Akta Notaris Menyatakan LUNAS, meski Jual-Beli Tanah Seringkali BELUM LUNAS

ARTIKEL HUKUM
Dari berbagai permasalahan perkara hukum terkait pertanahan yang kebetulan dialami klien dari penulis, terdapat beberapa diantaranya berupa sengketa perdata terkait jual-beli hak atas tanah yang bermula dari Akta Jual-Beli yang dibuat oleh profesi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang menyatakan “bahwa penjual menyatakan dengan akta ini bahwa harga pembayaran jual-beli telah LUNAS dimana akta jual-beli ini berlaku sebagai tanda bukti pelunasan harga jual-beli“—dimana realitanya harga jual-beli belum benar-benar dilunasi oleh pihak pembeli.
Perihal harga jual-beli hak atas tanah yang senyatanya belum benar-benar dilunasi, namun Akta Jual-Beli menyatakan telah “LUNAS”, sejatinya bukanlah isu hukum baru, namun sengketa pertanahan yang terbit akibat karaker perkara serupa terbilang cukup masif mewarnai praktik persidangan sejak dahulu kala hingga saat kini, sehingga dapat disebut sebagai masalah hukum “klasik” dan belum pernah benar-benar diatasi secara “kreatif” oleh otoritas dibidang pertanahan republik ini.
Terdapat satu kasus yang pernah dialami oleh klien penulis, dimana terhadap Akta Jual-Beli yang ditanda-tangani oleh penjual dan pembeli, sama sekali belum dibayar lunas bahkan tanpa pula pernah dibayarkan uang muka pembelian, alias sama sekali tidak pernah dibayar sepeser pun, namun Akta Jual-Beli menyatakan “sudah LUNAS”. Kemelut? Tentu saja, dan ironisnya pihak pembeli ternyata tergolong “mafia tanah” yang berhasil “menggondol” sertiifkat hak atas tanah berkomplot dengan pihak notaris/PPAT tanpa membayar seperak pun kepada pihak penjual.
Sang penjual atau pemilik hak atas tanah yang kemudian menggunakan jasa konseling hukum yang disediakan oleh penulis, menuturkan bahwa dirinya sedang membutuhkan dana, sehingga percaya saja kepada pihak calon pembeli dan pihak notaris/PPAT. Ternyata, tidak selamanya “positive thinking” berbuah manis, suatu pengalaman pahit yang mahal harga “pelajaran”-nya, terlebih untuk urusan jual-beli hak atas tanah.
Yang menarik dari perkara yang dialami oleh klien dari penulis satu ini, sang klien mengajukan gugatan perkara perdata dengan dalil “wanprestasi” serta adanya “perbuatan melawan hukum” karena disertai adanya unsur “penipuan” dengan maksud sebagai dalil “pamungkas” untuk membatalkan Akta Jual-Beli. Karena memasukkan unsur dalil adanya “penipuan” (salah strategi oleh sang klien sebelum mencari penulis, yang ternyata “mahal harganya”), maka Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri menjadi mudah saja untuk menjatuhkan putusan yang pada pokoknya menyatakan “gugatan tidak dapat diterima”, dengan pertimbangan hukum bahwa “penipuan tidak apat dipersangkakan, harus dibuktikan terlebih dahulu dalam putusan perkara pidana penipuan terhadap pihak Tergugat yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga gugatan a quo bersifat gugatan yang prematur.”
Terdapat logika hukum yang unik sekaligus “jungkir-balik” dalam sistem pembuktian hukum acara perdata di Indonesia. Bila saja sang klien selaku pihak Penggugat yang notabene “penjual yang tertipu” (memang sudah jelas tertipu, tidak membayar seperak pun namun berani untuk membalik-nama sertifikat hak atas tanah dengan menyalah-gunakan AJB yang telah ditanda-tangani oleh pihak penjual) tersebut cukup mendalilkan bahwa harga jual-beli belum dibayar lunas, bahkan belum dibayar uang muka sama sekali sepeser pun, maka selanjutnya cukuplah membatasi diri dengan mengutarakan teori serta konsep hukum perihal “wanprestasi”, dimana salah satu akibat dari “wanprestasi” (ingkar janji) ialah opsional pokok permohonan dalam surat gugatan (petitum), yakni bisa berupa:
a.) tuntutan agar dibayarkan sejumlah dana yang sebelumnya disepakati;
b.) memaksa pihak dalam perikatan untuk mengindahkan apa yang telah disepakati dalam perjanjian; atau
c.) membatalkan perjanjian.
