ARTIKEL HUKUM
"Nemo prudens punit, quia peccatum, sed ne peccetur.”
Seorang bijak tidak menghukum karena telah menjadi dosa, melainkan agar tidak lagi terjadi dosa.
(PLATO)
“DEVIL ADVOCATE”, demikian tertera pada papan nama sebuah kantor kecil namun tampak manis dan rapih disertai kebun bunga yang terawat apik pada halamannya, dipercantik hiasan-hiasan pada papan nama kantor hukumnya yang mempermanis tampilan eksterior kantor itu sehingga dari jarak jauh sudah lebih tampak seperti sebuah salon atau sebuah butik ketimbang sebuah kantor hukum.
Sang pemilik kantor, seorang wanita karir muda berambut tergerai panjang ditata bergelombang sekitar umur tiga puluhan, sedang sibuk menyusun bertangkai-tangkai bunga aneka jenis dan aneka warna pada pot bunga yang memenuhi setiap sudut ruangan kantornya. Kondisi interior kantor tersebut tampak hangat, rapih, berbau harum aroma teraphy, cat putih pada temboknya masih bersih seperti baru saja dicat, perabot yang mengkilat tanpa setitik pun debu dibiarkan menempel. Benar-benar kantor hukum yang jauh dari kesan “sarang penyamun”.
Mendadak pintu kantor terbuka dari arah luar, disertai bunyi denting bel lonceng yang dipasang di atas pintu sebagai penanda ada kedatangan tamu. “Haloo,” sapa seorang tamu, calon klien sang pengacara, seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun, namun dibalut oleh berbagai perhiasan dan asesoris yang hanya memberatkan mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki yang membuatnya justru tampak lebih tua daripada umur yang sebenarnya. Rambut bersanggul yang sudah ketinggalan zaman, dan kacamata berbingkai besar, tampak membuat sang calon klien tampak sedikit lucu dan menggemaskan.
“Selamat datang,” sambut sang pengacara. Suaranya merdu, mirip suara burung pipit.
“Ini kantor advokat?” tanya sang tamu memandangi seluruh isi kantor itu, terheran-heran mendapati suasana interior kantor yang sangat hangat penuh keceriaan berbagai warna dan suasananya yang juga menyerupai tempat-tempat seperti kafe.
“Emmn.. menurut Anda?” tanya balik sang pengacara, sambil tersenyum dengan lesung pipit yang menawan hati dan sepasang mata yang jenaka.
“Saya rasa saya tidak salah alamat.”
Agar sang tamu tidak kehilangan orientasi, sang pengacara segera mengulurkan tangan untuk menjabat tangan sang calon klien. “Nama saya Devil.”
“Oh, ternyata saya tiba di tempat yang benar. Nama saya Susan Si MataBelo,” sang tamu menyambut tangan sang pengacara yang bertangan kecil namun lentik dan kuku yang dicat warna merah marun. “Mengapa Anda bisa diberi nama Devil, Anda tampaknya lebih cocok bernama Angel.” (‘Angel’, dalam Bahasa Inggris tejemahan Bahasa Indonesianya menjadi ‘Malaikat’.)
“Karena saya memiliki taring,” jawab sang pengacara tanpa ragu-ragu, kini menyeringai memperlihatkan sepasang taring yang mungil dan imut manis, dipadu dengan sepasang anting bergembar Hello Kitti bewarna pink.
Sang calon klien hanya terkekeh mendapati sikap manis sang pengacara, sungguh diluar dugaan dan diluar bayangan sosok diri sang Devil Advokat yang ternama dan sudah termasyur, meski ternyata masih berusia sangat muda dan berpenampilan modis. Mereka saling berbasa-basi ringan selayaknya dua orang wanita yang baru bertemu dan berkenalan, sebelum sang pengacara mempersilahkan sang klien duduk di depan meja kerjanya.
Setelah menyepakati tarif jasa, sang klien mulai menceritakan latar belakang mengapa dirinya bisa sampai di tempat itu. “Begini Miss Devil, saya ada sebagaian pegawai yang mau saya pecat,” urai sang klien memulainya.
Namun sang pengacara segera menahannya, “Tunggu sebentar.” Sang pengacara menghidupkan sound system dari balik meja kerjanya, yang menyenandungkan nada lembut musik instrumen saxofon. “Oke, lanjutkan.”
Pada mulanya sang klien masih cukup kaget juga untuk beradaptasi dengan gaya dari pengacara eksentrik muda satu ini, namun dilanjutkannya juga ceritanya. “Ada sebagian pegawai dari perusahaan kami yang mau saya pecat, karena suka terlibat konflik pendapat dengan pihak pengurus perusahaan, sehingga para pimpinan perusahaan merasa tidak kondusif bagi operasional usaha kami. Apa bisa, mereka diberhentikan tanpa perlu kami bayar pesangon sepeser pun untuk mereka?”
