Selera Tidak dapat Dipersengketakan, Namun Bagaimana dengan Selera Sang Hakim Pemutus?

ARTIKEL HUKUM
Terdapat adagium hukum, yang mengatakan bahwa “soal selera, tidak dapat dipersengketakan”. Pertanyaannya, bagaimana dengan selera seorang hakim saat memeriksa dan memutus suatu perkara, baik pidana maupun perdata? Bila kita hidup dalam negara dengan sistem keluarga hukum Common Law di negara-negara Anglo Saxon, perihal “selera” seorang hakim sama sekali tidak menjadi sebuah isu hukum, oleh sebab setiap kalangan hakim mereka terikat oleh semacam “blangko” putusan bernama “preseden”, sehingga hakim Common Law tidak bebas sama sekali dalam menjatuhkan amar putusan—namun betul-betul “terikat” (the binding force of precedent).
Namun isu hukum perihal “selera” demikian, menjadi krusial dan berpotensi riskan dalam tataran negara dengan sistem legal family Civil Law seperti Indonesia—meski saat kini Mahkamah Agung Belanda, Hoge Raad, telah secara resmi berpindah kiblat dari sistem Civil Law menuju Common Law legal system, dan meninggalkan budaya hukum Civil Law mengingat berbagai kelemahan dan keterbatasannya. Tidak lain tidak bukan, terdapat latar-belakang yang memengaruhinya, yakni doktrin pada sistem hukum Civil Law Eropa Kontinental tidak mengakui daya ikat sebuah preseden. Praktis, “selera” sang hakim pemutus menjadi ujung tombak dan pintu gerbang satu-satunya saat mencetak produk putusan pengadilan.
Sebagai analogi, kisah nyata berikut mungkin dapat cukup menjadi gambaran yang representatif untuk mewakili. Suatu ketika, penulis menemani anggota keluarga yang akan “test food” prasmanan dalam rangka resepsi pernikahan di sebuah hotel yang memiliki restoran yang menjadi tempat diadakannya resepsi. Ketika makanan disajikan oleh sang chef, salah seorang dari pihak keluarga penulis memberi tanggapan bahwa menunya terasa “asin” di lidahnya.
Ketika seseorang dari pejabat hotel diminta mencicipinya juga, dirinya menyatakan komposisi rasanya sudah pas, karena kebetulan sang pejabat hotel menyukai hidangan yang memiliki aroma asin cukup kuat. Bahkan, jika tidak asin, baginya masakan itu seakan hambar rasanya. Betul sekali bahwa selera bersifat sangat subjektif, tidak dapat diperdebatkan, dan tidak mungkin akan memuaskan semua pihak.
Ada yang menyukai masakan pedas, dan ada juga yang tidak sama sekali. Apakah dapat diperdebatkan, apakah pedas itu “enak” atau “tidak enak”? Pedas itu sendiri, netral sifatnya. Ia tidak buruk, juga tidak baik. Namun adalah lidah dari kita pribadi, yang menjadi penentu “selera”. Sifatnya personal, individualis, dan tidak dapat dipaksakan.
Namun yang menjadi pelajaran paling utama dari kejadian tersebut, pihak chef dari restoran akan mengikuti setting rasa yang diajukan sang pengguna jasa, bukan selera sang chef juga bukan selera sang pejabat hotel. Oleh karena itu pula, seorang hakim pemutus suatu perkara, tidak boleh menggunakan “selera” pribadinya saat memeriksa dan memutus perkara yang dihadapkan kepadanya, namun memakai standar “rasa” yang berlaku umum dan mendekati prinsip-prinsip “rasa” atau nuansa universal, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab—dan disaat bersamaan menanggalkan seutuhnya subjektivitas sang hakim.
Jika seorang hakim memiliki apresiasi serta “selera” yang tinggi terhadap rasa “asin”, maka celakalah sang pencari keadilan jika ternyata memiliki selera “manis”, karena berbeda atau bahkan bertolak-belakang dengan “selera” dari sang hakim. JIka kita kebetulan memiliki selera “manis”, berjodoh dengan hakim pemutus yang juga suka dengan selera “manis”, maka itu adalah kabar baik. Namun apakah kita harus terus berspekulasi dengan cara demikian? Sesering apakah kita akan menjumpai hakim dengan selera yang satu rasa?
Berbagai polemik terkait kualitas putusan, baik tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga kasasi dan maupun Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung RI, lengkap dengan segala polemik maupun kontroversinya, tidak lain tidak bukan terjadi akibat demikian berjaraknya “selera” antara para pihak pencari keadilan yang saling bertikai, diperkeruh dengan “selera” sang hakim pemutus—terlebih bila diwarnai aksi “bias gender” antara hakim pria dan hakim wanita.
Bahkan tidak jarang dapat kita jumpai, antar putusan dari lembaga peradilan yang sama, saling berdisparitas antar putusannya, sekalipun dalam periode rentang waktu yang sama, semata karena majelis hakim pemutusnya saling berbeda dari majelis hakim dalam perkara lainnya. Sudah tidak terhitung banyaknya putusan Mahkamah Agung RI yang saling kontradiktif antar putusannya, semata karena Hakim Agung pemutusnya saling berbeda, mengakibatkan pendirian Mahkamah Agung menjadi tampak simpang-siur oleh masyarakat umum—imbasnya, tiada kepastian hukum apapun yang ditawarkan lembaga Mahkamah Agung RI selaku kepala dari seluruh Lembaga Yudikatif.
