Gemar Membuat Aturan Hukum, Minim Penegakan, Merosotnya Reputasi dan Wibawa Hukum Menjadi Taruhannya

ARTIKEL HUKUM
Tingkat pendidikan masyarakat kita di Indonesia, rata-rata sudah canggih, melek literasi digital dan gadget, bertitel sarjana hingga doktoral, berkendaraan mewah, agamais lengkap dengan segenap atribut keagamaan, berbaju modis mentereng. Namun perihal mentalitas, yang cukup kita sayangkan, masih menyerupai masyarakat nomaden-primitif yang membuang sampah ke bantaran sungai, membakar sampah domestik rumah tangga di lingkungan pemukiman padat penduduk, memasak ikan dan ayam menggunakan kayu arang yang menimbulkan polusi asap, menyelesaikan permasalahan dengan jalan aksi pamer otot (kekerasan), hingga berbagai perilaku kurang beradab maupun aksi senonoh lainnya yang tidak sedap dipandang seperti demonstrasi dan unjuk rasa yang bagaikan bangsa primitif hendak pergi berperang.
Tren terbaru, tingkat polutan / polusi udara di atmosfer seputar lingkup daerah provinsi DKI Jakarta, dilaporkan menapaki peringkat sebagai kota paling berpolusi udara Nomor 1 di dunia (sama sekali tidak membanggakan, kecuali bagi mereka yang selama ini justru memproduksi polutan penyebab polusi demikian), melampaui Bangkok yang sebelumnya telah dikenal sebagai kota paling berpolusi udara akibat aktivitas pabrik skala rumah tangga.
Banyak kalangan menengarai, ulah pengendara kendaraan bermotor yang asap pembakaran buangan knalpot mereka menjadi penyumbang utama polutan yang menyesaki atmosfer dan terjebak di atmosfer, terutama debu berskala mikron yang tidak akan dapat difilter oleh masker pernafasan biasa, sehingga dalam jangka panjang dapat menjadi oksidan berbahaya yang mengoksidasi pembuluh darah para penghirupnya, terutama bagi warga pemukim di wilayah pinggir jalan raya, pengendara kendaraaan bermotor, maupun pejalan kaki.
Namun, masalah kemacetan dan tingginya tingkat lalu-intas kendaraan bukan hanya terjadi di Jakarta, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai alibi. Berbagai kota di Indonesia juga mengalami kemacetan serupa, begitupula kota-kota di berbagai belahan dunia juga mengalami kemacetan dan kepadatan lalu-lintas serupa. Untuk itu, kita janganlah mengkambing-hitamkan keadaan cuaca semisal kemarau ekstrim yang tidak bisa membersihkan polutan yang terjebak dalam atmosfer kita. Mengapa Jakarta, yang menjadi kota paling berpolusi di dunia? Mengapa bukan daerah penyangga seperti Tangerang dan Bekasi yang juga dilintasi para komuter? Bahkan berbagai pabrik skala industri berdiri pada daerah-daerah penyangga seperti kedua kota tersebut.
Sebagai contoh, terdapat tetangga di pemukiman penulis, yang menyatakan secara arogan, bahwa dirinya tidak butuh pohon untuk bisa hidup, sehingga alih-alih berterima-kasih atas sumbangsih oksigen yang dikontribusikan oleh pohon-pohon yang berdiri di rumah kediaman penulis, dirinya justru menyalahkan dan mengutuk daun-daun yang berguguran dan berjatuhan ke jalanan.
Ternyata ada dan bisa mudah kita temukan, makhluk berwujud manusia, tinggal di kota besar seperti Jakarta, namun berkata dengan begitu arogannya bahwa dirinya tidak butuh pohon untuk hidup. Lantas, dirinya menghirup karbondioksida untuk hidup? Penulis menyebutnya sebagai, bakteri anaerob berwujud manusia. Tubuhnya manusia, namun otaknya sekecil otak bakteri. Tidak mengherankan bila Bangsa Indonesia belum dapat disebut sebagai bangsa yang telah beradab.
