ARTIKEL HUKUM
Kegiatan usaha yang tidak disertai rambu etika dan moralitas, akan cenderung menghasilkan cemaran yang berdampak negatif bagi warga sekitarnya yang setidaknya berupa gangguan terhadap ketenteraman maupun kenyamanan hidup, baik berupa pencemaran udara, pencemaran suara, bahkan hingga pencemaran air yang berdampak langsung dan berbahaya bagi kesehatan warga pemukiman setempat tempat industri / pabrik / tempat usaha milik pengusaha tidak etis demikian selama ini beroperasi.
Telah banyak kajian-kajian hukum yang membahas perihal polusi yang ditimbulkan oleh suatu aktivitas usaha yang tidak sehat, namun belum terdapat kajian yang menyentuh lebih dalam atas apa yang penulis sebut sebagai sebuah POLUSI SOSIAL. Polusi sosial bersifat laten, mengingat setiap kegiatan usaha yang tidak memerhatikan kondisi warga sekitar, terutama tempat usaha yang justru didirikan di tengah-tengah lingkungan pemukiman padat penduduk—mengingat lemahnya fungsi kontrol dan pengawasan oleh pemerintah kita—bahkan terjadi di tengah pemukiman pada kota besar seperti Jakarta, warga setempat hanya dapat menjadi “silent victims”, alias menjadi korban yang hanya dapat bungkam melihat praktik penindasan oleh pelaku usaha bermodal kuat terhadap warga pemukim.
Sebagai contoh nyata, tepat di seberang kediaman penulis, yang merupakan area tata ruang untuk pemukiman, bukan untuk pabrik, dibangun pabrik konveksi dengan skala cukup besar dari segi kapasitas, luasan bangunan, hingga pegawai. Penulis telah mencoba melaporkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) setempat terkait praktik usaha di tengah pemukiman penduduk demikian yang sejatinya melanggar Peraturan Daerah (Perda) tentang Tata Ruang Wilayah, namun Pemda kita acapkali lebih gemar mencetak peraturan namun minim penegakan terlebih implementasinya. Perda tentang ketertiban umum seringkali hanya menjadi “polesan bibis” yang menjelma “macam ompong”.
Alhasil, aparatur kita seolah memanjakan para pelanggar hukum untuk terus melangsungkan perbuatan / aktivitas ilegalnya tanpa penindakan yang berarti. Indonesia menjadi menyerupai negara surga para kriminil maupun para pelanggar hukum. Sebab, sekalipun mereka melanggar hukum, penegakannya sangat lemah, impoten, serta kerap diwarnai nuansa korup, dimana para penegak hukum hingga aparatur sipil negaranya mudah “dibeli” dan sangat pasif dalam mengawasi terlebih diharapkan untuk melindungi warganya, dimana kerap terjadi laporan ataupun pengaduan warga sama sekali tidak dihiraukan terlebih ditanggapi sebagaimana mestinya.
Pihak pengusaha pemilik pabrik konveksi tersebut, mampu membangun pabrik demikian besar, namun ironisnya, sama sekali tidak membangun sejengkal petak pun sebagai tempat parkir untuk parkir kendaraan sang pemilik usaha, bagi kendaraan karyawan mereka, maupun bagi kendaraan para tamu / pelanggan mereka. Praktis, rumah warga sekitar yang dijadikan tempat parkir tamu usaha sang pemilik usaha, dimana salah satu warga yang menjadi korbannya ialah kediaman rumah tempat-tinggal penulis sendiri.
Berbagai kendaraan, mulai dari mobil roda empat tamu pihak pabrik, mobil box besar pengiriman bahan baku tekstil untuk keperluan operasional pabrik, hingga berbagai motor-motor kurir pesanan melakukan aksi parkir tepat di depan pagar kediaman rumah penulis selaku warga setempat, dimana ketika penulis tegur, para “bandit berjubah pengusaha” ini justru lebih galak ketimbang pemilik rumah yang terganggu. Ironi kedua, ketika pabrik tersebut dibangun dengan lebih besar lagi oleh sang pengusaha dengan membeli tanah di sebelahnya, tetap saja tidak sejengkal tanah pun mereka sediakan sebagai tempat untuk parkir kepentingan tamu-tamu pabriknya, alias badan jalan yang kemudian mereka jadikan (diokupasi) sebagai tempat parkir untuk kepentingan sang pelaku usaha yang tidak dilandasi etika berbisnis demikian.
