Program (Milik) Pemerintah yang Justru Membebani Rakyat

ARTIKEL HUKUM
Kita tidak boleh berasumsi bahwa warga bangsa kita akan bersikap “tahu malu”. Ketika dirinya menyadari dirinya bukanlah orang miskin, namun tetap dengan merasa bangga meminta pelayanan medis berbiaya tinggi tanpa membayar (memakan subsidi yang dibayar rakyat lainnya), atau meminta pelayanan hukum tanpa bersedia membayar seperak pun (memperkosa profesi orang lain), itulah yang selama ini terjadi di Indonesia. Fenomena mendadak miskin, dan fenomena “tidak punya malu” atau “sudah putus urat malunya”.
Jangankan perihal pelayanan medik, untuk kasus-kasus hukum seperti sengketa tanah yang tidak mungkin dimiliki orang-orang miskin, tetap saja nomor kontak kerja penulis disalah-gunakan dengan maksud untuk memperkosa profesi penulis. Dalam satu sisi, pelayanan medis dimana orang-orang berpunya justru menikmati subsidi yang dibayarkan oleh warga negara lainnya yang bisa jadi jauh lebih miskin darinya, adalah suatu program yang sangat tidak mendidik dan mendiskreditkan sifat “tahu malu” seorang manusia berakal budi dan berpendidikan.
Kesalahan terbesar “program pemerintah” berupa Jaminan Kesehatan Nasioanl (JKN/BPJS Kesehatan), ialah asumsi bahwa hanya orang miskin yang akan menikmati berbagai fasilitas kesehatan yang didanai oleh iuran warga peserta BPJS. Orang-orang kaya / berpunya, cukup membayar tanpa menuntut terlampau banyak dari layanan medik karena akan bersikap “tahu malu”. Namun, asumsi sekadar asumsi, asumsi yang seolah memungkiri realita. Asumsi kedua pihak pemerintah, layanan Jaminan Kesehatan Nasional dianggap akan berlangsung baik dan berjalan sebagaimana mestinya (ideal)—lagi-lagi merupakan asumsi yang seolah hendak menipu dan membodohi rakyat, seolah rakyat buta dan tidak mampu merasa.
Namun yang menjadi pertanyaan yang paling esensial ialah: Apakah JKN/BPJS merupakan “program pemerintah”? Jika JKN/BPJS adalah program (milik) “pemerintah”, mengapa masyarakat yang kemudian diwajibkan menjadi anggota dan membayari iuran program pemerintah? Mengapa justru masyarakat luas yang dibebani oleh program buatan “pemerintah”? Sehingga, semestinya JKN/BPJS disebut sebagai program “pemerintah”, ataukah program “rakyat”?
Sebagai contoh, pemerintah membuat program satu kabupaten seribu jalan aspal. Maka, konsekuensi dibalik program buatan pemerintah tersebut ialah, Anggaran Pendapatan dan Belanda Negara / Daerah (APBN/D) itu sendiri yang akan menanggung beban pembiayaannya. Jika JKN/BPJS merupakan program “pemerintah”, maka semestinya pemerintah itu sendiri yang menanggung seluruh biaya operasional program buatannya sendiri, bukan justru melempar tanggung jawab pembiayaan pada bahu rakyat yang tidak diberi keleluasan bersuara untuk menerima ataupun menolak—suatu pemaksaan yang bersifat TOP TO DOWN.
Jika sumber pendanaan JKN/BPJS ternyata berasal / bertopang pada iuran masyarakat luas, maka itu bukanlah program “pemerintah” namanya. Program pemerintah hanya berbentuk menyerupai subsidi atau pelayanan kesehatan dari murni anggaran pemerintah yang sama sekali tidak membebani masyarakat, terlebih sebentuk pemaksaan.
Sebagai contoh, pemerintah pada sebuah kabupaten pernah membentuk program pemerintah daerah dimana pelayanan kesehatan di setiap instlalasi medik milik Pemerintah Daerah (Pemda Goa salah satunya) tidak dipungut biaya bagi warga yang menjadi pasien—namun ketika JKN/BPJS terbentuk, program dari Pemda demikian justru dihapus, dan menjadi program beriuran (down grade yang justru membebani warga masyarakat).
Jika JKN/BPJS memang merupakan program pemerintah, maka ketika terjadi mis-manajemen ataupun mis-kelola, defisit, atau berbagai alasan lain sebagainya, maka resiko yang harus menanggungnya ialah pemerintah itu sendiri selaku pemilik program, bukan justru seolah meletakkan semua beban tanggung jawab ke pundak warga masyarakat seolah warga yang telah bersalah dan mengambil jalan pintas dengan semudah menambah beban masyarakat dengan menaikkan iuran yang wajib dibayar oleh setiap warga masyarakat. Tidak ada unsur konsensus publik berupa kesepakatan yang terjadi, semua terjadi secara TOP TO DOWN, dimana masyarakat hanya dapat menerima dan patuh—bukanlah sebentuk wajah tipe pemerintahan yang demokratis.