Dirinya lantas sengaja membakar sampah-sampah daun yang berguguran dari pekarangannya sendiri pula, dengan membuat tempat pembakaran persis di samping kediaman penulis dimana terdapat berbagai ventilasi udara utama ke dalam kediaman keluarga penulis, mengakibatkan setiap harinya keluarga penulis menjadi korban polutan yang secara disengaja diproduksi oleh sang tetangga. Bahkan, dirinya sengaja membakar ikan dan masakan lainnya dengan menggunakan kayu bakar, seolah dirinya tidak mampu membeli elpiji, persis di dekat ventilati kediaman penulis, seolah memang bertujuan menyiksa penghuni kediaman penulis sehingga harus menghidup asap yang mereka produksi secara disengaja.
Polusi udara di Jakarta menjadi demikian tinggi, tidak lain dikarenakan Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta tentang Larangan Membakar Sampah Sembarangan yang telah lama sebelumnya diterbitkan, tidak juga kunjung diterapkan secara tegas oleh aparatur Pemerintah Daerah (Pemda). Warga korban setempat yang harus menghidup polusi yang dibuat oleh sang tetangga, tidak diberikan kepastian ke mana harus melapor dan tiada pula kepastian yang ditawarkan Pemda bahwa laporan atau aduannya akan ditindak-lanjuti—artinya, melaporkan justru akan merugi dua kali, rugi kesehatan, dan rugi perasaan juga merugi dari segi energi dan waktu disamping menjadi korban hati dan perasaan akibat ditelantarkan Pemda si PHP (pemberi harapan palsu).
Sehingga, menjadi ironis sekaligus “dagelan”, ketika saat kini Pemda DKI Jakarta kembali menerbitkan Peraturan Gubernur tentang Instruksi Pengendalian Pencemaran Udara, yang sejatinya tumpang-tindih dengan regulasi-regulasi Perda sebelumnya yang telah ada, hanya saja tidak pernah serius ditegakkan untuk diimplementasikan, alias sekadar kegenitan intelektual para penyusun kebijakan yang memproduksi berbagai peraturan baru yang sedari awal sudah divonis hanya menjadi “macan ompong” yang bernasib sama seperti Perda-Perda sebelumnya, menjadi penghuni baru diantara berbagai tumpukan peraturan perundang-undangan yang sudah menggurita, namun dikodratkan tidak akan pernah diterapkan keberlakuan normanya selain membuat heboh media pers bahwa Pemda telah menerbitkan berbagai peraturan yang bersifat “ideal”, namun minim komitmen dalam implementasi dan penindakannya.
Penulis memiliki keyakinan dan menengarai berdasarkan pengamatan pribadi dalam lingkup berbagai pemukiman padat penduduk di Ibukota DKI Jakarta ini, penyumbang karbon aktif yang mencemari udara Ibukota kita berasal dalam lingkup rumah-tangga domestik secara mikro yang terjadi secara berjemaah sehingga menjelma berdampak makro, terutama pembakaran sampah sembarangan, dimana para tetangga sekitar sang pelaku yang pada gilirannya menjadi korban akibat pencemaran udara. Dan, terkesan adanya pembiaran oleh para aparatur penegak hukum yang mengetahui aktivitas pembakaran sampah sembarangan demikian sekalipun asap pembakarannya jelas-jelas mengganggu penglihatan maupun pernafasan para pengguna jalan.
Meski para pembicara intelek dan akademisi telah sering mengingatkan dalam medium media massa seperti surat kabar, siaran televisi, maupun diskusi pada siaran radio, bahkan warga agar jangan lagi membakar sampah sembarangan, namun dapat dijadikan pupuk kompos atau setidaknya membuangnya secara patut pada tempat pembuangan sampah yang semestinya, bukan dengan cara membakar yang hanya akan menggeser sampah-sampah itu dari tanah ke udara yang pada gilirannya menyakiti dan merusak kesehatan warga sekitar yang terkena getahnya, disamping menurunkan kualitas udara perkotaan pada umumnya.