Bila mereka (para tamu pihak pabrik) memiliki tujuan ke pabrik tersebut, mengapa memarkirkan kendaraan mereka bukan di pabrik, dan justru parkir tepat di depan pagar warga sekitar seolah tidak terusik oleh parkir liar demikian? Bila sang pemilik pabrik tidak membuat tempat parkir untuk kegiatan usahanya, maka itu bukanlah urusan kami selaku warga yang berhak untuk hidup secara tenang dan damai di tengah lingkungan padat penduduk dengan ruas jalan yang sempit.
Terdapat bermacam-macam ragam polusi yang dapat ditimbulkan dari kegiatan pelaku usaha yang menjalankan roda usaha secara tidak dilandasi rambu etika berbisnis, mulai dari setiap harinya (secara kontinuitas yang sangat meresahkan warga) menimbulkan polusi suara, polusi udara, hingga berbagai polusi lainnya serta tidak terkecuali POLUSI SOSIAL—berupa antara lain ketika para karyawan pabrik tersebut mer0k0k di depan rumah warga sehingga asap bakaran tembakau mereka menyeruak masuk terbawa angin yang bertiup ke dalam ventilasi rumah, membuang sampah sembarangan sehingga menyimbat saluran drainase, hingga bahkan (terjadi juga pada kasus kediaman penulis) sang pelaku usaha selama ini ternyata menggunakan alamat rumah kediaman milik penulis untuk mengirim barang yang mereka produksi—apa maksud dan tujuan menggunakan alamat rumah warga sekitar tanpa izin ataupun sepengetahuan kami selaku pemilik alamat, sebagai alamat pengiriman barang hasil usaha sang pemilik pabrik?
Belum lagi ketika kita berbicara mengenai POLUSI SOSIAL berupa driver ojek-online (sering disingkat dengan sebutan “ojol”) yang mangkal seenaknya, membuat semacam “terminal bayangan” yang seringkali justru di tempat-tempat strategis sehingga menganggu arus lalu-lintas pengguna jalan seperti pada tikungan jalan, dsb.
POLUSI SOSIAL berupa kendaraan milik para driver ojek-online tersebut juga mengganggu ketenangan di kediaman rumah penulis, dimana keseluruh tujuan kedatangan para driver ojek-online tersebut ialah untuk mengambil atau mengirim barang ke pabrik yang berlokasi di seberang kediaman rumah penulis tersebut di atas, namun justru memarkirkan kendaraan mereka tepat di depan rumah penulis mengingat tiada sejengkal tanah pun yang dibangun ataupun disediakan oleh sang pemilik pabrik untuk tempat parkir kendaraan milik para tamu / pengunjung / pelanggan mereka.
Untuk membuat tertib, sebenarnya sangatlah sederhana sepanjang adanya kemauan dan kreativitas dari pihak pemerintah, yakni dengan memberdayakan instrumen hukum yang dapat menerapkan prinsip “law as a tool of social engineering”, itu pun sepanjang penerapan dan implementasinya tidak separuh hati, yakni sesederhana dengan menerapkan kebijakan tegas plus konsisten : barang / produk yang diedarkan ke pasar, haruslah memiliki sertifikat produksi yang ramah lingkungan dan RAMAH SOSIAL pada saat proses produksinya hingga saat “dilempar” ke pasar.
Sebagai contoh, regulator maupun masyarakat Uni Eropa akan memboikot produk-produk kayu yang diimpor ke negara mereka, jika tidak disertai sertifikat yang menandakan bahwa kayu-kayu tersebut bersumber dari hutan yang mampu dijaga kelestarian dan keberlangsungan ekosistemnya. Hanya ketika kayu-kayu impor tersebut memiliki sertifikasi kayu yang diproduksi secara ramah lingkungan, barulah otoritas serta konsumen di Uni Eropa akan menerimanya—oleh sebab mereka tahu betul, bahwa pemerintah dan pengusaha Indonesia yang menjadi eksportir produk-produk berbahan baku dari alam tersebut, sangat tidak memiliki komitmen menjaga keberlangsungan ekosistem terlebih isu mengenai kelestarian alam. Lihat bagaimana pemerintah kerap “kecolongan” kebakaran hutan yang kemudian menjelma menjadi kebun kelapa sawit.
Sama halnya dengan konsumsi biofuel yang bersumber dari olahan minyak sawit yang diimpor ke Uni Eropa, Uni Eropa menegaskan agar proses produksi sawit di negara-negara pengimpor minyak sawit seperti Indonesia, menerapkan baku manajemen lingkungan yang berkelanjutan dan tidak merusak ekosistem dari negara asal pengimpor.
