Perusahaan Komersiel Berorientasi Profit Meminta Sumbangan, Menyaru CSR Mengatas-Namakan Kegiatan Sosial

ARTIKEL HUKUM
Bila terdapat entitas perusahaan bisnis yang mengejar “profit”, lalu meminta “sumbangan” pada masyarakat, maka persepsi yang kemudian akan timbul di benak kita ialah (baik disadari ataupun tidak)): perusahaan bersangkutan adalah perusahaan bonafid ataukah perusahaan “gembel” hampir kolaps yang meminta-minta “sumbangan” seolah tidak ada orang lain yang lebih membutuhkan, dan mengapa juga meminta pada warga yang notabene (mungkin saja) tidak lebih kaya ketimbang sang korporasi yang meminta-minta “sumbangan”?
Kemungkinan persepsi kedua, perusahaan bersangkutan demikian “serakah’, tidak cukup meraup untung dengan profit dari usaha komersielnya, namun juga mengeskploitasi ekonomi masyarakat dengan menyaru sebagai lembaga atau yayasan sosial yang bergerak dibidang usaha non-profit. Dapat ditengarai, sang korporasi tidak bersedia sedikit pun menyisihkan margin keuntungan untuk membiayai promosi branding maupun produk mereka, sehingga menghimpun dana dari publik untuk CSR yang mengusung nama brand sang korporat, adalah langkah “cerdas” (menurut perspektif sang pengurus korporasi).
Produsen sepatu olahraga “NIKE”, melaporkan bahwa sepertiga dari margin profit netto yang mereka himpun dari kegiatan usaha tahun lampau, digunakan untuk tujuan promosi brand di tahun buku yang akan datang. Biaya promosi sangatlah tinggi, oleh karena itu kalangan pelaku usaha yang tidak dibatasi rambu etika bisnis, akan memilih jalan pintas berupa menghimpun dana dari masyarakat dengan embel-embel “donasi”.
Beberapa tahun lampau, seorang “teman” yang kebetulan merupakan seorang agen asuransi “Prudential”, mendatangi kawan-kawannya termasuk kepada penulis, meminta “sumbangan” bagi perusahaan asuransi “Prudential” tempatnya bekerja sebagai agen asuransi alias penjual polis. Dirinya beralasan, “Prudential” meminta-minta sumbangan dari orang-orang untuk didanakan / didonasikan untuk orang-orang lain yang membutuhkan.
Menjadi pertanyaan di benak penulis, semiskin itukah perusahaan komersiel yang selama ini mengejar profit dan keuntungan, dengan aset berupa kantor-kantor cabang yang tersebar di berbagai penjuru kota, sehingga untuk berkegiatan sosial saja, memaksakan diri dengan cara-cara menjadi “pengemis” yang mengemis-mengemis untuk diberi dana oleh masyarakat agar “Prudential” dapat eksis untuk berdonasi? Berdonasi kepada siapa, apakah berdonasi untuk pihak “Prudential” itu sendiri yang telah menjelma “gembel” yang miskin namun berjas, berdasi, dan rambut tersemir lengkap dengan mobil mewah serta gedung tinggi khusus miliknya, sehingga saking miskinnya harus meminta-minta donasi, seakan profit usaha asuransinya tidak cukup untuk membiayai dana Corporate Social Responsibility (CSR)?
Jika memang perusahaan sekaliber “Prudential” tidak memiliki keuntungan yang dicetak pada tahun itu atau tahun-tahun sebelumnya agar sebagian dari margin keuntungan usaha mereka disisihkan guna berdana kepada masyarakat dalam rangka CSR, maka pertanyaannya ialah: Mengapa memaksakan diri menyaru sebagai menyerupai yayasan sosial yang bergerak dibidang usaha sosial non-profit? Mengapa perusahaan bisnis berorientasi profit dicampur-aduk dengan manajerial kedok kegiatan sosial non-profit? Profit dan non-profit, bagai air dan api, tak dapat dicampur-aduk, kecuali ada “udang di balik batu” alias “hidden agenda” ialah berupa strategi untuk mendongkrak PROFIT bisnis sang korporasi itu sendiri.
Betul bahwa peraturan perundang-undangan kita tidak melarang perusahaan komersiel berorientasi profit untuk menggalang dana untuk tujuan kegiatan sosial—meski penulis secara pribadi mendesak pemerintah agar menerbitkan aturan normatif yang secara tegas melarang korporasi bisnis untuk memungut dana donasi dari warga, karena CSR “yang sehat dan etis” bersumber dari penyisihan keuntungan bisnis mereka sendiri, bukan dari menghimpun dana dari masyarakat—namun secara etika bisnis sekalipun, perbuatan demikian tidak dapat dibenarkan.
Sang agen asuransi “Prudential” yang meminta dana sumbangan demikian yang kebetulan juga merupakan “teman” dari penulis, membuat semacam “jebakan” mental: tidak memberikan, akan dianggap “kikir” atau tidak berjiwa sosial. Memberikan, sudah dipastikan akan disalah-gunakan. Menawarkan pemberian sumbangan donasi kepada kerabat atau relasi, ibarat menawarkan kepada “mangsa empuk” yang sudah pasti akan “sungkan untuk ditolak” oleh pihak-pihak yang diminta, sehingga menjelma “tidak etis” karena pemaksaannya demikian terselubung secara politis-sosiologis.
