ARTIKEL HUKUM
Kita selalu diperdengarkan pepatah, bahwasannya padi yang semakin berisi, makin merunduk. Namun, yang menjadi masalah, manusia bukanlah padi. Manusia, semakin besar, semakin merasa butuh memakan lebih banyak daripada orang-orang kecil, bila perlu memakan orang-orang kecil agar menjadi besar—dalam arti harfiah maupun kiasan. Sama halnya, semakin besar suatu korporasi ataupun dinasti kekayaan seseorang, semakin banyak keringat buruh kecil yang dibutuhkan untuk diperas dan dihisap.
Kita tengoklah pejabat kita, semakin tinggi jabatannya, semakin ia minta untuk dihormati, alias bukan si pejabat yang memberi hormat pada rakyat jelata, namun sebaliknya rakyat jelata yang harus dibuat penuh hormat pada sang pejabat. Presiden menghina rakyat sebagai “rakyat bodoh”, tiada ancaman pemidanaan apapun. Namun jangan tanyakan apa yang akan terjadi sebaliknya. Teori dan pepatah selalu bersifat ideal, namun realita seringkali berjalan melawan arus teori yang bagai kegenitan intelektual yang sekadar bernasib sebagai teori untuk teori itu sendiri, lalu dibiarkan berdebu dan dimakan kutu buku—dimana manusia itu sendiri yang menentukan nasib dari sang teori, tragis.
Power tends to corrupt, demikian Lord Acton membuat postulasinya yang selalu menemukan relevansinya di tengah masyarakat kita, bahkan diantara rakyat jelata dan dapat dengan mudah kita jumpai di keseharian, atau bahkan kita sendiri sebagai tokoh pelakunya. Namun yang hendak penulis komunikasikan lewat bahasan ini, bahwasannya sindiran klasik oleh Lord Acton demikian tidak hanya berlaku bagi mereka yang menyandang kekuasaan kursi jabatan di pemerintahan.
Tidak perlu jauh-jauh menyitir mereka yang memiliki sumber kekuatan dari jabatan, sekawanan yang terdiri dari dua orang atau lebih yang saling berjalan bersama, pun dapat menjadi korup seperti berjalan saling bersisian sehingga memakan hampir seluruh badan jalan. Mereka yang terdiri dari dua orang atau lebih, akan cenderung menjadi lebih kuat, dan kekuatan itu pada gilirannya akan menggoda mereka untuk menyalah-gunakan keuntungan dari kekuatan bersama itu untuk mem-bully seseorang yang hanya berjalan seorang diri.
Sebagai contoh, suatu waktu penulis sedang mengikuti acara seminar sebagai salah seorang yang duduk di bangku penonton. Di sebelah penulis, duduk dua orang ibu-ibu yang begitu berisik saling asyik mengobrol sendiri sehingga mengganggu penulis yang hendak menyikmak suara sang pembicara seminar. Ketika penulis tegur, ternyata dua ibu-ibu tersebut lebih galak ketimbang penulis yang hanya seorang diri. Atau mungkin juga para ibu tersebut memanfaatkan bias gender sebagai alat untuk “tends to corrupt”, seolah-olah kaum laki-laki hanya boleh berdiam diri ketika ditindas kaum perempuan, dimana bila kaum pria menantang berkelahi sang wanita, maka sang pria akan dinilai sebagai tidak jantan. Ternyata, isu gender pun dapat digeser menjadi komoditas “seksi” untuk melancarkan aksi “tends to corrupt”.
Bahkan, satu orang saja dapat melakukan “tends to corrupt”, semisal memiliki kecerdasan luar biasa (seorang jenius) atau memiliki postur tubuh yang lebih besar daripada orang-orang yang dijumpai atau berhadapan dengannya (antara si kurus dan si gemuk, antara Nobita dan Giant dalam kartun Doraeman). Kata kuncinya ialah “atribut”, semisal seorang kepala organisasi massa, seorang jutawan / miliarder, seorang kepala rumah tangga, seorang kepala negara, seorang pelaku usaha monopoli, dsb. Meskipun mereka hanya satu orang, namun dirinya mampu membuat pengaruh yang dapat menggiring opini dan menggerakkan massa, hingga menyetir harga pangan di pasar.
