Alat Bukti PENGAKUAN TIDAK LANGSUNG, Pendekatan Beban Pembuktian Terbalik dalam Hukum Acara Perdata

ARTIKEL HUKUM
Polemik Alat Bukti DIRECT RECOGNITION Versus DIRECT RECOGNITION dalam Hukum Acara Pembuktian Perdata
Isu hukum yang akan penulis angkat dalam ulasan ini, ialah perihal perlu atau tidaknya dimasukkan rumusan terkait jenis-jenis alat bukti dalam hukum acara perdata, khususnya “pengakuan (secara) tidak langsung” (indirect recognition) yang lebih menyerupai “beban pembuktian terbalik” (shifting the burden of prove) yang selama ini lebih lazim dikenal dalam konteks perkara-perkara pidana seperti tindak pidana korupsi maupun money laundring.
Sebagaimana kita ketahui, hukum acara perdata kita telah secara tegas mengatur “siapa yang mendalilkan maka ia yang diwajibkan untuk membuktikannya”. Namun, praktik peradilan yang cukup “nakal” mencoba membuat penyimpangan kaedah normatif demikian dengan menyatakan dalam pertimbangan hukum sebelum menjatuhkan amar putusan, kurang-lebih dengan pernyataan Majelis Hakim sebagai berikut: “Pihak Tergugat tidak membantah dalil-dalil yang diajukan oleh Penggugat dalam surat gugatannya, maka diartikan sebagai pihak Tergugat telah diam-diam menerima dan telah secara diam-diam membenarkan dalil-dalil yang dituduhkan oleh pihak Penggugat.”
Terlebih, dalam kasus seperti putusan verstek (diputus tanpa hadirnya pihak Tergugat untuk membela diri, menyerupai putusan pidana “in absentia”), Majelis Hakim kerap menyatakan dalam putusannya: “Pihak Tergugat tidak pernah tampil untuk membela diri ataupun untuk menyanggah dalil-dalil klaim sepihak Penggugat, maka diartikan sebagai telah melepaskan haknya untuk membantah segala dalil-dalil klaim sepihak pihak Penggugat.”
Praktik peradilan semacam itu, hanya cocok diberlakukan bila terdapat “ketimpangan posisi dominan” antara para pihak yang saling bersengketa dalam sebuah gugatan perdata, semisal kalangan buruh menggugat pelaku usaha, konsumen menggugat produsen, sipil menggugat pemerintah, dan berbagai kasus-kasus dengan ketimpangan posisi dominan lainnya, dimana pihak Penggugat mengalami posisi dilematis yakni ketidak-sanggupan mengakses berbagai alat bukti yang dimonopolisir serta dikuasai semata oleh pihak Tergugat.
Kembali kepada prinsip paling utama dalam hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, “siapa yang mendalilkan maka ia yang diwajibkan oleh hukum dan pengadilan untuk membuktikannya”. Tidak pernah dapat dimaknai, prinsip pembuktian dalam hukum acara perdata demikian sebagai tidak dibantahnya dalil-dalil klaim sepihak pihak Penggugat maka pihak Tergugat dimaknai sebagai menerima dan membenarkan dalil-dalil “sepihak” demikian. Hukum acara perdata di Republik Indonesia tidak pernah secara tersirat maupun secara tersurat memaknai “diam sebagai membenarkan dan menyetujui” (paradigma berpikir “beban pembuktian terbalik”).
Mungkin, prinsip paling utama dalam hukum acara pidana dapat turut kita adopsi untuk kepentingan bahasan kita, yakni prinsip “non self-incrimination”—yang bila kita implementasikan dalam hukum acara perdata dapat kita maknai sebagai : “Sikap diam” pihak Tergugat dapat dimaknai sebagai membenarkan dan menyetujui dalil-dalil Penggugat, sepanjang hal tersebut lebih menguntungkan pihak Tergugat itu sendiri. Sebaliknya, bila klaim-klaim sepihak pihak Penggugat lebih merugikan pihak Tergugat, maka “sikap diam” pihak Tergugat wajib dimaknai sebagai persangkaan bagi hakim pemeriksa perkara bahwa Tergugat menolak dan tidak membenarkannya.
Karenanya, seringkali draf baku “Surat Jawaban” dari pihak Tergugat di persidangan, akan membuat “opening statement”, bahwa : Segala sesuatu dalil maupun pembuktian pihak Penggugat, dengan ini dinyatakan sebagai tidak diakui, tidak dibenarkan, serta ditolak oleh pihak Tergugat sepanjang tidak sebaliknya diakui kebenarannya secara tegas dalam surat bantahan ini.
Karenanya pula, seorang litigator yang terampil, dalam suatu acara pembuktian di persidangan, saat pihak Penggugat menyodorkan alat bukti surat ke hadapan Majelis Hakim, akan menegaskan pada saat sidang acara pembuktian akan ditutup, dengan “closing statement” secara lisan, sebagai berikut: “Yang Mulia, mohon agar panitera pengganti mencatat dalam berita acara, bahwa pihak Tergugat menolak dan tidak membenarkan seluruh alat bukti yang diajukan oleh pihak Penggugat, dimana untuk selengkapnya akan diuraikan dalam Surat Kesimpulan.”
