Pipi Ditampar dengan BIBIR, Bukan Ditampar dengan Tangan, Apakah Dipidana?

ARTIKEL HUKUM
Jangan Salahkan Orang Lain Bila Anda yang Meminta Digampar, Prinsip Adagium Hukum YOU ASK FOR IT!
Perihal menghadapi kekerasan atau aksi premanisme oleh preman, bukanlah barang baru bagi penulis. Menghadapi aksi pemukulan oleh tiga orang preman yang berpostur tubuh jauh lebih besar daripada tubuh penulis yang menghadapinya seorang diri pun, pernah penulis lakoni. Pameonya, sudah banyak makan “asam garam” dan “mencicipi” preman-preman yang otaknya kosong sehingga hanya mengandalkan otot dan kekerasan. Tidak lagi pernah, merasa gentar menghadapi preman-preman jenis lain manapun, karena semua itu pernah penulis hadapi.
Namun, percaya atau tidak percaya, kita tidak akan pernah semudah menghadapi seorang wanita yang secara lancang menyalah-gunakan gender mereka sebagai seorang wanita untuk mem-bully kalangan pria. Bukan satu atau dua kali pula, bila penulis mendapati perilaku kalangan wanita yang ketika sudah melakukan kekeliruan dan merugikan orang lain, alih-alih meminta maaf dan mengakui kesalahan, justru memperkeruh keadaan yang sudah keruh situasinya, dengan menantang berkelahi dengan pihak penulis yang merupakan seorang pria. Berikut inilah kurang-lebih petikan transkrip perdebatannya yang pernah penulis alami secara pribadi.
“Oh, kamu berani sama saya yang perempuan ini? Kamu berani sama perempuan?” dirinya justru menantang.
“Siapa perduli? Tidak perduli mau Anda itu waria kek, mau Anda itu bencong kek, mau Anda itu bences kek, mau Anda itu ayam betina kek, jika Anda kurang dihajar, maka akan saya beri pelajaran dihajar. Jadi Anda minta ditampar sekarang ini? Pipi kanan, atau pipi kiri? Anda tak harus membayar saya untuk jasa menampar ini, akan saya lakukan secara sukarela.”
“Ayo, tampar jika berani! Ayo, tampar wajah saya!
“Anda sendiri ya, yang minta, jangan salahkan orang lain jika benar-benar saya tampar wajah jerawatan Anda yang minta digampar itu yang pastinya hanya akan membuat tangan saya perlu dicuci dan dibersih-hamakan karena bakteri dari wajah Anda itu.”
Pertanyaannya, jika dirinya benar-benar penulis tampar pada bagian wajahnya (namun usul penulis, jika itu benar-benar harus dilakukan untuk memberi pelajaran, tamparan yang dilakukan harus tidak melukai, agar visum tidak menunjukkan bekas kekerasan apapun, sehingga lebih menyerupai tepukan “memalukan” di pipi ketimbang sebuah “bantingan” telapak tangan yang didaratkan ke pipi si penantang, maka tiada ancaman pidana apapun mengingat pasal pidana “perbuatan tidak menyenangkan” telah dihapuskan sehingga tidak memiliki resiko yuridis apapun kecuali perang secara “hukum jalanan” dengan keluarga si wanita yang pastinya akan mengadu dirinya telah “digampar” meski sejatinya hanya mendapat sebuah “tepukan” di pipi yang tidak membuat cedera atau lecet apapun pada kulitnya. Ingat, mayoritas wanita adalah seorang pengadu dan kadang mulutnya memang perlu disumpal!), maka apakah penulis pantas diproses secara hukum pidana?
Itulah tepatnya fokus bahasan kita dalam kesempatan kali ini. Sebagai contoh, untuk perbandingan kontrasnya, seseorang pergi mengunjungi sebuah tempat praktik akupuntur. Sepulangnya sang pasien dari praktisi akupuntur, bisakah sang pasien melapor kepada pihak berwajib, bahwa dirinya telah dianiaya dan dilukai dengan cara ditusuk oleh jarum? Terdapat adagium hukum (yang penulis ciptakan sendiri), berbunyi: “You ask for it!”—Anda sendiri yang memintanya (yang juga cukup disayangkan, ternyata kalangan hakim kita kurang cukup baik penguasaan Bahasa Inggris-nya, bahkan pelajaran Bahasa Indonesia-nya pun ditengarai atau patut dicuragai mengantungi nilai “kebakaran” pada raport mereka saat di bangku sekolah).
