Apakah Jatuh Pailit adalah Akhir dari Segalanya? Siapa yang Paling Diuntungkan dari Pailitnya Debitor?

ARTIKEL HUKUM
Mendirikan badan hukum PT (Perseroan Terbatas), bukanlah persoalan sukar. Cukup bermodalkan beberapa juta rupiah, maka siapa pun dapat mendirikan sebuah PT, dan jika perlu berbagai PT (itulah tujuan / motif dibalik manuver Grub Usaha mendirikan banyak PT, sewaktu-waktu untuk mereka tumbalkan demi kepentingan sang beneficial owner). Ibarat pepatah mengatakan, “mati satu tumbuh seribu”, tepat seperti itulah yang terjadi pada pailitnya sebuah badan hukum Perseroan Terbatas. Lalu, apa yang perlu dikejar dari upaya mempailitkan sebuah debitor berbentuk PT bila mendirikan sebuah badan hukum PT saja demikian mudahnya di republik ini?
Sama halnya, pailitnya seorang debitor perorangan, bukan dimaknai sang debitor akan di-penjara atau sejenis “paksa badan” dalam suatu tahanan atau sejenisnya layaknya penunggak pajak, tidak juga dieksekusi layaknya narapidana hukuman mati. Sebagai contoh, kita semua tentu tahu tokoh besar dunia kartun dan industri animasi raksasa yang didirikan oleh Walt Disney. Kita hanya tahu nama tenar dan kesuksesan Walt Disney. Namun, adakah diantara Anda yang mengetahui bahwa Walt Disney pernah jatuh pailit pada usia 23 tahun?
Entah apakah Walt Disney yang mengajukan pailit terhadap dirinya sendiri, ataukah para kreditornya yang mengajukan pailit terhadap Walt Disney. Yang jelas, ketika saat kini Walt Disney memiliki kerajaan bisnis dunia hiburan yang tidak terhitung lagi nilai asetnya yang tersebar di seluruh dunia, tiada seorang pun diantara kreditornya yang saat kini berhak menagih kembali piutang milik mereka. Semua tersapu bersih oleh “sapu ajaib” bernama kepailitan.
Menyimak dari kisah “teladan” Walt Disney, tampaknya kita dapat menarik sebuah pelajaran penting sekaligus berharga, bahwa kepailitan tidak pernah dimaknai demi keuntungan seorang atau suatu kreditor, kepailitan selalu dimaknai demi keuntungan sang debitor itu sendiri. Pernah tersandung pailit, bukan berarti seumur hidup tersandera dalam keadaan vonis “pailit” yang di-stempel dalam Kartu Tanda Penduduk milik sang debitor pailit.
Walt Disney justru terbebas dari status tersandera hutang, berkat KEPAILITAN. Oleh karenanya, Walt Disney patut “disembah” menjadi dewa yang dikagumi oleh banyak kalangan debitor “kredit macet”, jika perlu menjadi “nabi” bagi para kalangan debitor “nakal”, dan dipajang potretnya pada kantor-kantor kalangan debitor. Kerajaan bisnis Walt Disney saat kini, adalah hasil output produk kepailitan—insentif, bukan dis-insentif. Berdiri diatas piutang-piutang tidak tertagih kalangan kreditornya yang justru bertumbangan karena menderita kerugian paska pailitnya sang Walt Disney.
Pasca penetapan pailit berakhir dengan pemberesan dan laporan pertanggung-jawaban sang kurator pada hakim pengawas Pengadian Niaga, maka tepat pada saat itu jugalah sang debitor ibarat menjadi “terlahir kembalibersih dari segala hutang-piutang. Bukankah itu suatu hal yang menyerupai “kabar baik” menggiurkan bagi sang debitor itu sendiri yang selama ini dipusingkan oleh tagihan yang menggunung?
Banyak dapat kita jumpai para pengusaha sukses di Amerika Serikat, yang sebelumnya ketika berusia muda juga pernah menikmati betapa manisnya “angin surga” kepailitan yang menimpa diri mereka. Namun, faktanya memperlihatkan, saat kini mereka tetap dapat berusaha dan menjadi pengusaha yang sukses dan makmur. Dengan demikian, kepailitan sangat jauh dari kesan “vonis mati seumur hidup”. Kepailitan, justru adalah atau menyerupai vonis “dilahirkan kembali”, bersih dari segala “dosa-dosa” (cuci dosa, debt laundry) akibat hutang yang menumpuk.
