Kisah Sang DEVIL ADVOCATE Senior, Pengacara “Beken” dari NERAKA (Bagian Ketiga)

ARTIKEL HUKUM
"Een goed verstaander heeft maar een half woord nodig."
Orang yang pandai memahami, (cukup) membutuhkan separuh perkataan. Jika masih belum jelas, tahu berbuat apa yang diharapkan dari dia.
(PERIBAHASA BELANDA)
Setelah separuh dari umur hidupnya bergelut dibidang hukum sebagai seorang Devil Advokat yang menorehkan rekam jejak fenomenal pada berbagai penjuru kota dengan jas mentereng dan sepatu pantofel tersemir rapih setiap harinya tatkala masih muda, sang pengacara glamor kini hendak hidup lebih tenang dengan mencari tempat yang cukup damai untuk membuka kantor hukum kecil-kecilan sembari mengisi waktu tua sang pengacara yang tidak akan pernah berniat untuk pensiun ini.
Jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota yang padat oleh kemacetan, polusi udara, maupun tingkat kriminalitas yang membuat seolah hukum selalu gagal untuk menciptakan ketertiban sosial lengkap dengan berbagai modus kejahatan baru yang saling berlombaan dengan peraturan hukum yang terus dicetak sepanjang tahunnya, kantor hukum mungil yang belum lama didirikan itu hanyalah berupa sepetak rumah kecil namun dihiasi kebun sayur-mayur yang ditanam sendiri dalam tabulapot, disertai pemandangan laut bebas terhampar dengan demikian megahnya dari balik jendela sang pengacara.
Telah ribuan klien ditangani sepanjang karir sang pengacara. Berbagai bajingan paling “tengik” dan paling berbau busuk yang dapat kita temui, selama itu pula telah banyak ditangani oleh sang pengacara yang terkenal satu ini. Wajahnya yang tatkala masih muda, kerap diliput oleh media massa dan para jurnalis sebagai seorang pengacara flamboyan paling berpengaruh sekaligus jenius yang sangat disegani kalangan profesi hukum manapun. Bahkan, untuk kalangan hakim sekalipun, di telinga mereka nama sang Devil Advokat sudah cukup untuk membuat bulu kuduk mereka berdiri.
Namun itu dulu, cerita lama. Kini, sang pengacara hendak separuh pensiun dan hidup di tempat yang lebih terpencil dan lebih damai dalam melewati hari-hari tuanya setelah seumur hidupnya telah banyak berhasil membebaskan manusia paling berandal dan paling bajingan yang dapat kita sebutkan.
Prestasinya dikala muda, tidak tertandingi. Namun, tiada pesta yang tidak usai. Sekalipun tidak bisa menang melawan rambut yang memutih dan kulit yang kian mengeriput, setidaknya ia tidak perlu menggantung sarung tinjunya sembari dapat tetap menikmati masa-masa tuanya.
Begitulah harapan sang pengacara. Siapa yang akan menyangka, nama “beken” sang pengacara satu ini ibarat membuat “ada gula, ada semut”, klien-klien dari berbagai kota bahkan rela berdatangan menempuh jarah ribuan kilometer jauhnya hanya untuk menjumpai sang pengacara legendaris hidup satu ini, meski umurnya kini sudah sangat sepuh. Tidak diketahui secara pasti berapa umur sang Devil Advokat, namun tampaknya ia selalu siap untuk segala jenis pertarungan yang mungkin dapat terjadi.
Pagi ini, saat sang pengacara hendak membuka kantor kecilnya yang terletak di sebuah daerah dekat pelabuhan yang memiliki pemandangan indah untuk menemani hari-hari tua, seseorang pria berbaju preman dengan menaiki kendaraan bermotor roda dua menghentikan laju kendaraannya, kemudian berseru kepada sang pengacara yang sedang menyapu halaman kantornya dari dedaunan yang berguguran.
“Rumah Anda ini nomor 19?” tanyanya tanpa basa-basi sopan santun seperti mengucap salam atau sebagainya, seolah-olah sedang memberi perintah instruksi kepada seorang hamba.
“Bukan,” sahut sang pengecara, singkat saja, sembari tidak menghiraukannya dan meneruskan kegiatannya yang sedang berkonsentrasi menyapu.
“Saya mau antar surat. Rumah Anda ini nomor berapa?”
Sang pengacara yang telah terbiasa dalam peperangan hukum maupun perdebatan di ruang pengadilan perihal privasi dan keterangan-keterangan yang bersifat pribadi, seperti salah satunya nomor rumah, hanya mendiamkan sang tamu asing tanpa menghiraukannya sedikit pun.