“Tentu saja bisa,” sahut sang pengacara sembari memainkan ujung rambut panjangnya yang bergelombang namun tersisir rapih, namun pandangan matanya justru menerawang ke langit-langit. “Tinggal dibuat suasana kerja yang tidak nyaman buat mereka, atau dimutasi ke lain perusahaan, setelah itu setiap bulannya dimutasi ke lain daerah, agar mereka tidak betah dan tidak kerasan, maka mereka akan berhenti dari pekerjaan ini dengan sendirinya. Mengundurkan diri, tidak berhak atas pesangon. Bukan kata saya, itu kata Mahkamah Agung kita loh, berdasarkan praktik berbagai preseden yang ada.”
“Wah, itu memang ide bagus yang brilian. Ternyata Anda memang patut mendapat reputasi sebagai pengacara Top, Miss Devil,” apreasiasi sang klien memang tampak tulus, begitu antusias menyimak penuturan sang pengacara meski kelihatannya sang pengacara lebih asyik sibuk sendiri bermain-main dengan ujung rambutnya dan duduk berputar-putar di kursinya yang dapat berputar-putar.
Ada jiwa kekanakan dalam jiwa pengacara beken namun eksentrik satu ini. Konon, orang-orang jenius memiliki watak eksentrik yang membuat mereka begitu tampak berbeda dengan orang-orang dengan kecerdasan rata-rata. Mereka bahkan kadang sukar dipahami akibat kompleksitas cara mereka dalam berpikir yang sukar diterka, sehingga tak heran bila banyak orang yang salah memahami diri orang-orang jenius semacam ini, dan dipandang sebagai “nyeleneh” alias “orang aneh”.
“Oh, tunggu dulu, saya belum selesai menjelaskan,” potong sang pengacara. “Jangan senang dulu, dong. Permainan kita masih belum selesai.”
Namun lagi-lagi seolah perhatian sang pengacara terdistraksi sibuk sendiri, seolah tidak bisa fokus pada satu hal dalam satu waktu. Konon, disebutkan oleh sebuah buku, seorang wanita memiliki kemampuan unik bernama ‘multi-tasking’.
“Aduh, kuku ini butuh pedicure dan manicure... pijat siatsu juga oke biar tidak pegal-pegal,” sang pengacara berceloteh sendiri, kini hanya memerhatikan kesepuluh kuku pada jari-jari lentik tangan dan kakinya.
Sang klien dibiarkan hanya membisu dengan mulut mengaga merasa heran seolah tidak dihiraukan, Apakah betul kabar berita yang menyebutkan bahwa Devil Advokat adalah seorang pengacara “beken” yang sudah sangat termasyur itu, kini adalah sesosok gadis muda aneh yang lebih sering sibuk dengan dunianya sendiri.
“Kenapa sih, pengacara itu bajunya harus saja kemeja putih dibalut jas hitam yang membosankan dan monoton,” sang pengacara masih sibuk berceloteh dengan dirinya sendiri. “Padahal rasanya lebih keren pengacara dengan konsum cosplay ala anime dan kartun Jepang. Oh, betapa membosankannya. Apakah ada yang lebih membosankan daripada penampilan seorang pengacara? Jangan katakan aku harus mengenakan jenis baju konyol seperti ini sepanjang hidupku, sungguh menyia-nyiakan masa mudaku yang indah ini. Mungkin sesekali aku akan mencoba mengenakan daster saja.”
“... Ehem.”
“Oh, Anda masih di sini, Mrs. MataBelo. Kupikir Anda sudah merasa tidak sabar untuk membuat para buruh Anda itu memecat dirinya sendiri. Padahal ada hal yang lebih penting daripada itu. Sayang sekali Anda tidak ingin mendengarkannya, padahal saya ingin sekali menyampaikan informasi penting bagi Anda tentang buruh-buruh benalu itu.”
“Informasi penting apa itu?” tanya sang klien bersabar diri, penuh penasaran.
“Mrs. MataBelo, pandanglah para pegawai Anda sebagai calon kompetitor Anda. Bila Anda buat mereka berhenti dari pekerjaannya, bisa saja mereka membuka usaha mereka sendiri, dan menjadi kompetitor dari kerajaan bisnis monopoli Anda sekarang. Apakah itu yang benar-benar yang Anda inginkan? Sebagai contoh,... Mau permen karet? Tidak mau? Ya sudah saya makan sendiri. Emn,.. enakan rasa anggur.”
Lagi-lagi sang pengacara tidak bisa berfokus pada satu hal pada satu waktu, membuat sang klien harus menunggu beberapa waktu lamanya agar sang pengacara kembali kepada dunia nyata, namun kali ini sang klien harus segera berdeham kembali agar sang pengacara tidak berlama-lama dalam dunia fantasinya sendiri.
“.... Ehem.”
