Bukanlah Hakim Agung yang AGUNG, Namun PRESEDEN yang Patut Diagungkan oleh Hakim

ARTIKEL HUKUM
ADA APA DENGAN MAHKAMAH AGUNG RI?
MISI HAKIM AGUNG YANG (JUSTRU) MENJAUHI KEAGUNGAN DAN MELUKAI NURANI RAKYAT, KETIKA NAMA TUHAN DICATUT DAN DISALAH-GUNAKAN, HAKIM YANG PERLU DIADILI
Apakah kita perlu kembali pada PENGADILAN RAKYAT, dimana rakyat yang menjadi pengadilnya, ketika hakimnya tidak lagi dapat dipercaya dan telah merusak kepercayaan rakyat? Haruskah kita pun mengimpor hakim? Untuk apa kita mengimpor perangkat kerasnya (hardware), bila kita dapat cukup “mengimpor” perangkat lunaknya (software)—tidak lain ialah mengadopsi paradigma berpikir hukum yang dapat kita pelajari dari bangsa hukum modern lainnya berupa sistem hukum Common Law guna menggantikan sistem hukum usang Civil Law yang kian ditinggalkan oleh praktik hukum negara-negara beradab yang lebih maju dengan praktik hukumnya, mengingat jamaknya kelemahan yang tidak akan mampu ditambal-sulam seperti apapun dari sebuah sistem hukum Civil Law ala Eropa Kontinental yang selama ini dianut Republik Indonesia.
Tidak bosan-bosannya penulis menggaungkan semangat revolusi “daya ikat preseden” dalam berbagai publikasi, bahkan Mahkamah Agung Belanda, Hoge Raad, sudah menyatakan secara resmi kepada Mahkamah Agung RI, bahwa Hoge Raad telah lama pindah haluan dengan kini berkiblat pada sistem hukum Common Law, dimana daya ikat preseden diakui menjadi “the binding force of precedent”, bukan lagi sekadar “persuasive force of precedent”. Bila kita menerapkan atau taat asas terhadap asas konkordansi, maka menjadi mengherankan bila kita tidak mengikuti jejak langkah Hoge Raad untuk turut berpindah haluan.
Hakim yang bersikap korup, tergoda untuk menyalah-gunakan kekuasaan dan kewenangannya (kolusi), tidak lain karena terbuka / adanya kesempatan untuk menyimpangi putusan-putusan dengan karakter serupa yang telah ada sebelumnya (preseden), dengan mengatas-namakan “hakim bebas dan independen dalam memutus tanpa dapat diintervensi”, dan alasan klasik yang (ironisnya) bahkan telah lama ditanggalkan oleh Hoge Raad bahwa “preseden tidak mengikat hakim”.
“Tidak dapat diintervensi”, dalam praktiknya dimaknai kalangan hakim sebagai tidak bersedia diintervensi oleh daya ikat sebuah preseden, bahkan tidak juga akan patuh ataupun tunduk terhadap intervensi norma undang-undang—alias bebas menyimpangi undang-undang. Hakim, dengan demikian, bak seorang raja, dengan semboyan “mulut hakim adalah hukum itu sendiri”—lantas, dimana bedanya dengan antara hakim dan diktatoriat sewenang-wenang seorang raja?
Hakim “Agung”, semestinya lebih Agung dalam memberi teladan bagi hakim-hakim tingkat yang lebih bawah seperti hakim Pengadilan Negeri maupun hakim-hakim Pengadilan Tinggi. Namun, siapa yang akan menyangka, yang kemudian terjadi ialah sebaliknya, menjelma menyerupai anti-klimaks, dimana putusan Pengadilan Negeri yang telah demikian ideal tegas sesuai asas preseden dan sesuai aturan norma hukum, justru begitu mudahnya dianulir lewat putusan kasasi Mahkamah Agung RI dengan menyimpangi preseden yang ada, sehingga tiada lagi kepastian hukum yang tersisa selain ketidak-pastian itu sendiri.
Pembangunan hukum hanya dapat dibangun lewat konsistensi antar putusan dengan corak / karakter serupa, menghindari disparitas antar putusan, yang tidak lain dengan menerapkan preseden secara penuh komitmen dan konsisten. Itulah yang kemudian melatar-belakangi Hoge Raad memutuskan secara tegas untuk berpindah haluan menuju kiblat Common Law dengan meninggalkan budaya hukum Civil Law yang sejak zaman Kolonial-Belanda diwariskan kepada Lembaga Yudikatif Indonesia tatkala memperoleh kemerdekaan.