Membakar sampah, mungkin tampak efektif membuat lenyap penampilan konkret si sampah, seperti sebuah sulap, namun senyatanya semua itu hanya transformasi sampah padat menuju partikel debu asap (radikal bebas) yang beterbangan ke angkasa dan ke udara sekitar yang bersifat lintas batas—sementara, mereka menyadari bahwa hidup dalam pemukiman padat penduduk artinya saling berbagai ruang dan berbagi sumber daya oksigen dan nafas, namun tetap saja akibat “egois sektoral” seorang warga pelaku pembakaran sampah yang hanya segelintir, mengakibatkan banyak warga sekitar yang tidak bersalah menjadi terkena dampak langsungnya.
Kalangan medik sudah mengingatkan, agar polutan berbentuk mirko karbon hasil pembakaran demikian sangatlah berbahaya bagi kesehatan penghirupnya, terutama bagi tetangga kita yang mengidap alergi terhadap debu secara sensitif, ataupun bagi mereka yang rentan terhadap radikal bebas seperti mereka yang sedang turun metabolisme tubuhnya ataupun bagi anak-anak dan orang-orang tua (balita dan lansia).
Pernahkah mereka menghormati dan memerhatikan kondisi tetangga mereka yang bisa jadi mengidap asma ataupun alergi debu secara sensitif? Membuat pencemaran udara, sama artinya melukai dan menyakiti, karena sifatnya yang lintas-batas, sehingga bentuk-bentuk “penganiayaan terhadap kesehatan” demikian belum juga mendapat perlindungan hukum secara sepatutnya akibat pembiaran oleh aparatur negara kita itu sendiri. Merusak kesehatan warga lainnya lewat polusi, sama artinya merampok kesehatan warga negara lainnya—suatu perbuatan yang tidak patut dipertontonkan secara demikian arogan (cermin rendahnya budaya kesadaran akan hak-hak warga negara lainnya maupun hak-hak para tetangga di lingkungan pemukiman kita).
Terdapat resiko jangka pendek dan resiko jangka panjangnya. Namun, warga kita di Ibukota demikian egoistik dan individualistis, sehingga mereka seolah merasa berhak untuk merugikan warga negara lainnya secara lebih masif, semata demi kepentingan pribadi si pembakar sampah. Terlebih berbahaya ialah pembakaran sampah plastik, yang mengakibatkan bukan hanya pernafasan seorang manusia (para tetangga) yang berpotensi tinggi mengalami kanker yang disebabkan mutasi genetik akibat terpajan racun dari pembakaran sampah plastik, bahkan velg roda kendaraan dapat berkarat akibat terpajan asap demikian.
Jika kita konsisten serius menegakkan aturan hukum dan moril, maka penjara kita tidak akan sanggup menampung para terpidana pembakaran sampah demikian, dengan mulai mengakui bahwa menyakiti (menganiaya atau merampok kesehatan) dengan cara-cara pembakaran dan menimbulkan polutan lintas batas demikian adalah suatu kejahatan yang patut diberi vonis pidana. Mungkin karena alasan pragmatis itulah, sehingga segala perbuatan tidak terpuji demikian dilepaskan dan dibiarkan terjadi oleh para pelakunya, sekalipun jelas-jelas merugikan warga negara lainnya.
Warga negara Indonesia dikenal sebagai bangsa yang cukup primitif oleh negara tetangga kita, terutama berbagai keluhan yang sudah sering dilayangkan oleh Pemerintah Negara Singapura, lewat otoritasnya menegur ulah masyarakat Indonesia yang kerap membuka lahan (land clearing) justru dengan cara membakar hutan dan gambut, sehingga hanya demi segelintir warga atau pengusaha perkebunan sawit, masyarakat pada satu pulau tersebut terpajan asap pembakaran yang mengakibatkan anak-anak tidak dapat masuk bersekolah, warga terkena infeksi saluran pernafasan atas, jarak pandang lalu-lintas hanya mencapai 20 meter, aktivitas perkantoran menjadi lesu, penerbangan maskapai udara tertunda atau bahkan dibatalkan, rumah sakit dipenuhi mereka yang menderita penyakit pernafasan, bahkan karena sifat polutan demikian ialah bersifat lintas batas, debu asap pembakaran demikian tertiup angin dan negara tetangga kita juga terkena imbasnya. Perilaku warga masyarakat kita terlampau egoistik, bahkan tidak bersedia menghiraukan hak-hak para tetangga kita sendiri yang hidup berdampingan secara langsung, tanpa bersedia saling menghormati dan menghargai.