Maka, menjadi ironis sekaligus kontradiktif ketika suatu kalangan kreditor justru berminat mempailitkan sang debitor. Mengingat kepailitan adalah semata demi keuntungan dan kepentingan pihak debitor itu sendiri, maka yang paling ideal mengajukan pailit ialah diri sang debitor itu sendiri. Menilik dari apa yang telah penulis paparkan di atas, maka kapailitan selalu menjadi “kabar baik” bagi sang debitor pailit, sementara disaat bersamaan menjadi “kabar buruk” bagi para kreditornya.
Mungkin saja mayoritas kreditor dari seorang debitor, telah memahami dengan baik prinsip tersebut di atas. Masalahnya, dalam praktik sebagaimana kerap penulis jumpai, masih ada saja satu atau dua kalangan kreditor yang bersikukuh “tampil perkasa” dengan mempailitkan debitornya—demi “ego”. Pada gilirannya, yang menjerit dan meradang bukanlah sang debitor, namun para kreditor lainnya yang “terkena getah” dan harus menanggung resiko piutang tidak tertagih untuk selama-lamanya. Disaat bersamaan, sang debitor menampilkan wajah bermuram-durja—namun sejatinya di dalam lubuk hatinya, tersenyum sumringah karena sesaat lagi, tak lama lagi, dirinya akan “dilahirkan kembali” bersih dari segala “dosa-dosa” hutangnya. Kabar baik, benar-benar kabar baik (bagi siapa?).
Apa yang penulis ungkap sebagaimana di atas, bukanlah lelucon, bukan pula hisapan jempol, bukan dagelan, bukan asumsi, bukan hipotesis, namun fakta realita yang memang terjadi di lapangan. Banyak sekali penulis jumpai kreditor dari kalangan perbankan swasta (terutama), tidak pernah mau belajar dari kesalahan masa lampau dimana kepailitan justru cenderung merugikan kedudukan sang kreditor itu sendiri, dan terus saja melakukan kesalahan serupa—dengan melakukan aksi permohonan pailit kepada berbagai debitornya secara marathon dari satu debitor ke debitor lainnya.
Percaya atau tidak, ketika klien yang berangkat dari latar-belakang debitor yang diancam pailit oleh kreditornya, maka inilah yang pertama kali akan penulis ucapkan: “Selamat, sesaat lagi, tidak lama lagi, Anda akan mendapat hadiah vonis berupa ‘dilahirkan kembali’, BERSIH dan BEBAS dari segala dosa-dosa hutang Anda. Mari kita rayakan bersama. Sambut kepailitan itu dengan tangan terbuka, jangan menolaknya. Kreditor yang mempailitkan Anda adalah Sinterklas yang akan menghapus bersih segala dosa-dosa Anda. Setelah itu, barulah injak pedal gas akselerasi untuk membangun kerajaan bisnis Anda tanpa lagi perlu dipusingkan oleh tagihan-tagihan hutang yang menumpuk.” “Wah, itu kabar baik!” Tentu saja!
Apakah penulis tampak seperti seorang DEVIL COUNSULTANT? Bagi penulis, sang kreditor yang mengajukan pailit terhadap debitornya, hanya paling berhak mempersalahkan kecerobohan dirinya sendiri yang secara gegabah mempailitkan debitornya—tanpa mau melihat konsekuensi yuridis yang menunggu dikemudian hari sebagai konsekuensi logisnya. Sang kreditor tersebut hanya patut menggugat kecerobohan dirinya sendiri. Hanya debitor “bodoh” yang akan takut ketika diancam pailit oleh kreditornya. Namun ketika sang debitor memiliki DEVIL COUNSULTANT, maka ancaman pailit akan menjadi bumerang bagi sang kreditor itu sendiri.
Kembali pada kisah sang tokoh animasi termasyur, Walt Disney. Walt Disney, mungkin saat kini akan memiliki nasib yang berbeda bila saja seandainya dirinya dahulu kala saat masih berusia muda tidak pernah dijatuhkan pailit. Ketika Walt Disney berada pada titik nadir, berkubang dalam lembah kemiskinan, maka sang kreditor cukup bersikap bersabar menunggu Walt Disney kembali makmur, untuk kemudian melakukan aksi gugatan perdata dengan tujuan “goals” berupa sita jaminan terhadap berbagai aset milik Walt Disney.
