Dosen & Mahasiswa Pendidikan Tinggi Kita Sibuk EUFORIA TEORI Belaka, Hanya Pandai Berteori

ARTIKEL HUKUM
Pemeringkatan Perguruan Tinggi di Indonesia yang tidak pernah dan tidak akan pernah masuk dalam rangking 100 besar Perguruan Tinggi bereputasi dunia, bukanlah tanpa alasan. Selama metodologi pendidikan, kurikulum, keterampilan tenaga dosen, dan pendekatan terhadap mahasiswa masih berbasis teories based teaching, maka selamanya lulusan Perguruan Tinggi di Indonesia akan tertinggal dari para sarjana asing dari luar negeri maupun saat Indonesia harus berkompetisi di kancah “perang ekonomi” maupun “perang dagang” dunia global yang kian memanas.
Mungkin gambaran yang berangkat dari pengalaman pribadi penulis, dapat menjadi cerminan sederhana yang dapat memberi ilustrasi sederhana betapa absurd-nya sistem perkuliahan pada Pendidikan Tinggi kita. Khususnya pada Fakultas Hukum, dimana mahasiswa peserta didik hanya diharuskan menghafal teori, yang ironisnya, pada tahap magister hukum justru lebih diharap bersikap teoretis, dan puncaknya pada tahap doktoral hukum justru lebih banyak lagi bergelut pada teori. Lantas, kapan pendidikan keterampilan dan pengetahuan praktisnya? Bagi yang merasa sudah “kenyang” pada teori, tidak akan pernah tertarik “membakar” uang puluhan juta rupiah maupun waktu mereka, hanya demi sekadar gelar Magister Hukum—titel untuk mereka yang hanya pandai bicara dan berteori belaka.
Sistem pendidikan tinggi hukum di Indonesia, masih berbasiskan pengajaran teori, pelafalan teori, penghafalan teori, dan pengujian teori. Tidak ada tataran praktik maupun keterampilan praktik terutama pada Fakultas Hukum di berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Itulah sebabnya, tidak ada seorang pun fresh graduate lulusan Fakultas Hukum di Indonesia yang benar-benar siap pakai saat terjun ke dunia kerja. Semuanya tergagap-gagap bagai seekor ikan yang menggelepar kehabisan nafas, saat memasuki dunia kerja.
Sebagai gambaran, saat penulis menempuh pendidikan tinggi hukum pada suatu Universitas yang cukup dikenal “bergengsi” di Jakarta, terdapat mata kuliah pada sistem kredit semester (SKS) berupa ekonomi, manajemen, hingga mata kuliah umum seperti bisnis / entrepreneur. Yang mengejutkan, dosen pengajar justru hanya membuang-buang waktu mahasiswa dengan mendiktekan apa yang harus mereka tulis dari buku yang sang dosen bacakan di depan kelas—hal mana dapat dibaca sendiri oleh mahasiswa dan bukanlah itu yang paling dibutuhkan mahasiswa dalam menghadapi kompetisi keterampilan dan persaingan global yang kian “buas” ini dan dipastikan akan tersisih jika tidak membekali diri dengan segudang keterampilan praktis saat duduk di bangku perkuliahan, sebagai juga cerminan betapa tidak berbobotnya para dosen pengajar di Indonesia sehingga hanya mengandalkan buku teks untuk ia bacakan dan diktekan untuk dicatat oleh mahasiswa.
Lantas, dimana letak perbedaannya antara metode pengajaran pada bangku Sekolah Dasar dan Pendidikan Tinggi kita? Bagaimana mungkin mengharap dapat menghadapi gempuran sarjana asing di tengah persaingan kompetisi global, bila mahasiswa diperlakukan sama seperti seekor keledai oleh para tenaga pendidik kita yang jauh dari kata “kreatif” dan jauh dari kata “terampil” demikian?
Tidak terkecuali seluruh mata kuliah hukum pada Fakultas Hukum yang pernah penulis enyam, murni seluruhnya bersifat teori belaka, yang mana sebetulnya dapat dibaca sendiri oleh mahasiswa, dimana buku-buku hukum tidak pernah kurang-kurangnya mengisi rak-rak perpustakaan maupun toko buku untuk dibaca sendiri. Mungkin dikarenakan para mahasiswa sudah jenuh dan bosan dengan teori, mengakibatkan perpustakaan hukum kita selalu sepi dari peminat.
Bahkan, ironisnya, sebagian besar mata kuliah diisi oleh dosen yang hanya sekadar membacakan (membeo) bunyi pasal-pasal pada peraturan perundang-undangan yang mana dapat dibaca oleh masyarakat umum sekalipun tanpa perlu menempuh pendidikan tinggi hukum di Perguruan Tinggi. Wahai Bapak Ibu Dosen, Anda pikir, kami para mahasiswa Anda, buta huruf sampai-sampai harus Anda menghabiskan seluruh waktu kuliah sekadar untuk membacakan isi pasal undang-undang seolah-olah kami tidak mampu membacanya sendiri?
