Kriminalisasi terhadap Testimoni & Ulasan Produk / Layanan

ARTIKEL HUKUM
Mungkinkan pada suatu ketika, seorang kritikus film, pembuat ulasan produk maupun jasa, akan dipidana penjara (kriminalisasi) dengan tuduhan telah mencemarkan nama baik dari film yang mendapat kritikan sang kritikus, ataupun ulasan yang menyebutkan kelemahan dan kerugian memakai suatu produk ataupun jasa?
Kesemua itu bukanlah tidak mungkin terjadi, terutama dalam era salah-kaprah pidana penghinaan, pencemaran nama baik, hingga penerapan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronok (UU ITE) yang dikenal sebagai pasal-pasal “karet” yang mematikan pintu gerbang kebebasan berekspresi yang justru membuka keran “kriminalisasi” dengan demikian lebarnya tanpa mampu diprediksi secara pasti. Jangankan Anda yang awam hukum, mereka yang Sarjana Hukum pun tidak akan dapat memahami bandul gerak arah delik “cemar-mencemarkan” ini.
Sebagai pembuka, tepat kiranya kita sekadar mengingat kembali perkara pidana kriminalisasi fenomenal yang menimpa Prita Mulyasari yag dilaporkan pidana pencemaran nama baik oleh Rumah Sakit OMNI. Prita, sang terdakwa, adalah pasien yang memberi testimoni layanan yang didapatkan olehnya selaku pasien pembayar tarif jasa medik. Jika Prita bukanlah pasien, maka testimoninya tentulah tidak berbobot untuk dipertimbangkan. Namun, Prita adalah pasien yang selalu berhak membuat sebentuk testimoni—itulah fakta hukum yang paling terutama. Merasa kecewa dan diperlakukan tidak baik dalam suatu layanan, adalah suatu kewajaran secara sosial maupun kepatutan.
Yang kemudian patut menjadi pertanyaan kita bersama, apakah sebuah testimoni harus berisi semata pujian, kata-kata sanjungan, kalimat penghargaan, dan gimmick-gimmick lainnya seperti yang kerap kita jumpai pada gimmick pada sampul buku ataupun pemutaran perdana film di teater sinema? Bila sebuah testimoni hanya boleh berupa pujian bersifat positif bagi pihak produsen ataupun penjualnya, itu sama artinya pembungkaman terhadap hak setiap konsumen untuk menyatakan pendapatnya secara jujur dan terbuka dalam era demokrasi ini—penulis menyebutnya sebagai kebijakan “pembodohan massal” terhadap publik yang selalu berhak atas informasi yang benar dan terbuka, tanpa SENSOR apapun.
Terdapat sebuah pencerahan yang sejatinya dapat ditemukan oleh siapa saja, selama dirinya mau membuka mata dan telinga secara cukup lebar. Sebagai contoh, ketika penulis mencoba memesan barang via daring, tentunya kita terlebih dahulu menyimak informasi berupa review oleh para pemesan sebelumnya, yakni berupa ulasan produk pihak penjual / pelapak oleh para konsumen mereka, bahwa barang yang dijual oleh si pelapak memiliki kelemahan, cacat, dan kekurangannya entah dari segi pengepakan, lama pengiriman, kuantitas barang, hingga perbedaan antara iklan dan produk yang dikirimkan. Apakah kesemua testimoni oleh para customer demikian, adalah sebentuk pencemaran nama baik yang dapat diancam dan dijerat keberlakuan UU ITE?
Tampaknya media jual-beli online (marketplace) menerapkan standar berdemokrasi yang sangat tinggi dan cukup mengedukasi masyarakat tentang produk yang baik dan produk yang kurang baik secara terbuka dan objektif, tanpa harus berhadapan dengan ancaman hukum “pencemaran nama baik” terutama UU ITE yang sarat nuansa “karet”-nya. Era keterbukaan informasi, tampaknya terjadi sebentuk “standar ganda” yang demikian berdisparitas dalam media dunia maya (internet).
