Vicarious Liability Tidak Berlaku dalam Perkara Pidana

LEGAL OPINION
HUKUM PIDANA TIDAK MENGENAL ISTILAH VICARIOUS LIABILITY, TANGGUNG JAWAB MAJIKAN HANYA BERLAKU DALAM RANAH PERDATA
Telaah Perbedaan antara Pemerkosaan dan Perbuatan Cabul (Pencabulan), Tidak Mensyaratkan Alat Bukti, Cukup Berupa Saksi dan Keterangan Korban untuk dapat Dipidananya Pelaku
Question: Ketika ada angkutan truk ODOL (over dimention and over load) yang mengalami kegagalan fungsi pengereman akibat momentum dorongan muatan yang berlebihan mencapai dua kali kapasitas maksimum yang dibolehkan untuk dimuat kendaraan truk pengangkut muatan demikian, sehingga mengakibatkan kecelakaan lalu-lintas bahkan merenggut korban jiwa pengguna jalan lainnya, maka apakah pengusaha pemilik kendaraan pengangkut tersebut dapat turut dipidana bersama si pengemudinya?
Bukankah Undang-Undang Lalu-Lintas yang ada sekarang ini tidak ditemukan dan tidak mengenal istilah “Vicarious Liability” (tanggung-jawab keperdataan majikan terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak-buahnya) seperti dalam hukum perdata, namun ancaman pidananya hanya ditujukan bagi sang pengemudi kendaraan dimaksud itu saja? Lantas, apakah artinya si majikan dari pengemudi penyebab kecelakaan maut demikian, dapat lepas tanggung-jawab pidana begitu saja kepada korban maupun keluarganya?
Brief Answer: Betul bahwa konsep / asas “vicarious liabilities” hanya berlaku dalam konteks tanggung-jawab keperdataan guna menuntut tanggung-jawab berupa pembayaran ganti-rugi dari pemilik usaha kepada korban ataupun ahli waris dari para korban. Dalam konteks hukum pidana, yang dapat digunakan ialah instrumen pasal tindak pidana “penyertaan”, yakni adakah pihak yang “menyuruh” sang supir untuk mengendarai dan mengangkut muatan yang berlebihan demikian (alias pelaku “penyuruh”)?
Tidak jarang terjadi, pihak supir itu sendiri yang berinisiatif memuat muatan secara berlebih, dengan maksud mengambil untung lebih besar dengan menambah margin muatan yang dimuat dalam kendaraan angkut, dengan ataupun tanpa sepengetahuan sang pemilik kendaraan atau pemberi pekerjaan bagi sang supir untuk mengangkut dan mengirim—sekalipun kendaraan bersangkutan adalah betul milik sang pengusaha.
Karenanya, unsur terpenting dan penentu untuk dapat menjerat pelaku usaha demikian secara pidana sebagai pelaku delik “penyertaan” kategori “penyuruh”, ialah dapat dibuktikan ada atau tidaknya perintah yang menyuruh sang supir untuk mengangkut dan mengirim muatan dengan kendaraan secara berlebihan muatan demikian—bukan mencampur-aduknya dengan konsepsi asas “vicarious liabilities” yang akan kurang tepat bila diadopsi dari konsep hukum perdata.
Namun, dengan telah dipidananya sang pengemudi, bukan berarti melepas hak keperdataan korban atau keluarga korban untuk menuntut ganti-rugi materiil maupun immateriel kepada sang pengusaha yang memiliki tanggung-jawab untuk memastikan perilaku maupun atas lemahnya pengawasan majikan (pemberi pekerjaan / tugas / perintah) terhadap anak-buah atau pengemudi yang disewa olehnya berdasarkan prinsip tanggung-jawab keperdataan yakni asas “vicarious liabilities” demikian.
PEMBAHASAN:
Contoh paling sederhana, ketika seorang guru pada suatu sekolah dilaporkan oleh orangtua siswa, bahwasannya telah melakukan tindak pidana pelecehan asusila terhadap para siswa yang menjadi putra-puteri para orangtua tersebut, maka apakah artinya sang pejabat Kepala Sekolah atau pemilik yayasan yang menaungi sekolah itu yang akan divonis pidana berdasarkan alasan “tanggung jawab majikan”?