Lagi, kita harus menelan pemberitaan satir “berkat” jasa Mahkamah Agung RI—suatu pemberitaan yang sebetulnya sudah “basi” karena terus berulang seolah tanpa pembelajaran yang berarti. Hukuman mati terhadap Adam, narapidana Lapas Cilegon yang terjerat hukum akibat aksi peredaran nark0ba jaringan internasional, diberi “hadiah” dengan dipangkas Mahkamah Agung RI (MA RI) menjadi sebatas 20 tahun penjara. BNN meradang atas “korting” vonis hukuman di tingkat kasasi yang diajukan sang terpidana.
Adam merupakan napi yang pada mulanya tertangkap dan diadili karena terlibat jaringan penyelundupan nark0ba jenis sabu 54 kg dan ekstas! 41.000 butir yang ditangkap BNN pada 8 Mei 2016 di Provinsi Banten. Pengadilan Negeri mengganjar sang pelaku dengan vonis “hukuman mati”. Namun, pada tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung, vonis berubah nenjadi 20 tahun penjara
Pihak BNN menyayangkan sikap Mahkamah Agung Ri yang justru mengurangi hukuman Adam jadi 20 tahun penjara, kontraproduktif terhadap program negara memberantas peredaran obat terlarang, sekalipun Adam masih mengendalikan jual-beli nark0ba dari dalam Lapas, lembaga pemasyarakatan, dan kini kembali terjerat atas perkara yang sama. Ironisnya, sang narapidana mengakui, penjualan nark0ba tersebut digunakan untuk mempengaruhi putusan kasasi yang sebelum diajukan sang narapidana. Maka, patut ditengarai terdapat ulah makelar kasus selaku mediator untuk mengurus perkara dengan “pesan sponsor”.
Kini BNN kembali disibukkan dengan menangkap Adam untuk kedua kalinya karena terlibat peredaran nark0ba yang dikendalikan dari dalam jaringan Lapas, berupa sabu seberat 20 kg dan 31 ribu pil ekstas! yang diselundupkan dari Malaysia ke Indonesia melalui Jambi. Ironisnya, yang menjadi TKP (tempat kejadian perkara) ialah tidak lain Lapas itu sendiri, suatu fasilitas yang konon “dibawah kendali dan pengawasan ketat pemerintah”.
Pengungkapan jaringan terbaru terkait sang narapidana, berawal dari penangkapan empat orang pengedar nark0ba. Penangkapan para pengedar tersebut dilakukan di 4 lokasi yang berbeda. Setelah ditelusuri otak intelektualnya, pada 20 Agustus 2019 BNN harus kembali menangkap Adam karena terlibat peredaran nark0ba jaringan lapas, karena mengendalikan nark0ba jenis sabu seberat 20 kg dan 31 ribu pil ekstas! dari Malaysia ke Indonesia.
Muhammad Adam, nama sang narapidana yang ternyata menjadi residivis selama menjalani masa hukumannya, dalam penangkapannya yang pertama kali berperan sebagai pengendali, pengatur seluruh kegiatan mulai dari membawa dan menyerahkan ekstas! serta sabu dari perbatasan Malaysia-Indonesia. Dirinya yang disinyalir merupakan anggota sindikat dari jaringan peredaran gelap nark0tika lintas-negara, bahkan tidak membantah telah dua kali membawa sabu dari Malaysia, dimana pengiriman pertama sebanyak 10 Kg sabu, sementara pengiriman kedua sebanyak 54 kg sabu dan 40 ribu butir pil ekstas!.
Dalam kacamata preseden yang ada, dalam kasus serupa dengan berat obat terlarang seberat 5 kg saja, terdakwa divonis hukum mati, terlebih kasus penyelundupan obat terlarang seberat 54 kg sabu dan 40 ribu butir pil ekstas!—yang notabene sepuluh kali lebih berat dari sekadar satu kali vonis hukuman mati, alias 10 kali dihukum mati pun belum cukup melunasi kesalahan pelaku.