Pada satu sisi dapat terjadi kriminaliasi UU ITE yang sangat ditakutkan tersebut, namun disaat bersamaan terjadi suatu wadah / medium penyampaian aspirasi yang sangat terbuka dan demokratis seperti yang terjadi pada berbagai marketplace. Sebagai ilustrasi, (jika saja) ketika Rumah Sakit OMNI hendak menawarkan jasanya melalui pemasangan iklan di sebuah marketplace, mungkin saja kritikan sang Prita Mulyasari yang diposting pada bagian ulasan, akan membuat nasib yang cukup berbeda bagi sejarah hidup Prita. Itulah yang paling unik dari sebuah marketplace online.
Justru karena dimungkinkannya para pembeli produk online untuk membuat testimoni dan ulasan secara bebas dan terbuka, pihak penjual atau pelapak itu sendiri yang akan diuntungkan, karena reputasinya dapat menjadi dipercaya mengingat tidak seluruh testimoni dari pelanggan mereka memberi acungan jempol tanpa ada titik cela ataupun kritik apapun sehingga menjadi penjual yang patut untuk dipercaya.
Kita ketahui bersama, seluruh media konvensional sarat muatan testimoni “sponsor”, alias pesanan yang mana substansinya semata berupa pujian, sanjungan, jika perlu melebih-lebihkan dan membesar-besarkan keunggulan produk atau jasa yang bersangkutan. Ketika disanjung, mereka senang dan gembira. Ketika dikritik dan dicela, diri mereka merasa terhina dan tercemar namanya, lalu mengkriminalisasi. Bukanlah begitu cara kerja dunia bisnis yang mengusung asas demokrasi.
Sebagai contoh, sebuah majalah khusus IT membahas mengenai perangkat komputer, mengulas produk-produk perifelal terkait komponen-komponen komputerisasi maupun program-program terkait. Pihak pengulas membuat semacam rating, benchmarck, hingga ulasan plus dan minusnya produk dimaksud yang beredar di pasaran sehingga dapat menjadi referensi bagi calon konsumen yang membaca majalah dimaksud. Para pelanggan majalah tersebut selama ini berlangganan majalah dimaksud, justru karena menyediakan informasi berupa referensi yang dinilai sangat dibutuhkan oleh masyarakat sebagai sumber informasi.
Setelah pihak pengulas mengujinya secara langsung, didapati rating yang sangat rendah terhadap sebuah produk yang dijadikan sample testing, bahkan disebut tidak sebanding antara harga yang harus dibayar konsumen dengan kinerja dari perangkat yang diulas sehingga menghasilkan kesimpulan: Tidak direkomendasikan. Pertanyaan yang kemudian mengemuka, apakah sang pengulas dan redaksi majalah bersangkutan, dapat dipidana pencemaran nama baik oleh produsen produk yang mereka ulas? Itu sama artinya pembungkaman terhadap hak beropini publik dan hak akses atas informasi yang bersifat terbuka.
Yang cukup sensitif ialah perihal ulasan layanan yang disediakan / ditawarkan oleh penyedia jasa, seperti rumah sakit, dan layanan-layanan jasa non-medik lainnya, sangat rentan terhadap kriminalisasi, mengingat objeknya tidaklah berbentuk layaknya produk barang yang dapat dieksaminasi, ditelaah, ditinjau, dan diuji langsung secara mudah. Jasa, bersifat intangible, alias tidak dapat diraba, sifatnya dirasakan secara personal oleh masing-masing pengguna jasa dan sering kali tertutup sehingga menyukarkan proses pembuktiannya. Atau, ketika terhadap pasien lain diperlakukan secara baik, namun terhadap salah seorang pasien lainnya terjadi penyimpangan layanan medik. Alhasil, sangat mudah pihak penyedia jasa mengkriminalisasi para konsumen mereka yang memberi ulasan ataupun testimoni yang kurang sedap didengar, semata menjadikan SOP layanan mereka yang bersifat ideal sebaga alibi—sementara yang dikeluhkan pasien bukanlah SOP, namun pelayanan real yang pernah dialami dan diterima oleh pasien bersangkutan.
