ARTIKEL HUKUM
Orang-orang cerdas dibedakan dari orang-orang bodoh (karena orang-orang bodoh tidak mampu melihat keadaan), sementara orang-orang cerdas pandai menempatkan dirinya dengan melihat keadaan dan konteks yang melingkupinya. Sebagai contoh sederhana, tidak menyingkir saat mobil sebesar buldoser melintas di hadapannya, sama artinya mencari maut alias mencari penyakit sendiri terlindas di jalan.
Orang-orang cerdas bukan dimaknai sebagai mereka yang harus maju terus menghadapi apapun yang menghadang mereka. Orang-orang cerdas tahu dan sadar betul apa yang dapat mereka hadapi, dan apa yang semestinya ia hindari, bukan maju terus pantang mundur sembari memakai “kacamata kuda”. Kita harus mampu membedakan manakah yang merupakan perbuatan cerdas dan manakah perilaku bodoh (yang hanya bersikap konyol tanpa pikir panjang belaka). Orang cerdas menggunakan aksi-aksi cerdas, bukan aksi-aksi “maju terus pantang mundur”. Ada 1001 jalan menuju Roma, pepatah sudah mengingatkan jauh-jauh hari bagi kita selaku generasi penerus.
Sebagai contoh, adalah penulis pribadi, yang hanya bisa menang menghadapi mereka yang masih “waras”, alias masih bisa diajak berpikir logis dan rasional. Namun, dalam kesempatan lain dalam perdebatan-perdebatan maupun pergumulan yang melibatkan faktor afeksi dan intelektual, selalu hampir dapat dipastikan penulis akan kalah menghadapi orang-orang yang : 1.) tidak punya malu alias “sudah putus urat malunya”; 2.) tidak logis; 3.) tidak rasional; 4.) jarang membaca berita sehingga dirinya memiliki fakta hasil fantasi belaka sehingga data empirik yang kita miliki dan himpun menjadi tiada artinya menghadapi mereka yang hidup dalam dunia fiksi; 5.) moralnya rusak.
Mungkin diantara para pembaca sudah sering membaca teknik-teknik argumentasi yang penulis urai dalam berbagai kesempatan artikel lainnya. Pastilah diantara para pembaca ada yang membuat penilaian bahwa kemampuan debat penulis “tidak terkalahkan”. Namun seperti yang sudah penulis utarakan di muka, penulis hanya mampu meraih kemenangan menghadapi orang-orang yang mau bermain dalam tataran “otak”, sementara argumentasi penulis tidak pernah berhasil menghadapi orang-orang yang lebih mengandalkan “otok” untuk bertarung. “Otot” mereka terlampau tuli untuk mampu mendengar ataupun diajak berpikir dalam tataran etika, logika, estetika, maupun intelektual.
Sebagai ilustrasi nyata seperti yang kerap penulis alami dan hadapi, nomor kontak kerja profesi penulis disalah-gunakan oleh penelepon ataupun pengirim pesan singkat yang “tidak punya malu”, meminta dilayani tanpa mau membayar SEPERAK PUN (lantas, apanya lagi yang perlu dinegosiasikan?), sekalipun dirinya sadar betul bahwa penulis sedang mencari NAFKAH sebagai seorang konsultan yang menjual jasa tanya-jawab seputar hukum.
Ketika dirinya penulis tegur dan beri peringatan, justru ternyata “lebih galak” orang asing tersebut yang telah mengganggu waktu penulis, dengan menyebut bahwa penulis “mata duitan”—sementara ternyata dirinya disaat bersamaan berdagang menjual kuliner makanan dengan menetapkan harga atas masakan yang dijual olehnya. Apakah dirinya sendiri tidak “mata duitan”? Sejak kapan, mencari nafkah profesi adalah suatu perbuatan tercela yang patut dikutuk?