Bila praktik Mahkamah Agung RI itu sendiri memberi teladan kurang sehat kepada para Hakim Tinggi maupun Hakim Pengadilan Negeri, lewat berbagai putusan yang saling berdisparitas, maka “disparitas antar putusan” itu sendiri yang menjadi preseden “kebolehan” (menjelma kebiasaan yang baku) yang lalu ditiru oleh para hakim di Pengadilan Negeri maupun oleh para hakim pada Pengadilan Tinggi, bahwa antar putusan yang saling berdisparitas, adalah hal yang wajar dan lumrah saja, karena memang Mahkamah Agung RI sendiri memparktikkan “memutus dengan disparitas” antar putusan demikian. Maka, siapa bilang, menjadi seorang hakim adalah sebuah profesi yang sukar dan berat?
Ganti pemimpin pemerintahan, ganti kebijakan. Ganti menteri, ganti peraturan menteri. Berganti hakim agung, berganti pula “selera” amar putusan. Yang terlebih menjadi “bola liar”, seorang hakim yang sama kemudian memiliki “selera” yang tidak jelas, dalam artian seleranya tidak menentu, berubah-ubah, bahkan patut ditengarai sang hakim itu sendiri tidak mengetahui apa selera dirinya yang sebenarnya. Bisa jadi hari ini menyukai “asin”, dahulu kala menyukai “asam”, kelak akan menyukai “manis”, atau mungkin juga “pedas”, “pahit”, atau bahkan “manis asam asin ramai rasanya”.
Bagaimana mungkin, sengketa seorang warga negara kemudian diputus oleh hakim dengan “selera pribadi” sang hakim? itulah praktik yang paling absurd dari praktik peradilan kita selama ini. Semua menjelma menjadi bagaikan “bola liar panas” yang tidak tentu arah dan tidak dapat diprediksi ke manakah arah tujuannya. Semua serba spekulasi dan spekulatif belaka. Alhasil, para pihak yang saling bersengketa terus menggempur Mahkamah Agung dengan dibanjirinya upaya hukum kasasi hingga peninjauan kembali, dengan harapan “siapa tahu dikabulkan dan menang” karena sang hakim agung “kepleset” lidah atau matanya sedang rabun dan sudah pikun.
Bagai efek puncak gunung es dan bola salju yang tergelincir tanpa dapat dibendung, Mahkamah Agung RI kini justru menyikapinya lewat kebijakan kuantitas jumlah putusan yang dicetak oleh Mahkamah Agung kita, bukan kualitas putusan—kebijakan mana yang justru kian membuat masyarakat terpancing untuk lebih memborbardir Mahkamah Agung dengan berbagai gugatan dan upaya hukum tidak rasional yang sifatnya spekulatif “siapa tahu Mahkamah Agung khilaf dan mengabulkan”.
Mahkamah Agung RI kini menjadi dikenal ibarat memutus “dikabulkan” atau “ditolaknya” bukan dengan memeriksa layak atau tidaknya “dikabulkan” ataupun “ditolak”, namun ibarat “asal tebak dan memutus”—menyerupai menerka-nerka apakah jumlah kelopak bunga berjumlah genap ataukah ganjil “cap cip cup kembang kuncup”, dengan mengatasnamakan “selera” sang Hakim Agung. Bahkan gugatan yang sangat tidak patut dikabulkan sekalipun, kemudian dikabulkan oleh Mahkamah Agung atau setidaknya tetap dikuatkan, dan gugatan yang semestinya dikabulkan justru ditolak—penulis memiliki berbagai bukti putusan dimaksud, bukan sekadar menuduh tanpa dasar.
Para hakim tersebut seolah tidak bersedia menyadari, terdapat “moral hazard” menunggu dibalik sikap “memutus berdasarkan selera pribadi sang hakim” demikian, dan “bom waktu”-nya sudah lama meledak dengan banjirnya berbagai upaya hukum kasasi ke hadapan Mahkamah Agung, meningkat dari segi kuantitas dari tahun ke tahun.
Selalu ada harga yang harus dibayarkan untuk kebijakan “bergantung pada selera sang hakim pemutus” sebagaimana yang telah kita bahas bersama sebelumnya. Pada giliran dan muaranya, selalu saja yang dikorbankan ialah warga masyarakat pencari keadialan yang kebetulan memiliki selera yang tidak sama dengan selera sang hakim pemutus.
Seorang hakim yang baik, idealnya perlu mulai menanggalkan sifat-sifat yang mementingkan “selera” pribadi sang hakim, dan mulai mau menyadari serta mengakui “selera” diluar pribadi sang hakim. itulah yang disebut dengan sikap “objektif”, bukan “subjektif”, dimana sifat objektif hanya dapat dijumpai pada “keadilan hukum” bernama “kaedah preseden” yang hanya dapat diberlakukan lewat upaya menjaga konsistensi dan tidak berdisparitas antar putusannya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.