Membatalkan perjanjian, merupakan domain pengadilan (terutama persidangan perkara perdata), karena tidak membayar jual-beli apa yang telah diperjanjikan, dapat dianalogikan atau dipersamakan dengan tiadanya unsur “sepakat” dalam saling mengikatkan diri yang menjadi syarat sah perjanjian “unsur subjektif”, sehingga “dapat dibatalkan” dengan perantaraan putusan peradilan perkara perdata dengan spesifikasi kriteria “wanprestasi”.
Bila saja dalam gugatan yang diajukan oleh sang klien, tidak menyinggung sedikit pun dalil adanya unsur “penipuan” (sekalipun memang benar begitu adanya), cukup berfokus pada dalil telah terjadinya “wanprestasi”, maka dapat dipastikan gugatan sang klien akan dikabulkan oleh Majelis Hakim pada pengadilan.
Kekeliruan menyusun strategi gugatan, penulis tengarai akibat ketidak-tahuan pengacara dari sang klien perihal preseden terkait jual-beli tanah sekalipun Akta Jual-Beli menyatakan “telah LUNAS” namun bilamana pihak Tergugat selaku pembeli tidak mampu menunjukkan bukti-bukti penyerahan dana pembelian berupa transfer ke rekening milik pihak penjual maupun kuitansi tanda terima uang dari pihak penjual, maka klausula dalam Akta Jual-Beli yang menyatakan “telah LUNAS” demikian akan dianulir oleh putusan pengadilan perkara perdata.
Ketidak-tahuan atas norma bentukan “preseden” itulah, yang “memaksa” pengacara sang klien menyusun siasat gugatan dengan dalil adanya “penipuan”—dan disaat bersamaan sang pengacara terjebak oleh ketidak-tahuan lain dari dirinya, bahwa “preseden” dalam sengketa perdata juga mengandung yurisprudensi terbakukan bahwa “penipuan tidak dapat dipersangkakan, harus terlebih dahulu terbit putusan pidana terkait terjadinya kebenaran adanya tindak pidana penipuan yang didalilkan pihak Penggugat”. Penulis sering menyebutnya sebagai “ketidak-tahuan yang satu berujung pada ketidak-tahuan yang lain” (efek berantai), menjelma bumerang bagi sang klien pengguna jasa pengacara itu sendiri yang kian “terkunci” serta “tersudukan” akibat kesalahan (kekeliruan fatal) dalam menyusun strategi langkah dan dalil hukum.
Baru hanya membayar separuh atau bahkan tidak pernah membayar sepeser pun, masuk dalam kriteria “wanprestasi”, dan tidak dibutuhkan dalil adanya unsur “penipuan” (pidana) untuk memperkeruh surat gugatan yang diajukannya sendiri sehingga menjadi terbias, sekalipun sejatinya dapat berfokus pada konsepsi wanprestasi, kini terbukti menjadi kontraproduktif bagi kepentingan pihak penjual. Dapat dibuktikan terjadinya “wanprestasi”, sudah cukup untuk memulihkan hak-hak penjual seperti dibatalkannya jual-beli ataupun mewajibkan pihak pembeli untuk melunasinya dengan disertai “sita jaminan” berujung “sita eksekusi” (terhadap tanah milik pihak eks-penjual itu sendiri, karena telah di-balik-namakan ke atas nama pihak pembeli) bila pihak pembeli tetap melalaikannya.
Yang membuat penulis penuh keheranan, mengapa hakim dalam perkara perdata tidak menerapkan “akal sehat” dalam memutus perkara di atas? Sejatinya, dalam analisa hukum penulis, sesuai “asas kemanfaatan”, norma bentukan preseden yang sempat penulis singgung di atas sejatinya saling tumpang-tindih antar kaedah hukum. Betapa tidak, sekalipun pihak penjual mendalilkan adanya unsur “penipuan”, cukuplah Majelis Hakim menerapkan norma yurisprudensi yang menyatakan bahwa dalam konteks jual-beli hak atas tanah, bila pihak pembeli gagal membuktikan adanya alat bukti pembayaran atau pelunasan kepada pihak pembeli, sekalipun Akta Jual-Beli menyatakan “telah LUNAS”, maka menjadi tidak terbantahkan bahwa dalil pihak penjual bahwasannya “belum dilunasi dan belum terlunasi” adalah beralasan untuk dinyatakan terbukti dan dikabulkan gugatannya.