Berikut ciri-ciri orang yang paling sukar dihadapi dan dilawan, yakni seseorang dengan karakter: GILA, JAHAT, KAYA (KUAT secara ekonomi)—terlebih jika ketiga-tiganya melekat pada satu orang atau satu keluarga yang kita hadapi, semisal keluarga tetangga di lingkungan pemukiman kita. Sebagai contoh, ada satu keluarga yang menjadi tetangga dari kediaman penulis, terdiri dari orangtua, anak, hingga cucu yang beranak pinak, namun “SINTING”, “JAHAT”, plus “KAYA RAYA” (yang kami dan seluruh tetangga yakini hasil dari praktik black magic “pesugihan”, karena tiada satupun dari anggota keluarga tersebut yang bekerja dalam kesehariannya, hanya sibuk “bertelur” dan “mengerami” telur-telurnya di rumah (alias beranak-pinak), namun dapat memiliki banyak kekayaan materi, kendaraan mewah, banyak tanah, dsb. Pengusaha mana juga yang bersedia menerima bekerja orang-orang SINTING?).
Ketika “keluarga SINTING” tersebut merusak properti dari rumah kediaman keluarga penulis, justru mereka yang lebih galak ketika ditegur—alih-alih malu dan takut ketika ditegur, mereka justru menantang, melawan, dan berbalik menyerang. Tidak ada yang lebih meletihkan daripada berdebat dengan orang-orang “SINTING”, dan pepatah demikian ternyata benar adanya, benar-benar membuang energi berdebat ataupun menegur perilaku orang-orang SINTING, terlebih orang-orang SINTING yang JAHAT plus KAYA (KUAT secara ekonomi).
Jika power tends to corrupt, terlebih apabila yang memiliki power itu adalah orang-orang GILA (alias tidak waras ataupun separuh waras) yang tidak takut berbuat jahat? Power and crazy tends to corrupt, absolute crazy corrupt crazy-absolutely. Menghadapi orang waras, tidak pernah semeletihkan menghadapi orang-orang yang tidak waras, terlebih seperti yang penulis singgung di muka, tiga karakter buruk melekat pada satu orang atau bahkan satu keluarga: GILA, JAHAT, dan KAYA (KUAT secara ekonomi).
Ibarat orang jahat memegang pistol dan senjata tajam—sejahat-jahatnya mereka, bila mereka masih memiliki sifat “waras” maka perilaku jahat mereka masih dapat “di-rem” berkat kesadaran waras milik mereka yang masih tersisa, serta rasa takut akan akibat perbuatan jahat mereka seperti digugat, dituntut secara pidana, atau setidaknya takut akan hukum karma yang dikemudian hari akan berbalik menimpa mereka.
Begitupula seseorang yang GILA, namun tidak jahat, maka dirinya hanya akan mungkin dapat menyakiti dirinya sendiri, bukan sampai pada tahap menyakiti orang lain. Sama halnya orang GILA dan JAHAT yang miskin, tidak berkutik sama sekali karena libido birahi jahat dan kegilaan mereka tidak memiliki sarana ataupun alat untuk mewujudkan niat jahat maupun kegilaan mereka.
Namun ketika seorang GILA yang JAHAT memiliki dukungan ekonomi KUAT, dapat dipastikan mereka dapat berbuat kegilaan apapun tanpa mendapat perlawanan berarti dari korban-korban mereka. GILA + JAHAT + KUAT (KAYA secara ekonomi) = CORRUPT CRAZY-ABSOLUTELY. Itulah rumusannya yang penulis dapati ketika menghadapi orang-orang GILA yang JAHAT dan sekaligus KUAT (KAYA secara ekonomi).
Bila Anda KUAT secara ekonomi, namun (sayangnya) berhati baik dan mulia bak malaikat, itu pun akan membuat Anda rentan dan riskan. Kita tahu, orang-orang pengecut hanya berani terhadap orang-orang baik hati, sebab mereka tahu betul bahwa orang-orang berbaik hati tidak akan melawan ataupun membalas ketika disakiti. Jika orang-orang jahat tersebut betul-betul berani, semestinya mereka menantang orang-orang yang sama jahat dengan diri mereka, bukan justru melukai dan menyakiti orang-orang baik hati.