Jika begitu, peran Anda dapat dengan mudah digantikan oleh robot “text to speech”, tanpa harus mahasiswa membayar mahal gaji Anda. Anda telah membuang banyak waktu dan dana kami untuk segala ceramah omong-kosong Anda yang lebih layak dimasukkan ke tong sampah. Apakah Anda dibayar mahal hanya untuk memperlakukan para mahasiswa Anda seperti orang-orang dungu yang bodoh? Alhasil, lihatlah betapa daya kompetisi mahasiswa lulusan Perguruan Tinggi di indonesia, tertinggal jauh dari negara-negara berkembang lainnya. Teori Anda tidak laku dalam percaturan dunia persaingan global. Anda membuat mental generasi muda ini menjadi lemas, lesu, kurus-kering. Sesi perkuliahan yang membosankan, hanya mematikan sel-sel otak dan maupun daya kreativitas peserta didik.
Dua diantara fakultas di Indonesia yang tidak salah kelola oleh Dekan Fakultas pada Perguruan Tinggi dimana pun itu berdirinya, ialah Fakultas Kedokteran dan Fakultas Farmasi. Kedua fakultas tersebut tidak memperlakukan dan tidak mendidik para mahasiswa calon dokter dan calon ahli farmasi maupun apoteker seperti keledai-keledai dungu yang hanya perlu disuapi teori belaka, untuk puas pada teori belaka, dan hanya tahu teori belaka, atau hanya pandai bicara dan berteori belaka.
Mungkin diakibatkan kedua bidang disiplin ilmu tersebut bersentuhan dengan kaitannya terhadap nyawa dan keselamatan orang banyak yang menjadi pasien para lulusan mereka, maka dari itu Fakultas Kedokteran maupun Farmasi benar-benar dikelola dengan prinsip edukasi serta metode / pendekatan pedagogi yang serius dan terancang secara matang serta tepat guna, yakni tidak lain tidak bukan ialah keterampilan praktis.
Mereka, para mahasiswa Fakultas Kedokteran maupun Farmasi, tidak akan dibuang waktu mereka untuk mendengar “tetek-bengek” seperti “mata adalah salah satu organ dan sekaligus salah satu indera dan dari panca indera yang dimiliki oleh seorang manusia, yang berfungsi untuk melihat serta mata hanya berjumlah dua pada satu kepala manusia”. Mereka akan langsung diperlihatkan bagaimana caranya mengiris lensa retina sebuah bola mata dan bagaimana cara kerja proses itu dapat terjadi.
Percaya atau tidak percaya, di tengah persaingan bisnis global yang sudah sangat menekan ini, Fakultas Hukum di Indonesia masih saja memperlakukan para mahasiswanya yang tengah tercebur ke tengah samudera berombak ganas yang mengombang-ambing mereka penuh ketidak-pastian pada masa depan, dengan mengajarkan semata “teori untuk berenang” alih-alih bagaimana caranya berenang.
Tidaklah mengherankan bila mereka kemudian terlebih dahulu tenggelam sebelum tahu apa itu arti kata “berenang”. Mengetahui apa itu arti kata “berenang”, cukup lewat belajar dengan langsung mempraktikkannya, bukan sibuk berteori tentang apa itu berenang, tentang apa definisi gaya katak, definisi gaya bebas, dan definisi terjun bebas. Kita dengan demikian terdidik dan terkondisikan untuk kalah jauh sebelum benar-benar memulai “peperangan” kompetisi dunia kerja yang kian buas diwarnai aksi “sikut-menyikut” ini.
Budaya masyarakat di Indonesia juga masih cenderung kurang kondusif terhadap keterampilan internal seseorang tenaga kerja. Seseorang cenderung dinilai semata karena gelar akademik yang disandang oleh orang lain, bukan keterampilan dan kemampuan inheren dari orang bersangkutan yang dijadikan subjek penilaian. Semakin panjang deretan gelar akademik memenuhi kartu nama yang bersangkutan, makin diakui dirinya sebagai kompeten dan profesional—padahal belum tentu demikian senyatanya. Lihatlah para dosen dan profesor membosankan itu, kurang banyak apa titel akademik yang mereka miliki?
Namun cobalah Anda tanyakan gelar akademik para pendiri industri intelektual besar seperti Google, Microsoft, serta Facebook, apakah sang pendirinya memiliki gelar akademik? Sama sekali tidak, mereka bahkan DROP OUT dari kampus tempat mereka berkuliah. Atau seperti Albert Einstein yang disebut-sebut sebagai siswa bodoh oleh sang guru ketika masih kanak-kanak. Atau juga seperti Thomas Alfa Edison yang dikeluarkan oleh guru sekolahnya karena dinilai “terlampau dungu”, sehingga sang ibu dari Edison kecil yang kemudian mendidiknya menjadi seorang tokoh penemu besar sepanjang sejarah.