Mengapa hakim justru memilih berfokus pada “cacat kecil” berupa bintik hitam bernama tuduhan adanya “penipuan”, sekalipun fakta-fakta hukumnya telah demikian jelas terungkap dalam proses pembuktian di persidangan karena tiada dapat dibuktikan adanya penyerahan sejumlah dana jual-beli oleh pihak pembeli kepada pihak penjual? Dalam hal ini, menjadi “beban pembuktian terbalik” (shifting the burden of prove), alias pihak pembeli yang harus membuktikan dirinya betul telah melunasi dengan menyertakan alat bukti.
Namun, karena dalil dalam gugatan “dikeruhkan” oleh tuduhan “penipuan”, seolah norma bentukan preseden demikian menjadi “tertutup” atau fokus perhatian Majelis Hakim menjadi teralihkan oleh norma bentukan preseden lainnya yakni bahwasannya “pidana tidak dapat dipersangkakan dalam perkara perdata”. Penulis menyebutnya sebagai, rumusan surat gugatan serta strategi hukum yang terlampau naif, ibarat pemain catur yang buruk dalam menyusun langkah demi langkah hukum yang strategis. Tidak dibekalinya kalangan profesi pengacara di Indonesia dengan keterampilan parktis berupa “ilmu prediksi” dalam hukum (ilmu hukum adalah ilmu tentang prediksi), mengakibatkan upaya hukum gugatan menjelma “spekulasi” yang mahal harganya. Simple is beautiful, dimana “berfokus” menjelma serangan yang tajam dan ‘efektif karena efisien”.
Kini, penulis akan mengalihkan fokus bahasan terhadap isu hukum pendampingnya, yakni : Mengapa preseden terkait Akta Jual-Beli yang mencantumkan frasa “sudah LUNAS” demikian, tidak diakui keberadaannya bila tanpa disertai kemampuan pihak pembeli untuk membuktikan bahwa dirinya telah menyerahkan sejumlah dana jual-beli, sekalipun AJB digolongkan sebagai akta otentik? Terdapat falsafah hukumnya dibalik pendirian praktik peradilan menjelma norma bentukan “preseden” demikian.
Jual-beli hak atas tanah, tidak pernah semurah jual-beli bahan bangunan. Nominalnya selalu diatas ratusan juta rupiah hingga miliaran rupiah. Karenanya, menjadi tidak wajar bila menyerupai seseorang membeli barang di warung kelontong tanpa kuitansi tanda-terima uang pembelian dari pembeli kepada pihak penjual. Kedua, tidaklah mungkin pembayaran terjadi dalam satu kali pembayaran secara tunai di hadapan PPAT layaknya sewa-menyewa properti, sehingga seringkali berwujud transfer antar rekening antara pihak pembeli ke rekening milik pihak pembeli di luar kantor PPAT, dimana tentunya terdapat bukti slip transfer demikian yang menjadi alat bukti transaksi.
Sudah menjadi rahasia umum, nominal harga yang tercantum dalam Akta Jual-Beli, guna menyikapi “ancaman” besaran pungutan pajak penghasilan maupun Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB), maka nominal harga jual-beli dalam Akta Jual-Beli “ditekan” (baca: “diakali”) semurah mungkin dan sedemikian rupa, sementara “harga jual-beli yang sebenarnya” dibuat dalam perjanjian terpisah antara pihak penjual dan pihak pembeli. Lalu, mengingat nilai nominal harga jual-beli “sebenarnya” dalam Akta Jual-Beli dapat dipastikan lebih murah atau lebih rendah dari nilai nominal jual-beli sebenarnya dalam perjanjian terpisah yang dibuat kedua belah pihak, maka dapat dipastikan harga jual-beli BELUM BENAR-BENAR LUNAS.
Kecuali dalam konteks jual-beli dengan pihak developer (pihak pengembang perumahan) yang menawarkan reputasi nama korporasinya sehingga calon pembeli tidak keberatan memberi kepercayaan dengan cara mencicil harga jual-beli dengan ikatan berupa Perjanjian Pengikatan Jual-Beli (PPJB), barulah kemudian ketika telah benar-benar berstatus “lunas” maka dilanjutkan dengan proses Akta Jual-Beli (AJB), sehingga frasa “sudah LUNAS” dalam AJB dapat dipastikan kebenarannya.
Namun, mencicil harga jual-beli terhadap penjual perorangan ataupun pihak developer yang belum ternama serta belum dipercaya reputasinya, sangatlah beresiko tinggi terjadinya ingkar-janji hingga modus penipuan bila hanya diberikan bukti ikatan berupa PPJB semata. Pilih manakah Anda, bayar dahulu baru terima sertifikat (AJB), ataukah terima sertifikat dahulu (AJB) barulah membayar? Itulah pertanyaan yang menyerupai pertanyaan “mana yang terlebih dahulu, telur ataukah ayam?”. Keduanya sukar disatukan, mengingat harga nominal transaksinya yang demikian besar sehingga adalah tidak memungkinkan pihak pembeli membawa uang tunai total harga jual-beli ke hadapan kantor PPAT saat melangsungkan AJB dengan pihak penjual.
