Membuat Korban Bersedia Menyiksa Dirinya Sendiri, dapatkah Dipidana?

ARTIKEL HUKUM
Aurellia Qurrota Ain, demikian namanya yang sempat viral saat ulasan ini disusun, almarhum merupakan anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) Kota Tangerang Selatan, dikabarkan meninggal dunia akibat keletihan yang amat sangat, yakni diwajibkan untuk menjalani latihan ketahanan fisik yang berat alias tidak proporsional untuk ukuran remaja sipil yang bukan berlatar-belakang militer.
Tentu saja, pelakunya perlu dihukum karena bagaimana pun telah jatuh korban tewas sehingga pelaku yang “mendorong korban untuk melukai dirinya sendiri”, layak dan patut dikategorikan sebagai “pembunuh”, bukan lagi sekadar “penganiaya”. Pelaku, dalam doktrin ilmu hukum pidana, terdiri dari “pelaku pelaksana” dan “pelaku penyertaan”. Pelaku penyertaan, berarti ia yang tidak terlibat langsung dengan tangannya sendiri dalam suatu delik pidana, namun menggunakan perantara orang-orang lainnya selaku pelaku pelaksana.
Pelaku penyertaan ini dapat berupa seorang “penyuruh”, “otak intelektual”, “pemberi dana”, “penyedia alat dan sarana”, “informan pembaca situasi”, dan lain sebagainya yang mendukung berjalannya operasi langsung oleh “pelaku pelaksana”. Secara sekilas, tampaknya kematian Aurellia Qurrota Ain dilakukan oleh seorang “pelaku penyuruh” (pelaku penyertaan, alias turut-serta). Namun, siapakah “pelaku pelaksana”-nya? Mungkinkah korban itu sendiri yang menjadi “pelaku pelaksana”-nya? Itulah pokok sentral bahasan yang akan kita kupas bersama—namun bukan untuk tujuan menyimpulkan, akan tetapi sekadar berwacana semata.
Sebelum itu, kita perlu mengupas latar-belakang sistem pelatihan yang diterapkan oleh Paskibraka Indonesia (PPI) Kota Tangerang Selatan selaku panitia pelatihan para remaja yang menjadi anggota, dimana salah satunya ialah Aurellia Qurrota Ain. Selama pelatihan, Aurellia diwajibkan menjalani ketahanan fisik dengan berlari sambil membawa beban berat, terlepas apakah kewajiban demikian diperintahkan oleh panitia yang mengemban otoritatif (pihak otoritas) ataupun tidak memiliki kewenangan sama sekali (alias oleh senior pelaku bullying)—jika ternyata bukan, hal tersebut mengindikasikan lemahnya pengawasan pihak penanggung-jawab.
Jadwal pelatihan Aurellia yang dijalani selama lebih dari satu bulan sejak 9 Juli 2019 yang direncanakan hingga pada puncaknya, yakni upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI di halaman kantor Walikota Tangerang Selatan (Tangsel) pada 17 Agustus 2019. Aurellia menjalani pelatihan dari Senin hingga hari Minggu, kecuali Jumat, selama 10 jam per harinya. Lokasi latihan cukup jauh dari kediamannya, membuat Aurellia harus berangkat pada pukul 05.00 WIB untuk menjalani pelatihan yang dimulai pada 06.00 WIB.
Setelah kematian korban, barulah terungkap (sudah sangat terlambat) kejanggalan pada sistem pelatihan yang diterapkan panitia. Sebagai contoh, untuk pelatihan ketahanan fisik, para peserta harus berlari sambil membawa beban berat. Berlari setiap hari dengan kewajiban membawa beban di punggung berupa ransel yang berisi 3 kilogram pasir, 3 liter air mineral, dan 6 mililiter air teh manis. Penyiapan fisik olahraga lari keliling lapangan adalah hal biasa, tetapi jika berlari dengan membawa beban di punggung seberat itu, dinilai tidak lazim dalam suatu pelatihan bagi seorang anggota Paskibra.
Semasa pelatihannya, Aurellia juga menerima kekerasan fisik dari seniornya, seperti ditampar, diperintahan untuk makan jeruk bersama kulitnya yang mana berpotensi membahayakan kesehatan pencernaan seorang anak. Aurellia juga harus menjalani hukuman push up dengan mengepal tangan karena timnya telah melakukan kesalahan saat pelatihan, sehingga menimbulkan luka di tangan.
Aurellia pun pernah mengaku ada 4 temannya yang tidak mengumpulkan buku diary, kemudian berimbas pada perobekan buku diary satu tim Aurelia, lalu diperintahkan untuk menulis kembali dari awal dengan tulisan tangan, hal ini sempat dikeluhkan korban karena dia sangat kelelahan menulis kembali diary yang disobek oleh seniornya.
Pemberitaan menyebutkan, “Aurel meninggal akibat dianiaya seniornya di Paskibra”. Menjadi pertanyaan bagi kita bersama, siapakah pelaku yang telah menganiaya? Apakah mungkin, seseorang warga, sebagai contoh, meninggal dunia akibat terlampau letih bekerja akibat desakan tuntutan ekonomi negara yang sedang lesu, kemudian pihak pemerintah selaku penyusun kebijakan fiskal yang kemudian dipersalahkan dan ditunjuk sebagai pelakunya? Sebagaimana kita ketahui, kasus Aurellia terjadi akibat pilihan hidupnya sendiri, dengan bergabung dan meneruskan dirinya sebagai anggota Paskibra.
