Cacat Paling Mendasar dari Konsep JKN, Jaminan Kesehatan Nasional

ARTIKEL HUKUM
Sebagai salah satu warga yang melihat dan mengalami dengan mata-kepala sendiri, JKN atau yang lebih populer dengan sebutan BPJS Kesehatan, adalah pelayanan yang masih separuh hati, sangat jauh dari ideal, terlebih untuk dibanggakan sebagai suatu prestasi tanpa mau mengakui kegagalannya dalam mengelola, disamping buruknya pelayanan terhadap publik umum secara keseluruhan (bukan per satu satuan orang pasien yang selama ini menikmati banyak anggaran yang disubsidi JKN / BPJS Kesehatan), terlebih perihal aksesnya yang sangat sempit seolah dipersukar.
JKN / BPJS Kesehatan hingga kini tidak berani membolehkan setiap peserta untuk meminta pelayanan pada fasilitas kesehatan tingkat satu di kelurahan mana pun ia berada, mengapa dan ada apa, meski hal ini menjadi tuntutan banyak warga yang mengakibatkan iuran kepesertaan mereka menjadi mubazir tidak dapat terpakai karena terbentur birokrasi-prosedural yang diciptakan sendiri oleh JKN / BPJS Kesehatan? Padahal, konon mengusung gimmick sebagai pelayanan “umum”?
Dapat pula kita bayangkan, “scaling” atau pembersihan karang gigi satu pasien anggota / peserta BPJS Kesehatan, hanya selama 3 (tiga) menit (sang dokter bahkan terus menyemprotkan air bertekanan ultrasound meski isi mulut pasien telah penuh dengan air sambil bercanda dengan dokter / suster lainnya), yang beberapa bulan kemudian datang kembali mengeluhkan masih banyaknya karang gigi akibat pelayanan Puskesmas Kecamatan yang buruk pada salah satu wilayah di DKI Jakarta (apalagi wilayah lain di luar kota semacam Jakarta?), justru dari pihak Puskesmas secara tidak sempatik memfitnah penulis seolah karang gigi akan otomatis timbul kembali setelah 3 bulan berselang.
Tidak ada SOP di rumah sakit manapun, scaling gigi pasien hanya 3 (tiga) menit! Itulah ternyata standar pelayanan yang diusung JKN / BPJS Kesehatan, pasien diperlakukan bagai “nyamuk pengganggu” yang segera perlu dienyahkan, bila perlu disemprot obat pembunuh serangga. Bahkan untuk bertanya apakah ada atau tidaknya lubang gigi, tidak mendapat jawaban dari dokternya, dan dinyatakan datang kembali esok hari atau tunggu sakit dulu baru periksa lagi.
Dan, kisah belum berakhir, ketika didatangi keesokan harinya, dinyatakan oleh pihak Puskesmas : scaling hanya ditanggung JKN / BPJS Kesehatan  sebatas 1 kali setahun. Jika mau dilayani hari ini, wajib membayar biaya regular, dengan kualitas layanan yang sama, scaling hanya 3 menit setelah mengantre selama berjam-jam dan membuat pasien seolah akan tenggelam dengan mulut penuh air sementara si dokter masih terus saja menyemprotkan air bertekanan ultrasound sambil bersenda-gurau dengan dokter / suster lainnya. Bila penulis kalkulasi, biaya / cost sosial berupa waktu untuk mengantri, biaya pulang-pergi secara berulang-kali, ditambah pelecehan demikian, terutama harga diri (ini yang terpenting), akan lebih masuk akal sehat dan rasional menggunakan biaya pribadi di rumah sakit swasta tanpa JKN / BPJS Kesehatan. Hanya akal sakit milik orang sakit yang menilai sebaliknya.
