Kejahatan Memiskinkan Hidup si Pelaku Kejahatan Itu Sendiri

ARTIKEL HUKUM
Saat selagi masih bocah, terdapat sebuah momen yang teringat dengan sangat jelas oleh penulis hingga dewasa kini, yakni sebuah kartun dari Barat ditampilkan oleh sebuah stasiun televisi swasta kita, yang mengisahkan tentang suatu turnamen balapan mobil. Sudah berselang beberapa dekade lampau bila penulis melakukan flashback, namun penggambaran karakter. Kisah, serta warna-warna di dalam layar televisi itu, masih teringat jelas oleh penulis.
Yang unik dari ciri khas kisah dalam film kartun tersebut, ialah ada satu anggota peserta balapan yang selalu berusaha berbuat curang terhadap para peserta lainnya. Konyolnya, sekalipun sebenarnya si tokoh jahat telah melaju dan berada pada lini paling terdepan daripada para pembalap / peserta balapan lainnya, namun si tokoh jahat justru menyempatkan diri untuk berhenti di depan, memarkir kendaraannya, bersembunyi, bersiasat, dan mulai sibuk menyiapkan rencana busuknya untuk membuat perangkap dan lain sebagainya.
Setiap episode kartun tersebut, selalu diwarnai oleh tema serupa, berulang dan terus berulang seolah itulah tema utama film kartun tersebut (atau gagasan utama dari sang pencipta kartun), yakni si tokoh / pembalap jahat yang sama, telah berada pada posisi paling terdepan, dan selalu menyempatkan / menyibukkan diri untuk memasang perangkap dan segala akal-bulus lainnya, dengan harapan para peserta balapan lainnya mengalami kekalahan akibat masuk perangkap sang tokoh jahat. Seolah-olah, si tokoh jahat ini yang menjadi tokoh sentral film kartun demikian, alias tokoh protagonisnya.
Bahkan penulis masih ingat saat di bangku Sekolah Dasar, ketika guru di kelas membuat pertanyaan saat ujian, “Apa yang dimaksud dengan tokoh protagonis? Apa juga yang dimaksud dengan tokoh antagonis?” Ketika penulis membubuhkan jawaban: “Protagonis artinya tokoh baik. Sementara tokoh antagonis artinya tokoh jahat.”—ternyata nilai hasil dari lembar ujian penulis mendapat nilai NOL (“0”).
Hingga saat kini penulis masih belum memahami, mengapa penulis dinilai “salah” saat memberikan jawaban pada lembar ujian oleh guru tersebut. Sialnya, dalam sistem pendidikan di Indonesia, terdapat sebuah adagium yang tidak boleh dipertanyakan: 1.) Aturan pertama, murid selalu salah. 2.) Aturan kedua, jIka guru yang salah, lihat aturan pertama.
Siapa juga yang membuat aturan diskriminatif demikian? Dan celakanya, aturan demikian tidak dapat diganggu-gugat. Malang nian nasib penulis, si pelajar polos yang menjadi tidak menyukai pendidikan formil sejak usia belia akibat dua aturan tersebut di atas yang tidak pernah mampu penulis pahami maksud dan tujuannya.
Sempat ketika masih bocah, penulis berkata pada saudara penulis yang juga turut setiap harinya menyaksikan kartun konyol tersebut, bahwa jika saja (seandainya) si tokoh jahat mau terus maju menjalani kegiatan balap itu secara jujur, pasti menang, karena memang sejak awal si tokoh jahat sudah berada di posisi jauh paling depan meninggalkan para kompetitornya, sehingga untuk apa repot-repot membuang waktu memasang perangkap untuk pembalap lain yang telah jauh tertinggal di belakang si pembalap yang menjadi tokoh jahat dalam film kartun ini?
Memang pesan moril film kartun ini cukup ideal, bahwa tokoh jahat akan selalu kalah, dan tokoh baik akan selalu menang. Namun yang kurang mendidik ialah, untuk apa repot-repot berbuat curang bilang berperilaku jujur dan fairness saja bisa membuat setiap pembalap dapat meraih kemenangan dalam suatu kompetisi? Penulis justru menilai bahwa film kartun tersebut cukup membodohi kalangan anak-anak kita yang dihipnotis untuk berbuat hal konyol serupa; sehingga ketika mulai menyadari demikian, penulis tidak pernah lagi berniat menyaksikan kekonyolan si tokoh jahat.