Warga masyarakat berhak memiliki pikiran negatif terhadap berbagai “keganjilan” serta blunder yang ditimpulkan putusan Mahkamah Agung RI—seakan belum cukup merusak wajah lembaga Mahkamah Agung RI itu sendiri dengan berbagai putusan kontroversialnya. Bagaimana pun, masyarakat umum adalah stakeholder dan sekaligus konstituen dari putusan-putusan Mahkamah Agung RI, terutama kasus-kasus yang bersentuhan dengan keamanan dan ketertiban umum dan negara, mengingat bisa jadi kita atau anak-cucu kita yang kelak menjadi korban selanjutnya, baik oleh tersangka yang justru dibebaskan oleh Mahkamah Agung RI yang dapat kembali berkeliaran tanpa efek jera, atau bahkan secara langsung lewat kesewenangan-wenangan putusan yang jauh dari kata “adil” seperti banyak penulis jumpai dalam perkara putusan perdata dimana hak-hak warga negara dipertaruhkan di tangan Hakim Agung yang memutus secara tidak matang pertimbangan hukumnya.
Berbagai kasus, modus, dan ironi penyalah-gunaan medium peradilan untuk menjustifikasi suatu aksi kejahatan atau untuk melegalkan yang ilegal, melindungi pelaku pelanggar, sekaligus mematikan langkah korban, merupakan cerminan dari gagalnya alias tumpulnya kepemimpinan Ketua Mahkamah Agung RI (MA RI) selaku pucuk pimpinan dari berbagai lembaga peradilan di Tanah Air.
Seolah tidak mampu belajar dari pengalaman dan kesalahan yang sudah terus berulang kali terjadi, MA RI hanya lebih sibuk membuat slogan klise penuh “pembelaan diri”, bahwa mereka telah sering mensosialisasikan kode etik profesi hakim pada kalangan hakim mereka. Seolah, slogan klise demikian sudah cukup untuk mencuci dosa-dosa “impoten”-nya kepemimpinan Lembaga Yudikatif dan menina-bobokan rakyat yang sudah demikian dibuat terheran-heran oleh berbagai putusan kontroversial Mahkamah Agung RI.
Hanya ketika preseden dijadilan panglima ujung tombak praktik dan pembentukan hukum, maka seorang pengacara, jaksa, ataupun pengusaha sekalipun, tidak akan mampu menyuap seorang hakim untuk memengaruhi amar putusan yang akan dijatuhkan atas suatu perkara di peradilan—karena diberi suap pun akan percuma, mengingat hakim tidak bebas sebebas-bebasnya, namun terikat oleh daya ikat yang kuat dari sebuah preseden (binding force of precedent).
MA RI selama ini mengklaim kewalahan dibanjiri tumpukan berkas permohonan kasasi maupun peninjauan kembali dari pihak penggugat, tergugat, terpidana, maupun oleh jaksa penuntut. Namun bercermin dari kasus-kasus yang membuat prihatin demikian, kebijakan Mahkamah Agung RI seolah kontraproduktif, oleh sebab justru memicu godaan yang sangat besar bagi para pihak tersebut untuk BERSPEKULASI dengan mengajukan upaya hukum kasasi dengan motif tujuan utama “siapa tahu menang dan dikabulkan”.
Bila Anda berpikir atau berasumsi bahwa kekhilafan seorang hakim akan membuat dampak negatif yang buruk sifatnya, maka tidaklah selamanya demikian. Kekhilafan hakim adalah komoditas itu sendiri yang menjadi objek negosiasi (jual-beli amar putusan). Semisal, putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi telah tepat dan benar dalam menjatuhkan putusan, lalu sang terpidana mengajukan upaya hukum kasasi, dengan harapan justru agar Hakim Agung khilaf dalam menerapkan hukum sehingga membebaskan yang sebenarnya terbukti bersalah sesuai dakwaan Jaksa Penuntut dalam persidangan mendalam di Pengadilan Negeri.