Ulah kedua yang kerap dilakukan oleh warga negara kita, ialah aktivitas menghisap tembakau mereka yang kerap mencemari hingga ruang-ruang umum dan privat, seperti dalam gedung perkantoran, ruang publik lainnya, bahkan para polisi di kantor kepolisian dikenal sebagai orang-orang yang paling sering menjadikan warga pelapor sebagai korban (per0k0k pasif) terpajan asap pembakaran tembakau yang mereka hasilkan di ruangan tertutup bersama sang warga pelapor yang bisa jadi alergi terhadap asap pembakaran tembakau. Pelanggaran hukum terbesar, persisnya terjadi secara masif pada berbagai kantor kepolisian kita itu sendiri dan oleh para aparatur kepolisian itu sendiri.
Lihat saja berapa miliar bungkus r0k0k dibakar setiap tahunnya oleh para penghisap pembakaran tembakau, sementara berbagai Perda kita hanya menjadi pajangan di etalase tanpa pernah ditegakkan. Yang terlebih tidak termaafkan, ialah ketika para per0k0k aktif tersebut kerap menjepit r0k0k dengan jari tangannya yang diayun-ayunkan seenaknya ke udara tanpa menghiraukan keberadaan warga yang melintas di sekitarnya, mengakibatkan mata penulis beberapa kali hampir mengalami cidera tersundut puntung r0k0k yang bila terkena asapnya saja sudah menyakitkan kedua mata.
Pesan dari penulis kepada pemerintah kita, agar jangan suka membuat aturan ini dan aturan itu, yang sudah sedemikian “gemuk” saat kini, namun penerapannya separuh hati, jauh dari kata serius dan ideal, bahkan tidak pernah benar-benar diterapkan meski aparatur Pemda memiliki sumber daya yang cukup memadai untuk menegakkannya bila mereka memiliki komitmen untuk menegakkan.
Membuat aturan yang tidak pernah sejak semula mendapat komitmen untuk ditegakkan, lalu tak lama berselang kembali membuat peraturan serupa lainnya dengan judul berbeda namun memiliki muatan substansi yang sama persis dengan peraturan sebelumnya yang hanya dibiarkan bernasib sebagai “pajangan” belaka, wibawa hukum yang jadi taruhannya di mata masyarakat.
Pada gilirannya masyarakat kita yang menjadi apatis, tidak menaruh kepercayaan pada itikad Pemda saat membuat dan memperkenalkan berbagai Perda-Perda baru—jika perlu dilecehkan, diinjak-injak, dan ditertawakan. Oleh sebab nasibnya sudah sangat jelas, sejak semula diterbitkan diberi vonis sebagai “macan ompong” yang hanya menjadi sebatas dan sejauh seremonial belaka, yang lagi-lagi hanya akan membuat sesak etalase pajangan peraturan perundang-undangan kita yang sudah sedemikian menyerupai “rimba belantara” yang “genit” tetapi “tidak bergigi”, alias tidak memiliki bobot.
Ketika media meliput rilis Perda DKI Jakarta tentang larangan membakar sampah sembarangan, berbagai pers menyiarkan kepada publik bahwa kini terdapat ancaman pidana bagi warga yang masih kerap membakar sampah domestik mereka sehingga mencemari udara lingkungan sekitar. Namun, lihatkah kini, telah hampir satu dekade umur sang Perda, namun warga juga yang dikecewakan karena tiada implementasinya. Mengapa Pemda kita tidak pernah mau belajar dari pengalaman yang sudah ada, dan mulai memperbaiki strategi dengan mulai serius menerapkan dan menegakkan berbagai peraturan yang telah ada agar timbul efek jera dengan harapan agar seluruh warga masyarakat patuh dan taat terhadap hukum? Tiada hukum tanpa implementasi, sebab implementasi ialah hukum itu sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.