Mendatangi sebuah tempat praktik akupuntur, maka dapat diartikan sang pasien itu sendiri yang meminta untuk diakupuntur yang memang hanya dapat dilakukan dengan cara menusukkan jarum pada kulit menebus jejaring otot dan saluran darah di dalam tubuh. Bagaimana ceritanya, meminta di-akupuntur namun tidak bersedia ditusuk oleh jarum? Pernahkah Anda menemui praktik akupuntur yang hanya mencolek-colek kulit Anda tanpa tusukan jarum, dengan alasan kulit Anda terlampau cantik untuk dilukai sebuah tusukan jarum? Jika ada, mohon share informasinya kepada penulis.
Tahukah Anda, seorang ahli pijat, paling senang jika mendapati pengguna jasa pijat yang meminta agar pijatannya lembut saja, tanpa membuat “mengaduh” kesakitan. Mengapa? Karena dirinya hanya membutuhkan sentuhan “plasebo” belaka. Sungguh malang nasib seorang juru pijat yang sudah bersusah-payah mengerahkan tenaga pijatan jari kedua tangannya hingga banjir peluh keringat, namun kemudian dipenjara oleh pasiennya sendiri hanya karena sang pesien menjerit-jerit kesakitan ketika dipijat dan sekalipun pijatan “menyakitkan” itu ampuh dan mujarab. Justru karena itulah, Anda harus mengaduh kesakitan. Yang pahit, jangan selalu dibuang; dan yang manis, jangan selalu ditelan.
Satu bocoran dari kawan dekat penulis yang merupakan seorang dokter sekaligus praktisi akupuntur, “informan” penulis tersebut menginformasikan, bahwa ketika dirinya berpraktik akupuntur, ia selalu dengan sengaja membuat tusukan jarumnya meleset beberapa mili inci dari titik “chi” sang pasien. Mengapa? Meski menstimulis titik “chi” sangatlah ampuh untuk membangkitkan metabolisme tubuh pasien dalam memulihkan disharmoni organ, namun sang pasien dapat pingsan kesakitan sekalipun hanya satu titik “chi” yang tepat sasaran oleh satu jarum akupuntur. Itu baru satu jarum, bagaimana jika kesemua jarum di sekujur tubuh itu benar-benar dibuat tepat sasaran pada titik “chi” yang semestinya? Kemungkinan sang pasien bisa meninggal saking sakitnya.
Mungkinkan juga terjadi, seorang petinju ketika bertinju di ring tinju, saat terkena “bogem mentah” oleh lawannya di atas ring, kemudian berteriak telah dianiaya, merengek cengeng, jika perlu menangis meraung-raung dengan air mata berderai, kemudian segera terhuyung-huyung menuju kantor polisi, dan mengatakan bahwa dirinya telah dianiaya? Lelucon macam apa ini? (Janganlah terlampau serius, artikel hukum yang terlampau serius dan formal, sangatlah menjemukan, bahkan untuk ukuran orang seperti penulis pun tidak akan bersedia menyentuhnya. Itu jugalah alasannya, sebagian besar Sarjana Hukum kita otaknya menjadi beku justru ketika lulus dari Fakultas Hukum tempatnya belajar, karena sel-sel otaknya mati akibat jemu dan mati kebosanan. Hal yang membosankan benar-benar membunuh sel otak kita. Bosan dapat membunuh, mati bosan. Karena itu jugalah, mungkin meruapkan sebuah “dosa” tak termaafkan bila kita membuat karya tulis yang membosankan, karena dapat membunuh pembaca tulisan Anda. Mohon maaf sebesar-besarnya atas kejujuran penulis, bila Anda merasa tersinggung, dan silahkan disimpan oleh Anda sendiri.)
Jelas, pihak kepolisian yang masih waras akan menjawab sebagai respons-nya: “Anda sendiri yang memintanya. Jika tidak mau ditinju, mengapa berlaga dalam kompetisi tinju? Jadi, di atas ring tinju, Anda meminta dan mengharap akan diperlakuan lembut oleh lawan Anda, mendapat belaian manis dan menggoda dari lawan Anda? Yang benar saja. Anda salah tempat dan salah profesi jika demikian. Sebaiknya Anda alih profesi sebagai penari balet saja, alih-alih petinju profesional.”
