Melihat dan Memperlihatkan Diri, Dasar bagi Hukum untuk Menghindari Persinggungan ataupun Konflik

ARTIKEL HUKUM
Dalam ilmu Safety Driving yang diajarkan oleh para instruktur berpengalaman, terdapat dua pedoman paling basic ketika kita berkendara di jalan umum, antara lain dua yang paling utama berikut ini, yakni:
- Pertama, pastikan pengendara dan pejalan kaki lainnya terlihat dan masih dalam jangkauan pandangan kita; dan
- Kedua, pastikan diri kita sendiri terlihat oleh pengendara maupun oleh pejalan kaki lainnya.
Sebagai contoh, banyak kecelakaan lalu-lintas terjadi karena suatu keadaan yang disebut sebagai “blind spot” (titik buta), alias jangkauan pandang keberadaan pengendara lain tidak dalam cakupan daya pandang kita, sehingga kecelakaan tidak dapat dihindari karena tidak dapat diantisipasi karena ketidak-tahuan kita akan keberadaan pengendara atau pejalan kaki lainnya.
Di Eropa, fenomena mobil-mobil bertenaga listrik mulai mendapat sorotan otoritas terkait keselamatan publik, bukan karena resiko kegagalan mekanisme mesin, namun karena demikian senyapnya suara mesin kendaraan bertenaga listrik pada motor penggeraknya, mengakibatkan banyak pejalan kaki menjadi cedera akibat tidak menyadari adanya mobil bertenaga listrik yang melintas di belakang ataupun di dekat mereka.
Alhasil, penyusun kebijakan di Eropa kini mewajibkan produsen mobil-mobil “bertenaga listrik” untuk memasang bunyi-bunyian tententu agar tidak terlampau “senyap” saat berjalan melaju dikendarai, guna semacam penanda bagi warga di sekitarnya agar menaruh waspada dan dapat mengetahui keberadaan kendaraan demikian yang akan melintas dan eksis.
Ternyata, falsafah dalam dunia otomotif demikian cukup relevan diangkat sebagai bagian dari falsafah berhukum bagi keseharian warga negara. Berikut bagaimana kita dapat menerapkan falsafah tersebut dalam implementasi di keseharian kita, dengan harapan kita tidak akan “tertabrak” karena kita tidak “kasat mata” atau seolah-olah tidak pernah “eksis”.
Sebidang tanah kosong, yang ditumbuhi rumput dan alang-alang liar tak terurus, tanpa pagar maupun tanpa papan peringatan bahwa bidang tanah tersebut adalah milik seseorang, dapat diartikan sebagai tiada eksistensi pemiliknya alias “tidak terlihat”, sehingga seolah lahan tersebut dapat digarap oleh penggarap manapun. Lahan tidur yang dimiliki seseorang warga tanpa diberi penanda ataupun peringatan sejenis apapun, sama artinya mengundang para pembalak dan penggarap liar untuk mengambil-alih dan menguasainya.
Contoh lainnya, seorang karyawan membuat dirinya tampak sekecil “kutu” yang tidak kasat-mata di mata pengusaha yang mempekerjakannya. Ketika gajinya di-“sunat” atau bahkan tidak kunjung dibayarkan, sang karyawan hanya berdiam diri tanpa bersuara. Ketika dimutasi secara sewenang-wenang, sang karyawan pun hanya meng-“iya”-kan tanpa berani menyuarakan kepentingannya sendiri yang bisa jadi berkeberatan. Ketika sang karyawan akan dipecat tanpa pesangon pun, sang karyawan akan dirasa tetap berdiam diri “membisu” saja sebagaimana biasanya.
Mungkin saja, bila dari sejak awal sang karyawan telah menunjukkan sikap bahwa dirinya tidak bisa dipermainkan dengan begitu mudahnya, dan akan menampilkan kepentingan untuk memperjuangkan harkat serta martabatnya, maka dengan begitu dirinya akan “eksis” sebagai wujud seorang manusia yang disebut “subjek hukum”, bukan sekadar “objek” layaknya boneka yang dapat diperlakukan “sesuka hati” oleh pihak pengusaha.
Untuk memperlihatkan eksistensi diri kita sebagai seorang manusia maupun subjek hukum yang utuh, maka tidaklah patut kita selalu harus merasa sungkan untuk “menolak” dengan berkata “tidak”. Ketika seseorang hanya mampu menyatakan “ya” tanpa dapat berkata “tidak” untuk menolak, maka itu sama artinya eksistensi dirinya sama sekali tidak kasat-mata.
Apa yang penulis nyatakan demikian, mungkin sukar untuk langsung dipahami oleh para pembaca. Namun singkatnya dari apa yang hendak penulis utarakan dan sampaikan, ialah bahwa kita harus memulai belajar untuk berani berkata “tidak” dan menolak “permainan” yang dimainkan oleh orang lain terhadap kita. Ketika kita menghargai harkat dan martabat diri kita sendiri, menghormati pendapat, pikiran, dan kepentingan diri kita sendiri, maka disaat bersamaan kita menjadi “eksis”, dan kita menjadi mudah terlihat oleh orang lain karena “kasat-mata”. Dengan demikian kita tidak akan sering “tertabrak” oleh orang-orang lainnya di luar sana.
Bagaikan seorang tunanetra, tidak mampu melihat, mengakibatkan dirinya akan menabrak apa yang tidak dapat dideteksi oleh indera-indera lainnya. Satu orang tunanetra, mungkin tidak akan melahirkan tragedi. Namun dua orang tunanetra, mungkin bertabrakan tidak terelakkan antara mereka berdua yang tidak dapat saling menyadari keberadaan satu sama lainnya.