Namun, ketika pemerintah hendak menaikkan iuran kepesertaan warga dalam program JKN / BPJS Kesehatan, tampaknya pemerintah bukan lagi “sepenuh hati” menaikkan nilai iuran, namun juga “sepenuh hati” kian menjerat rakyatnya sendiri, tanpa jalan mundur. Kini, perihal urusan dokter gigi, penulis maupun keluarga penulis memilih untuk tidak menggunakan JKN / BPJS Kesehatan, dimana pemerintah tetap menagih iuran untuk seumur penulis dan keluarga penulis. Pemerintah tidak memberi “option in”, namun bersifat dipaksakan secara imperatif-koersif, plus tanpa memberi “option out”. Itukah, yang disebut sebagai wajah negara demokratis?
Janganlah terlampau cepat membuat penilaian ataupun kesimpulan prematur atas pernyataan penulis, karena setiap pernyataan yang akan penulis kemukakan di bawah ini, selalu memiliki landasan falsafah dibaliknya yang telah melewati serangkaian uji moril. Untuk itu, penulis mengajak seluruh pembaca untuk mencoba mencermati paradigma yang penulis tawarkan berikut ini, dengan harapan agar sudut pandang kita lebih jernih dan tidak membias.
Harus kita akui, banyak warga kita yang terbantu oleh program JKN / BPJS Kesehatan, terutama terkait operasi terhadap penyakit-penyakit katastrofik, namun juga tidak dapat kita pungkiri, JKN / BPJS Kesehatan sangat membuat kecewa hingga frustasi dalam hal pelayanan dan berbagai hal teknis lainnya yang terkesan birokratis dan tidak efisien dalam manajerial penanganan pasien—seolah sengaja dibuat demikian dengan terus melestarikan faktor penyulit bagi pasien peserta untuk mengaksesnya.
Hanya mempertimbangkan salah satunya saja, tanpa mau melihat realita, seakan kita hendak memungkiri kenyataan bahwa pelayanan JKN / BPJS Kesehatan masih memiliki banyak pekerjaan rumah. Negeri ini memang membutuhkan JKN / BPJS Kesehatan, tanpa penulis pungkiri, namun bukan JKN / BPJS Kesehatan “model sekarang ini”. Ketika negara lain mengusung tema “meritokrasi”, alias biarlah warga negara sendiri yang memilih produk asuransi yang ditawarkan pemerintah ataukah swasta yang akan dipilih sang warga, pemerintah Indonesia justru “memeras” rakyatnya sendiri yang memilih untuk tidak lagi mengandalkan JKN / BPJS Kesehatan.
Pemerintah menyebut JKN / BPJS Kesehatan sebagai program pemerintah. Jika JKN / BPJS Kesehatan memang merupakan program pemerintah, dibuat oleh pemerintah dan milik pemerintah, lantas mengapa pada gilirannya masyarakat luas yang dibebani oleh segala pungutan iuran dan kenaikan iuran, seolah masyarakat kita belum cukup terbebani oleh segala iuran, retribusi, pajak, dan segala pungutan liar lainnya? Bila hendak mengkategorikan JKN / BPJS Kesehatan sebagai “program pemerintah”, maka sumber anggarannya haruslah murni sepenuhnya dari APBN/D, bukan dari iuran rakyat satu bangsa.
Jika JKN / BPJS Kesehatan hendak dilekatkan status sebagai program buatan dan program milik rakyat dengan istilah “program rakyat”, maka yang patut kita pertanyakan ialah, sejak kapan dibentuk konsensus dengan rakyat tentang pembentukan “program rakyat” bernama JKN / BPJS Kesehatan versi “model” ini?
Dimanakah letak konsensusnya bila pemerintah yang secara sepihak menaikkan segala iuran dan cakupan pelayanan yang ditanggung JKN / BPJS Kesehatan? Ingat, pemerintah sudah menyatakan, bahwa besaran iuran akan naik SETIAP TAHUNNYA. Mungkin saja kelak akan naik hingga nominal mencapai taraf mencekik leher kita.
Betul bahwa JKN / BPJS Kesehatan memiliki payung hukum berupa undang-undang yang kini masih sah dan berlaku, namun JKN / BPJS Kesehatan adalah hasil interpretasi pemerintahan masa sekarang ini atas undang-undang dimaksud. Karena itulah, sejak di muka, penulis telah menyinggung, bahwa bukanlah JKN / BPJS Kesehatan “model sekarang ini” yang kita butuhkan.