Itulah yang tepatnya, dalam terminologi ilmu hukum pidana, dinamakan sebagai “causa prima”, yakni apa sebab yang mendahuluinya. Bila tiada sebab yang mendahuluinya, seperti sebuah permintaan dari diri si yang bersangkutan, maka itulah sebuah kesalahan derajat kesengajaan dalam perspektif pidana. Namun bila didahului adanya permintaan dari pihak si “korban” itu sendiri, maka itulah tepatnya ketika kita menyebutnya sebagai “kriminalisasi”. Tahukah Anda, membaca satu artikel singkat ini, setara dengan membaca 10 jilid buku hukum yang membosankan di rak-rak perpustakaan hukum yang membosankan itu? (Penulis jadi teringat produk permen susu yang ber-gimmick “satu permen setara tiga gelas susu”.)
Rupanya, praktik pengadilan hanya konsisten dalam hal persetubuhan yang terjadi dilatar-belakangi “suka sama suka”. Sang wanita, tidak dapat menuduh sang pria telah memperkosanya. Mengapa? Karena suatu “suka sama suka”, selalu dimaknai atau identik dengan adanya penawaran dan permintaan secara bertimbal-balik (berkontra-prestasi) antara kedua belah pihak. Berbeda konteksnya dengan suatu pemerkosaan, dimana tiada permintaan untuk itu dari pihak wanita—sehingga murni pemaksaan.
Sebagai penutup, untuk menghindari kriminalisasi oleh kalangan wanita manapun, sebagai seorang pria yang mengerti hukum dan harus mengantisipasi segala kemungkinan terburuk, mulailah untuk membiasakan bertanya kepada sang gadis yang menjadi pujaan hati Anda: “Apakah saya boleh mencium engkau, wahai bidadari-ku?” Mengapa itu harus ditanyakan? Tidak lain agar Anda tidak berpotensi dilaporkan (kriminalisasi) dengan tuduhan sebagai telah menampar pipinya dengan “bibir Anda”!!! Serius, itu sudah perlu Anda lakukan sedari sekarang juga, karena kita tidak akan pernah mampu memahami cara pikir seorang wanita (cara kerja pikiran wanita sangat sukar ditebak).
Begitupula untuk menghindari ancaman hukuman KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), selaku suami, usahakan untuk membiasakan sedini mungkin untuk meminta izin istri Anda untuk mencium pipinya sebelum itu benar-benar Anda lakukan. Sebab, jika tidak meminta izin itu terlebih dahulu, potensi kriminalisasi selalu menunggu Anda dengan tuduhan sebagai telah menampar pipinya dengan “bibir Anda”. Mungkin Anda merasa ini terlampau berlebihan, namun tiada salahnya mengantisipasi—setidaknya suasana rumah tangga Anda akan lebih romantis (disclaimer : jika terbukti sebaliknya, penulis tidak akan bertanggung jawab).
Repot, bukan? Itulah sebabnya, penulis selalu lebih memilih melawan 10 karateka pria sekaligus (dengan syarat tangan kosong), daripada harus menghadapi makhluk berjenis kelamin wanita—maaf bila penulisan penulis terkesan diskriminatif terhadap gender, namun itulah “apa adanya” yang terjadi di lapangan, tanpa bermaksud menggeneralisir dan tidak juga menutup mata bahwa banyak juga kalangan adam yang justru jauh lebih “kurang dihajar” ketimbang kaum hawa.
Sebagai penutup, di mata penulis, sikap wanita yang menantang agar sang pria berani untuk menampar dirinya, bukanlah sikap yang gentlemen (sialnya, istilah gentlemen ternyata hanya merujuk kaum pria), juga hanya merendahkan martabat diri sang wanita itu sendiri, sebagai seorang “Diktator Betina”.
