dengan mata serta telinga penulis sendiri, apa adanya. Sebagaimana disebutkan pepatah klasik, “buruk wajah jangan cermin dibelah”, atau dagelan seperti : “You can not to FACE your problem if your problem is your FACE.”
Bagaimana mungkin Indonesia hendak mengharap berkompetisi dengan dunia mancanegara, bila watak anak-anak generasi penerusnya sejak dini ditanamkan pola berpikir serta dibiasakan untuk memiliki paradigma dangkal seperti meminta-minta? Diberikan tanpa meminta, syukur. Namun bila sampai harus meminta-minta dan mengemis-ngemis, itulah yang patut kita sebut sabagai “mental pengemis bangsa pengemis”. Membiasakan generasi muda mengandalkan sifat pengemis untuk mengemis-ngemis, maka generasi penerus bangsa seperti apakah yang hendak kita harapkan bagi negeri ini dikemudian hari?
Sebagai bagian dari anggota Bangsa Indonesia, tulisan ini lebih menyerupai sebuah otokritik, karena penulis juga merupakan bagian dari Bangsa Indonesia ini. Namun tanpa “tamparan” halus (silahkan bilamana ada diantara pembaca tulisan ini yang memandang ulasan di atas sangat melecehkan kaumnya, karena itu artinya Anda telah “gagal mendidik” junior Anda) ini, tanpa adanya arahan yang memadai dari orangtua para bocah-bocah “pengemis” yang sejatinya bukan berlatar-belakang ekonomi rendah (penulis tahu benar ada diantara mereka yang memiliki orangtua serta rumah dan keluarga yang tergolong mampu, lebih dari mampu dari rumah-rumah milik etnik Tionghua yang mereka kunjungi dan minta-minta untuk mengemis sebuah “ampau merah”, karena beberapa diantara bocah-bocah pelakunya tidak lain ialah tetangga dari kediaman penulis sendiri sehingga penulis tahu betul kebiasaan serta kekayaan properti milik keluarganya).
Bila fenomena budaya “mengemis” demikian tidak segera diubah, diperbaiki, dikontrol, serta diluruskan, maka sejatinya akan bersifat kontraproduktif terhadap masa depan bangsa ini sendiri, karena para pemimpin bangsa ini dikemudian hari akan diambil serta diangkat tidak lain dari antara bocah-bocah “pengemis” demikian. Ketika seorang “pengemis dewasa” kemudian memimpin bangsa ini, maka dapat dipastikan negeri ini akan bergerak mundur, bukan bergerak maju, dan hanya bisa menjadi “negeri bermental miskin” yang hanya sibuk mengemis-ngemis hibah dari negara lain atau lebih pandai meminta-minta dari negara-negara donatur ketimbang mandiri dari masalah finansial maupun secara kemampuan berpikir, terlebih diharapkan untuk mampu berdaya secara harga diri dan mentalnya.
Seorang pengemis, hanya dikodratkan untuk diremehkan—karena dirinya sejatinya sedang merendahkan martabatnya sendiri (bukan oleh orang lain), dengan mengemis-ngemis bahkan mengemis-ngemis dari pihak lain yang bisa jadi lebih miskin daripada dirinya. Bangsa yang terbelakang, dapat dilihat dari indikator budaya masyarakatnya, apakah akan menggunakan pola pikir maupun cara-cara berpikir serta berperilaku dangkal ataukah berbudaya tinggi.
Anda dan kita sendiri yang menentukannya, apakah budaya “mengemis” yang sejatinya “menggelikan” demikian akan terus diwariskan kepada generasi penerus kita, ataukah akan kita cukupi dan sudahi sampai di sini saja. Semua ada di tangan bangsa kita sendiri. Sebuah bangsa, seringkali dijatuhkan, digerogoti, dan dijungkalkan oleh orang-orang dari internal bangsanya sendiri, ketimbang pelemahan ataupun dijatuhkan oleh ancaman bangsa lainnya.
Bila ada diantara “kita” yang merasa budaya mengemis demikian belum cukup memalukan, maka kita tunggu saja budaya yang lebih tidak beradab dan memalukan menunggu dipertontonkan secara masif “berjemaah” di depan mata kita, hanya perihal waktu. Ada yang berani bertahun dan mempertaruhkan masa depan bangsa ini, dengan budaya dangkal-rendahan-murahan demikian? Satu hal yang pasti, bangsa yang kreatif dan berbudaya tinggi yang maju, tidak pernah mengemis, terlebih untuk membanggakan karakter mengemis-ngemis.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.