Pemerintah kita mendalilkan, iuran segenap warga ialah dalam rangka “bergotong-royong”. Pertanyaannya, anak kecil manakah yang hendak pemerintah bodohi? Sejak kapan, bergotong-royong dimaknai sebagai “pemaksaan” terselubung dengan berkedok undang-undang, dengan ancaman tidak diberikan layanan publik bila tidak menjadi peserta, tidak membayar iuran serta segala kenaikannya plus harus menanggung mis-manajemen para petinggi JKN / BPJS Kesehatan bergaji ratusan juta rupiah setiap bulannya (bahkan masih menuntut kenaikan upah ditengah defisit JKN / BPJS Kesehatan yang dikelola olehnya), hingga harus membayar segala denda keterlambatan pembayaran iuran. Penulis menyebutnya sebagai “menjual kemunafikan”, suatu penyalah-gunaan istilah “gotong-royong”. Suatu gotong-royong, dilandasi oleh kesukarelaan, bukan pemaksaan yang koersif dan imperatif.
JKN / BPJS Kesehatan, merupakan instrumen keuangan guna “investasi” dibidang “kuratif”, bukan dibidang “preventif”itulah sebabnya JKN / BPJS Kesehatan selalu akan dikodratkan untuk bernasib “defisit setiap tahun anggaran pembukuannya”. Setinggi apapun iuran warga peserta dinaikkan oleh pemerintah, JKN / BPJS Kesehatan dikodratkan untuk menanggung defisit—suatu fakta yang suka atau tidak suka harus diakui dan bersedia diterima oleh pemerintah incumbent selaku pengusung konsep hasil interpretasi (versi) mereka atas Jaminan Kesehatan Nasional.
Investasi dibidang kuratif, selalu akan menjadi investasi yang terlampau mahal harganya dan tidak pernah akan menjadi instrumen investasi yang “menguntungkan”. Menteri Keuangan kita tidak kalah pintar dibidang kalkulasi faktor ekonomi makro maupun mikro, dan penulis yakini dirinya lebih tahu benar akan fakta demikian ketimbang penulis, namun mengapa masih memungkiri apa yang sejatinya diketahui oleh diri sang menteri yang menjabat, yang konon kecerdasan finansialnya diakui oleh World Bank? Negeri ini akan “bangkrut” ketika kebijakan moneter kita justru diarahkan pada investasi segenap kebijakan “kuratif”.
Sebagaimana kita ketahui, dalam bidang apapun, baik hukum, ekonomi, kesehatan, preventif selalu berujung lebih ekonomis ketimbang kuratif sekalipun pada awalnya akan tampak lebih berbiaya tinggi ketimbang kuratif. Ekonom mana pun tahu dan sadar betul akan postulat empirik demikian yang sudah tidak lagi perlu untuk dibantahkan. Membantah postulat perihal “Preventif Vs. Kuratif”, adalah suatu pemborosan waktu yang tidak mencerdaskan.
Bangsa Indonesia tidak dapat disamakan dengan bangsa beradab seperti Eropa ataupun Amerika Serikat dimana kesadaran akan pola hidup sehat dan bersih sudah tertanam dengan baik dalam jiwa dan raga mereka. Kita dapat dengan mudah menemukan orang-orang Indonesia yang membuang sampah sembarangan di bantaran sungai depan rumah tinggalnya sendiri sehingga menjadi sarang penyakit, sama mudahnya kita menemukan rakyat kita yang gemar memakan makanan tanpa terlebih dahulu mencuci tangan (sekalipun mereka tahu betul itu tidak disarankan), dan akan lebih mudah lagi bagi kita untuk menemukan penghisap bakaran tembakau, baik per0k0k aktif maupun pasif.