Ilustrasi konkret berikut dapat menjadi salah satu cerminan, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Pengadilan Negeri Amlapura perkara pidana asusila register Nomor 96/Pid.Sus/2013/PN.AP. tanggal 14 Nopember 2013, dimana Terdakwa didakwa karena telah dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul yakni terhadap saksi yang masih berusia 16 tahun, sebagaimana diatur dan diancam pidana berdasarkan Pasal 82 Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Bermula sesudah Terdakwa meminum minuman keras, menghapiri dan langsung memegang dan meremas buah dada milik korban yang meronta minta dilepaskan dan dibebaskan dari dekapan tangan Terdakwa yang melanjutkan aksinya dengan mencumbu pipi dan bibir korban. Dalam perjumpaan berikutnya Terdakwa kembali membekak korban, lalu dengan kedua tangannya secara berulang-kali menggerayangi buah dada milik korban meski korban berusaha menghindar dan menolak, Terdakwa justru mencium pipi dan bibir korban berulang-kali sambil mengatakan “Yan mau berhubungan dengan saya, berapa minta uang akan saya kasih.” Korban menjawab “Saya itu buka wanita bayaran.”
Karena diketahui ada orang lain yang melintas di daerah tersebut, Terdakwa dan rekannya kemudian pergi meninggalkan korban di tempat kejadian. Tidak cukup demikian, ketika korban kemudian sedang duduk sambil menangis, Terdakwa kembali muncul dan menghampiri korban untuk meminta maaf, namun karena korban tidak menghiraukan, terdakwa justru kembali melecehkan sang gadis dengan menciumi pipi korban yang kembali berusaha menghindar lalu pergi meninggalkan Terdakwa untuk melaporkan kejadian tidak senonoh yang dialami oleh korban kepada orangtuanya.
Dimana terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Jaksa Penuntut Umum di persidangan tidak mengajukan barang bukti;
“Menimbang, bahwa di persidangan telah didengar keterangan Saksi-Saksi di bawah sumpah yang pada pokoknya menerangkan ...;
“bahwa dipersidangan Terdakwa melepaskan haknya dengan tidak menghadirkan saksi yang meringankan dirinya (saksi a de charge);
“Menimbang, bahwa untuk menyatakan seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, maka perbuatan orang tersebut haruslah memenuhi seluruh unsur-unsur dari tindak pidana yang didakwakan kepadanya;
“Menimbang, bahwa Terdakwa diajukan ke persidangan oleh Penuntut Umum dengan dakwaan tunggal yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 82 UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang rumusannya berbunyi ‘Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu-muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul’, dengan unsur-unsur sebagai berikut:
1. Unsur ‘setiap orang’;
2. Unsur ‘dengan sengaja’;
3. Unsur ‘melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul’;
“Menimbang, bahwa terhadap unsur-unsur tersebut, Majelis Hakim akan mempertimbangkannya sebagai berikut :
Ad 1). Unsur ‘Setiap Orang’.
“Menimbang, bahwa Unsur setiap orang merupakan subjek hukum tindak pidana yang tidak terlepas pada sistem pembebanan tanggung-jawab pidana yang dianut, yang dalam hukum pidana umum (sumber pokoknya KUHP) adalah pribadi orang. Pertanggung-jawaban bersifat pribadi, artinya orang yang dibebani tanggung-jawab pidana dan dipidana hanyalah orang atau pribadi si pembuatnya. Pertanggung-jawaban pribadi tidak dapat dibebankan pada orang yang tidak berbuat atau subjek hukum yang lain (vicarious liability).