“Ditanya, kenapa diam saja! Jika ditanya, harus jawab!” bentak sang tamu asing. “Berapa nomor rumah Anda ini?!
“Tidak tahu,” jawab sang pengacara pada akhirnya, namun singkat saja dan tidak ingin lagi diganggu sang pendatang asing yang tidak diundang itu.
“Loh koq bisa tidak tahu nomor rumah sendiri? Berapa nomor rumah Anda ini?!” bentaknya, lebih menyerupai sebuah titah seorang raja terhadap budaknya, seolah warga negara lain di mata dirinya adalah budak yang harus meladeni dirinya bak seorang raja yang mana segala sesuatu keinginannya harus segera dituruti.
Sang pengacara kini menegakkan punggungnya, menoleh dari balik pungguhnya dan menatap lekat sang tamu asing. “Sudah saya bilang pada Anda, rumah ini bukanlah nomor kediaman yang sedang Anda cari. Jika saya memilih untuk tidak mau menjawab pertanyaan Anda, Anda mau apa?”
Sang tamu justru hendak mendebat dengan gaya preman lengkap dengan postur tubuhnya yang besar mengancam. “Saya tanya nomor rumah Anda, kenapa tidak mau menjawab! Jawab!!!
Sang pengacara justru terkekeh menyaksikan ulah sang pendatang asing yang bertingkah bak preman demikian. “Memangnya Anda bos saya, pakai perintah segala. Anda pikir diri Anda seorang penyidik kepolisian? Seorang tersangka saja ketika ditangkap polisi, berhak untuk diam (remain silent). Anda pikir diri Anda itu siapa? Hak dari mana Anda mau mengatur-ngatur di sini? Kewajiban dari mana bagi saya untuk mau Anda dikte? Dasar sinting! Otak Anda perlu di-service ke bengkel rupanya.”
“Anda mau menantang saya berkelahi?” ancam sang tamu, seolah dengan cara-cara semacam itulah dirinya seringkali mengintimidasi agar diperlakukan bak seorang raja dan segala perintahnya dituruti tanpa bantahan. Namun, senyatanya dirinya sedang mendapati lawan yang keliru.
“Otak Anda pasti sebesar biji kacang, kadang kedelai pula. Mereka yang kecil otaknya, seringkali hanya menngandalkan otot dan cara-cara kekerasan,” sang pengacara kembali terkekeh kecil, kini ia yang balik mengejek sang pendatang asing. “Sekarang Anda wajib mengatakan pada saya, berapa nomor kartu tanpa penduduk Anda, dimana Anda tinggal dan nomor berapa, siapa nama Anda, dan berapa nomor ukuran celana dalam Anda?”
Mood sang pengacara sepuh ini menjadi lebih mendung, tatkala ketika ia baru saja menaruh bokongnya pada bantalan jok kursi di balik meja kerjanya, seseorang yang lagi-lagi tidak memiliki etika komunikasi paling mendasar sekali pun, kini mengganggunya lewat telepon.
“Haloo, selamat pagi,” suara dari balik telepon itu adalah suara seorang wanita yang juga sudah tua dari segi umur. Konon, semakin tua semakin bijaksana perilakunya.
“Ya,” sahut sang pengacara dengan nada datar saja.
“Kantor hukum Devil Advokat?”
“Ya.”
“Saya sedang berbicara dengan siapa?” tanyanya kembali dengan nada bicara seperti seorang bos terhadap bawahan.
Pada detik itu jugalah, sang pengacara menjelma naik pitam. Bagaikan seekor singa bertaring yang terinjak ekornya, sang pengacara kini siap sepenuhnya dalam mode bertempur. “Tadi Anda sudah bertanya, saya jawab dengan mengiyakan bahwa ini adalah kantor hukum Devil Advokat. Dimana-mana tamu yang terlebih dahulu memperkenalkan diri pada tuan rumah, bukan justru tuan rumah yang diminta untuk memperkenalkan diri kepada tamu asing tak dikenal yang juga tak diundang. Sebaiknya Anda belajar sopan-santun dahulu sebelum menghubungi orang lain. ... Satu hal lagi, jangan ganggu saya lagi, wahai Setan Tanpa Nama.”