Bila selama ini pola hidup masyarakat kita masih jauh dari kata “sehat”, menciptakan JKN / BPJS Kesehatan model seperti sekarang ini dengan hasil interpretasi pemerintah atas undang-undang dimaksud, sama artinya menjerumuskan negeri ini ke dalam hutang yang akan menjelma hutang abadi bagi anak dan cucu kita—setiap tahunnya menimbun hingga pada ujungnya menggunung, sedikit demi sedikit menjadi gunung, berujung “pailit”.
Tidak semua pengusaha harus berhutang, dan negara adalah bukan milik ataupun harus bermental layaknya seorang pengusaha, sehingga mengapa negara harus selalu melulu berkonotasi wajib berhutang dan dililit hutang? Pengusaha berhutang demi mencetak PROFIT. Sebaliknya, pemerintah RI sepanjang tahun berhutang, namun sepanjang tahun itu pula mencetak DEFISIT akut, alias tidak becus mengurus negara. Mau sampai kapan menjadi negara berhutang? Ada saatnya kita harus membayar semua hutang yang telah menggunung itu pada muaranya. Dimana letak hebatnya pemerintahan yang hanya dapat mencetak hutang baru untuk ditanggung oleh generasi penerus? Hutang untuk dibayar, bukanlah hutang untuk hutang itu sendiri. Menjadi penghutang (tukang hutang), mengapa justru seolah demikian bangga? Bukankah anak-anak kita selalu diajarkan untuk gemar menabung, sedikit demi sedikit menjadi gunung?
Jangan katakan rasio hutang negeri kita terhadap “Product Domestic Bruto” (PDB) masih jauh dari kata “mengkhawatirkan”, oleh sebab penulis tidak pernah memercayai data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang kerap lebih sering menampakkan data-data seolah kinerja pemerintah kita sudah cukup baik dengan menyebutkan angka kemiskinan turun drastis—sehingga, justru untuk apa lagi JKN / BPJS Kesehatan masih kita butuhkan bila orang miskin di negeri ini adalah minoritas? BPS menyebutkan dalam rilisnya, jumlah orang miskin di Indonesia hanya sebanyak lima juta penduduk. Artinya, 245 juta penduduk kita tergolong mampu dan makmur, maka legitimasi JKN / BPJS Kesehatan tidak lagi memiliki basisnya.
BPS tidak akan pernah dapat kita harapkan untuk bersedia membuka “borok” pemerintah mereka sendiri yang selama ini mereka layani kepentingannya sebagai “pendongkrak” citra, alias strategi “cari aman”. Bila “bos” (atasan) tidak senang, petinggi BPS dapat dicopot sewaktu-waktu karena dinilai kurang populis di mata pejabat tertinggi negara. Kita perlu ingat, PDB bukanlah nilai aset milik negara (yang berhutang), sehingga menjadi rancu ketika kita kita membuat skala perbandingan antara hutang milik negara dan PDB, sama sekali tidak ada relevansinya. Sehingga, lihatlah total nilai hutang suatu negara, bukan PDB suatu negara.
Kita bahkan patut curiga dan mempertanyakan nilai sebenarnya dari PDB kita, bukan lagi termakan jebakan “pengalihan isu” dengan rasio hutang berbanding PDB demikian. Fakta empiriknya, negara kita adalah tergolong negara miskin (karenanya perlu JKN / BPJS Kesehatan). Sumber daya alam kita pun sudah cenderung rusak secara masif, sementara kekayaan ekonomi kita dieksploitasi oleh praktik transfer pricing investor asing yang justru dibelai dan diundang masuk dengan pintu terbuka lebar oleh pemerintah untuk terus bercokol di Indonesia.
Jika memang kekuatan ekonomi Indonesia patut dibanggakan, mengapa antara angka inflasi dan angka pertumbuhan ekonomi kita, tidak pernah berjalan paralel seimbang? Faktanya, harga bahan pangan di negeri ini jauh melampaui negara-negara tetangga kita di ASEAN. Sebagai contoh, Thailand yang merupakan pusat wisata turis global mancanegara, berbagai harga sembako, buah, dan segala hal terkait kebutuhan pokok rakyat, jauh amat sangat lebih murah dan lebih terjangkau dari komoditas lokal di Indonesia.