Atribut bahkan dapat memasuki faktor-faktor lainnya seperti faktor umur. Semisal seorang lansia (lanjut usia), dirinya merasa berhak menghardik anak muda yang tidak memberi duduk ketika sedang berada di kendaraan umum. Orang yang lebih muda dituntut untuk sopan terhadap seniornya, sementara seniornya berhak mem-bully juniornya lewat praktik seperti perploncoan. Begitu pula ibu-ibu mengandung, atau seseorang dari wilayah tertentu seolah berhak berbicara dengan nada bicara yang kasar dan cenderung lancang.
Namun demikian, satu hal yang membuat penulis tidak pernah habis pikir hingga saat kini, mengapa warga lokal Indonesia begitu merasa rendah diri dan berkecil hati ketika berhadapan dengan seorang “bule” yang bermata biru, jangkung, berambut pirang, dan berbahasa Inggris? Mental macam apakah yang kita tampilkan selain menyerupai seorang warga lokal dari bangsa terjajah di negeri sendiri? Sementara faktanya, orang-orang asing dari Barat tersebut tidak sepolos dan selugu wajah mereka (innocent).
Selain atribut, faktor kedua yang mendorong seseorang untuk menjadi “corrupt”, ialah kepemilikan. Sebagai contoh, seseorang yang sekadar memiliki sebuah motor, terutama motor-motor besar dan terlebih berisik, sering kali tampil arogan di depan umum, dimana pejalan kaki yang justru harus menghindar dari kendaraan motor yang ia lajukan agar tidak terkena tabrak, bukan sebaliknya pengendara motor itu yang bersikap penuh hati-hati agar tidak menabrak pejalan kaki. Seolah-olah menjadi pejalan kaki adalah tidak bermartabat sehingga tidak berhak atas jalanan, dan hanya pengendara kendaraan bermotor yang punya hak atas jalan.
Contoh kasus demikian adalah ilustrasi sederhana, betapa hal-hal sepele pun dapat mendorong seseorang warga menjadi bersikap “corrupt” terhadap warga negara lainnya. Contoh lainnya, di perlintasan jalan, pejalan kaki yang justru harus mengalah dari kendaraan bermotor, meski, sudah jelas bahwa pengendara kendaraan bermotor dapat lebih beruntung ketimbang pejalan kaki, namun mengapa kehormatan selalu diberikan bagi pengendara kendaraan bermotor ketimbang pejalan kaki?
Kepemilikan lainnya, seperti seorang penodong yang memiliki senjata tajam ketika melancarkan aksi penodongan, dapat dengan mudah mengancam para korbannya. Kepemilikan wajah yang cantik atau tampan, juga dapat menjadi celah masuknya godaan untuk melakukan segala rangkaian perilaku yang menjurus “tends to corrupt”. Apakah yang sebetulnya paling bertanggung-jawab terjadinya “tends to corrupt” tersebut? Tidak lain tidak bukan ialah godaan dari kekuatan itu sendiri, godaan untuk menyalah-gunakan dan mengambil keuntungan pribadi dengan cara mengorbankan ataupun memanipulasi orang lain.
Begitupula faktor seperti “status” (yang masih masuk dalam kategori “atribut”), semisal guru—murid, orangtua—anak, relasi timpang selalu menjadi celah masuknya godaan “tends to corrupt”. Faktor adanya ketimpangan juga menjadi salah satu faktor penggoda yang menggoda seseorang untuk memanfaatkan kesempatan, sebagai contoh seorang calon konsumen yang tidak dibekali pengetahuan memadai, juga cenderung diperdaya oleh pedagang yang tahu bahwa sang calon pembeli tidak mengetahui harga di pasaran, dengan menetapkan harga yang sangat kelewat tinggi dan cenderung mengecoh. Ketimpangan lainnya ialah ketika terjadi slogan klasik-manipulatif seperti “demand timpang berbanding supply, maka harga komoditas dinaikkan oleh pedagang eceran”. Ketimpangan selalu menjadi alasan sempurna (alibi) untuk melancarkan aksi “tends to corrupt”.