Mengapa pembahasan ini menjadi demikian penting sekaligus krusial untuk ditelaah dan dipetakan? Dari ribuan perkara perdata yang telah penulis telaah dan eksaminasi, terdapat setidaknya kurang dari 1% (satu persen) putusan pengadilan dimana Majelis Hakim pada persidangan perkara perdata menerapkan “asas pembuktian terbalik” (suatu jumlah yang tetap terbilang cukup besar dari puluhan ribu perkara yang diputus oleh Mahkamah Agung RI setiap tahunnya), terutama ketika Majelis Hakim menangani perkara-perkara hubungan industrial di Pengadilan Hubungan Industrial antara “Buruh Vs. Pengusaha”. Sementara kita ketahui, hukum acara yang berlaku di Pengadilan Hubungan Industrial menerapkan pula atau mengadopsi sistem pembuktian menurut hukum acara perdata.
Jika kita mengakui dan menyepakati bahwa bilamana pihak Tergugat tidak membantah, mendiamkan, serta tidak menolak, maka akan dimaknai oleh pengadilan perkara perdata sebagai suatu “tidak mengingkari tuduhan wanprestasi”, “membenarkan klaim sepihak Penggugat”, “tidak menolak dituntut ganti-rugi”, “diam-diam menyetujui segala dalil Penggugat”, maka sejatinya hukum acara perdata di Indonesia bersifat “banci” dan tidak tegas disamping tidak konsisten—sehingga lebih menyerupai sifat “politik” yang tidak pernah konsisten dalam hal pendirian.
Ketidak-tegasan dan ketidak-konsistenan penerapan / implementasi stelsel hukum acara pembuktian di pengadilan terutama persidangan perkara perdata, yang kadangkala tegas dan tajam (strict) menerapkan prinsip “siapa mendalilkan maka ia yang wajib membuktikan” dan kadangkala pula (secara sulit untuk diprediksi) bandul pendirian hakim akan bergeser secara kontras bertolak-belakang dengan pendirian sebelumnya, alias memiliki pendirian yang “plin-plan” dalam perkara perdata lainnya dengan menyatakan bahwa “tidak dapat membantah artinya membenarkan tuduhan Penggugat” atau “bersikap diam artinya menerima dan tidak menolak segala dalil-dalil klaim sepihak pihak Penggugat”, maka pada gilirannya tiada kepastian hukum yang mampu ditawarkan praktik persidangan perkara perdata kita—semua seolah menjelma “spekulatif”, bergantung pada “selera” sang hakim pemutus perkara.
Tiadanya kepastian hukum, membawa “moral hazard” tersendiri yang harus “dibayar mahal” oleh segenap pencari keadilan, mengingat kecenderungan dan pendirian praktik peradilan menjadi sangat “liar”, sukar diprediksi, dan seolah membuka ruang “transaksional” bagi pihak-pihak tertentu yang hendak melakukan pendekatan politis berupa intervensi terhadap independensi hakim pemeriksa dan pemutus perkara. Kembali pada pertanyaan semula, hukum acara perdata yang berlaku di Republik Indonesia menerapkan standar apakah, “beban pembuktian Penggugat” ataukah “beban pembuktian Tergugat” (alias “beban pembuktian terbalik” itu sendiri)? Bila jawabannya rancu, ambigu, maka kita tidak dapat menyebutnya sebagai suatu “standar”, kecuali sebagai “standar berganda”.
Mari kita analogikan dalam praktik peradilan perkara Tindak Pidana Pencucian Uang maupun Tindak pidana korupsi yang dalam Undang-Undang dan hukum acara Pemberantasan Tindak pidana korupsi secara tegas mengakomodasi tuntutan terhadap Terdakwa kasus korupsi dengan skema “beban pembuktian terbalik”. Bila Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi atau dari Kejaksaan, sebagai contoh, menuduh pihak Terdakwa telah mendapatkan / menghimpun harta kekayaannya dari hasil praktik ilegal seperti Pencucian Uang (money laundring) ataupun tindak pidana korupsi, namun sang Terdakwa gagal membuktikan bagaimana perolehan harta tersebut didapatkan olehnya serta gagal untuk menjelaskan maupun menyodorkan alat bukti terkait asal-usul sumber penghasilannya ataupun sumber dana yang dimilikinya, maka hal tersebut menjadi salah satu “alat bukti” itu sendiri bagi sang hakim, yakni alat bukti bernama “petunjuk” bahwa memang sang Terdakwa telah melakukan apa yang dituduhkan oleh pihak Jaksa Penuntut Umum. Begitulah cara bekerjanya “beban pembuktian terbalik” di persidangan perkara pidana korupsi.