Seketika itu juga gagang telepon dibanting dan ditutup. Pengalaman dari memulai sebuah hari yang kurang menyenangkan. Sang pengacara selalu mencoba merenungkan, betapa manusia zaman kini demikian berwatak tidak logis. Bahkan untuk ukuran manusia dewasa dan cukup berumur yang semestinya memiliki akal sehat, etika tata-krama mereka terbilang sangat buruk, meski tingkat pendiidikan masyarakat terbilang sudah cukup memadai maupun latar belakang ekonomi yang mapan. Ia pikir bahwa dirinya tidak akan diganggu oleh banyak lalat-lalat pengganggu dengan membuka kantor hukum kecil di pelosok negeri itu tatkala memasuki usia tua.
Tak lama berselang, sebelum kepala sang pengacara yang hampir terkulai akibat tertidur di atas kursi kerjanya yang lebih menyerupai kursi malas, seorang calon klien datang bertamu.
“Selamat siang, nama saya Peter Si KurangPinter. Susah sekali saya untuk bisa mendapatkan informasi dimana kini Devil Advokat membuka kantor hukumnya. Akhirnya saya menemukan juga kantor hukum Mr. Devil Advokat yang indah dan mungil ini.”
“Hanya untuk mengisi waktu luang agar tidak pikun, Tuan KurangPinter. Silahkan duduk, selagi saya belum buat aturan di kantor ini bahwa tamu dilarang untuk duduk. Tidak ada kopi di sini, jadi silahkan Anda minum angin saja.”
Tercium aroma khas para lansia di ruang kantor itu, minyak angin. Setelah berbasa-basi sejenak dan disepakatinya tarif jasa layanan hukum, sang klien yang masih berusia muda namun berpakaian formal layaknya orang eksekutif di perkantoran tersebut membuka dengan mengisahkan bagaimana dirinya pada mulanya memiliki sebidang tanah, namun ketika hendak bermaksud untuk membuat sertifikat tanah ke Kantor Pertanahan setempat, permohonannya selalu ditolak sehingga hingga kini dirinya menempati tanah warisan itu tanpa sertifikat tanah dari Kantor Pertanahan.
Namun yang cukup unik, dan membuat sang klien agak terkejut sekaligus gelisah, sebelum benar-benar sang klien menyelesaikan seluruh kisah masalah hukum yang dihadapi olehnya, sang pengacara ternyata telah jatuh tertidur dengan suara mendengkur lelap yang beradu keras dengan suara desir ombak di kejauhan. Keriput dan rambut putih di wajah sang pengacara, membuat sang klien merasa sungkan untuk menegur ataupun membangunkan sang pengacara senior satu ini.
Akan tetapi yang mungkin paling mengejutkan bagi sang klien ialah, secara mendadak terlontar kata-kata dari wajah sang pengacara yang masih terpejam itu tanpa mendongak, “Mengapa berhenti, teruskan ceritamu. Aku dapat mendengarkan sembari tertidur.”
Dapat mendengarkan sembari tertidur? Apakah ia tidak salah dengar? Ataukah sang pengacara tengah ‘berjalan sembari tertidur’?
Namun teguran lembut sang pengacara justru membangunan lamunan sang klien. “Teruskan ceritamu, aku mendengarkan.”
“0-o,... baiklah. Keluarga kami ingin menggugat Kantor Pertanahan agar kami diberikan sertifikat tanah.”
Hanya dibalas oleh suara dengkur yang kian mengeras. “Grhoooo..... Grhooooo....”
Sang klien mulai merasa ragu, sebab satu menit telah berlalu dalam hening, hanya menyisakan suara dengkur sang pengacara.
Meski demikian, setelahnya, yang membuat kagum sang klien, bagai cerita serial fiksi dalam komik Detective Conan, orang tertidur pun bisa berbicara, ketika sang pengacara tampak tengah tertidur pulas di kursinya, terdapat suara sang pengacara yang pada akhirnya berucap pada sang klien.
“Kenapa harus menggugat Kantor Pertanahan? Jika Anda mendapatkan sertifikat tanah, sama artinya Anda melepas girik milik Anda. Katakanlah pada saya, mana yang lebih menguntungkan, girik ataukah sertifikat tanah dari Kantor Pertanahan. Sebagai perbandingan kontrasnya, katakanlah Anda mendapatkan Sertifikat Hak Guna Bangunan atau Sertifikat Hak Guna Usaha dari Kantor Pertanahan. Namun pernahkan terpikirkan oleh Anda, bahwa Anda kemudian diwajibkan untuk tidak boleh memiliki tanah itu secara guntai, dengan ancaman hak atas tanah akan dicabut bila melanggar larangan tersebut. Sebaliknya, dalam girik, Anda dapat menguasai tanah girik tanpa ada batasan luas maksimum yang dapat Anda miliki, bahkan tidak ada masa berlaku hak selayaknya SHGB maupun SHGU. Girik, dapat Anda pakai untuk membangun gedung ataupun untuk bertani, suka-suka Anda. Sekarang katakan pada saya, Mr. KurangPinter, apakah Anda benar-benar sudi melepas hak girik Anda untuk ditukar dengan SHGB ataupun SHGU?”