Kreditor yang cukup cerdas, tampak dalam kasus yang hampir serupa, yakni yang dialami JK Rowling, sang penulis tokoh dalam novel Harry Potter yang termasyur itu. Ketika masih belum booming novel Harry Potter, JK Rowling yang hidup dalam kemiskinan bahkan tidak sanggup membayar biaya fotokopi naskah buku novelnya, sehingga seluruh naskah ia ketik secara manual lewat mesin ketik tua. Bahkan, dirinya dikabarkan diceraikan oleh suaminya. Kini, bagai roda yang terus berputar, siapa sangka jika JK Rowling menjelma seorang miliarder. Mantan suaminya pastilah menyesali perceraian itu, berbagai penerbit yang menolak menerbitkan naskah Harry Potter pun hanya dapat gigit jari, namun tidak bagi para kreditor dari JK Rowling, karena JK Rowling tidak pernah mereka pailitkan saat dalam kondisi begitu miskinnya sang JK Rowling.
Penulis menyebutnya sebagai “smart goals”, bukan sekadar “goal” bodoh berupa jalan pintas instan bernama “kepailitan”—itulah sebabnya kepailitan sering penulis beri julukan sebagai “mie instan”, karena memang kreditornya yang memohon pailit menghendaki jalan instan, dengan tanpa mau belajar dari kenyataan selama ini bahwa tiada satupun kasus kepailitan dimana kreditor mendapat seluruh pelunasan dari berbagai hak tagih / piutang milik mereka.
Jika saja para kreditor dari Walt Disney mau bersedia untuk cukup bersabar hingga Walt Disney mencetak kemakmuran, maka dapat dipastikan seluruh piutang para kreditornya dapat ditagih dan dilunasi karena hak tagih piutang menurut hukum yang berlaku di Indonesia (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) ialah selama 30 tahun. Sementara atau sebaliknya, ketika dipilih opsi kepailitan, maka pasca pemberesan yang dilakukan oleh pihak kurator dan mendapat fee kurator dari hasil likuidasi aset milik debitor (yang tentunya sudah NOL BESAR atau sekadar sisa-sisa “remah”), maka piutang yang tidak tertagih dan tidak terbayarkan, akan selama-lamanya hapus, hangus, terkubur, serta tidak lagi dapat ditagih untuk seumur hidup sang debitor.
Itulah yang kemudian menjadi “bahan bakar” bagi Walt Disney untuk kembali memulai bisnis, karena beban pada pundak atau bahunya telah bebas dari segala hutang-hutang maupun segala gangguan debt collector, mengingat dirinya telah “pernah” dinyatakan “pailit”, sehingga langkah kakinya menjadi demikian ringan.
Hal tersebut (pernah dipailitkan) juga menjadi alibi sempurna bagi Walt Disney untuk berkilah dan berlindung dibalik kepailitan yang pernah menimpa dirinya. Sejak saat itulah, Walt Disney bebas menghimpun berbagai harta dan aset kekayaan tanpa lagi dapat diganggu-gugat oleh para mantan kreditornya yang saat kini hanya dapat “gigit jari”—itulah sebabnya, penulis menyebut para “kreditor bodoh” demikian hanya paling berhak mempersalahkan sifat gegabah mereka sendiri.
Terbukti, bahwa Walt Disney memang jenius dalam memainkan hukum bisnis, terutama kepailitan. Ucapan selamat untuk Anda, wahai Walt Disney, nabi para debitor. Kebar berita mengenai sejarah pailitnya Walt Disney pada usia 23 tahun, merupakan suatu rahasia umum. Hanya saja, tidak banyak anggota masyarakat yang mau belajar dari teladan yang diberikan oleh sang Walt Disney. Maka, tiada beban moril apapun bagi penulis saat bahasan ini disusun—sekali lagi, berita kepailitan Walt Disney pada usia 23 tahun sudah merupakan “rahasia umum”. Penulis hanya sekadar mempertegasnya saja.
Karena kepailitan adalah instrumen legal (meski kurang etis diterapkan oleh pihak debitor itu sendiri), sehingga ketika seorang atau suatu debitor dimohonkan pailit oleh kreditornya, maka kerugian pantas ditanggung oleh pihak kreditor itu sendiri ketika piutang mereka jauh dari kata “terlunasi” paska jatuhnya kepailitan sang debitor. Sebaliknya, ketika seorang atau suatu debitor dibelit oleh berbagai hutang yang membuat mereka “hidup sungkan mati pun enggan”, maka sebagai solusi akan penulis tawarkan opsi “mempailitkan dirinya sendiri”. Apakah hal demikian melanggar etika dan etis?