Sama seperti mereka yang memilih untuk berprofesi sebagai pencuri ataupun perampok, mereka bertubuh sehat, kuat, segar, namun justru memanfaatkan tubuh mereka untuk berbuat jahat dalam mencari uang. Padahal mereka memiliki berbagai modal setidaknya berupa kesehatan jasmaniah, yang bisa jadi akan menjelma kaya-raya bila sama mereka mau bekerja dengan jirih-payah keringat sendiri secara jujur.
Sama halnya dengan seorang penipu, memiliki modal otak yang “encer” dan mampu berkreasi dalam hal modus-modus canggih, begitu cerdas membuat teknologi curang, namun mengapa mereka tidak menggunakan otak kreatif mereka untuk bekerja secara jujur, seolah mereka tidak bisa hidup kerja secara jujur? Banyak sekali modus-modus kejahatan, dimana untuk menciptakan modus itu sendiri dibutuhkan suatu organisasi otak yang sangat luar biasa terampil dan cerdas, sehingga disayangkan bila modal yang ada justru disalah-gunakan.
Seringkali faktor pemicu kejahatan bukan dilandasi oleh keterbatasan sumber daya fisik maupun sumber daya nonfisik seperti ekonomi, namun lebih dilandasi oleh faktor keserakahan dan kegelapan batin sang pelaku. Contohnya ialah para pelaku usaha industri yang kerap mendirikan industri yang menimbulkan baik polusi udara, polusi air, polusi suara, maupun polusi sosial tepat di tengah-tengah lingkungan pemukiman padat penduduk yang bukan untuk peruntukan pabrik atau sejenisnya.
Seorang Setya Novanto, sebagai contoh paling ideal sebagai ilustrasinya, memiliki berbagai sumber daya, memiliki pangkat serta kedudukan, namun ternyata tidak menghentikan niat buruk dirinya untuk merampok hak-hak rakyat jelata yang jauh lebih miskin daripada dirinya. Jika saja Setya Novanto hendak bekerja secara jujur, maka bukanlah mustahil untuk tokoh pejabat sekaliber Setya Novanto untuk mencapai puncak prestasi baik kekayaan baik materiil maupun kedudukan dan kehormatan lainnya di tangah masyarakat kita.
Karena itulah, kita perlu senantiasa merevisi dan mengevaluasi faktor-faktor penyebab terjadinya kriminalisasi (kriminogen) dan anomali sosial kemasyarakatan kita. Kita selalu menempatkan faktor kemiskinan dan kebodohan intelektual sebagai penyebab dalam urutan paling pertama. Akan tetapi, berbagai fenomena sosial yang menampilkan sosok kriminil yang sehat secara jasmaniah dan lebih makmur ketimbang para korbannya, mau tidak mau mendesak kita untuk melakukan redefinisi faktor penyebab kriminalitas.
Konon, dikabarkan pada suatu hari Albert Einstein memberikan tes akhir pada mahasiswa jurusan fisika di Princeton University, New Jersey. Setelah hasil tes dikumpulkan, Einstein berjalan kembali ke kantornya, tatkala seorang teaching assistant (guru pembantu) mengejarnya dan mengajukan sebuah pertanyaan, “Bukankah soal yang Anda berikan sama persis dengan soal tahun lalu?
Jawab Einstein, “Benar, ujian yang saya berikan sama dengan soal tahun lalu.
Merasa tidak puas, sang asisten kembali bertanya, “Mengapa Anda memberi soal yang sama?
Tetap tenang, Einstein menjawab, “Soal memang sama, tapi jawabannya sekarang sudah berbeda.”
Tidak ada “pil ajaib” untuk seluruh fenomena anomali sosial. Kita perlu memahami, bahwa dinamika sosial terus bergerak dan berubah, untuk itu pendekatannya perlu disesuaikan dengan pergeseran zaman. Sains bersifat tentatif, belum sempurna (bahkan masih jauh dari kata “sempurna”), begitupula dengan ilmu hukum, ilmu sosiologi, ilmi kriminologi, dan ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu eksakta lainnya.
Namun yang pasti, tiada kejahatan bila setiap warga negara mau melipat lengan bajunya, dan bekerja dengan mengandalkan keringat dan jirih-payahnya sendiri. Bukan untuk mengejar hidup hedonistis, namun untuk bertahan hidup (survive) secara elegan dan terhormat. Bila mereka yang terlahir dengan segala keterbatasan fisik seperti cacat, atau bahkan memiliki keterbatasan latar belakang ekonomi, tidak menghentikan langkah mereka meraih impian dan cita-cita, maka mengapa kita begitu “cengeng” dan “manja”?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.