“Hukum pidana Indonesia yang menganut asas concordantie dari hukum pidana Belanda yang menganut sistem pertanggung-jawaban pribadi. Sangat jelas dari setiap rumusan tindak pidana dalam KUHP dimulai dengan perkataan ‘barang siapa’ (Hij die), hal tersebut sepadan dengan pengertian rumusan pasal dalam tindak pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak menggunakan perkataan ‘setiap orang’ yang maksudnya adalah orang pribadi;
“Menimbang, bahwa oleh karenanya pengertian kata ‘setiap orang’ adalah sama padanannya dengan kata barang siapa yang menunjuk pada subjek pelaku tindak pidana yang harus bertanggung jawab atas pembuatan / kejadian yang didakwakan itu atau setidak-tidaknya mengenai siapa orangnya yang harus dijadikan terdakwa dalam perkara aquo;
“Menimbang, bahwa oleh karena kata ‘setiap orang’ ini sepadan dengan kata ’barang siapa’ yang biasa tercantum dalam suatu perumusan delik, yakni suatu istilah yang bukan merupakan unsur tindak pidana, melainkan merupakan unsur pasal, yang menunjuk kepada siapa saja secara perorangan atau suatu badan sebagai subyek hukum pendukung hak dan kewajiban yang melakukan atau telah didakwa melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“’Setiap orang’ ini melekat pada setiap unsur tindak pidana, oleh karenanya ia akan terpenuhi apabila semua unsur tindak pidana dalam delik tersebut terpenuhi;
“Menimbang, bahwa sebelum Majelis Hakim mempertimbangkan unsur ke-2 tersebut diatas, Majelis Hakim perlu mempertimbangkan terlebih dahulu unsur ke-3, sebagai berikut:
Ad.3. Unsur ‘melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul’;
“Menimbang, bahwa terhadap unsur kedua ini bersifat alternatif, maka apabila terbukti salah satu perbuatan terdakwa terhadap unsur kedua ini, maka telah dianggap terpenuhi suatu unsur;
“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan menggunakan kekerasan adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah, yang disamakan dengan kekerasan adalah membuat orang pingsan ataupun tidak berdaya, tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, sedangkan yang dimaksud ancaman kekerasan membuat seseorang yang diancam itu ketakutan karena ada sesuatu yang akan merugikan dirinya dengan kekerasan tersebut;
“Menimbang, bahwa yang dimaksud tipu-muslihat adalah akal licik yang merupakan perbuatan–perbuatan yang menyesatkan, yang dapat menimbulkan dalih–dalih palsu dan gambaran-gambaran yang keliru dan memaksa orang untuk menerimanya, sedangkan yang dimaksud serangkaian kebohongan adalah suatu rangkaian kebohongan yang terjadi bila dalam pelbagai kebohongan tersebut terdapat suatu hubungan yang sedemikian rupa dan kebohongan yang satu melengkapi kebohongan yang lain, sehingga secara timbal balik menimbulkan suatu gambaran palsu seolah-olah merupakan suatu kebenaran; {Note SHIETRA & PARTNERS : Menilik pembabaran demikian, sejatinya seorang gadis yang menyerahkan keperawanannya secara sukarela karena percaya dan termakan iming-iming akan dinikahi yang kemudian diingkari oleh sang pria, maka dapat dikenakan pasal dakwaan dengan delik kategori ini.]
“Menimbang, bahwa selanjutnya yang dimaksud dengan membujuk adalah melakukan pengaruh dengan cara–cara tertentu untuk dapat agar seseorang melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan, sedangkan perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan atau perbuatan keji yang berhubungan dengan napsu birahi kelamin, misalnya bercium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya; [Note SHIETRA & PARTNERS : Dengan demikian, dapat disimpulkan, tidak hanya perbuatan ‘pemerkosaan’ yang dapat dipidana, namun ‘perbuatan cabul’ pun dapat diancam jerat pidana.]
