Demo Menuntut Referendum, dapat Dipidana Makar?

ARTIKEL HUKUM
Diakui ataupun tidaknya, selalu terdapat ketimpangan laten dalam realita sosial-kemasyarakatan kita, dimana ketimpangan posisi dominan dan subordinat demikian selalu menjadi salah salah satu faktor utama penyalah-gunaan keadaan, sebagai contoh di tengah masyarakat kita hidup nilai etika norma sosial sebagai berikut : (yang patut dan sudah selayaknya untuk kita gugat bersama)
- Aturan Pertama, istilah “durhaka” hanya berlaku untuk anak, “anak durhaka”. kamus tidak mengenal istilah orangtua yang durhaka. Aturan Kedua, jika orangtua dianggap durhaka kepada sang anak, lihat Aturan Pertama.
- Aturan Pertama, murid harus menghormati guru dan orang yang lebih tua. Aturan Kedua, bila murid maupun junior yang lebih muda menuntut agar juga diperlakukan hormat oleh orang-orang yang lebih tua dan lebih dewasa darinya, maka lihat Aturan Pertama.
- Aturan Pertama, hanya presiden yang dapat mempidana penghinaan terhadap rakyatnya. Aturan Kedua, jika rakyat hendak mempidana presidennya karena menghina rakyat jelata, maka lihat Aturan Pertama sehingga jangan coba-coba mengkritik langkah pemerintah yang kian membebani rakyat dengan segala pungutan liar dan iuran-iuran retribusi dengan memakai dalih undang-undang yang mengatur segala iuran tersebut, sementara pemerintah demikian BOROS dalam hal pemakaian anggaran dan keuangan. Pemerintah boleh memboroskan uang rakyat, sementara rakyat hanya diwajibkan membayar pajak dan segala iuran yang WAJIB sifatnya, alias pemaksaan berkedok undang-undang yang dibuat oleh pihak pemerintah sendiri.
- Aturan Pertama, bos selalu benar. Aturan Kedua, jika karyawan merasa dieksploitasi, maka lihat Aturan Pertama atau silahkan angkat kaki dari kantor.
- Aturan Pertama, guru selalu benar. Aturan Kedua, jika murid hendak komplain, maka lihat Aturan Pertama atau silahkan belajar sendiri.
- Aturan Pertama, polisi dan hakim selalu benar. Aturan Kedua, jika polisi dan hakim keliru, maka lihat Aturan Pertama atau “main hakim sendiri”.
Tidak ada keseimbangan relasi dalam kehidupan sosial kita, suatu tatanan sosial yang setara dan seimbang, hanya ditemukan pada buku-buku teori, teori mana jauh dari realita. Kini kita beralih pada topik utama kita, yakni sebuah pertanyaan sederhana namun amat sukar untuk kita jawab bersama, yakni: Jika seseorang warga mengibarkan bendera “negara utopia”, maka akan ditangkap pihak berwajib, dan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan “makar”.
Maka, ketika gerombolan massa lainnya berdemonstrasi meminta dan menuntut diadakan referendum untuk memisahkan diri dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), mengapa tidak dituntut dengan pasal yang sama seperti mengibarkan bendera “negara utopi”, yakni sebagai pelaku “makar”? Bila frasa atau terminologi hukum “makar” dimaknai sebagai berupaya dengan maksud untuk memisahkan diri dari suatu kedaulatan suatu negara yang berdaulat, maka mengapa perilaku seperti berkampanye mengumandangkan keinginan atau tuntutan untuk diadakan referendum, tidak dikategorikan sebagai “makar”?
Itulah standar ganda yang sangat berdisparitas dengan demikian mencolok dan vulgar yang dapat kita jumpai di negeri ini. Antara referendum dan mengibarkan bendera “negara utopia”, ujung muaranya ialah sama, yakni menjadi negara merdeka yang terpisah dan bebas dari NKRI—alias tujuan niat dibalik motif itu sendiri, bukan caranya mengekspresikan diri demi mencapai suatu tujuan.