Kegelapan di dasar samudera, menjadi demikian mengerikan dan menakutkan dikarenakan kita tidak mampu melihat apapun yang ada di bawah sana, dan apa yang dibawah sana pun tidak dapat melihat keberadaan kita. Karamnya kapal Titanic yang termasyur itu, terjadi akibat nahkoda kapal tidak dapat mendeteksi keberadaan gunung es dibawah samudera yang ternyata tertabrak oleh kapal yang dinahkodai olehnya, mengakibatkan ratusan penumpangnya menjadi korban kapal karam dan menjadi salah satu legenda sejarah yang cukup terkenal sehingga kemudian dilayar-kacakan.
Begitupula saat berbisnis, adakalanya salah satu pihak melakukan kelalaian atau bahkan kesengajaan terhadap substansi kontrak yang mengikat para pihak. Untuk itu, menjadi penting surat teguran yang berisi peringatan secara halus sebagai sekadar pengingat, atau langsung berupa somasi yang bernuansa kental pada keberanian dan kesiapan untuk menempuh langkah hukum bila perikatan kontraktual mereka tidak dihormati dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Implementasinya dapat juga kita jumpai pada praktik penegakan tata-tertib berlalu-lintas di jalan. Seorang polisi tidaklah boleh bersembunyi dalam semak-semak untuk menjebak kalangan pengendara untuk kemudian diberhentikan dan ditilang—tilang elektronik pun demikian. Sebaliknya, pihak pengendara tidak dibenarkan menyembunyikan tanda nomor kendaraannya saat berkendara di jalan umum, ataupun tidak menghidupkan lampu saat mengemudikan kendaraan bermotor terutama disaat senja dan malam hari yang temaram.
Begitupula ketika aparat penegak hukum tidak pernah hadir ataupun tampil di tengah-tengah warga masyarakat, selalu absen saat benar-benar dibutuhkan dan hanya siap muncul setiap saat ketika hendak menilang pengendara kendaraan bermotor di setiap tikungan jalan. Kita tidak boleh melupakan, bahwa hukum negara disimbolikkan dan direpresentasikan oleh aparatur penegak hukumnya.
Uniknya, para polisi menilang pengendara kendaraan bermotor karena tidak menghidupkan lampu utama di tengah “siang bolong”. Namun disaat bersamaan, mereka tidak kerap menunjukkan eksistensi mereka ketika benar-benar dibutuhkan oleh warga masyarakat—mereka demikian berjarak dari warga. Sayangnya, kita sebagai warga sipil tidak diberikan hak oleh konstitusi negara kita untuk menilang para polisi tersebut karena selalu abses saat benar-benar sedang dibutuhkan kehadirannya.
Ketika aparat penegak hukum tidak pernah menampilkan batang hidungnya di tengah publik, di tengah-tengah masyarakat kita, di tengah-tengah kehidupan sosial hingga lingkup terkecil kita seperti daerah kediaman kita, maka yang akan kemudian terjadi ialah negara kita menjelma seperti negara tanpa hukum (lawless), dimana mengundang godaan bagi para preman menampilkan aksi-aksi premanisme tanpa pembatasan apapun—benar-benar bebas dibebaskan sebebas-bebasnya menjadi “raja jalanan”.
Terlebih, ketika seorang warga mengalami tindak pidana aksi kriminil, sebagai korban telah merepotkan diri dan meluangkan waktu untuk datang menghadap dan mengajukan laporan kepada pihak berwajib. Namun, secara antiklimaks, ternyata pihak berwajib justru mengabaikan, menelantarkan, dan tidak menindak-lanjuti laporan sang warga korban pengadu, sama artinya negara ini “memelihara” budaya premanisme jalanan dengan tidak menghadirkan hukum secara nyata di tengah masyarakat real. Dengan demikian, seolah-olah hukum tidak lagi eksis, sehingga di-“terobos” dan di-“terabas” oleh para pelaku aksi premanisme demikian. Pada gilirannya, yang akan eksis ialah “hukum rimba”.
Sering penulis utarakan dalam bahasa mudahnya, ketika kita pada suatu ketika sedang berada di sebuah perpustakaan pada sore hari menjelang jam pulang pekerja kantoran, maka kita harus duduk tepat di dekat ruang resepsionis agar pihak petugas / penjaga perpustakan dapat mengetahui bahwa masih ada keberadaan kita di ruangan tersebut saat mereka hendak menutup perpustakaan pada hari itu, agar kita sebagai pengunjung dapat diingatkan untuk mempersiapkan diri pulang agar tidak terkunci di dalamnya.
Sebagai bagian dari anggota warga negara dan komunitas, kita menjalani hidup dengan saling berbagi ruang gerak dan nafas. Oleh karena itulah, kita harus mau memahami dengan cara lebih peka membuka mata kita lebar-lebar agar kita dapat melihat dengan jernih eksistensi berbagai subjek hukum lainnya di sekitar kita, dan mengakui atau menyadari eksistensi mereka, dimana kita pun harus tambil sebagai seorang subjek hukum yang utuh.
Dengan cara begitulah, setiap warga negara dapat hidup dalam harmoni tanpa saling menyikut, mengganggu, ataupun merugikan. Jangan salahkan orang lain bila Anda terkena sikut ketika Anda sendiri bersikap seolah-olah diri Anda tidak pernah eksis di dunia ini. Hidupkan hukum dengan cara menghadirkan keberadaan aparatur penegak hukum yang dekat di hati rakyat.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.