Dapat kita lihat contoh ilustrasi di atas, “beban pembuktian” sejatinya merupakan “sarana” belaka, yakni sarana bagi hakim pada saat proses persidangan untuk sampai pada suatu konklusi yang mengarahkan pada suatu alat bukti yang diakui baik dalam hukum acara pidana maupun Hukum Acara Perdata, yakni yang disebut sebagai alat bukti “petunjuk (bagi) hakim” (dalam kasus pidana) dan alat bukti “persangkaan (dalam benak) hakim” (dalam perkara perdata).
Karenanya, setidaknya dapat kita simpulkan, “beban pembuktian” bukanlah alat bukti itu sendiri, namun sekadar sebagai “sarana” menuju ditemukannya alat bukti “petunjuk” maupun “persangkaan”. Memang “pengakuan” masuk dalam salah satu kategorisasi alat bukti menurut Hukum Acara Perdata, namun sifatnya ialah “pengakuan langsung” (direct recognition) dari pihak Tergugat maupun pihak Penggugat (ketika Penggugat justru mengakui kesalahannya sendiri lewat dalil-dalil dalam posita surat gugatan yang cacat rumusan kronologi maupun dalil-dalilnya).
Kriteria alat bukti dalam hukum acara perdata mendapat pengaturannya dalam Pasal 164 HIR, terdiri dari : surat, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Betul bahwa disebut-sebut perihal alat bukti “pengakuan”. Namun, kembali pada polemik semula yang menjadi fokus bahasan kita, yakni: “pengakuan langsung” sebagai direct evidence ataukah “pengakuan tidak langsung” pula sebagai indirect evidence?
Secara falsafah, tidaklah dapat dimungkinkan alat bukti “pengakuan tidak langsung” eksis bersamaan dengan salah satu prinsip utama hukum acara pembuktian perkara perdata, yakni: siapa yang mendalilkan, maka ia yang wajib membuktikannya, bukan mewajibkan pihak lain untuk bersuara membantah—sebagaimana tuntutan dari “beban pembuktian terbalik”. Bahkan, dalam hukum acara pidana, dikenal adagium : “You have right to remain silent”—yang bila kita terjemahkan secara harafiah berarti: hak untuk diam termasuk hak asasi manusia yang tidak dapat dikriminalisasi, terlebih dituntut lewat mekanisme gugatan sekalipun—terkecuali untuk perkara-perkara dengan “ketimpangan posisi dominan” sebagaimana telah kita bahas bersama di muka.
Seseorang digugat secara serampangan, terutama dalam perkara gugatan dari seorang debitor terkait kasus “kredit macet” kepada sang kreditornya, kantor lelang negara, hingga pembeli objek lelang eksekusi agunan, seringkali berbentuk “penyalah-gunaan” lembaga gugatan demi ego pribadi sang debitur “nakal”. Maka, tiadalah perlu pihak-pihak Tergugat yang merupakan sesama warganegara untuk dibebani kewajiban untuk repot-repot hadir di persidangan (membuang-buang waktu), untuk membantah, untuk membuktikan bahwa gugatan sang debitor “kredit macet” ialah gugatan “ilusioner”, dan dalil-dalil yang serampangan. Seorang hakim yang cukup arif bijaksana, tidak demikian naif berpikir bahwa seluruh gugatan oleh para Penggugat di persidangan dilandasi oleh suatu “itikad baik”—karena fakta empirik menunjukkan sebaliknya, sehingga tidak jarang terjadi “gugatan rekonpensi”, yakni digugat balik oleh pihak Tergugat.
Setiap warganegara, berhak untuk “diam”. Tetap “bungkam”, dan tidak direpotkan oleh berbagai gugatan-gugatan dengan dalil-dalil serampangan demikian—seperti yang selama ini mayoritas memenuhi permohonan kasasi pada Mahkamah Agung RI. Bila pihak Penggugat hendak “bernyanyi” dan “berkoar-koar” sendiri, maka biarlah pihak Penggugat itu sendiri yang disibukkan dan direpotkan mengajukan klaim demi klaim sepihak sang “pembuat gaduh dan kenonaran”,  bukan dimaknai sebagai beban kewajiban bagi warganegara lain untuk balas “bernyanyi” dan dibuang-buang waktu untuk membatah dan berteriak-teriak hingga menjerit-jerit menolaknya.
Seperti yang telah diutarakan oleh pepatah klasik, tong kosong selalu lebih nyaring bunyinya, kita tidak perlu ikut-ikutan menjadi “tong kosong” demikian. Orang-orang besar, selalu tampil elegan, mereka sangat minim dalam bersuara dan cenderung lebih banyak berpikir ketimbang berkoar-koar. Biarlah anjing menggonggong sekerasnya, khafilah cukup berjalan berlalu. Sejak kapankah hukum acara perdata kita mengatur, bahwasannya warganegara lain yang digugat, diwajibkan untuk repot-repot bersuara, hadir, dan membatah segala klaim pihak Penggugat?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.