The Right of Self Determination (hak untuk menentukan nasib sendiri) diakui oleh bangsa-bangsa beradab maupun PBB (organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa) sebagai bagian dari hak asasi suatu bangsa maupun seseorang. Menjadi pertanyaan lanjutan yang juga wajib kita jawab secara berimbang, apakah menuntut pemisahan dan kemerdekaan, adalah hak prerogatif setiap warga lokal? Bagaimana dengan aksi pengibaran bendera “negara utopia”, mengapa tidak dikategorikan sebagai suatu “hak”? Mengapa juga bendera Partai Politik boleh berdiri tegak atau bahkan tampak berkibar lebih perkasa dengan menyaingi tingginya bendera “merah-putih”?
Apakah betul, sesederhana demikian dalam memandang masalah sosial yang sifatnya multi-faset? Masalahnya, lagi dan lagi, realita sosial tidaklah “bebas nilai” dan tidak akan pernah “murni”. Fakta empirik diseputar fenomena sosial, tidak berjalan dengan logika maupun fakta-fakta yang linear sifatnya.
Sebagai contoh, tidak mungkinkah, tiada intervensi “campur-tangan” negara-negara asing yang mencoba “memancing di air keruh” dengan “memanas-manasi” dan mencoba memprovokasi berupa sabotase isu media digital inkonvensional, memakai narasi yang dirancang secara khusus untuk merekayasa arah berpikir para audiens yang disasar (membentuk opini, framing), atau bahkan guna “pengalihan isu” (seringkali oleh aktor pelaku lokal), menyasar target yang berpotensi dapat termakan isu hoax, hingga redistribusi isu guna provokasi (memanas-manasi).
Ketika ditengarai atau memang terdapat campur-tangan pihak asing, maka tidak lagi independen murni kehendak bebas suatu komunitas warga. Propaganda, itulah yang kerap disusupkan oleh mereka yang beritikad kurang baik dengan memanfaatkan “kesempatan dalam kesempitan”, memancing di air keruh.
Tidak tertutup kemungkinan, faktor pemicu utamanya ialah perihal kepentingan politis, semisal sang provokator adalah masyarakat lokal setempat yang memiliki kepentingan pribadi seperti ingin menjadi presiden baru di negeri merdeka baru yang nantinya akan terbentuk lewat aksi penuntutan referendum dan pemisahan diri dari NKRI. Deal-deal politis “di balik layar” demikian bukanlah kemustahilan isapan jempol.
Isu-isu strategis, terutama bila objeknya berupa pulau yang kaya sumber daya alam serta memiliki posisi geografi yang strategis seperti Papua, menggoda bangsa manapun untuk mengeksploitasinya dengan menjadi “aktor di balik layar” upaya pemisahan diri warga lokal dari NKRI. Apakah masyarakat Timor Timur kini benar-benar berbangga diri telah menjadi negara merdeka yang berdiri sendiri?
Apakah betul anak dan cucu dari Bangsa Timor Timur saat kini, dapat hidup berbahagia dalam kondisi “merdeka” dan “bebas” dari NKRI? Timor Timur kini menjelma semacam negara yang sangat rentan tanpa perlindungan yang memadai, baik secara teknologi maupun secara ekonomi, mengundang godaan bagi para negara-negara mancanegara bermental eksploitatif untuk mengeksploitasi sumber daya Timor Timur.
Patut juga dipertanyakan, apakah publik kita mudah atau tidaknya untuk terpecah-belah. Belajar dari pengalaman sejarah masa lampau, kita sebagai generasi penerus nenek-moyang kita di Bumi Pertiwi Nusantara ini, mewarisi darah suatu bangsa yang telah dikenal oleh dunia sebagai bangsa yang mudah sekali tersulut emosi maupun tersulut godaan “deal-deal politis” untuk terpecah-belah (sekalipun tanpa intervensi asing), dan bahkan lebih mudah lagi untuk diterapkan kebijakan “pecah-belah” seperti yang dilancarkan oleh Kamar Dagang Kolonial Belanda (VOC) untuk menguasai Nusantara tanpa perlu mengerahkan upaya yang berarti.