Tiada kemakmuran yang dapat ditawarkan di tengah segala barang kebutuhan pokok yang melambung tinggi harganya. Jika memang ekonomi Indonesia demikian kuat perkasa, pemerintah kita tidak perlu sibuk mengundang investor asing untuk masuk, dan cukup menjadi negara tertutup (mengisolasi diri) selayaknya Korea Utara yang cukup hidup dari “berbangga diri”. Faktanya, Indonesia adalah negara dengan kekuatan ekonomi yang rendah, Indonesia hanya kuat dari segi geografis yang sangat strategis.
Janganlah kita terlampau berbaik sangka pada pemerintah kita, karena bila tidak, kita tidak akan pernah butuh partai oposisi atau sejenisnya, tidak juga butuh kritikus (jika perlu dibungkam), KPK, ataupun LSM-LSM pengontrol lainnya. Negeri ini terlampau penuh sesak oleh koruptor—tanpa bermaksud untuk membuat kita apatis hidup sebagai Warga Negara Indonesia. Ibarat sebuah kendi untuk menabung, Kantor Pajak kita begitu gencar memungut pajak dari rakyat, namun pihak pemerintah kita sendiri yang ibarat menjadi tikus di dalam lumbung padi, menggerogoti segala hal demi perut sendiri. Proyek demi proyek yang hanya menjadi pemborosan anggaran “uang rakyat”, menjadi ladang bisnis para penguasa dan pejabat negara yang saling bersimbiosis.
Kembali pada JKN / BPJS Kesehatan, pemerintah kita ibarat bertekuk-lutut pada industri tembakau. Tidaklah terlampau keliru ketika kita menduga bahwa JKN / BPJS Kesehatan merupakan program raksasa untuk mensubsidi industri tembakau kita yang telah demikian gemuk namun tidak pernah mengenal kata “puas” dengan terus memperpanjang hidup para penghisap asap tembakau kita, agar mereka terus menjadi konsumen sepanjang masa industri tembakau berdiri, sementara biaya pengobatan dan penyambung hidupnya dibiayai oleh “iuran rakyat”, “pajak rakyat”, dan “uang rakyat alias APBN/D” (jangan pernah menggunakan istilah “uang negara”).
Bila Anda menyebutkan, bahwa tiada kebijakan yang dapat memuaskan semua pihak, maka Anda benar. Namun, ketika kita membuat kebijakan berupa hapuskan JKN / BPJS Kesehatan, atau tanpa JKN / BPJS Kesehatan, itu pun merupakan kebijakan yang juga tidak akan memuaskan semua pihak, sehingga yang disebut terakhir ini pun sejatinya juga benar untuk diterapkan—sama-sama tidak akan memuaskan semua pihak, maka mengapa kita begitu anti terhadap penghapusan JKN / BPJS Kesehatan? Sehingga argumentasi perihal “tidak akan memuaskan semau pihak”, bukanlah sebuah dalil yang cukup cerdas untuk dikemukakan dalam perdebatan apapun.
Namun demikian, diatas semua itu, terdapat satu hal yang pasti dan yang paling mendapat sorotan keberatan dari pihak penulis, yakni bahwa JKN / BPJS Kesehatan mengusung konsep tema “yang sehat mensubsidi orang yang sakit”—adalah suatu propaganda yang sangat menyesatkan dan tidak mampu lolos dari uji moril. Berikut penjelasannya, yang mana akan kita akui sendiri betapa terdapat cacat laten dibalik propaganda klise yang menafikan akal sehat demikian.
Seseorang yang memilih tidak atau bukan penghisap tembakau, mengapa juga dipaksa oleh negara untuk mensubsidi seorang penghisap tembakau? Seseorang yang bersusah-payah menerapkan gaya dan pola hidup sehat, mengapa juga harus mensubsidi dan berkorban lebih jauh lagi bagi mereka yang tidak bersedia menerapkan pola hidup sehat?