Sepanjang Undang-Undang tentang Kepailitan masih sah keberlakuannya memberi izin bagi kalangan debitor mempailitkan dirinya sendiri, atau juga menggunakan jalan agak sedikit memutar dengan mengajukan terlebih dahulu Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebelum kemudian menargetkan jatuh pailit ketika kalangan kreditornya tidak bersedia “diperas” dan “diancam” lewat proposal perdamaian yang hanya menguntungkan pihak sang debitor, maka hal demikian sah-sah saja secara “keadilan yuridis”—sekalipun tidak di mata “keadilan moril”. Bila terdapat instrumen hukum “seksi” bernama kepailitan yang sah dan legal untuk digunakan, mengapa tidak dimanfaatkan secara optimal? Uniknya, mayoritas perkara kepailitan di Indonesia masih didominasi oleh permohonan pailit dari kalangan kreditor.
Mereka, kalangan debitor, yang tidak mengetahui konsekuensi yuridis dibalik kepailitan, akan berkeringat dingin ketika diancam pailit oleh kreditornya. Sebaliknya, debitor yang lebih cerdas justru akan menantang kreditornya untuk mempailitkan dirinya (sang debitor itu sendiri), dan membuat kreditornya berbalik menjadi berkeringat dingin. Sebagaimana dapat kini kita lihat bersama, pengetahuan hukum menjadi demikian penting dan vital dalam arus lalu-lintas bisnis.
Mereka, kalangan debitor, yang mengetahui tentang aturan hukum kepailitan, cenderung merasa bebas dari segala bentuk rasa takut terhadap ancaman dijatuhkan dalam keadaan pailit. Sebaliknya, kalangan kreditor, yang cenderung gegabah dalam memahami hukum kepailitan, merasa “diatas angin” dengan mengancam akan mempailitkan debitornya (debitor manapun, faktanya hanya berpura-pura ketakutan ketika divonis pailit, sementara sejatinya itulah yang mereka tunggu-tunggu). Suka atau tidak suka, itulah faktanya. Percaya atau tidak percaya, itu jugalah yang terjadi dalam realitanya.
Setidaknya, menurut benak kalangan debitor pailit tersebut, sang kreditor dapat merasa puas telah tampak gagah perkasa dengan mempailitkan sang debitor. Namun, konsekuensinya ternyata harus dibayar demikian mahal oleh sang kreditor pemohon pailit itu sendiri, yakni paska vonis pailit, sang debitor BEBAS MERDEKA SEPENUHNYA. Jika sudah demikian, maka sejatinya siapakah yang paling layak mendapat gelar “bodoh” dalam kasus-kasus kepailitan yang menimpa seorang atau suatu debitor jika bukan disandangkan kepada “mahkota kecongkakan” kalangan kreditor itu sendiri?
Sepanjang undang-undangnya masih berlaku demikian pengaturannya, mengapa tidak digunakan dan dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan sang debitor itu sendiri? Kita perlu ingat betul apa yang telah penulis ungkap di muka, bahwa kepailitan hanya cenderung menguntungkan pihak debitor itu sendiri. Bila Anda masih belum mampu memahami apa yang penulis urai secara lugas, gamblang, dan utuh demikian, maka cukup untuk Anda mengingat sosok Walt Disney, pada usia 23 tahun jatuh pailit. Namun kini, dirinya memiliki dinasti kerajaan bisnis dunia hiburan paling terbesar di dunia.
Lihatlah potret tokoh Walt Disney ketika berusia tua, penuh senyum. Namun, siapa yang tahu potret wajah para kreditor Walt Disney yang kini tidak lagi berhak menagih piutang-piutang mereka. Dalam Undang-Undang Kepailitan, tokoh utamanya selalu ialah debitor pailit itu sendiri. Sementara, kalangan kreditor pemohon pailit, hanya menjadi sekadar “penggembira” semata dari “pesta” cuci-dosa sang debitor pailit. Itulah cacat bawaan lahir Undang-Undang Kepailitan, yang tidak akan pernah dapat diperbaiki dengan perubahan rumusan pasal semacam apapun. Mohon untuk tidak menyalahkan penulis atas “moral hazard” ini, cukup salahkan pembentuk Undang-Undang Kepailitan itu sendiri.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.