Wajah, Suara, dan Nama Lengkap Unik Milik Kita adalah HAK CIPTA

ARTIKEL HUKUM
Tidak jarang kita jumpai keluhan masyarakat di era media digital ini, pelanggaran masif terhadap hak personal mereka atas apa yang disebut sebagai “privasi”, antara lain data-data yang bersifat privat berupa alamat kediaman, nomor induk kependudukan, wajah, suara, hingga nama lengkap mereka, yang direkam, difoto, dan di-unggah (upload) ke media sosial hingga meluas ke segala penjuru jagat dunia maya, tanpa terbendung, sehingga jelas mengganggu dan merusak privasi si pemilih wajah, nama, dan data-data pribadi personal miliknya sehingga mengganggu ketenangan hidupnya.
Bila dalam norma hukum terkait Undang-Undang Hak Cipta, semisal seorang fotografer disewa untuk memotret pre-wedding sepasang calon mempelai, maka foto-foto hasil “jepretan” sang fotografer yang disewa tersebut, tidak dapat menggunakan foto-foto tersebut untuk disebar-luaskan tanpa seizin pemilik wajah yang menyewa sang fotografer untuk minta difoto, karena seluruh hasil rekaman foto demikian adalah demi hukum menjadi Hak Cipta milik si penyewa jasa fotografi.
Namun kemudian, timbul pertanyaan secara falsafah hukum, apakah artinya wajah-wajah orang yang difoto oleh orang lain tanpa izin dan tanpa sepengetahuan dirinya, maka si pihak yang memotret berhak untuk memiliki dan menyebar-luaskan foto-foto hasil rekaman video maupun rekaman foto dua dimensi yang dipotret oleh dirinya, dengan alasan direkam dan difoto di depan umum?
 Secara falsafah, segala hal menyangkut hal-hal yang bersifat privat personal, adalah milik pribadi individu yang bersangkutan, sebagai bagian dari asas “the right of self determination” atas dirinya sendiri atau terhadap hal-hal yang menyangkut dirinya sendiri—terkecuali dirinya melakukan tindak kejahatan atau melakukan pelanggaran terhadap hak warga negara lainnya. Ketika seseorang, sebagai contoh, berjalan ke depan publik / tempat umum, bukan dimaknai dirinya membiarkan dirinya di-ekspos dan ter-ekspos oleh segala bentuk perekaman baik video maupun berupa foto, untuk kemudian disebar-luaskan bahkan menjadi objek “bullying” semisal dirinya dipotret seseorang ketika sedang “menguap” / “bersendawa” kemudian disebarkan ke dunia maya untuk menjadi bahan lelucon (harassment).
Privasi setiap warga negara, bagaimana pun perlu dihormati dan dihargai. Dalam bahasa Inggris, sebuah hak personal berupa data-data hingga hal-hal yang bersifat privat individual, diistilahkan sebagai privacy, salah satunya dijewantahkan dalam terminologi perlindungan hukum lewat “privacy policy”—yang mana hukum di Indonesia belum melangkah hingga sejauh itu meski negara-negara dengan hukum yang lebih modern telah lama melindungi segenap warga negaranya dengan hak atas privasi demikian, terutama aturan hukum di Uni Eropa yang cukup maju mengatur perihal kehidupan pribadi warga negaranya sebagai bentuk perlindungan atas privasi.
Secara falsafah pula, setiap wajah, suara, hingga nama lengkap unik (yang membedakan dari wajah, suara, hingga nama milik orang lain) yang kita miliki adalah produk hasil karya cipta dan seni hidup yang tidak lain ialah Hak Cipta itu sendiri, dimana kita selaku pemilik Hak Cipta milik kita sendiri (Hak Cipta atas wajah kita sendiri, suara kita sendiri, nama unik kita sendiri, dan data-data pribadi kita sendiri) secara mutlak yang tidak dapat dilanggar oleh pihak manapun.
Sebagaimana kita ketahui, terdapat perdebaan falsafah antara rezim hukum Hak Cipta dan hukum Merek maupun Paten. Hak Cipta, dianggap selalu dilindungi oleh hukum sekalipun Hak Cipta demikian belum atau tidak didaftarkan, berbeda dengan Paten maupun Merek yang bersifat “siapa yang terlebih dahulu mendaftarkan, maka pihak tersebutlah yang dilindungi sebagai pemilik yang paling sah”.
Mengingat secara falsafah, pribadi diri kita sendirilah secara personal sebagai pemilik wajah, suara, dan nama unik kita serta / maupun data-data pribadi milik kita, maka kita jugalah yang paling berhak menentukan akan dilakukan apa terhadap hak milik kita tersebut secara mutlak tanpa dapat diintervensi oleh pihak ketiga manapun.
Sebagai contoh, mungkin saja wajah kita terekam dalam foto maupun video yang direkam oleh seseorang tanpa sepengetahuan kita (terlebih dengan seizin kita), yang mana kemudian olehnya disebar-luaskan ke jagat dunia maya pada rimba internet, menyebar sangat cepat tanpa sekat ruang maupun waktu, menjadikan Hak Cipta kita atas wajah kita, menjadi terlanggar.
Karenanya, hukum (yang ideal) akan melindungi dan memulihkan hak-hak privasi si pemilik wajah untuk menuntut agar foto ataupun video demikian dihapus dari jagat maya dan tidak lagi disebar-luaskan oleh sang uploader. Orang lain boleh saja merekam video maupun memotret wajah kita lewat perangkat digital seperti gadget milik mereka ketika bersama-sama berada di ruang publik sekalipun tanpa seizin kita, namun hal demikian sebatas sebagai arsip untuk dirinya sendiri, BUKAN UNTUK DISEBAR-LUASKAN, TERLEBIH UNTUK KEPERLUAN KOMERSIEL.