Memiliki hati yang BAIK, lawan kata dari JAHAT, dinilai oleh sebagian kalangan sebagai suatu “kelemahan”. Pendapat demikian tidak dapat dipungkiri mengandung kebenaran, terutama di tengah kehidupan duniawi dewasa ini yang disebut-sebut sebagai “zaman edan”—dimana menjadi “eling” akan tampak “aneh sendiri” karena seolah “melawan arus”.
Prinsip menjadi manusia yang baik maka orang lain akan memperlakukan kita dengan baik pula, tampaknya hanya berlaku di dunia dongeng belaka. Faktanya, menjadi manusia baik, ternyata tidak cukup membuat posisi kita aman dari niat-niat jahat orang-orang buruk perangai. Menjadi makhluk selembut dan seindah kelinci yang jinak, selalu menjadi mangsa empuk para manusia bermental selayaknya seekor serigala yang buas dan beringas.
Yang paling rentan, ialah yang berkebalikan dari kesemua itu, yakni dengan rumusan : WARAS, BAIK HATI, dan MISKIN (LEMAH secara ekonomi). Penulis menyebutnya sebagai “mangsa empuk” dari manusia-manusia berwatak “predator”. Ingat pepatah menyebutkan, bahwa “manusia ialah serigala bagi sesamanya”. Selalu ada manusia yang menjadi menyerupai seekor “kelinci”, dan selalu ada manusia yang memerankan peran sebagai seekor “serigala”, sang predator, dalam panggung kehidupan yang sangat jauh dari kata “ideal” ini. Bukankah kehidupan di dunia fana ini, demikian tidak se-ideal kisah di dongeng-dongeng pengantar tidur? Selamat datang di dunia nyata, realita selalu “pahit-getir” adanya.
Bila Anda berpikir, bahwa kemampuan bermain logika dan terampil dalam seni argumentasi, membuat Anda menjadi manusia “superhero” bak pahlawan, maka logika sosial demikian hanya berlaku pada dunia novel ala John Grisham atau skenario layar kaca dimana seluruh tokohnya, seluruh penontonnya, seluruh kru filmnya, terdiri dari orang-orang WARAS. Sejauh ini, penulis belum pernah mendapati adanya orang SINTING yang berminat membaca novel atau menyaksikan film-film penuh logika dan pembahasan argumentasi logis, mereka lebih menyukai film-film bernuansa kekerasan, pertumpahan darah, serta aksi barbarik lainnya dimana otak “limbik” mereka yang lebih banyak terstimulus, bukan otak kecerdasan intelektual mereka yang sejak lama telah mati sel-sel otaknya.
Karena itulah, baik militer maupun pihak kepolisian, selalu secara rutin mengadakan tes psikologi setiap enam bulan sekali bagi anggota nya yang menyandang senjata api organik. Orang GILA tidak pernah malu dan tidak takut buat jahat, itu masalah paling utamanya. Pernahkah Anda melihat orang GILA yang tahu arti kata “malu” dan “takut”? Tampil tanpa berbusana saja di depan umum, mereka tidak mampu merasa malu—bahkan mungkin BANGGA sambil tersenyum-senyum bak selebritis fotomodel.
Dalam Buddhistik, dikenal dua prinsip yang paling utama, yakni “malu berbuat jahat” (hiri) dan “takut akan akibat buruknya, buah karma buruk” (ottapa). Jika saja semua penduduk dan warga negara menghayati kedua prinsip utama kehidupan sebagai manusia ini, yang membuat beda antara dunia manusia dan dunia hewan yang tidak kenal malu ataupun takut memburu atau memangsa hewan lainnya, maka dunia kita akan menjelma “utopia / surga yang menjadi kenyataan”, alias “surga dunia”.
