Kontra-Edukasi, Ketika Pembentukan Persepsi Sosial dan Budaya Tanpa Arah yang Jelas, sebuah Kebijakan Pengabaian

ARTIKEL HUKUM
Edukasi formal di lembaga pendidikan seperti sekolah, dipandu serta dibimbing oleh tenaga pendidik yang dapat mengarahkan standar logika dan standar moral maupun standar “citarasa” para peserta didiknya, lewat monitoring maupun asistensi. Para peserta didik tidak dibiarkan meraba-raba dan berjalan seorang diri tanpa suatu arahan ataupun pemaknaan yang diberikan sepanjang pelajaran sang pelajar.
Namun, yang tampaknya perlu kita waspadai ialah ranah pendidikan non-formil dalam artian luas, tidak hanya sebatas kursus maupun edukasi keterampilan yang masih diarahkan oleh seorang tutor, namun lebih menyerupai komunikasi satu arah berupa media televisi, media digital, dan berbagai sarana penyampaian informasi lainnya, yang mana kesemua itu memasuki hingga kehidupan ranah privat setiap warga negara, dimana kegiatan personal demikian tidak terdapat dialog dua arah antara edukator terhadap audiensnya, namun semata mengandalkan kesadaran mental dan penafsiran internal pribadi si penerima informasi non-formil.
Potensi bahaya demikian secara laten tampak cukup mencolok ketika kita menyaksikan sinetron yang mengandung muatan konten yang berpotensi merusak mindset generasi muda. Penyusupan ideologi, paradigma, cara berpikir, dan haluan pemikiran, dapat disuntikkan dengan sangat mudahnya pada penonton yang menyaksikan suatu tayangan televisi. Pada gilirannya, ada kemungkinan dan kepentingan agar mindset para penonton direkayasa dan disetir tanpa mereka sendiri menyadarinya, hingga suatu “cuci otak” terselubung.
Dalam dunia biologi-molekuler, terdapat sebuah virus yang diberi nama sebagai “retrovirus” karena kemampuan uniknya menyuntikkan genetik virus itu sendiri kepada inang yang dijangkiti dan diinfeksi olehnya, dan mereplikasi genetik milik sang virus ke dalam genetik inangnya yang diubah menjadi sama dengan genetik sang virus.
Cara bekerjanya retrovirus dan bagaimana ia melakukan infeksi serta injeksi genetik pada korbannya, sangat sukar terlacak karena bekerja secara senyap, alias musuh “di balik selimut” yang sukar dikenali. Kita hanya dapat bersikap waspada dan siap untuk bertempur, ketika kita mampu mengidentifikasi lawan kita. Namun ketika kita terlena, maka kita akan menjadi “mangsa empuk”. Alarm biologis kita mungkin dapat segera mengantisipasi menyusupnya sebuah retrovirus demikian, namun penetrasi ideologi dan injeksi pola berpikir dalam dunia serba rekayasa yang menggempur indera penglihatan kita, sangat sukar dideteksi, mengingat seolah penonton adalah seorang “pemain pasif” (mental konsumtif, sekalipun terkadang yang ia konsumsi ialah sampah dan racun berbahaya).
Sebagai contoh, tokoh-tokoh dalam sinetron kita oleh sang sutradara yang kurang kreatif, membuat suatu image / citra seolah orang-orang baik digambarkan “culun”, “cupu”, “kutu buku”, berkacamata, lemah, dan “aneh”, serta digambarkan sebagai miskin jika masih belum melodramatis. Sementara tokoh-tokoh jahat selalu digambarkan banyak dipuja kalangan wanita, menjadi idola alias “idol”, keren, modis, ganteng, cantik, kaya raya, bermobil mewah, serta memiliki banyak pengikut.
Alhasil, generasi muda kita mereplikasi image demikian tanpa mereka sadari, bahwa menjadi orang baik itu tidak keren, payah, tidak favorable, tidak layak, tidak patut ditiru, tidak sedap dipandang, tidak berwibawa, penakut, kurang pergaulan, hanya merusak pemandangan, dan lain sebagainya. Menjadi orang baik, seolah adalah dosa dan suatu kesalahan itu sendiri yang harus dihindari sehingga menjelma semacam suatu “alergen”.