Defisitnya dana JKN/BPJS, penulis tengarai adalah kekeliruan manajemen pihak otoritas JKN/BPJS itu sendiri. Pemerintah lewat pengelola BPJS, telah salah kelola dengan memberikan keistimewaan bagi banyak sekali warga masyarakat yang sebetulnya mampu dan berpunya dari segi ekonomi, ternyata diberi hak ases layanan medik tanpa iuran (Penerima Bantuan Iuran, PBI), tanpa batasan, dan tanpa limitasi. Kebijakan BPJS, ialah kebijakan “pukul rata” yang membuta.
Mis-manajemen kedua, kepada warga yang sebetulnya sangat kaya-raya secara ekonomi, namun dengan alasan telah membayar iuran bulanan kepesertaan, lantas menikmati berbagai pelayanan medik tanpa pungutan dimana tagihan layanan medik yang harus dibayar mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah, yang pada gilirannya membebani keuangan BPJS, yang pada gilirannya merampas hak-hak pelayanan medik yang semestinya subsidi disalurkan / dikucurkan lebih banyak kepada rakyat yang lebih membutuhkan.
Segala kegagalan otoritas pemerintah itu sendiri dalam mengelola dana yang dipungut dari iuan warga masyarakat, janganlah dibebankan pada warga masyarakat yang ibarat menjadi sapi perah dan mesin ATM program pemerintah yang tidak canggih ini—bahkan seolah bereksperimen dengan menggunakan iuran yang membebani rakyat, terlihat dari kebijakan pasang-copot regulasi BPJS terkait hak dan kewajiban pasien.
Resiko atas kegagalan program pemerintah, tidak selayaknya dibebankan kepada rakyat yang tidak dapat memilih untuk tidak ikut kepersertaan atau yang memilih (jika dimungkinkan) untuk keluar akibat kekecewaan terhadap layanan medik JKN program pemerintah ini. Pemerintahan yang demokratis, tidak semestinya bertopang pada cara-cara pemaksaan terselubung semacam JKN/BPJS.
Pemerintah seolah “mau gampangnya saja”, dengan jalan pintas menaikkan iuran yang harus dibayarkan oleh warga, memaksa warga untuk ikut menjadi peserta tanpa diberi hak “option out” untuk boleh mundur. Program JKN/BPJS bagai membela para peserta “benalu” yang sebetulnya mampu membayar sendiri segala tagihan biaya medik yang mencapai puluhan hingga belasan juta rupiah, dengan mengorbankan warga yang miskin dan warga yang memilih untuk berinvestasi pada “mencegah daripada mengobati”. Menjaga kesehatan seolah menjadi demikian mahal dan tidak lagi terjangkau, ketimbang kuratif—suatu pola pembelajaran yang sangat tidak mendidik dari program pemerintah ini.
Jika saja otoritas JKN/BPJS bersedia sedikit merepotkan diri untuk bersikap “kreatif”, semisal membuat efek jera dengan mem-filter orang-orang borjuis kaya-raya yang selama ini “menghisap” dan menikmati subsidi dari iuran kolektif warga lain yang jauh lebih miskin dari sang pasien yang berlatar belakang orang kaya-raya ini. Apakah layak juga direksi BPJS digaji Rp. 140.000.000 setiap bulannya tatkala BPJS yang dikelolanya justru menderita defisit hampir mencapai hampir belasan triliun setiap tahunnya, dan dikala besaran iuran warga terancam naik setiap tahunnya?
Ibarat Kantor Pajak yang selama ini “getol” memaksa rakyat untuk membayar pajak, namun bila pada bagian dasar “celengan”-nya bocor saat APBN/D ditampung dan dialokasikan, sama saja bohong, justru hanya akan semakin menggemukkan tikus-tikus hitam yang selama memakani uang rakyat. Semestinya BPJS mempunyai tim survei, dimana jika klaim biaya pengobatannya berbiaya besar, maka perlu diadakan survei lapangan.
Jika ternyata si pasien berlatar-belakang mampu, maka diharuskan untuk bayar sendiri pagu nilai tertentu sehingga secara tidak langsung memaksa si peserta kaya-raya ini untuk tidak lagi membebani rakyat lainnya. bila Kantor Pajak saja dapat mengetahui harta kekayaan setiap orang di perbankan dan aset tanah yang dimiliki olehnya, sebetulnya tak ada tim survei pun sama sekali tidak akan menjadi masalah yang berarti untuk mengidentifikasi setiap peserta BPJS.