Perilaku “korup”, sifatnya lebih luas daripada perilaku “korupsi”. Perilaku korup, bisa berupa perilaku yang jahat, tidak etis, tidak patut, dan cenderung menyalah-gunakan keadaan (kolusi) dimana seseorang lebih kuat daripada pihak lainnya yang dijadikan korban. Antara godaan, penggoda, dan tergoda. Setiap bentuk ketidak-seimbangan, melahirkan potensi godaan demikian. Pada gilirannya, ketika nafsu godaan tidak mampu dibendung, maka yang akan terjadi terutama ketika negara tidak hadir di tengah masyarakat, ialah “chaos” itu sendiri—terutama juga ketika ketimpangan demikian justru dibiarkan atau terkesan dipelihara oleh negara seperti preman-preman yang dibiarkan berkeliaran oleh pemerintah.
Jangankan soal ketimpangan ekonomi, beda bobot tubuh (kepemilikan) saja sudah menjadi godaan bagi orang-orang berbadan / berpostur tubuh besar untuk mem-bully yang berbadan kecil sebagaimana telah demikian sering penulis alami, bahkan sudah tidak terhitung jumlah pengalaman demikian harus penulis alami secara pribadi. Jika mereka benar-benar pemberani, mengapa mereka tidak mencoba mencari masalah dengan menantang orang lain yang berpostur tubuh lebih besar dari mereka sendiri untuk menguji keberanian mereka? Bila hanya menantang seseorang yang lebih kecil postur tubuhnya, terlebih hanya berani terhadap yang berjalan seorang diri, itu adalah ajang pembuktian sikap pengecut.
Contoh lainnya ialah gelar (atribut), seolah yang sudah doktor itu lebih pintar dari yang sekadar bergelar sarjana, seolah keadilan dan kebenaran itu menjadi monopoli kaum sarjana hukum. Jangankan bicara hal-hal yang tinggi, kadang perbedaan detail kecil seperti cantik-rupawan atau buruk-rupa, bisa menjadi celah masuk perilaku korup, godaan untuk memamerkan kecantikan dengan merendahkan martabat mereka yang kurang beruntung dalam hal kecantikan paras maupun kecantikan busana.
Namun kita harus mulai mau belajar dari pengalaman sejarah, dinosaurus beringas seperti T-rex buas bertubuh besar, karnivora dengan taring setajam belati yang disegani oleh para satwa lainnya, kerap digambarkan menindas hewan lemah yang lebih kecil daripada bobot tubuhnya. Siapa yang akan menyangka, dinosaurus T-rex tidak mampu menghadapi perubahan zaman (seleksi alam), gagal meraih prestasi “survival of the fittest”—yang artinya kemampuan untuk beradaptasi. Manusia bertubuh besar, cerdas, dan kuat. Namun virus atau bahkan bakteri yang kecil, bodoh, dan lemah, mampu merubuhkan seorang manusia yang sebesar raksasa. Bahkan pepatah pernah mengatakan, batu besar jarang menjatuhkan, namun batu kerikil yang harus kita waspadai.
Mereka yang semula kaya raya, tidak tertutup kemungkinan jatuh miskin (tiada yang pasti dalam hidup ini kecuali perubahan dan ketidakpastian itu sendiri), akan mengalami suatu “post power syndrome”, yang pada gilirannya kekuatan yang dahulu ia miliki, akan menjadi alasan baginya untuk mengakhiri hidup—bagai bumerang.