Keren, ganteng, cantik, kaya raya, bukanlah suatu aib, maka menjadi orang jahat bukanlah suatu kejahatan—itulah mindset yang kemudian terbentuk pada benak pada kalangan penonton yang belum tentu “cerdas” mencerna manakah tayangan yang berkualitas dan manakah tayangan yang kurang mendidik, akibat konsistensi pencitraan tokoh-tokoh dalam suatu tayangan televisi kita, seolah karakter-karakter tersebut telah menjadi template atau format baku.
Pola-pola hidup penuh gengsi dan hedonistik, tidak lain ialah ulah importasi budaya asing lewat penetrasi tayangan film asing maupun rumah produksi film lokal, yang berhasil menyusup lewat layar kaca, luput dari pengawasan dan kontrol dari pemerintah maupun regulator. Tayangan-tayangan yang penuh budi pekerti, akan dinilai tidak berbobot, tidak laku di pasaran, tidak ada pemasang iklan yang berminat mensponsori tayangan, dan membosankan.
Contoh lainnya, ketika kita diperlihatkan berbagai adegan berdarah, semisal pembantaian, pembunuhan, peperangan, pertikaian, penganiayaan, ataupun bullying, kita perlu menyadari bahwa tidak ada yang selalu setiap saat mendampingi kita saat menyaksikan tayangan-tayangan tersebut untuk senantiasa setiap waktunya memandu dan membimbing kita dalam memberi pengarahan ataupun pemaknaan standar moral bahwa “tidaklah baik menyakiti orang, terlebih melukai dan membuat luka ataupun tewas orang lain”—sehingga semua itu menjadi seolah tampak lumrah karena intensitas tayangan kekerasan berdarah serupa yang bagai “cuci otak”, dan itu terus dibiarkan berlangsung terjadinya penetrasi ke dalam alam pikiran kita, untuk selanjutnya mengambil-alih cara berpikir logis dan berkesadaran kita.
Pelarangan video game yang penuh kekerasan, seperti pembunuhan dan pembantaian, dengan alasan apapun seperti: “itu hanyalah sebuah permainan”, atau berperan sebagai tokoh pahlawan yang “membantai” atau bahkan “menembak mati” tokoh-tokoh jahat, pelarangan demikian patut diapresiasi mengingat menjadikan seseorang pecandu video game yang keranjingan menyaksikan adegan kekerasan dan menjadi pelaku aktif pemegang remot-kontrolnya, menjadi tumpul kesadaran standar morilnya sehingga mulai meyakini lewat meniru, bahwa “menyakiti orang lain adalah hal yang wajar-wajar saja dan sama sekali tidak ada yang salah dengan itu”.
Mereka bahkan menjadi tidak lagi mampu membedakan ataupun memisahkan mana dunia nyata dan dunia rekaan—terlebih ketika dunia maya dibentuk sangat menyerupai realita gambaran dunia aslinya berkat kecanggihan teknologi komputerisasi video game saat kini, dimana gambaran tokoh-tokoh yang disuguhkan tidak lagi berbentuk kartun, namun bergambar manusia “nyata”.
Seseorang yang tidak memiliki kebiasaan menyakiti makhluk lainnya, dapat menjelma pembunuh “berdarah dingin” hanya semata karena re-penetrasi tayangan berdarah dan kekerasan yang mendera panca-inderanya secara bertubi-tubi, terutama tayangan pada televisi terlebih dunia video game dimana si pemainnya secara aktif terlibat dalam melakukan serangkaian keputusan pada papan tuts maupun pada remote kontrol yang menjadi alat pengendali jalannya permainan dalam video game yang dimainkan olehnya.
Dalam pengetahuan mengenai parenting, disebutkan bahwa seorang anak memiliki daya serap “mimikri” atau proses peniruan layaknya sebuah spons. Ia melihat, mendengar, dan menirunya. Tanpa suatu bimbingan yang memadai untuk memberi tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik, manakah yang patut untuk ditiru olehnya dan manakah yang tidak patut untuk ditiru olehnya, bahkan orangtua atau pembimbing lebih sibuk dengan urusannya sendiri, maka sang anak akan mencerap dan mereplikasi dirinya dengan segala penayangan dan adegan yang perah ia saksikan. Semakin inderanya digempur tayangan demikian, semakin citra yang diserap olehnya tertanam hingga ke dasar kesadarannya.