Itulah sebabnya, pemerintah Indonesia tidak murni sepenuhnya memiliki kepedulian ataupun kesadaran untuk memerhatikan kelangsungan ekosistem lingkungan hidup negaranya, namun ada tujuan motif politik-ekonomi akibat tekanan Uni Eropa yang menjadi konsumen terbesar produksi minyak sawit yang diimpor oleh pengusaha kebun sawit di Indonesia. Ekspansi industri perkebunan di Indonesia, ditengarai telah banyak mengakibatkan konflik terhadap warga lokal maupun ancaman kepunahan terhadap satwa endemik hingga ekosistem hutan hujan tropis maupun “museum alam” bernama lahan gambut.
Yang juga belum tersentuh oleh perhatian pemerintah, ialah perihal logam mulia bernama emas. Tidak terdapat suatu kebijakan pemerintah, agar masyarakat hanya dibolehkan membeli emas yang memiliki sertifikat “diekstraksi / ditambang secara ramah lingkungan dan ramah sosial”—mengingat berbagai pengerukan secara masif terjadi baik oleh pengusaha tambang legal maupun ilegal, yang kemudian hanya menyisakan lubang-lubang menganga bekas galian pasir maupun mineral dan pertambangan batu-bara yang pada gilirannya merusak ekosistem atau bahkan mengganggu ketenangan dan mengancam keselamatan hidup masyarakat lokal setempat sebagaimana sudah sering terjadi, baik diberitakan maupun kesaksian langsung dengan mata-kepala penulis secara pribadi. Sertifikat yang selama ini dilekatkan pada produk batangan logam mulia, hanya sebatas sertifikat keaslian / kemurnian kandungan emas, bukan perihal apakah produk tersebut ditambang secara ramah lingkungan dan bebas dari POLUSI SOSIAL, terlebih menjamin bebas dari proses yang menimbulkan KONFLIK SOSIAL.
Praktis, berbagai pasir bahan bangunan maupun mineral-logam yang banyak beredar di pasaran, sukar untuk dibedakan antara “mineral ramah lingkungan dan ramah sosial” dengan mineral-mineral maupun pasir galian yang sejatinya merupakan “mineral konflik” ataupun hasil penggalian yang tidak ramah terhadap lingkungan. Untuk itu penulis akan sedikit menyitir perihal “mineral konflik” bernama BLOOD DIAMOND yang menjadi bagian dari sejarah kelam berdarah di Benua Afrika, sebagai salah satu ilustrasi tambahan perihal SOCIAL COST dan POLUSI SOSIAL yang ditimbulkan akibat operasional ekstraksi “mineral konflik”.
Pada berbagai negara di Afria yang selama ini dikenal sebagai negara surga berlian, salah satunya yang terkenal dengan julukan sebagai si “berlian berdarah” (blood diamond), mendapat ketenaran serta julukan demikian bukan tanpa alasan meski memang bentuk warna kemilaunya menyerupai merah darah yang pekat. BLOOD DIAMOND mendapat ketenarannya berkat harganya yang tinggi, sehingga mengundang aksi eskploitasi ilegal yang pada gilirannya berujung konflik dengan tentara pemerintah yang bermaksud mencegah kian maraknya aktivitas tambang ilegal yang di-“back up” oleh tentara bayaran, mengingat harga BLOOD DIAMOND yang sangat tinggi di pasar berlian baik pasar resmi di pelelangan maupun pasar gelap.
Dana hasil penjualan BLOOD DIAMOND, digunakan justru untuk membiayai para militan guna menumbangkan pemerintahan yang incumbent. Bukan hanya itu, anak-anak kecil dibawah umur pun direkrut menjadi tentara kombatan, yang pada gilirannya BLOOD DIAMOND menjadi kutukan dan benar-benar menjadi lautan pertumpahan darah tiada berkesudahan pada berbagai negara di Afrika yang dikenal sebagai negara surga penghasil logam mulia dan permata. Perang saudara sebagai buntut “berkah” sang BLOOD DIAMOND.
Tragedi itulah yang kemudian mengilhami seorang produsen film untuk mengangkat tema satiris demikian ke panggung teater dengan film berjudul “BLOOD DIAMOND” yang diperankan oleh Leonardo Dicaprio dan sempat mendapat penghargaan film paling berpengaruh pada zaman pemutarannya, karena mengandung nuansa fakta sosial, sekaligus menggambarkan tragedi yang dilematis bagi rakyat Afrika yang justru dicengkeram kemiskinan akut di tengah ladang permata.