Pemberitaan juga menyebutkan, “Kekerasan tidak dibenarkan dalam peraturan perundangan mana pun di Indonesia, siapa pun pelaku kekerasan wajib ditindak tegas sesuai peraturan perundangan yang berlaku agar ada efek jera dan agar tidak ada korban lagi.” Namun bagaimana bila sang korban itu sendiri yang turut memiliki kontribusi dengan melepaskan hak bebasnya untuk memilih keluar dari kegiatan yang dirasakan melampaui limit ketahanan tubuhnya sendiri? Sang korban itu sendiri yang paling memahami kondisi dan ketahanan tubuh dirinya sendiri sebagai yang merasakan langsung, terlepas dari betapa “sadistik” perilaku pelatih yang melatih secara tidak manusiawi demikian.
Perlu juga kita identifikasi, sang korban mengalami “kekerasan mental / psikis” ataukah “kekerasan fisik” sebagai conditio sine quanon terjadinya sebuah “kesengajaan dengan sebuah kemungkinan” terjadinya kematian akibat kelelahan yang teramat sangat dari latihan yang menyerupai siksaan (ada istilah “hukuman” di dalamnya)?
Korban tidak mengalami kekerasan fisik dalam artian pelaku selain sang korban itu sendiri yang melakukan serangkaian aktivitas yang menguras energi sehingga mengalami keletihan yang amat sangat, terkecuali dapat dibuktikan adanya ancaman kekerasan fisik oleh pihak senior ataupun pelatih layaknya praktik perbudakan maupun “perdagangan manusia” dimana para korbannya telah terampas pilihan bebasnya untuk hidup bebas dari siksaan.
Untuk itu, pertama-tama kita perlu mengidentifikasi siapakah tersangka yang dapat dijadikan sebagai berstatus “pelaku”. Namun itulah polemik sekaligus dilematikanya, tidak lain menentukan delik pasal pemidanaan apakah yang dapat disangkakan atau didakwakan kepada sang pelaku, sekalipun sang pelaku telah berhasil ditetapkan siapa saja orang-orang bersangkutan yang ada dibalik kejadian tragis yang naas menimpa Aurellia.
Delik pasal “ancaman dengan kekerasan”, jelas tidak dapat diterapkan dalam kasus “per-pelonco-an”, mengingat sang korban dapat memilih secara bebas untuk mengundurkan diri sewaktu-waktu tatkala dirinya merasa terusik ataupun terlecehkan atau ketika menyadari keletihan fisik yang amat sangat mendera dirinya.
Tanpa mengurangi perasaan simpati dan prihatin bagi korban dan keluarganya, penulis tidak bermaksud menyalahkan pihak korban itu sendiri. Namun bagaimana pun setiap individu juga bertanggung-jawab atas kehidupan dan keselamatan dirinya sendiri, dengan tidak bersikap penuh kepatuhan ala disiplin ketentaraan yang militeristik.
Sipil adalah sipil, militer adalah militer, sehingga tidak dapat dicampur-aduk dengan alasan latihan kedisiplinan. Melatih kedisiplinan, bukan hanya mampu ditempuh dengan cara-cara militeristik, itu kurang kreatif namanya. Seorang pegawai swasta mampu bersikap disiplin sekalipun tidak pernah mengenyam pengalaman tempaan ala militeristik demikian.
Apakah sebuah “penganiayaan” harus selalu lewat tangan sendiri, tidak bisa berupa bully berujung maut? Sebagaimana telah penulis utarakan di muka, ulasan ini tidak bermaksud untuk membuat sebentuk kesimpulan baku “pakem”, namun sebagai pembuka lembaran baru untuk membangkitkan “percikan” dialektika intelektual kita untuk berwacana dengan membahas secara lebih mendalam rumusan delik “penganiayaan”, apakah “penganiayaan secara psikis” dapat dipersamakan dengan “pembunuhan” ketika korbannya terdorong akibat tekanan batin sehingga terjadilah kasus seperti Aurellia Qurrota Ain dan Aurellia-Aurellia lainnya agar tidak kembali jatuh korban serupa dikemudian hari yang mungkin saja menimpa anak ataupun cucu kita, tanpa terkecuali.
Sebagai catatan penutup, kasus yang menyerupai Aurellia Qurrota Ain, juga pernah dikabarkan menimpa remaja-remaja lainnya seperti pemberitaan adanya latihan “berujung maut” di sebuah lembaga pembinaan bagi calon pegawai negeri di Indonesia. Bila kita merasa belum cukup banyak korban-korban berjatuhan, maka silahkan dilanjutkan budaya disiplin ala militeristik demikian. Anda selalu berhak untuk berkata secara tegas, bahwa “Saya adalah seorang sipil, bukan militer.” Titik, habis perkara. Kita sejatinya selalu memiliki pilihan bebas untuk memilih, apapun konsekuensinya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.