KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Pelaku Usaha Mengubah Perjanjian Secara Sepihak, Melanggar Hak Konsumen

ARTIKEL HUKUM
Penyedia barang maupun jasa yang baik, akan menghormati dan menghargai martabat serta hak-hak dari masyarakat selaku pengguna barang / jasa (konsumennya). Bentuk-bentuk pelecehan seperti mengubah syarat dan ketentuan secara sepihak dikemudian hari, bahkan tanpa sepengetahuan ataupun seizin konsumen, tentu merupakan cerminan perilaku berbisnis yang tidak dilandasi etika berniaga.
Pelaku usaha yang baik, akan memiliki semboyan, bahwa: “pelaku usaha dan konsumen, sama-sama senang dan sama-sama terbantu”. Itulah sumber nafkah yang baik dan patut. Seimbang dan tidak ada yang dirugikan, namun saling diuntungkan lewat kerja-sama layanan jasa ataupun penjualan produknya tersebut.
Sebelum kita membahas lebih lanjut perihal perikatan perdata kontraktual yang mengandung unsur “kesepakatan” yang bersifat bagaikan perjanjian sakral “suci” sehingga wajib dipatuhi dan dihormati (pacta sunt servanda), terdapat tiga buah norma dalam hukum perdata yang paling mendasar dari segala jenis perikatan perdata kontraktual, yakni antara lain:
- Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata):
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
- Hukum pun telah memberikan suatu perluasan makna sebuah perjanjian, lewat pengaturan Pasal 1339 KUHPerdata:
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang.”
- Sementara yang menjadi batasan keberlakuan suatu Perjanjian, ketentuan dalam pasal Pasal 1337 KUHPerdata berikut menjadi rambunya:
Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
Meski Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya mengatur perihal larangan untuk membatalkan ataupun menghapus perikatan / kesepakatan secara sepihak, seolah-olah mengakibatkan pelaku usaha berhak untuk mengubah ketentuan dalam berbagai perikatan di dalam suatu perjanjian / kontrak secara sepihak, namun ketentuan imperatifnya telah dijabarkan secara lebih spesifik dalam UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN, antara lain dijabarkan lewat ketentuan:
- Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen: “Hak konsumen adalah:
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; [Penjelasan Resmi: “Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya.”[
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.”
- Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen: “Kewajiban pelaku usaha adalah:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; [Penjelasan Resmi: “Pelaku usaha dilarang membedabedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.”]
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; [Penjelasan Resmi: “Yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah barang yang dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau kerugian.”]
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.”
- BAB V perihal KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU. Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: [enjelasan Resmi: “Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.”]
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.”
Contoh konkret pelanggaran norma hukum perikatan perdata maupun terhadap hak-hak konsumen, tercermin dalam perilaku berupa manuver ilegal, tidak etis, serta “melecehkan” konsumen seperti yang dilakukan oleh penyedia jasa internet provider “FIRST MEDIA” (PT. Link Net Tbk.) pada tanggal 13 Juni 2019, mengirimi penulis selaku pelanggan / konsumen dengan pesan sebagai berikut:
Dari : First Media <customer.promo@info.firstmedia.id>
Kepada Yth:
Bapak / Ibu Pelanggan First Media,
Layanan internet saat ini semakin menjadi kebutuhan yang mendasar bagi setiap anggota keluarga di rumah, dari anak usia sekolah hingga orang dewasa. Hal ini didorong seiring dengan pertumbuhan era digital di Indonesia, yaitu meningkatnya pengguna media sosial, konsumsi konten digital baik artikel, gambar maupun video streaming.
Sejalan dengan hal ini, sebagai bagian dari komitmen First Media untuk terus memberikan Anda dan keluarga kepuasan menikmati layanan internet, kami memberikan tambahan kecepatan internet untuk mendukung kebutuhan digital lifestyle Anda dan keluarga.
[Note Penulis: Gambar yang tidak jelas maksud dan tujuannya, tambahan kecepatan internet dari apa menuju apa dan seperti apa?]
Hanya dengan tambahan biaya berlangganan senilai Rp 10.000,- per bulan (efektif mulai 1 Juli 2019), Anda dapat menikmati tambahan kecepatan internet ini secara permanen.
Apabila Anda tidak berkenan dengan tambahan kecepatan internet ini, silahkan klik tombol “SAYA TIDAK MAU TAMBAHAN KECEPATAN”. Biaya berlangganan kecepatan internet Rp 10.000,- tidak akan ditagihkan setelah Anda melakukan konfirmasi tidak menginginkan tambahan kecepatan dengan menekan tautan berikut:
“Klik Disini untuk: SAYA TIDAK MAU TAMBAHAN KECEPATAN” (link url)
(tautan ini berlaku sampai 30 September 2019)
Mulai 1 Oktober 2019 tautan di atas akan di non aktifkan atau Anda dapat menghubungi Customer Service 1500 595.
Terima kasih sudah menjadi pelanggan setia First Media, dan kami selalu berupaya untuk terus dapat memberikan layanan terbaik bagi Anda dan keluarga.
Salam,
First Media.”
Yang menjadi pertanyaan dari penulis bagi internet provider FIRST MEDIA, antara sebagai berikut:
- Tambahan kecepatan internet dengan tambahan biaya demikian, sebesar apa? Mengapa tidak ada keterangan yang layak dan sebagaimana mestinya yang cukup dapat dipahami dengan mudah oleh pelanggan?