Yang juga cukup unik, ketika meninjau sosial media yang berisi tinjauan para pengguna jasa sebuah operator seluler, berisi banyak sekali keluhan, makian, hingga hinaan yang dilontarkan oleh para pelanggan seluler yang merasa kecewa dan marah akibat layanan yang buruk, namun pihak perusahaan seluler tidak memproses para “pencemar” nama brand mereka, mengingat pelakunya adalah para konsumen mereka sendiri, dan sifatnya “berjemaah” sehingga menyukarkan tuduhan yang dialamatkan.
Jika pelakunya hanya satu orang, sangat mudah bagi jari telunjuk kita menunjuk sebuah hidung milik seseorang yang hendak dikriminalisasi. Namun ketika pelakunya “berjemaah”, maka pelaku usaha hanya bersikap pasrah. Itulah sebabnya, produk / layanan yang bersifat massal, masih lebih cukup demokratis mengingat kontrol sosial masyarakat umum sangat kuat menghadapi dominasi korporasi untuk berkutik.
Kini kita beralih pada isu yang lebih sensitif, yakni mengulas sifat personal pribadi seseorang individu. Contoh kasus kriminalisasi Baiq Nuril adalah sebuah contoh fenomenal lainnya yang tepat dijadikan cerminan. Namun, lagi-lagi terdapat sebuah “standar ganda”, dimana seorang kritikus politik yang kerap berkomentar pada berbagai media, tampak seolah memiliki imunitas untuk dan ketika membuat komentar “pedas” bagi seorang tokoh.
Sebagai contoh yang sangat ambigu, lawyer dari pihak Baiq Nuril justru membuat transkrip lengkap pembicaraan mesum sang pelapor ke dalam persidangan, bahkan kini dapat dibaca pada salinan putusan pemidanaan yang menjerat Baiq Nuril. Lantas, mengapa sang lawyer dari Baiq Nuril tidak turut dipidana, karena turut menyebarkan konten asusila demikian? Itulah yang tepatnya penulis sebut sebagai sebentuk “standar berganda”, yang tidak semestinya dipertontonkan oleh hukum yang demokratis.
Sebutlah Frederick Yunadi yang disebut sebagai “pengacara bakpao”, atau kepada Setya Novanto yang diberi stigma oleh para kritikus sebagai koruptor kelas “kakap”, keduanya berhak dan sah-sah saja merasa terhina. Namun bisakah mereka menuntut “pencemaran nama baik” mereka karena telah disebut sebagai seorang koruptor dan “pengacara berkepala bakpao”? Ketika salah seorang calon presiden, kalah dalam Pemilihan Umum, dirinya layak disebut sebagai “pecundang”—namun itu adalah bagian dari resiko sebuah Pemilihan Umum, ada yang menang dan ada yang kalah. Ketika memajukan diri sebagai calon dalam sebuah kompetisi, ia sudah siap menjadi pemenang dan harus pula siap untuk keluar sebagai “pecundang”. Tidak siap, maka jangan berkompetisi.
Atau kita sebut saja sebuah Partai Politik sebagai “partai korup” (karena sudah sangat dikenal mengusung kader korup, sehingga stigma demikian bersifat “rahasia umum”), mengingat para kader yang diusungnya sebagai pejabat negara, kerap tertangkap pihak berwajib karena tersangkut perkara korupsi, bahkan tidak terkecuali ketua Partai itu sendiri yang terkena ciduk Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sejatinya, Partai Politik itu sendiri yang telah mencemarkan nama partai miliknya sendiri ketika sembarangan mencalonkan calon legislatif ataupun kepala daerah, sehingga pada gilirannya tersandung perkara korupsi yang “mencoreng sendiri wajah” partainya. Masyarakat yang kemudian berkomentar “miring”, adalah akibat, bukan sebagai sebab. Kita harus mampu untuk mulai memilah antara “sebab” dan “akibat”, dengan tidak memutar-baliknya.