Kembali lagi, masalahnya, orang-orang SINTING tidak pernah mampu bersikap “malu” terlebih “takut” untuk berbuat JAHAT, terlebih bila mereka KUAT (KAYA secara ekonomi). Bila itu sampai terjadi, maka akan lebih cerdas bagi kita untuk bersikap “lebih baik menghindarinya”, sebisa mungkin untuk dihindari orang-orang semacam itu. Orang-orang cerdas tidak mencari nasib jatuh dalam tragedi “mati konyol” di tangan-tangan orang-orang SINTING.
Mundur dan menghindar secara cerdas, bukan dimaknai kita kalah dan pengecut ataupun “pecundang”. Mengalah secara cerdas, menghindari kita dari resiko-resiko yang tidak perlu, seperti menghadapi orang-orang SINTING yang JAHAT dan KUAT (KAYA secara ekonomi sehingga mampu sewaktu-waktu menyewa preman untuk bertindak dalam hal kekerasan fisik). Lebih baik mengalah menghadapi orang-orang SINTING, ketimbang “mati konyol” di tangan orang-orang SINTING—suatu tragedi yang tidak pernah layak diangkat ke layar kaca. Siapa juga yang berminat menerbitkan novel yang berkisahkan “kematian konyol” tokoh utamanya, terlebih di tangan seorang SINTING?
Kita tahu, bahwa tokoh-tokoh besar yang masuk dalam buku sejarah maupun yang diabadikan kisah hidupnya dalam layar kaca, adalah orang-orang WARAS yang BAIK HATI, sekalipun kalah pada akhirnya, namun lawan-lawan mereka bukanlah orang-orang SINTING, namun sekadar JAHAT dan KUAT. Contohnya film berjudul VALKYRIE yang diperankan oleh Tom Cruise, tokoh pejabat militer Nazi yang berbalik melawan kelaliman Adolf Hitler (seorang jenius-ambisius) di Jerman. Atau seperti film berjudul SOE HOEK GIE, dimana ternyata menurut sang produser yang pernah penulis jumpai beberapa waktu lampau, tidak laku di pasaran Indonesia karena dinilai “berat”, alias tidak mampu dicerna sebagian besar Warga Negara Indonesia yang mungkin kurang cukup “waras” untuk memiliki selera terhadap karya-karya intelektual.
Baik tokoh utama dalam film VALKYRIE maupun SOE HOEK GIE, keduanya sama-sama berakhir tragis, tokoh baiknya tewas, si JAHAT menang. Namun setidaknya, Hitler tidaklah SINTING, dan mahasiswa yang menjelma pejabat Orde Baru tidak juga SINTING, hanya saja JAHAT dan KUAT (secara ekonomi dan jabatan sehingga mampu menyewa tentara untuk membungkam lawan-lawan politiknya).
Bila kita mendengar isitlah semacam “penyakit masyarakat”, atau “penyakit sosial”, dalam hemat penulis bukanlah kemiskinan dan kebodohan yang menjadi penyakit paling utama dari kemanusiaan dari suatu bangsa yang mengaku “beradab”, namun adalah watak-watak semacam SINTING, JAHAT, namun KUAT (KAYA secara ekonomi dan secara politis).
Menjadi BAIK, WARAS, dan MISKIN (LEMAH secara ekonomi maupun pangkat / kedudukan sosial) mungkin berpotensi membuat kita rentan. Namun, kehidupan bukanlah hanya ada di dunia manusia. Penulis meyakini, hanya orang-orang WARAS dan BAIK yang layak untuk menjejakkan kaki di sebuah alam yang sering disebut sebagai “surga” (sungguh tidak terbayangkan bila sebuah heaven berisi orang-orang tidak waras, pastilah akan porak-poranda dimana para penghuninya akan memilih untuk hijrah ke alam “neraka”, yang mungkin saja lebih aman dan lebih tertib-teratur ketimbang apa yang sering kita sebut-sebut sebagai “surga”). Dalam benak penulis, yang disebut dengan “surga” ialah ketika orang-orang baik tidak lagi perlu diganggu oleh orang-orang SINTING-JAHAT yang KAYA (KUAT).
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.