Jika Ketua MA RI berdalih, bahwa putusan yang kontroversial demikian adalah kekhilafan hakim yang adalah “manusiawi” sifatnya, terlebih bila Ketua MA RI meminta agar memaklumi umur para Hakim Agung yang sudah tergolong sangat uzur—meski disaat bersamaan Mahkamah Agung bersikukuh agar umur Hakim Agung tidak dibatasi umur pensiun untuk dapat terus menjabat dengan menunjuk praktik di Mahkamah Agung Amerika Serikat, tanpa mau melihat fakta bahwa Hakim Agung di Amerika Serikat tidak akan memutus seluruh permohonan kasasi yang dimajukan kepada mereka karena ada hak veto bagi Hakim Agung dalam suatu kuorum dan voting apakah suatu perkara kasasi akan diputus oleh Mahkamah Agung mereka atau tidaknya.
Maka, dapatlah kita juga tergoda untuk bertubi-tubi (memborbardir MA RI) dengan mengajukan upaya hukum demi upaya hukum, dengan harapan (yang ternyata tidak semu sama sekali), bahwa “siapa tahu Majelis Hakim Agung yang sudah buram matanya itu akan khilaf dan justru memenangkan pihak yang sesungguhnya bersalah”. Siapa tahu? Itulah tepatnya ladang mencari makan kalangan spekulan yang membuka jasa bagi warga yang senang berspekulasi, yang lebih populer dikenal dengan nama sebutan sebagai “pengacara”.
Menjadi mengherankan, ketika Ketua MA RI justru menjadikan kuantitas putusan sebagai ujung tombak produk dan karya para lembaga Mahkamah Agung (yang sangat mereka banggakan), ketimbang kualitas sebagai prestasi itu sendiri. Kualitas putusan, yang KONSISTEN (lewat penerapan yang penuh komitmen terhadap preseden), akan “mengerem” laju birahi para spekulan untuk mengajukan upaya hukum demi upaya hukum oleh sebab hasilnya telah dapat diprediksi jauh sebelum upaya hukum rencananya hendak diajukan.
Mengejar kuantitas, pada gilirannya hanya mengundang para SPEKULAN untuk turut bermain—ada gula (godaan atas putusan yang penuh kekhilafan hakim yang sudah uzur, terlebih tidak memeriksa alat bukti dengan semboyannya yang terkenal: “judex juris”, bukan “judex factie”), maka ada semut (para SPEKULAN). Hal demikian menjelma apa yang dapat kita sebut sebagai “lingkaran setan” yang tiada berkesudahan, dengan reputasi dan wibawa Mahkamah Agung RI itu sendiri sebagai taruhannya, yang sayangnya, kini sudah benar-benar merosot kepercayaan masyarakat luas terhadap wibawa Mahkamah Agung RI yang sama sekali tidak berwibawa.
Badan Nark0tika Nasional (BNN), Penyidik Kepolisian, Jaksa Penuntut, hingga Majelis Hakim Pengadilan Negeri telah berkerja dengan demikian penuh susah-payah demi dapat menjerat seorang pelaku bandar yang mengancam keselamatan dan masa depan generasi penerus bangsa. Namun oleh seorang Hakim Agung, yang hanya sekadar “melirik” (bukan membaca) berkas perkara yang disodorkan padanya, mementahkan seluruh jirih-payah proses persidangan yang berlangsung berbulan-bulan, belum lagi proses intelijen BNN yang mengintai selama bertahun-tahun dengan taruhan nyawa, pengejaran tersangka, proses pemberkasan menuju P-21 Kejaksaan yang demikian menguras waktu serta energi, seolah tidak memiliki arti apapun di tangan seorang Hakim “Agung”, sang wakil dari Langit.
Terbukti, dengan kembali tertangkapnya penjahat yang justru diselamatkan oleh Mahkamah Agung RI dari vonis hukuman mati, atas kasus yang sama fenomenalnya, sebagai wujud nyata putusan yang KORUP, Mahkamah Korup RI. Rakyat tidak menyandang gelar akademik hukum yang memenuhi kartu nama sang Hakim Agung, namun rakyat setidaknya memiliki nurani dalam membuat penilaian. Memutus di atas menara gading, nurani menjadi jauh dari merakyat.
Rakyat jelata sukar untuk dapat menemui seorang Hakim Agung kita, namun seorang bandar obat terlarang demikian mudahnya membeli putusan dari Hakim Agung. Bila kita menyebut bahwa negeri kita telah merdeka, merdeka dari apakah bila kita masih terjajah oleh mental tidak jujur bangsa kita sendiri? Kita tidak akan pernah merdeka, selama kita masih belum menyadari bahwa kita masih sedang terjajah.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.