Adalah keliru fatal, ketika kita berasumsi bahwa menerapkan pola hidup sehat jauh lebih murah dan lebih mudah ketimbang menerapkan pola hidup tidak sehat. Seorang penghisap tembakau, menghabiskan anggaran untuk membeli dan mengkonsumsi berkotak-kotak lintingan tembakau untuk dibakar setiap harinya, ketimbang untuk membeli produk kesehatan dan sumplemen, buah-buahan, dan sebagainya.
Ketika pada gilirannya jatuh sakit, dirinya mengklaim miskin dan tidak mampu berobat, sementara dirinya akan terus loyar dan loyal terhadap produk tembakau yang akan terus ia hisap bila perlu sampai mati dan sambil dirinya menggali lubang kubur untuk dirinya sendiri. Apakah kita patut, memberi subsidi baginya?
Janganlah kita bandingkan dengan Eropa maupun Amerika Serikat, dimana kesadaran warganya akan pentingnya kesehatan terbilang tinggi, prevalensi penghisap tembakau di Indonesia terlampau tinggi untuk disebutkan statistiknya, belum lagi angka prevalensi bagi penghisap anak dibawah umur plus fakta bahwa banyaknya penghisap asap tembakau pasif yang dengan demikian bodohnya tidak menyadari (lebih tepatnya : tahu, namun meremehkan) bahaya maut di depan hidung mereka yang terus mereka hisap sampai tersenyum dungu. JKN / BPJS Kesehatan kita justru seolah hadir di salah negara dan salah waktu.
Sebaliknya, orang-orang bergaya hidup sehat mengalokasikan, menganggarkan, dan MENGINVESTASIKAN dana miliknya untuk berbagai pola hidup sehat, mulai dari membeli buah-buahan (di Indonesia harga buah-buahan tergolong fantastis tinggi harganya), makanan bergizi dan bernutrisi baik, suplemen (harga suplemen di Australia bahkan jauh lebih murah ketimbang harga suplemen di Indonesia), berolah-raga, menghindari radikal bebas maupun polutan lainnya, dan selalu melakukan kontrol dan pemeriksaan diri.
Dengan demikian kita dapat menarik sebuah fakta empirik tak terbantahkan, bahwa anggaran yang dikeluarkan oleh warga yang aktif melakukan preventif dari sumber penyakit, dengan menerapkan kontrol serta pola hidup sehat, jauh lebih tinggi ketimbang mereka yang selama ini berinvestasi dengan membakar dan menghirup asap tembakau. Sehingga, menjadi pertanyaan besar bagi penulis, mengapa si sehat harus membayari dan memberi subsidi bagi si sakit? Dimanakah letak logika yang sehat di mata orang-orang berakal “sehat”?
Maka, JKN / BPJS Kesehatan menjelma edukasi sesat-menyesatkan yang demikian membodohi rakyat, seolah preventif kalah pamor dan kalah bergengsi ketimbang kuratif—rugi bila tidak jatuh sakit, tidak akan disubsidi oleh si sehat, dan karena preventif tidak ditanggung negara. Bahwa preventif adalah langkah yang akan membuat kita merugi sendiri, rugi diawal dan rugi diakhir. Bahwa bersikap preventif, justru pada gilirannya akan bernasib menjadi “sapi perahan” mereka yang hidup dalam pola hidup tidak sehat dan mengandalkan JKN / BPJS Kesehatan, kartu sakti bagi “umat” KURATIF.
Sekali lagi, penulis tidak anti JKN, namun penulis tidak sependapat dengan cara pemerintah incumbent dalam menafsirkan amanat undang-undang dalam pembentukan JKN. Undang-Undang demikian memang betul ada, dan sudah lama ada, hanya saja tidak menyerupai model JKN / BPJS Kesehatan seperti sekarang ini. Dengan demikian, model JKN / BPJS Kesehatan seperti sekarang ini, bukanlah sebuah model yang dapat terus dipertahankan bila kita ingin negara ini terus dapat bertahan dan tidak rontok dimakan “rayap-rayap” rakus yang tidak bertanggung-jawab bahkan terhadap kesehatannya sendiri.