Karenanya, praktik hukum untuk itu melakukan “rasionalisasi” sebagai solusinya. Pernah terjadi, dalam satu perkara serupa, penjual menerima alat pembayaran berupa cek saat dilangsungkannya AJB bersama pihak pembeli, ternyata setelah dilakukan penanda-tanganan AJB dan pihak penjual pergi dari kantor PPAT untuk mencaikan cek dengan nominal besar tersebut, barulah diketahui bahwa cek tersebut “kosong dana dalam rekening giro milik pihak pembeli”.
Apakah pihak penjual, telah bersikap kurang berhati-hati? Sekali lagi, adalah tidak mungkin berdasarkan akal sehat, harga jual-beli benar-benar dilunasi saat akan dilangsungkan AJB antara pihak penjual dan pihak pembeli—rujuk kembali harga tanah pada saat kini yang tergolong “fantastis”, perlu berapa koper berisi lembaran uang kartal untuk dibawa pembeli dan dihitung oleh pihak pembeli di kantor PPAT sebelum menanda-tangani AJB, belum lagi perihal masalah keasliannya.
Sebagai solusi yang paling rasional, sudah saatnya hukum pertanahan kita tidak lagi mensyaratkan “sudah LUNAS” barulah AJB dapat dilangsungkan antara pihak penjual dan pihak pembeli, mengingat hukum pertanahan kita mengakui serta mengadopsi juga asas dalam hukum adat yang lazim dikenal dan populer dengan sebutan “asas terang dan tunai”. Asas “terang”, dimaknai sebagai peralihan hak wajib di hadapan Kepala Desa dan/atau PPAT. Sementara asas “tunai”, dimaknai sebagai tidak harus telah lunas, namun cukup “uang panjar” dibayarkan oleh pembeli kepada pihak penjual, dimana selanjutnya ialah hubungan hukum hutang-piutang dan seketika itu juga peralihan hak telah sah terjadi sekalipun BELUM LUNAS.
Karenanya, Akta Jual-Beli tidak harus berupa format baku pencantuman frasa “sudah LUNAS”, namun dapat disesuaikan dengan realita fakta empirik berupa “baru cicil” dengan bahasa yang diperhalus seperti : “Dengan disertai uang panjar senilai sebagaimana dapat dibuktikan pembayaran oleh pihak pembeli kepada pihak penjual berupa kuitansi, bukti transfer, dsb”. Akta Jual-Beli tidak perlu mencantumkan nominal atau dapat juga mencantumkan nominal “uang panjar” (uang muka, down payment, atau sebutan lainnya).
Baru telah dibayarkan sejumlah nominal, tidak lagi relevan untuk dituangkan dalam AJB, sebab norma hukum bentukan “preseden” telah menegaskan, pembuktian dalam AJB bersifat “beban pembuktian terbalik” dimana pihak pembeli yang harus membuktikan dengan alat pembuktian miliknya, berapakah dirinya telah membayar kepada pihak penjual atau berapa dana yang secara efektif telah diterima oleh pihak penjual.
Sementara perihal pajak, sekalipun “BELUM LUNAS”, namun aturan hukum dapat terjadi mengakomodasinya dengan tetap mewajibkan pihak pembeli membayar BPHTB dan pihak penjual membayar PPh (Pajak Penghasilan) sebesar nilai total harga jual-beli dalam Akta Jual-Beli. Selebihnya, menjadi urusan para penjual dan pembeli yang menjelma hubungan hukum hutang-piutang antara pihak pembeli yang menjelma debitor dan pihak penjual yang menjadi pihak kreditor.
Namun, untuk kasus ekstrim bahkan tidak pernah dibayar sepeser pun akan tetapi dilangsungkan Akta Jual-Beli, jelas melanggar “asas tunai” dalam hukum pertanahan nasional maupun hukum adat terkait jual-beli hak atas tanah, karenanya bila pihak pembeli bahkan tidak mampu membuktikan adanya penyerahan “uang panjar” sekalipun, maka berlaku cacatnya syarat sah perjanjian “unsur objektif”, yakni “causa yang tidak sahih” (karena melanggar asas “tunai” pertanahan), dengan akibat hukum peralihan hak atas tanah menjadi “batal demi hukum” (yang juga perlu dimintakan ke hadapan peradilan guna konkretisasinya).
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.