“Bukankah girik bisa mudah digugat?”
“Siapa bilang SGHB, SHGU, maupun SHM, tidak jarang digugat dan dibatalkan oleh pengadilan? Bila Anda sudah berpuluh-puluh tahun menguasai tanah warisan itu, maka itulah hak atas tanah tertinggi, aqcuisitive verjaring yakni tanah hukum adat yang dikuasai secara fisik selama puluhan tahun melahirkan hak kepemilikan yang tidak lagi dapat diganggu-guagt. Sebaliknya, ketika Anda menukarkan girik Anda dengan sertifikat tanah dari Kantor Pertanahan, maka hak tanah dalam sertifikat itu akan dianggap mulai dari nol lagi umurnya, sehingga sewaktu-waktu dapat dibatalkan oleh gugatan pihak ketiga karena umur sertifikat tanah Anda belum genap lima tahun. Apakah Anda siap mengambil resiko semacam itu?”
Sang klien hanya mematung takjub. Setelah itu, semuanya hening. Sang pengacara masih dalam postur terkulai tidur dalam kursinya. Dengkurnya pun masih sama keras seperti sebelumnya. Sang klien sesaat kemudian mengeluarkan buku lembaran cek dari saku jas dalamnya, menuliskan sejumlah angka, menyerahkan ke atas meja kerja sang pengacara secara perlahan tanpa menimbulkan kegaduhan takut-takut akan membuat terkejut yang membangunkan tidur sang pengacara.
Dengan lembut sang klien yang hendak bangkit dari kursinya untuk pergi meninggalkan kantor itu tanpa menimbulkan kegaduhan, berkata dengan nada lembut seperti sedang berbisik. “Terimakasih atas pencerahan Anda, Mr. Devil. Saya mohon diri.”
Namun lagi-lagi, sama mengejutkan seperti sebelumnya, sang pengacara yang masih dalam posisi postur tidur terlelap, bergumam sendiri, seolah lebih kepada dirinya sendiri, “Panggil saya BIG BOSS. Big Mama sedang tidak di rumah. Ghroooo... Big Mama, mengapa engkau tidak pernah bersedia membuatkanku sepiring spagetti dengan tuna panggang? Ghrooook...”
Di siang yang sama, kembali tiba seorang calon klien, turun dari mobil Ferarri tipe sport dengan baju terusan ketat bewarna merah modis, dan sepasang sepatu high-heel merah dengan suara langkah derapnya dari depan pekarangan kantor sang pengacara, mengetuk pintu, dan berjumpalah ia dengan sang pengacara terkenal itu yang sedang sibuk mengamati beberapa tumbuhan kaktus mini yang sedang mengeluarkan pucuk bunga dengan kaca pembesar pada bagian sudut ruangan kantor itu.
“Permisi, apakah benar di sini adalah kantor Devil Advokat?” sang tamu bertanya sembari melepaskan kacamata hitamnya dan menyibak rambut panjangnya yang seksi. Mengapa juga kalangan wanita berambut panjang suka sekali dengan sengaja menyibak rambutnya dengan tangan ketika berjumpa seseorang. Lihatlah burung merak, hanya sang jantan yang bersikap semacam itu.
Sang pengacara menoleh, dan mengamati tamu barunya itu untuk beberapa saat. “Boleh saya panggil Anda si Nona Seksi Tapi Kerempeng?”
“Terimakasih atas pujian Anda.”
“itu bukan pujian, selera Anda cukup buruk juga rupanya.”
Setelah dipersilahkan duduk tanpa basa-basi jabat tangan atau sejenisnya, keduanya saling menyepakati tarif layanan, yang bahkan sang klien memaksa untuk membayar dengan tarif yang lebih mahal, sang pengacara langsung memulainya tanpa bertele-tele.
“Langsung saja pada pokok permasalahannya, Nona Kerempeng.”
“Mengapa Anda tidak memanggil saya dengan nama Nona Seksi?”