Mereka yang tidak menerapkan gaya hidup sehat dengan terus-menerus selama bertahun-tahun menghisap tembakau, meminum alkohol, mengkonsumsi obat terlarang, menjadi sakit dan jatuh sakit, maka “you asked for it”, sehingga janganlah membuat kami yang sehat harus menanggung beban gaya hidup tidak sehat mereka. Penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh gaya hidup tidak sehat, termasuk per0k0k pasif, sangat tidak layak untuk kita “bergotong-royong” mensubsidi mereka. Sumber daya ekonomi yang diboroskan demi memperpanjang hidup mereka yang sejak muda justru merusak dirinya sendiri dengan menimbun penyakit di dalam tubuhnya sendiri.
Lebih baik kita berinvestasi pada kesehatan, ketimbang berinvestasi pada penyakit. Ironisnya, JKN / BPJS Kesehatan lebih berorientasi investasi pada penyakit ketimbang berinvestasi pada kesehatan. Sekali lagi, selama JKN / BPJS Kesehatan masih diterjemahkan sebagai amanat untuk berinvestasi pada kegiatan kuratif, maka selamanya bangsa ini akan dijerat oleh penyakit yang lebih berbahaya dan tiada obatnya, yakni : KEBODOHAN dan pendampingnya, si KEMISKINAN.
JKN / BPJS Kesehatan versi model terjemahan pemerintah sekarang ini, bukanlah sebuah “program milik rakyat”, itu murni “program pemerintah”—dimana pemerintah itu sendiri yang wajib menanggung penerapan program akibat sempitnya pemerintah kita dalam menafsirkan amanat undang-undang. JKN / BPJS Kesehatan versi model sekarang ini, tidak lolos uji moril, bahkan tidak lolos dari akal sehat orang-orang sehat, namun hanya didambakan mereka yang memeluk penyakit sehingga sakit-sakitan akibat pola hidup tidak sehatnya sendiri—namun penulis tidak bermaksud menghakimi mereka yang mengidab penyakit diluar faktor gaya hidup, semisal diakibatkan faktor keturunan atau genetik, usia tua / lansia degeneratif, korban aksi kriminalitas, terluka akibat kecelakaan, atau sakit yang bersifat wajar orang-orang yang semasa hidupnya telah menginvestasikan dananya untuk pola hidup sehat, bukan sebaliknya.
Mereka, yang mengidab penyakit akibat pola hidup tidak sehat mereka sendiri, justru oleh JKN / BPJS Kesehatan model versi terjemahan sekarang ini, dibiarkan merampok hak-hak si sehat, dengan menambah beban orang-orang sehat maupun “uang rakyat alias APBN/D” (hindari penggunaan frasa “uang negara”). Menjadi sehat, tampak seolah demikian tidak menguntungkan—suatu kontra-edukasi yang sangat tidak mendidik dan menjadi teladan / preseden buruk bagi generasi penerus bangsa yang berpotensi tidak lagi menghargai jiwa / semangat menjaga kesehatan tubuh dan lingkungannya, dengan mulai meremehkan arti penting preventif.
Penulis secara pribadi bertanggung-jawab sepenuhnya secara moril atas ulasan falsafah sebagaimana disajikan di atas. Namun kekeliruan ataupun kelalaian pihak pembaca dalam menafsirkan uraian penulis, menjadi tanggung-jawab pribadi masing-masing. Diatas semua itu, satu hal yang pasti, akal sehat orang sehat, bukan akal sakit orang sakit, adalah logika tertinggi melebihi segala dasar hukum, bahkan undang-undang sekalipun yang selama ini menjadi benteng pelindung dan alat justifikasi pemerintah. Pemerintah memaksa warganya untuk menjadi peserta dan membayar iuran beserta denda bila menolak membayar lengkap dengan ancaman tidak diberi akses pelayanan publik semisal administrasi kependudukan bagi warga yang tidak menjadi peserta maupun membayar iuran, namun semakin banyak kepesertaan justru pemerintah kian merugi, mungkin itulah yang disebut karma.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.