Betapa tidak, hingga saat kini tidak ada satupun korporasi yang ketika melakukan CSR kepada publik, akan secara jujur dan terbuka menyatakan kepada penerima donasi, bahwa segala dana yang dikerahkan untuk kegiatan CSR tersebut bukanlah berasal dari dana atau dari kantung pribadi korporasi bersangkutan, namun dari pada donatur publik baik konsumen maupun non-konsumen. Semua aksi CSR demikian, meski sejatinya bersumber dana dari penghimpunan dari publik, tetap akan diatas-namakan sebagai “kebaikan hati” dari merek / brand korporasi yang bersangkutan.
Korporasi tidak etis demikian, sejatinya menerapkan manuver bisnis berupa “promosi” brand kepada publik, agar dikenal “baik hati” sekaligus “dermawan” dan “dekat di hati” atau “berpihak pada rakyat kecil”, namun senyatanya tanpa merogok kocek seperak pun dari kantung pribadi korporasi bersangkutan—untung dua kali lipat, sekali mendayung dua pulau terlampaui lewati, profit usaha “selamat” tanpa berkurang sepeser pun, mengingat promosi merek usaha menggunakan dana yang bersumber dari pihak ketiga. Kemungkinan demikian terbuka lebar, siapa yang tahu? Karena itulah, penulis bersikukuh agar setiap korporasi berorientasi profit, dilarang menghimpun dana dari masyarakat dengan alasan kegiatan sosial.
Sebagai perbandingan kontras antara pebisnis yang beretika dan pebisnis yang tidak mengindahkan kaedah etis, dapat dicerminkan sosok tokoh seperti sang Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, ketika dirinya masih sebagai seorang pengusaha “raja bisnis real estate” di USA. Donald Trump menyatakan secara terbuka, menggunakan trik-trik seperti embel-embel “beli produk kami maka artinya Anda turut berdana untuk anak korban gempa di ...”, adalah patut dijalankan sepanjang dapat MENDONGKRAK profit penjualan (orientasi murni profit bisnis yang dibalut kemasan kegiatan “sosial”)—sejak semula manuver marketing dengan secara sengaja membalutnya dengan kemasan “sosial”, tujuannya tidak lain ialah semata murni untuk mengejar profit, alias semata dengan tujuan untuk MENDONGKRAK PROFIT!
Menyadari fenomena perilaku tidak etis kalangan pelaku usaha demikian, sejak itulah pihak penulis tidak pernah sekalipun menaruh respek terhadap penjualan produk-produk yang membalut produknya dengan kemasan “sosial”, dengan tidak bersedia membelinya alias melakukan “boikot”—semua itu jelas adalah bentuk-bentuk pengelabuan dan penipuan terhadap konsumen, mengingat sejak semula orientasinya tidak lain ialah untuk mengejar profit semata, dimana bila sekalipun betul dana yang himpun akan didonasikan kepada masyarakat umum, pertanyaannya ialah: Apakah itu tidak akan menjadi dana terselubung untuk promosi “brand tanpa perlu merogoh koceh dana pribadi sang korporasi?
Menjadi kontras dengan sang pebisnis asal Indonesia, Peter Gontha, yang menyatakan bahwa segala bentuk manuver bisnis yang mencoba mengelabui masyarakat dan konsumen, seolah mereka sedang melakukan kegiatan sosial meski senyatanya hanya mengejar profit, dengan mengeksploitasi kebaikan hati masyarakat yang hendak berdana, itu sama artinya berbisnis dengan cara-cara yang tidak etis dan tidak patut selain tidak kreatif. Bisnis sebagai bisnis, mengejar profit sebagai mengejar profit, jangan memakai trik “musang berbulu domba”, kurang lebihnya demikian.
Sebagaimana juga kita ketahui, CSR merupakan ajang promosi itu sendiri. Sebagai contoh, produsen minuman isotonik mendanai kegiatan olahraga anak-anak sekolahan, namun dengan syarat harus dipasang banner ataupun spanduk produk dari pihak produsen yang menjadi sang donatur kegiatan acara olahraga. Tidak ada kerelaan CSR yang tidak dilatar-belakangi motif marketing guna promosi produk. Tiada CSR yang tidak dibalut dengan branding. Semua CSR bernuansa framing terhadap brand milik korporasi bersangkutan.
Karena itulah, menggalang dana dari masyarakat umum dan publik luas, untuk melakukan pergelaran marketing guna promosi produk dan brand, tidak ada yang lebih “sensuil” dan menggoda ketimbang strategi iming-iming “membeli sekaligus berdonasi” atau perusahaan berorientasi profit yang menyaru selayaknya yayasan sosial yang bergerak dibidang kegiatan non-profit. Tidak perlu mengeluarkan / menyisihkan separuh margin keuntungan sang korporasi untuk tujuan branding, namun cukup “mengemis” kebaikan hati masyarakat umum dengan diberi “judul”: kegiatan sosial.
Sebagai penutup, tips berikut dapat pembaca gunakan ketika menghadapi “jebakan mental” demikian, dengan melakukan “counter moril” dengan kalimat sebagai berikut: “Maafkan bila saya akan berkata agak kasar. Jika perusahaan Anda hendak berdana, berdanalah dengan menggunakan kantung pribadi perusahaan Anda yang berorientasi profit demikian. Jika memang perusahaan Anda hampir bangkrut karena tidak ada profit bertahun-tahun ini, maka jangan paksakan diri melakukan CSR dengan dana dari publik seolah perusahaan Anda adalah yayasan sosial non-profit. Kebetulan, saya pribadi lebih suka berdana secara langsung dengan menggunakan tangan saya sendiri. Terimakasih atas tawaran Anda, namun saya menolaknya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.