Devide et impera”, demikian ia kerap dinamakan sebagai suatu strategi politis yang bernuansa motif ekonomi serta penguasaan (kooptasi) suatu kedaulatan dari suatu bangsa yang dikenal tidak satu padu dalam hal kohesi (daya ikat) sosialnya. Ia juga kerap diistilahkan sebagai “politik pecah belah”, “politik adu domba”, dengan motif utama untuk memecah suatu komunitas bangsa menjadi komponen-komponen kecil yang lemah agar lebih mudah ditundukkan dengan memainkan isu ras, etnisitas, suku, dan agama agar seolah kian demikian tajam fragmentasi dan segregasinya. Air dan minyak, selalu harus saling terpisah, tidak dapat dan tidak boleh bersatu, demikian argumentasi yang kerap dilontarkan—tampak logis dan mudah ditangkap oleh mereka yang berpandangan picik, tanpa menyadari sedang memasuki sebuah perangkap.
Apakah sebuah kebebasan, selalu dimaknai sebagai merdeka tanpa hukum? Bila negara yang merdeka selalu memiliki hukum, maka negara demokrasi tanpa hukum sama artinya menjerumuskan warga negaranya kearah lembah “chaos”, kekacauan itu sendiri—tiada kemerdekaan tanpa batasan oleh hukum, karena dipastikan yang kecil akan dimakan oleh yang besar dan kuat. “Penyalahgunaan hak”, mungkin itulah ujung kebebasan tanpa rambu norma etika maupun tanpa sebentuk norma hukum apapun yang membatasi dan memberi koridor bagi wadah aktualisasi ekspresi kebebasan suatu bangsa atau komunitas warga.
Referendum bagaimana pun merupakan produk politik, bukan murni semata produk pergerakan sosial dan aspirasi kewarga-negaraan, dimana konsensus terjadi atas dasar kompromi berdasarkan asas kedaulatan suatu negara (satu negara utuh, yakni Republik Indonesia), bukan suatu ras ataupun suku kedaerahan tertentu, karenanya konsensus demikian perlu disuarakan kepada seluruh segenap bangsa yang menjadi bagian dari NKRI, bukan semata aspirasi warga lokal yang menuntut kemerdekaan—kecuali bila Indonesia sejak semula berbentuk negara Federasi semacam United State of America yang terdiri dari sekian puluh Negara Bagian.
Bangsa yang mudah terpecah-belah, akan secara laten dihantui oleh konflik bersaudara. Selama Konstitusi RI masih menyatakan NKRI sebagai Negara Persatuan, maka tuntutan referendum perlu mendapat persetujuan politis dari NKRI itu sendiri—terkecuali terjadi suatu aksi pemberontakan masif besar-besaran yang menarik perhatian masyarakat internasional untuk melakukan “humanitarian intervension” layaknya konflik pra-kemerdekaan Timor Timur, dimana isu Timor Timur kemudian dianggap sebagai masalah “milik dunia” bukan lagi isu internal suatu negara berdaulat.
Mengingat sifatnya sebagai Negara KESATUAN Republik Indonesia (NKRI), maka menuntut diadakan referendum jelas menjadi ancaman ataupun “merongrong” persatuan dan kesatuan suatu Negara Kesatuan, alias “makar” itu sendiri oleh sebab bermotif tujuan untuk memerdekakan diri dan memisahkan diri dari persatuan.
Terkecuali, Konstitusi secara konsensus oleh wakil rakyat di parlemen, konsep negara NKRI diubah atau diamandemen dari tipe Negara Persatuan menjelma Negera Federasi ataupun Konfederasi layaknya Uni Eropa maupun USA, dimana referendum dapat terjadi sewaktu-waktu guna memisahkan diri dari Negara Federasi—maka dari itu di Amerika Serikat dikenal istilah “Pemerintah Federal” sebagai kepala yang membawahi puluhan “Negara Bagian”. Hak referendum murni, tampak dalam kasus keluarnya Inggris dari Uni Eropa, tiada ancaman disebut sebagai “makar” oleh otoritas Uni Eropa, kecuali protes dari partai oposisi pada internal Negeri Inggris itu sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.