- Jika pelanggan tidak menekan klik tombol “SAYA TIDAK MAU TAMBAHAN KECEPATAN”, apakah artinya dengan tidak mau repot-repot “diwajibkan” menekan tombol tersebut, maka konsumen / pelanggan harus membayar tambahan biaya secara sepihak tersebut, sekalipun tidak diminta dan sekalipun tidak dibutuhkan oleh pihak konsumen?
- Selama ini FIRST MEDIA memborbardir pelanggan dengan email-email SPAM. Bagaimana jika nasib email dari FIRST MEDIA yang masuk ke kotak inbox email penulis, dihapus begitu saja oleh sistem perangkat lunak email tanpa penulis baca isinya karena seringkali hanya berupa SPAM promosi?
- Jika alamat email FIRST MEDIA telah ternyata dikategorikan sebagai email SPAM yang langsung otomatis dihapus dan dibuang ke “tong sampah” oleh sistem email terhadap setiap email yang masuk dari FIRST MEDIA, maka artinya pelanggan / konsumen tidak mendapat informasi secara layak dan tidak dimintai persetujuan secara selayaknya, bahwa dirinya dibebani biaya tambahan TANPA SEPENGETAHUAN konsumen.
- Apakah pemberitahuan atau “meminta izin” (secara memaksa) demikian, lewat email, adalah cara yang patut dan layak, seolah tiada metode lain seperti pengiriman surat via pos, via telepon, atau sejenisnya?
- Apakah konsumen / pelanggan pernah meminta atau memberi persetujuan diubahnya syarat dan ketentuan layanan?
- Jika konsumen / pelanggan tidak pernah meminta dan juga tidak pernah memberi persetujuan syarat dan ketentuan ataupun cakupan paket layanan pihak FIRST MEDIA selaku penyedia jasa internet provider, apakah artinya FIRST MEDIA memiliki hak untuk mengubah sepihak berbagai perikatan penyediaan layanan internet demikian secara sesuka hati?
- Apakah tindakan FIRST MEDIA patut menjadi preseden baik ataukah dapat menjadi preseden buruk dikemudian hari untuk ditiru dan dilanjutkan?
- Apakah tindakan FIRST MEDIA dapat digolongkan sebagai manuver bisnis yang etis, ataukah justru dapat dikategorikan sebagai perilaku korporasi yang berbisnis secara tidak patut dan melanggar kesusilaan?
- Hak dari mana bagi FIRST MEDIA sehingga merasa berhak mewajibkan pelanggan / konsumen untuk mau repot-repot dibuat repot “menolak” demikian? Bukankah ini semacam “teror”, dimana sewaktu-waktu FIRST MEDIA dapat kembali membuat perubahan “hak dan kewajiban” sesuka hatinya tanpa seizin konsumen?
Penulis dalam kesempatan kali ini, tidak akan membuat suatu konklusi kepada para pembaca. Telah dipaparkan dasar hukum yang relevan dan terkait isu hukum “mengubah secara sepihak apa yang sebelumnya telah disepakati”, dan contoh konkret yang dapat dijadikan cerminan terhadap pelanggaran hak-hak konsumen demikian. Untuk itu penulis serahkan sepenuhnya bagi kesadaran nurani maupun kebijaksanaan para pembaca untuk membuat penilaian sendiri.
Namun janganlah mengatakan bahwa itu hanya penambahan “Rp. 10.000;-“. Keesokan harinya mungkin saja FIRST MEDIA akan berani membuat “kegaduhan” yang lebih tidak senonoh dan “memperkosa” hak-hak konsumen, karena merasa terbiasa dan merasa menguntungkan dengan cara-cara eksploitasi “mengubah secara sepihak kewajiban konsumen” sehingga pada giliranannya menambah kerugian dan beban bagi konsumen. Kalikan dengan kuantitas jumlah pelanggan FIRST MEDIA, maka dapat dihitung berapa keuntungan yang berhasil diraup FIRST MEDIA secara melanggar norma hukum maupun kepatutan.
Yang paling tidak dapat penulis terima oleh praktik bisnis FIRST MEDIA, ialah: Mengapa justru konsumen / pelanggan yang diwajibkan untuk merepotkan diri menyatakan “menolak” untuk dirubah perikatannya? Konsumen / pelanggan berhak untuk hidup tenang tanpa harus diganggu kewajiban yang dibuat-buat secara sepihak oleh pelaku usaha, terlebih untuk dikemudian hari selalu siap siapa “menolak” apa yang akan diberlakukan perubahan secara sepihak oleh sang pelaku usaha.
Prinsip hukum perikatan perdata, yakni: Sepanjang salah satu pihak tidak pernah menyatakan keinginan ataupun kesediaan untuk mengubah syarat dan ketentuan ataupun cakupan layanan dan biaya dalam perjanjian / kontrak (hak dan kewajiban masing-masing), maka hal itu dimaknai pihak seberang tidak dapat mengubah isi perjanjian secara sepihak.
Menyepakati perjanjian dibutuhkan “kesepakatan” dari kedua belah pihak. Maka untuk mengubahnya pun, dipersyaratkan secara mutlak adanya “kesepakatan”. Tanpa adanya dan tanpa pernah diberikannya kesepakatan, maka hukum hanya memaknai “perikatan awal” semata yang sah dan berlaku bagi para pihak, bukan perubahan syarat dan ketentuan yang dibuat sepihak oleh pihak penyedia layanan. Praktik FIRST MEDIA, menyerupai “pemerasan” secara terselubung, jika tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana “penggelapan”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.