Yang paling hebat, bukanlah mampu meraih kekuasaan dan kekuatan, namun keberanian untuk mengontrol diri, atau bahkan melepaskannya seperti teladan hidup seorang Pangeran Siddharta Gaotama yang menjelma pertapa sebelum mencapai Ke-Buddha-an. Menjadi kecil tidaklah mudah, namun menghadapi godaan untuk “tends to corrupt”, jugalah bukan perkara mudah. Bahkan, di tengah masyarakat kita telah menjadi suatu rahasia umum, OKB (orang kaya baru) cenderung bersikap arogan. Pernahkah Anda menyaksikan OKB yang sopan dan rendah hati?
Diatas semua itu, yang paling mengerikan ialah kekuatan ekonomi. Sebagai contoh, seorang pengusaha dengan modal kuat, bisa jadi tidak memiliki pangkat di pemerintahan, namun dirinya dapat dengan begitu mudah menjalin relasi kuat dengan pejabat dan penyusun kebijakan di negeri ini, semata karena kekuatan uang, sehingga regulasi dapat dibuat atau diubah dengan “pesan sponsor” sang pengusaha, mengontrol amar putusan hakim lewat perantara mafia alias makelar kasus yang menjadi mediator negosiasi harga jual-beli amar putusan, bahkan dapat dengan sewenang-wenang mendirikan pabrik tepat di tengah pemukiman padat penduduk yang mengganggu kedamaian warga sekitar cukup semudah menyuap aparatur pejabat setempat. Orang miskin rakyat jelata, sukar menemui para pejabat dan wakil rakyat mereka. Namun, bagi pengusaha bermodal kuat, akses demikian terbuka lebar, dan pintu kantor sang pejabat seolah selalu terbuka lebar bagi mereka.
Sebagai contoh ialah kasus suap proyek Meikarta di Bekasi, pengusaha yang bersimbiosis dengan pejabat yang mampu mengendalikan kebijakan, bahkan mengubah / menyulap peruntukan tata ruang dari ruang terbuka hijau menjadi proyek aparteman, atau seperti kasus suap terkait proyek reklamasi pantai utara Jakarta yang menjerat Presiden Direktur Developer Agung Podomoro, kesemua itu adalah akibat godaan penyalah-gunaan kekuatan yang bersumber dari kekuatan ekonomi pengusaha yang penyuap dan kekuatan kontrol kebijakan yang dimiliki sang penerima suap selaku pejabat negara.
Menjadi kuat dan berkuasa, siapa pun bisa mencapai puncak prestasi itu sama seperti peluang kejatuhan dari berkuasa menjadi rakyat jelata yang hidup dalam selokan kumuh. Namun yang terlebih penting dari kesemua itu, jangan sampai kekuatan justru menjadi batu sandungan bagi diri kita sendiri. Siapa yang akan tahu dan siapa yang dapat menjamin, bahwa selamanya kita akan berada di atas atau di bawah?
Memiliki kekuatan, artinya mendapat tanggung-jawab lebih besar di pundak kita, hanya ada dikisah fiksi televisi dan buku cerita bagi kanak-kanak. Seorang manusia dewasa berakal sehat dengan karakter yang matang, dinilai dari kemampuannya untuk mengontrol diri tatkala godaan datang menyergap dengan demikian menggodanya untuk disalah-gunakan. Godaan, sungguh menggoda, meski ironisnya : si penggodanya ialah diri sendiri, dan yang tergoda juga adalah diri kita sendiri. Ingatlah, perilaku korup selalu dimulai dari sebuah GODAAN, godaan yang BERSUMBER DARI DIRI KITA SENDIRI. Terdapat sebuah rumusan yang penulis tawarkan sebagai sumbangsih ilmu kriminologi, yakni : GODAAN + KESEMPATAN = CRIME FACTOR (Bibit Kejahatan). Bila pemerintah tidak mampu mengerem / mencegah godaan itu muncul di tengah warga, maka setidaknya menutup rapat-rapat celah pintu / kesempatan untuk terjadinya kejahatan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.