Maka, berbagai aksi kekerasan, penganiayaan, hingga pembunuhan berdarah, tidak lain tidak bukan terjadi akibat medium informasi digital maupun informasi cetak konvensional maupun inkonvensional, dimana kesemua proses pencerapan informasi tersebut terjadi tanpa adanya filter ataupun pelekatan terhadap pemaknaan (meaning notification) apapun. Bagus jika “modal” standar moril bawaan dirinya dan kesadaran mental seseorang cukup baik sehingga mampu secara swadaya dan secara pribadi memilah manakah tayangan yang patut ditiru dan mana yang tidak.
Sebagai contoh lainnya, banyak kita jumpai tayangan yang membuat kesan seolah mampu banyak minum alkohol adalah “keren” bahkan dinilai sebagai suatu “prestasi” tersendiri, menghisap tembakau adalah “macho”, bermain kekerasan adalah “maskulin”, bermain permainan untung-untungan dan menang adalah jenius. Dengan demikian, definisi “keren” berupa orang-orang suciwan dan bersih dari segala hal-hal negatif, menjadi seolah terkesan “ketinggalan zaman” dan sudah “out date” alias kadaluarsa.
Untuk itu tepat sekiranya kita menggalakkan re-definisi, alias mendefinsikan ulang terhadap apa yang disebut dengan “keren” itu artinya, apakah bergaul dengan sekawanan kumpulan anak geng baru dapat disebut sebagai keren, ataukah menjadi seorang ilmuan penemu seperti Steve Jobs untuk dapat disebut sebagai “keren” yang berprestasi. Untuk mencapai redefinisi pada istilah “keren”, kita perlu memberi definisi terlebih dahulu pada makna kata “berprestasi”.
Yang selalu tampil dan menjadi masalah besar, ialah ketika definisi yang diperkenalkan, ditawarkan, dan digempur lewat berbagai tayangan televisi dan film-film kita justru mendegradasi dan merusak tataran “standar moral” penontonnya. Hanya sedikti tayangan yang betul-betul bermuatan edukasi dan pesan moral yang baik, selebihnya hanya sekadar “cuci mata”, sepanjang diminati oleh pasaran, maka itulah bandul bagi pergerakan industri pertelevisian kita. Tayangan sarat “pesan moral”, kini diberi stigma sebagai tontonan-tontonan bagi anak usia bangku Sekolah Dasar.
Mungkin akan ada saatnya, tatkala tayangan televisi konvensional maupun media internet akan mencapai titik kulminasi dimana kesemua itu akan dilarang atau setidaknya membutuhkan kontrol ketat oleh otoritas negara dan regulator untuk dapat ditayangkan, tidak seperti Komisi Penyiaran sekarang ini yang ditekan dan tertekan oleh kepentingan industri studio layar kaca. Sama seperti ketika pertandingan olahraga tinju yang dinilai telah banyak membuat para petinju jatuh sebagai korban cidera otak yang bersifat fatal yang dapat berujung kematian, sehingga ditengarai akan dilarang atau setidaknya digantikan oleh para petinju robot pada masa mendatang.
Bila kesemua itu tidaklah mungkin atau mustahil untuk dicegah dan diberantas seutuhnya, setidaknya kita tidak membiarkan para generasi muda kita menonton ataupun bermain game yang berisi muatan konten kekerasan, tanpa kita pandu dan bimbing, sembari menyelipkan pesan moril bahwa perbuatan-perbuatan kekerasan demikian bukanlah hal yang baik, dan tidak patut untuk ditiru.
Ingatlah selalu, sebuah spons tidak akan bersikap diskriminatif, ia akan menyerap entah itu air ataupun minyak, ia akan menyerap semuanya semampu yang ia tampung dalam kadar maksimumnya. Sama seperti ketika kita perlu memilah dan memilih-milih bagi perut kita ketika harus diisi (diberi makan), sama seperti itu jugalah makanan bagi pikiran kita.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.