Pasar dunia kini mencegah terjadinya SOCIAL COST yang ditimbulkan sang “mineral konflik”, dengan hanya memperjual-belikan berlian dari negara-negara konflik seperti Afrika, bila berlian tersebut disertai sertifikat “ramah sosial dan ramah lingkungan”. Metode yang sama juga sejatinya dapat diadopsi kemudian dipergunakan secara mudah dan efisien penerapannya di Indonesia, bila para pemangku kebijakan kita serius mengurus dan memerhatikan nasib para rakyat jelata kita yang telah begitu banyak tertindas akibat pelaku usaha yang kuat secara ekonomi untuk menyuap pejabat-pejabat korup guna melindungi bisnis eksploitasi secara masif yang cenderung mendiskreditkan hak-hak warga lokal yang kian tersudut dan tersisihkan—dimana juga dapat kita ketahui dan maklumi, acapkali pengusaha bermodal kuat adalah “kebal hukum”.
Sudah seyogianya, baik produk-produk komersiel yang dicetak dari mineral ataupun produk non-logam lainnya, perlu disertai suatu nomor register yang diotoritasi oleh suatu lembaga negara yang kompeten dibidang sertifikasi dan kelayakan produk, yang menandakan bahwa produk tersebut diproduksi secara ramah lingkungan dan juga serta RAMAH SOSIAL. Bila SNI (Standar Nasional Indonesia) hanya melihat kualitas produk keluaran (output) dari suatu proses produksi, maka sertifikasi “RAMAH SOSIAL dan RAMAH LINGKUNGAN” lebih berperan dalam membuat penandaan terhadap pelaku-pelaku usaha yang tidak menaati asas usaha yang ramah terhadap lingkungan maupun bagi warga sekitar. Sebagaimana SNI, sertifikasi ini pun perlu dimulai dengan diwajibkan kepada beberapa komoditas komersiel tertentu pada mulanya.
Perlindungan sosial bagi warga sekitar menjadi kentara, terutama ketika produk tanpa disertai sertifikasi demikian, akan cenderung terkena sanksi sosial oleh para konsumen di pasar, berupa BOIKOT. Pada gilirannya, hal tersebut menekan para pelaku usaha agar mau menghargai dan memerhatikan nasib para warga yang terkena dampak / imbas dari sang pelaku usaha dalam menjalankan roda usaha dan produksinya.
Sebagaimana kita ketahui bersama, selama ini pemerintah kita kerap mengabaikan hak-hak warga negara atas lingkungan hidup dan hak atas ketenangan hidup bebas dari “POLUSI SOSIAL” apapun sebagai bagian dari hak asasi manusia dan hak seorang warga. Namun, penelantaran oleh negara (negara yang seolah tidak pernah hadir ke tengah-tengah warga masyarakat kecuali saat berkampanye menjelang pemilu) perlu disikapi secara kreatif dengan gerilya kalangan konsumen dengan memboikot produk-produk yang tidak ramah demikian. Dimana, yang menjadi kendala hingga saat kini, sukar mengindentifikasi, produk-produk mana saja yang diproduksi secara tidak RAMAH LINGKUNGAN dan tidak RAMAH SOSIAL demikian.
Ketika hal demikian dapat diidentifikasi, implementasi selanjutnya ialah pemerintah dapat menerapkan kebijakan bahwa hanya produk dengan sertifikasi RAMAH LINGKUNGAN dan RAMAH SOSIAL yang dapat dijual dan dipasarkan para ritel-ritel komersiel resmi, bila belum mampu mencegah peredarannya secara sepenuhnya di pasar tradisional.
Namun demikian, sekali lagi, teori yang ideal terbentur oleh fakta empirik sosio-budaya mental warga kita sendiri. Ironi pertama, aparatur kita sangat mudah untuk disuap, tidak terkecuali lembaga penerbit sertifikasi. Ironis kedua, warga negara kita sendiri tidak benar-benar kompak. Sebagai contoh, pada satu sisi warga kita menuntut agar pemerintah menertibkan pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan dengan memakan ruas trotoar tempat melintas pejalan kaki, namun disisi lain pedagang tersebut terus berjualan di trotoar karena masih ada juga pejalan kaki yang membelinya.
Bila saja masyarakat kita selaku konsumen bersikap kompak satu-padu, pastilah mereka akan secara sendirinya menggulung tikarnya sendiri dan tidak lagi menggunakan badan trotoar sebagai tempat berjualan dan melapak. Sungguh negeri dan bangsa yang serba ironis, selama ini hidup di tengah-tengah ketidak-warasan tanpa menyadarinya, bahkan menjadi bagian dari lingkaran pelaku itu sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.