Mengapa para komentator dan pengamat seolah memiliki imunitas, ketika kepada khalayak ramai memberi saran agar jangan lagi memilih Partai Politik tersebut pada Pemilihan Umum berikutnya sembari menyebutkan sang koruptor diusung oleh sebuah nama salah satu Partai Politik (tentu saja, sang komentator terlebih dahulu menyebut nama Partai Politik pengusung sang terpidana korupsi, sebelum kemudian menyarankan pada audiens untuk tidak lagi memberikan hak suara para Partai Pengusung sang terpidana korupsi. Terdapat trik-trik komunikasi tersendiri sehingga titik fokus perhatiannya dapat bergeser).
Terdapat banyak sekali contoh-contoh penerapan dengan “standar ganda” yang dapat kita amati langsung dikeseharian, sehingga pasal pemidanaan “pencemaran nama baik” seolah menjadi demikian simpang-siur dan dapat ditekuk, dibengkokkan, atau bahkan diarahkan keberlakuannya sesuai kehendak hati pemegang kekuasaan. Kapan, dimana, serta kepada siapa pasal demikian dapat diterapkan, dapat disebutkan masih sekadar “meraba-raba” dalam temaram akibat belum adanya kejelasan falsafah dibalik penerapan pasal-pasal “pencemaran nama baik” demikian.
Jika nama bersangkutan telah tercemar sedari sejak awalnya, apakah nama yang bersangkutan masih dapat dicemarkan? Jika yang bersangkutan yang justru mencemarkan nama atau brand mereka sendiri dengan membuat konsumen mereka kecewa, apakah hal demikian tetap dapat disebut sebagai “pencemaran nama”? Bukankah konsepsi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan klausa “pencemaran nama BAIK” bukan sekadar “pencemaran nama”?
Para penegak hukum kita sejatinya masih belum mampu membedakan antara siapa yang mencemarkan dan siapa juga yang telah dicemarkan nama baiknya. Sebagai contoh, kembali pada kasus Baiq Nuril, sang pelapor tuduhan pidana “pencemaran nama baik” yang sejatinya mencemarkan nama dirinya sendiri, disamping tidak memiliki “nama yang baik” mengingat mengisahkan kisah-kisah mesum bukan kepada istrinya sendiri, adalah sebentuk perbuatan yang melanggar tata susila kemasyarakatan beradab. Sejatinya, sang pelapor yang telah mencemarkan nama dirinya sendiri.
Apa jadinya, ketika masyarakat umum dilarang untuk membuat ulasan maupun testimoni yang bersifat mengkritik secara terbuka objektif dan “apa adanya”? Bila kecemasan demikian betul-betul sampai terjadi, ketika kita tidak lagi dapat membuka mulut ataupun bersuara untuk menyampaikan keluhan, kritik, perasaan kecewa, atau lain sebagainya, maka berbagai majalah yang kerap mengulas berbagai produk, akan gulung-tikar, dan istilah “demokratis dan era keterbukaan informasi” hanya sekadar menjadi jargon semata, jauh api dari panggang.
Betulkan itu yang benar-benar kita inginkan? Untuk itu kita perlu memulai langkah perubahan, dengan semudah memulai mengusahakan untuk mampu membedakan, antara “mencemarkan nama diri sendiri” dengan “dicemarkan nama baiknya”. Berkomentar secara jujur adalah suatu keberanian ditengah ketidak-pastian hukum pidana “pencemaran nama baik” yang masih terkesan membungkam publik untuk bersuara dan beraspirasi. Demikian untuk kita refleksikan bersama, sebelum perihal “pencemaran nama baik” menjelma “bola liar” yang dengan mudah digiring untuk kepentingan pemegang kekuasaan dan kepentingan politis.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.