Masalahnya, BPJS seolah menutup mata. Yang kaya semakin menikmati subsidi, yang miskin justru harus mensubsidi yang kaya. Kita harus ingat, jumlah masyarakat miskin lebih banyak ketimbang jumlah masyarakat kaya. Artinya, yang lebih banyak menikmati porsi subsidi-silang ialah orang kaya menikmati subsidi dari orang miskin, bukan sebaliknya. Yang miskin bergotong-royong membiayai si kaya.
Lihat realita yang ada di sekitar kita dengan mata kita sendiri, jangan terbuai oleh klaim Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa orang miskin di Indonesia hanya berjumlah kurang dari 5% dari total populasi—upaya memungkiri kenyataan, yang lucunya, jika benar demikian seperti klaim BPS, maka semestinya JKN/BPJS dihapus saja, dan cukup membuat rumah sakit bebas biaya bagi 5% warga miskin tersebut, karena 95% warga lainnya dapat diasumsikan mampu membayar sendiri layanan medik.
Bagaimana mungkin orang-orang miskin “bergotong-royong” demi mengobati penyakit orang-orang kaya seperti kebanyakan makan lemak, dan berbagai penyakit orang kaya lainnya seperti terlampau banyak duduk, terlampau banyak menghisap asap tembakau, terlampau banyak “dugem”, terlampau banyak pesiar, dsb? Bagaimana mungkin rakyat bukan penghisap tembakau justru harus mensubsidi industri tembakau?
Jika memang program “pemerintah”, mengapa justru kemudian mewajibkan warga untuk mendanai program pemerintah berupa “iuran” bulanan? Mengapa juga disebutkan bahwa JKN/BPJS bertopang pada dana yang bersumber dari iuran warga? Jika dikatakan program ini bertujuan agar warga saling bergotong-royong, mengapa sifatnya menjadi memaksa (koersif-imperatif) dimana negara sendiri justru hendak menaikkan iuran yang harus dibayar warga akibat kegagalan / mis-kelola program pemerintah itu sendiri?
Ada upaya putar-balik logika umum oleh pemerintah lewat program JKN/BPJS ini. Pemerintah ingin dianggap “pro” terhadap rakyat, namun sejatinya semua program tersebut justru pada muaranya membebani rakyat itu sendiri. Layanan belum memadai, bahkan untuk ukuran sumber daya manusia dan instalasi medik milik pemerintah di kota besar seperti ibukota, namun hendak menaikkan iuran dengan alasan defisit pembiayaan program milik “pemerintah” ini.
Jika pelayanan buruk, warga yang dipaksa menjadi peserta tidak diberi kebebasan untuk mundur dan keluar dari kepersertaan. Yang disebut program pemerintah, hanyalah PBI semata, karena dananya bersumber dari APBN/D. Jika sistemnya pemaksaan, akibatnya kita selaku warga masyarakat tidak dapat memilih untuk berpindah hati dengan menjadi pembayar polis asuransi swasta tanpa lagi perlu dibebani “iuran” program (milik) pemerintah ini. Bahkan, peserta pun tidak diberi keleluasaan memilih rumah sakit mana yang dapat memberi pelayanan medik bila tiada rujukan dari puskesmas milik pemerintah. Begitu banyak aturan dan “sandera” untuk ukuran program (buatan) “pemerintah” yang bersumber dana dari warga masyarakat ini—jika sumbernya dari APBN/D, mengapa justru hendak menaikkan iuran warga peserta?
Pemerintah lewat otoritas BPJS kemudian membuat perubahan kebijakan berupa “urun bayar biaya”, dimana peserta pengguna program BPJS diwajibkan membayar sebagian biaya yang ditanggung BPJS, terlepas si pasien peserta BPJS berlatar belakang ekonomi kuat ataupun lemah, alias “jaminan” omong-kosong bagi si miskin yang terancam gagal bayar. Dengan demikian, konsep “jaminan” telah dikompromikan. Kompromi berikutnya, ialah penghapusan beberapa layanan medik dan obat yang ditanggung oleh BPJS.
Mari, kita saksikan kompromi berikutnya sebagai kebijakan pragmatis “potong kompas” ala otoritas BPJS, dimana sang Direktur BPJS diyakini tidak akan bersedia dipotong gajinya yang senilai ratusan juta rupiah tersebut. Mari kita tunggu dan saksikan, program buatan “pemerintah” lainnya yang pada gilirannya akan membebani dan menjadikan rakyatnya sendiri sebagai objek eksperimen, tanpa bersedia memangkas hak-hak istimewa para pemangku jabatan dibalik program (buatan) pemerintah tersebut.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.