Dalam hukum Hak Cipta, dikenal pula istilah-istilah seperti “royalty”, “attribution”, “Hak Moril”, “Hak Menggandakan / Reduplikasi”, dan “hak Ekonomi”. Mari kita bahas satu per satu untuk membuat pemahaman kita lebih komprehensif perihal Hak Cipta atas diri, hidup, data pribadi, dan wajah maupun suara unik milik kita sendiri.
Karena Hak Cipta terkait erat dengan hak untuk menyebar-luaskan, maka ketika terjadi pelanggaran Hak Cipta milik kita, semisal potret yang mengandung citra (image) wajah kita yang turut terekam dalam potret, maka kita selaku pemilik Hak Cipta atas wajah kita, berhak untuk minta dan menuntut agar perilaku penyebar-luasan demikian dihentikan dan ditarik dari ruang publik, jika perlu menuntut pula agar dihapus segala jejak digital yang tertinggal di dunia maya tersebut. Di negara Barat, wajah seseorang sudah lama terbukti dapat didaftarkan Hak Ciptanya—sekalipun bukan berarti kita semua harus terlebih dahulu mendaftarkan wajah kita pada buku register Hak Cipta pada otoritas terkait untuk mendapat perlindungan hukum.
Atribusi, terkait dengan Hak Moril dari pemilik Hak Cipta. Tidak dapat dibenarkan seseorang menyebar-luaskan suatu Hak Cipta, semisal adalah wajah kita, kepada publik lewat media cetak konvensional maupun digital, tanpa menyebutkan atau me-refer siapa pemilik dari wajah tersebut, karena hal demikian sama artinya dengan pelanggaran terhadap Hak Cipta sang pemilik wajah maupun pemilik data-data pribadi lainnya (hak atas perlindungan privasi tanpa gangguan dari siapa pun, dalam negara dengan hukum yang lebih modern, sudah lama dikategorikan sebagai salah satu hak asasi manusia, meski belum diakui oleh Konstitusi Republik Indonesia).
Sementara royalti, terkait erat dengan Hak Ekonomi sang pemilik Hak Cipta atas wajah, suara, nama unik, dsb. Penyebar-luasan rekaman baik cetak maupun digital, baik foto maupun video dan audio, tanpa seizin pemilik Hak Cipta atas wajah, suara, dan nama unik, terlebih dengan motif mencari keuntungan ekonomi oleh sang pelanggar Hak Cipta (terlebih lagi bermotif kriminil seperti pemerasan), dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Hak Ekonomi yang merupakan hak atas royalti sang pemilik Hak Cipta, sehingga dapat dituntut sejumlah ganti-kerugian oleh sang pemilik wajah, suara, nama unik, dsb yang terkait data-data pribadi yang privasi sifatnya karena sangat individual dan personal (bagian dari “ruang privat”, sebagai lawan kata dari “ruang publik”).
Betul bahwa wacana yang penulis ulas demikian panjang-lebar sebagaimana di atas, sifatnya baru sebatas wacana semata. Hukum Hak Cipta di Indonesia belumlah semaju itu dan sekalipun sebenarnya terdapat norma dalam pasal-pasal di dalam Undang-Undang Hak Cipta yang cukup relevan untuk dikaitkan dan dielaborasi, mengingat dalam praktiknya masih saja terjadi pelanggaran secara laten dan masif terhadap hak-hak privasi maupun Hak Cipta warga negara atas wajah, suara, dan nama lengkapnya yang unik (sehingga membedakan dari pemilik wajah, suara, dan nama orang lainnya), dimana terhadap pelanggaran demi pelanggaran demikian seolah dibiarkan dan dilestarikan (alias dibenarkan oleh sikap diam) pemerintah selaku regulator maupun otoritas pengawas dan penegak hukum.
Bahkan, sejauh pengamatan penulis, praktik di negara maju semacam Amerika Serikat sekalipun, perlindungan terhadap Hak Privasi warga negara demikian, belum betul-betul menjadi perhatian pemerintah—dalam pengertian masih dibiarkan mengikuti mekanisme “hukum rimba”. Membuat aturan hukum semaju dan secanggih apapun, bila penerapannya masih separuh hati, sama artinya melestarikan perilaku tidak bertanggung-jawab sebagian warga negara yang melakukan cyber bullying terhadap warga negara lainnya, seolah-olah pemerintah lepas tangan terhadapnya.
Mengingat sifatnya yang tidak face to face, perilaku pelanggaran terhadap hak privasi warga negara lainnya, dapat terjadi semudah menekan tombol pada gadget maupun perangkat komputer personal milik kita, dimana pelakunya tidak jelas di mana batang hidungnya—bahkan yang sudah jelas dimana keberadaannya pun kerap kali hukum tampak demikian “tumpul”. Cyber bullying, menjadi salah satu moral hazard terbesar dalam milenium era dunia digital ini, menjadi ancaman nyata yang tampaknya tidak mendapat perhatian pemerintah kecuali isu-isu politik pejabat negara lewat pemberlakuan UU ITE, Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Maka, jangan terlampau berharap banyak terhadap pemerintah maupun praktik peradilan di Indonesia terkait Hak atas Privasi demikian. Salah satunya lihat kasus skandal pelanggaran besar-besaran terhadap Hak Privasi ribuan warga negara oleh korporasi yang melibatkan Jobstreet dan Indobara Bahana, sampai sekarang laporannya “mangkrak”, alias tidak ditindak-lanjuti oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, sekalipun ribuan data-data pribadi warga negara justru dengan disengaja diumbar ke jagat maya tanpa perlindungan apapun.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.