Mohon maaf, satu hal lagi, tidak ada pengemudi kendaraan bermotor roda dua yang menyukai berada tepat di belakang laju motor roda dua yang dikendarai kaum wanita di jalan raya yang kerap kali benar-benar tidak dapat dipahami cara mengemudinya—mohon kaca spionnya diperhatikan benar dan berjalanlah dengan lurus, karena itulah kaca spion diciptakan, bukan sekadar pajangan atau untuk menjadi cermin darurat untuk make-up, dan jalan raya adalah milik umum sehingga sadari adanya pengendara lain di samping dan di belakang Anda.
“Pak Polisi, saya ingin melapor.”
“Melapor apa?”
“Saya dianiaya seorang pria yang jadi pacar saya itu.”
“Dianiaya?”
“Iya, pipi saya ditampar.”
“Ditampar, oleh telapak tangan pria yang mau Anda laporkan dan sekaligus pacar Anda? Di bagian mana dari pipi Anda yang ada bekas memar atau lecetnya?”
“Bukan Pak Polisi, tapi ditampar pakai bibir.”
“Well, jika begitu nanti kita akan lihat hasil visum-nya. Tamparan lewat ciuman mesra, romantis sekali. Rupanya Anda ingin pacaran dengan pacar Anda di balik sel jeruji.”
Ternyata, salah seorang kerabat dari penulis juga pernah memiliki pengalaman serupa yang kurang menyenangkan sehubungan dengan watak sebagian diantara kaum wanita demikian. Suatu ketika, saudara penulis yang sedang bertikai mulut, ditantang oleh seorang gadis yang notabene satu angkatan di tempat kuliahnya.
“Ayo, injak kaki saya jika kamu berani! Ayo, injak kaki saya jika kamu berani!
Hebatnya, saudara dari penulis tersebut benar-benar melakukan apa yang ditantang dan diminta sang gadis, yakni menginjak kaki si gadis dengan “sepenuh hati”, alias dengan tekanan gas penuh saat menginjak “pedal” itu. Alhasil, dapat dibayangkan bagaimana hasilnya.
Esoknya, ternyata, sebagaimana telah dapat kita duga, sang gadis mengadu pada sang ayahanda dari si gadis, seperti biasa (betul bukan, apa kata penulis?), khas kaum wanita (sialnya, lagi-lagi, istilah tidak gentlemen hanya dapat dilontarkan kepada kaum pria). Alhasil, sang ayah kemudian bersama sang gadis, mencari saudara penulis tersebut di lingkungan kampus, seolah bangga dapat membawa bodyguard untuk membalas dendam.
Ketika mereka bertiga kemudian benar-benar dapat saling berjumpa, sang ayah dari si gadis memulai dialog. “Mengapa kamu injak kaki putri cengeng saya ini?” (sebutan “cengeng” adalah tambahan dari pihak penulis, agar kisah nyata ini mendapat sentuhan dramatis, agar layak diangkat ke layar kaca sinetron picisan kita yang entah bagaimana tidak pernah sepi dari penonton.)
“Lho, dia sendiri koq yang memintanya. Kenapa saya yang kini seolah mau disalahkan.”
“Jadi, puteri saya sendiri yang minta dinjak?”
“Iya.”
Sang bapak menoleh untuk memandang sepasang mata si gadis puterinya yang berdiri di samping sayang ayah. “Jika begitu, itu salahmu sendiri.”
Sang ayah lalu mengajak pergi dan pulang puterinya yang merengek dan merengut kesal, mengapa justru si ayah seolah membela saudara penulis dan tidak membela secara membuta puteri kandungnya sendiri. Namun, itulah didikan yang baik dari seorang ayah yang gentlemen.
Sekalipun kaum wanita adalah tidak gentlemen, dan tidak ada istilah gentlewomen dalam kamus Bahasa Inggris, namun setiap ayah dan setiap suami, haruslah seorang gentlemen. Dengan begitu, sang ayah ataupun suami dapat mendidik sang puteri ataupun sang isteri.
Wahai kalangan kaum pria yang membaca artikel ini, sadarilah bahwa engkau mengemban beban berat pada bahu Anda, yakni untuk mendidik puteri dan isteri dari diri Anda. Seorang wanita yang tidak berwatak gentlemen, merupakan cerminan dari seorang ayah ataupun suami yang telah “gagal mendidik”. Budaya sosial-kemasyarakatan kita masih kental dengan nuansa paternalistik.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.