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim akan mempertimbangkan unsur kedua tersebut berdasarkan fakta-fakta hukum (rechtsfeiten) sebagai berikut : ...;
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut diatas, terbuktilah bahwa saksi ... menjadi korban perbuatan cabul yang dilakukan oleh terdakwa ... dengan cara menarik tangan saksi korban dan memeluknya dari belakang dan saat itu pula kedua tangan terdakwa memegang dan meremas kedua payudara saksi .... Walaupun saksi ... berusaha melakukan perlawanan dan menghindar dari dekapan kedua tangan terdakwa namun tenaga saksi ... kalah kuat dari tenaga terdakwa sehingga tidak mampu melepaskan dari dekapan tangan terdakwa tersebut, akhirnya terdakwa berhasil memegang dan meremas-remas payudara saksi korban ... dan ketika saksi ... berusaha melepaskan dari dekapan kedua tangan terdakwa justru terdakwa menggunakan kesempatannya untuk mencium pipi dan bibir saksi korban ... secara berulang kali, padahal telah diketahui oleh terdakwa jika usia saksi korban ... baru menginjak 16 (enam belas) tahun yang dikategorikan usia anak dibawah umur sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa ‘unsur melakukan perbuatan cabul dengan kekerasan’ tersebut telah terpenuhi menurut hukum;
Ad.2. Unsur ‘dengan sengaja’;
“Menimbang, bahwa Undang-undang tidak menyebutkan apa yang dimaksud dengan unsur ‘dengan sengaja’ atau ‘kesengajaan’ (opzettelijk / dolus), sehingga oleh karena itu kita harus melihatnya dalam doktrin Ilmu Hukum maupun praktek peradilan / Yurisprudensi;
“Menimbang, bahwa menurut Memorie van Toelichting (MvT) ‘kesengajaan’ (opzet) tersebut ialah ‘melakukan tindakan yang terlarang secara dikehendaki dan diketahui’ (Dasar-dasar Hukum Pidana oleh P.A.F. Lamintang, 1997 : 281);
“Menimbang, bahwa sejalan dengan hal tersebut, Prof. Van Bemmelen telah mengatakan bahwa Hakim itu dapat dan boleh menyimpulkan adanya suatu opzet, baik yang berkenaan dengan maksud ataupun yang berkenaan dengan pengetahuan (dari si pelaku) dari keadaan-keadaan sesuai dengan pengalaman-pengalaman dalam praktek (P.A.F. Lamintang, ibid. 283);
“Menimbang, bahwa Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Sendiri menegaskan bahwa apakah Terdakwa melakukan tindak pidana tersebut dengan sengaja atau tidak, hal itu dapat disimpulkan dari sifat dan cara perbuatan itu dilakukan serta alat yang digunakan untuk melaksanakan perbuatan tersebut (Putusan Mahkamah Agung RI. tanggal 10 Oktober 1984 Reg. No. 717 K/Sip/1984);
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum rechtsfeiten) dan telah pula dipertimbangkan dan dibuktikan dalam unsur ke-3 tersebut di atas, maka dilihat dari sifat, cara, serta bagaimana perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa Terdakwa ... tersebut telah mempunyai pengetahuan dan kehendak (willens en wetens)untuk melakukan perbuatannya, dan oleh karenanya terdakwa harus dipandang telah mengetahui dan sadar akan kemungkinan akibat dari perbuatan yang telah ia lakukan, dengan demikian unsur ‘dengan sengaja’ telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa tersebut;
“Menimbang, bahwa dengan terpenuhinya unsur-unsur Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, maka cukup beralasan hukum untuk menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan pidana sebagaimana dakwaan Tunggal Jaksa / Penuntut Umum;
“Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan pidana terhadap diri Terdakwa, maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan, sebagaimana ketentuan dalam pasal 197 ayat (1) huruf (f) KUHAP, yaitu:
Hal-hal yang memberatkan:
- Perbuatan Terdakwa bertentangan (dengan) norma kesusilaan yang hidup di masyarakarat;
- Perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat terutama orang tua yang mempunyai anak gadis dibawah umur;
Hal-hal yang meringankan:
- Terdakwa berlaku sopan dan terus terang mengakui perbuatannya;
- Terdakwa merasa menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi;
- Terdakwa belum pernah dihukum;
“Menimbang, bahwa tujuan pemidanaan yang akan dijatuhkan majelis bukanlah semata–mata upaya balas dendam namun dititik beratkan pada pendidikan dan pengajaran untuk memperbaiki budi pekerti Terdakwa maupun warga;
M E N G A D I L I :
1. Menyatakan Terdakwa ... tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘Melakukan Perbuatan Cabul terhadap Anak Dengan Kekerasan’;
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda sebesar Rp. 60.00.000,00 (enam puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar oleh Terdakwa maka dapat diganti dengan menjalani pidana kurungan selama 1 (satu) bulan;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa tersebut dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan Terdakwa agar tetap berada dalam tahanan.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.