“Kesan pertama itulah yang melekat abadi, first impression. Sayang sekali kesan itu sudah terpahat di kepala saya, kecuali Anda dapat membantu saya untuk mencuci otak orang tua ini.”
Namun sang klien hanya tertawa geli. “Anda ternyata punya selera humor yang cukup baik, Mr. Devil.”
Sang klien kemudian mengutarakan niatnya untuk mempailitkan beberapa diantara debitor-debitor-nya yang menunggak dan kredit macet. Akan tetapi sebelum sang klien benar-benar berpanjang-lebar menguraikan masalah hukumnya tentang niat untuk mengajukan pailit terhadap para debitornya serta langkah yang dapat ditempuh, sang pengacara mengajukan pertanyaan singkat berikut ini.
“Apakah Anda yakin soal rencana untuk mengajukan pailit itu, Nona, sebelum Anda berbicara lebih jauh soal kepailitan? Tanpa debitor, tidak akan ada usaha lembaga keuangan. Yang memberi makan Anda, adalah para debitor itu. Apakah tidak dapat disebut sebagai durhaka, mempailitkan kalangan debitor yang yang selama ini telah memberi Anda makan?”
Sang klien langsung saja terpancing untuk mendebat. “Apa yang Anda katakan itu betul, namun perusahaan kami bisa merugi bila ini terus dibiarkan berlangsung, dan bisa jadi preseden buruk bagi debitor nakal lainnya jika kami tidak bersikap tegas terhadap mereka dengan mengajukan pailit!
Ternyata, uraian sang klien hanya disambut oleh suara dengkur sang pengacara yang kembali tertidur di tengah sesi perdebatan yang masih jauh dari kata selesai secara tuntas itu.
“... Ghroooo... Ghrooo...”
Tentu saja, sang klien sempat ternganga mendapati seorang pengacara tertidur di depan kliennya. Baru pada kesempatan inilah, sang klien mendapati seorang pengacara yang tertidur selama melayani kliennya. Jauh dari kesan profesional. Apakah benar reputasi sang pengacara satu ini, ataukah hanya rumor belaka?
Namun itu tidak berlangsung lama, karena sang pengacara kembali bersuara tanpa menggerakkan tubuhnya dari kursi itu.
“... Itu saja yang ingin Anda sampaikan, Nona GulaManis?”
“Nama saya si Nona LegitGurih.”
“Oh rupanya itu Anda, si Nona Kerempeng, saya kira Anda si Nona GulaManis. Baiklah, jika begitu harap Anda catat ini baik-baik pada buku catatan Anda. Kini, Anda punya dua pilihan. Pertama, pailitkan debitor Anda, sementara perlu Anda ketahui, belum ada sejarahnya kreditor konkuren terlunasi lewat kepailitan. Selebihnya, ketika kepailitan dinyatakan selesai ketika kurator menerima fee kurator yang memakan sebagian besar boedel pailit harta debitor, maka Anda tidak lagi berhak untuk menagih pada sang debitor. Debitor Anda lalu menjadi bebas sepenuhnya dari segala penagihan pasca pailit. Kepailitan, hanya memakmurkan kurator. Janganlah terlampau tamak, Anda memegang agunan milik debitor yang bisa Anda eksekusi sewaktu-waktu. jadi, mengapa juga masih berniat mempailitkan? Atau, sebagai opsi kedua, Anda tidak mempailitkannya, namun Anda masih bisa menggugat wanprestasi sang debitor hingga 30 tahun ke depan tatkala sang debitor telah memiliki banyak aset dan menjadi kaya raya. Anda pilih yang mana? Hanya orang bodoh yang membakar hak tagih piutangnya lewat kepailitan. Walt Disney, kini menjadi billionaire di USA, padahal pada usia 23 tahun Walt Disney pernah jatuh pailit. Yang rugi siapa jadinya jika bukan si kreditor itu sendiri, kini tidak lagi bisa menagih piutangnya pada Walt Disney.”
Mimik wajah sang klien kini berubah sepenuhnya, menjadi terpukau dan terpana penuh kekaguman, menopang dagu wajahnya dengan kedua tangan di atas meja. “Luar Biasa, Anda memang patut dijuluki pengacara legendaris, Mr. Devil.”
“Panggil saya BIG BOSS. Big Mama bisa cemburu bila mendapati adanya Nona BibirMerah di kantor ini siang ini.... Grhoooo.... Ghrooooo...”
DEVIL ADVOCATE BIG BOSS Advocate
TAMAT To Be Continue... itu pun bila sang BIG BOSS belum benar-benar pensiun.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.