Mereka yang haus akan pengakuan, mencari dan membayar mahal untuk sebuah gelar yang dapat disandangnya sebagai suatu gengsi kebanggaan. Namun bagi mereka yang mengejar keterampilan dan untuk menjadi terampil, gelar hanyalah sarana. Dunia ini sendirilah yang menjadi Universitas Kehidupan baginya, tempat untuk belajar, menempa diri, dan berkarya secara langsung.
Ketahuilah, dunia ini tidak pernah kekurangan teori. Dapat Anda bayangkan, berbagai teks ilmu hukum di Indonesia, sibuk mendebatkan apa itu definisi “hukum”. Buku yang satu membuat definisinya sendiri yang harus dihafalkan oleh mahasiswa karena akan menjadi materi ujian, sementara penulis lainnya juga memiliki definisi sendiri tentang apa itu hukum.
Meski sejak lama, Mao Tze Tung telah mengungkapkan, tidak penting kucing berwarna hitam ataukah berwarna putih, yang terpenting kucing itu tidak takut pada tikus dan dapat menangkapnya. Untuk apa menghabiskan waktu menghafalkan apa itu definisi “hukum” dari masing-masing buku itu? Bandingkan secara kontras dengan praktik di negara-negara Common Law, ilmu hukum hanya diberi satu definisi secara kompak oleh Sarjana Hukum mereka, yakni “ilmu tentang prediksi”. Mereka tidak akan menghabiskan waktu untuk “tetek-bengek”. Mereka terlampau jenius untuk mau dihambat oleh metode pendidikan yang membosankan dan tidak berfaedah.
Karena berangkat dari tradisi sistem hukum Anglo Saxon, para mahasiswa Fakultas Hukum pada negara-negara Common Law hanya bergelut pada keterampilan praktis mengupas berbagai preseden, sehingga mereka akan selalu bersifat “siap pakai” saat terjun pada praktik di dunia kerja. Ironisnya, secara kontras, mahasiswa hukum lulusan Perguruan Tinggi hukum di Indonesia hanya berbekal pengetahuan tidak lebih dari 5 buah putusan pengadilan, telah dinyatakan lulus dengan titel Sarjana Hukum. Ketika berjumpa klien, sang lulusan akan menanggapi pertanyaan sang klien dengan jawaban penjelasan berpanjang-lebar:
“Menurut teori ... bla bla bla...”
“Saya mencari Anda, bukan untuk mendengar teori ataupun untuk membuang-buang waktu saya mendengarkan Anda berteori. Bagaimana praktik peradilan jika saya hendak bermanuver bisnis seperti menggadaikan saham?”
“Waduh, saya tidak pernah diajarkan sampai seperti itu di kampus saat kuliah.”
“Jika begitu apa saja yang Anda pelajari saat di kampus? Kalau begitu Anda kembali kuliah lagi saja.”
“Percuma Pak, kembali ke bangku kuliah hukum artinya kembali harus menelan teori, lebih banyak lagi.”
“Jika begitu, Anda gadaikan saja izasah hukum Anda.”
“Ide bagus.”
Ketika bangsa lain sibuk membangun dan merakit robot, ketika bangsa lain sibuk merancang dan membangun kendaraan bertenaga solar-cell, ketika bangsa lain sibuk merancang dunia futuristik dan membangun teknologi canggih serta membangun impian masa depan, ketika bangsa lain sibuk merancang dan membangun bisnis yang efektif dan efisien, para lulusan universitas kita masih saja latah sibuk berteori dan berceloteh panjang-lebar tentang apa itu ekonomi, tentang apa itu definisi entrepreneurship, tentang apa itu ekonomi makro dan ekonomi mikro, serta tentang apa itu “hukum”.
Selamanya negeri ini akan tertinggal dari persaingan global bila pendekatan kita masih membiarkan dosen-dosen “benalu” untuk tidak segera “disterilkan” dari berbagai perguruan tinggi kita, baik negeri maupun swasta. Mahasiswa kita tidak pernah butuh teori, dunia ini tidak pernah kekurangan berteori, terlebih untuk menjadi lebih terampil dalam hal teoretis. Itulah juga yang menjadi pangkal penyebabnya, berbagai universitas di Indonesia tidak tampak bergengsi, tidak membanggakan, dan kurang menarik disamping tidak prestise. Mereka tidak menawarkan apapun, selain setumpuk teori yang membosankan dan tidak berfaedah.
Percayalah, dunia ini tidak pernah kekurangan orang-orang yang lebih pandai berteori, namun miskin dalam aksi dan inovasi. Semua ini adalah hal yang serius, bukan untuk ajang bermain-main dengan masa depan generasi penerus bangsa kita, kecuali bila kita adalah generasi tua yang lebih menyukai zona nyaman dengan mengorbankan masa depan generasi muda. Penulis menyebutnya sebagai, akibat salah asuhan, SALAH ASUH. Mereka yang benar-benar memiliki keterampilan jurus bebek, akan mampu dengan mudah menaklukkan dan mengalahkan mereka yang hanya pandai berteori tentang jurus macan atau jurus naga sekalipun.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.