“Oh, Mrs. MataBelo. Kerongkongan Anda tampaknya sedang gatal. Jadi ingat onigiri yang kemarin saya makan, mungkin campur mayonaise lebih enak... bla bla bla...”
Apa hubungannya antara sakit tenggorokan dan onigiri, pikir sang klien. Mungkin pengacara satu ini memang sudah gila. Namun pada saat itulah, sang Devil Advokat merubah mimik wajahnya, seolah dapat membaca pikiran sang klien, dan menggebrak mejanya dengan perubahan rona wajah dan intonasi suara yang begitu mendadak dan tiba-tiba, membuat terkejut sang klien sehingga melonjak dari kursi tempatnya duduk.
“Hati-hati dengan pikiran Anda, Mrs. MataBelo!” bentakan sang pengacara membuat sang klien terkejut dengan mata terbelalak. “Saya pengacara waras, hanya saja memang agak sedikit nyentrik sih. Tadi sampai dimana ya?”
“Oh...” hanya itu sahutan yang dapat dilontarkan sang klien.
“Dengarkan, Mrs. MataBelo. Dalam kasus Lindenbaum Vs. Cohen, karyawan pabrik percetakan berpindah menjadi karyawan pabrik kompetitornya, membuat pabrik percetakan tempat si karyawan semula bekerja, menjadi merugi bisnisnya. Banyak kantor hukum membuat pegawai hukumnya merasa ingin pindah kerja dan membuka kantor hukum sendiri dengan mencuri klien dari kantor lama tempat ia bekerja. Anda apakah ingin, membuat usaha Anda merosot hanya karena semakin banyak kompetitor baru bisnis Anda?”
“Oh tidak, saya rasa itu tidak dapat dibiarkan terjadi. Kami ingin agar kerajaan bisnis kami menjadi satu-satunya perusahaan yang menguasai dan mengendalikan pasar tanpa adanya kompetitor!”
“Betul sekali, Mrs. MataBelo. Buatlah para pekerja Anda merasa berpuas diri dengan cukup menjadi seorang buruh untuk seumur hidup mereka, tanpa mau keluar dari zona nyaman mereka sebagai buruh. Jika mereka dipaksa jadi pengangguran, lalu mereka terdorong untuk survive dengan berpikir kreatif dengan membuka usaha sendiri, dengan pengalaman kerja dibidang usaha yang sama dengan perusahaan Anda, sama artinya itu menjadi ancaman potensial bagi kerajaan bisnis dan perusahaan Anda sendiri.”
“Oh, oh, tidak, itu tidak boleh terjadi! ... Tidak pernah terpikirkan oleh saya sampai sejauh itu. Sungguh suatu pencerahan yang sangat berharga dari Miss Devil.”
“Panggil saya, Angel.”
“Tadi katanya bernama Devil.”
“Saya double agent. Tergantung mana yang komisinya paling besar.”
“Oh...”
“Di kantor ini ada satu aturan. Sebelum Anda pulang dari kantor ini, kita harus foto selfie bareng-bareng dahulu. Lalu kita upload ke sosmed. Kalau Anda tidak mau, Anda sendiri yang rugi. ... Say, Cheese...!!!”
Sang klien pulang dengan perasaan puas, penuh gairah, dari semula bermuka muram bagai awan hitam bergantung di atas kepalanya. Ternyata memang benar reputasi sang Devil Advokat yang termasyur itu.
Tidak lama kemudian, datanglah klien baru, seorang pria berusia paruh baya, gemuk dan kebetulan berkepala gundul. Kepalanya yang botak tampak mengilap, seolah setiap harinya dengan begitu rajinnya disemir sampai-sampai tidak dapat kita temukan satupun kutu diatasnya. Jika seekor burung mencoba hinggap diatasnya, dapat dipastikan burung itu akan tergelincir saking licinnya.
“Selamat siang, ini kantor pengacara Devil Advokat?”
“Rasanya sih, bukan,” sahut sang pengacara tuan rumah, sembari sibuk sendiri memakai lipstik warna pink muda yang mencolok. “Ini rumah sakit, bagi yang sakit hukum. Panggil saya Devil Doctor, dokter hukum. Anda sudah tiba di tempat yang benar, tidak salah alamat. Anda butuh ICU atau UGD? Mengapa juga sih, semua orang selalu berpikir bahwa mereka salah alamat ketika tiba di kantor ini? Rasanya ingin sekali memelihara burung beo khusus untuk menjawab pertanyaan semacam itu.”
Setelah saling memperkenalkan diri dan berbasa-basi singkat, tidak lupa menyepakati tarif layanan jasa, sang klien yang bernama Benny Si PalaBotak mulai menceritakan problemtika hukum yang kini sedang dihadapi olehnya.
“Gini loh, Bu Devil.”
Namun sebelum sempat sang klien melanjutkan, sang pengacara langsung menyela dan menghardik. “Anda pikir saya ini emak-emak, ibu-ibu? Emang saya ini, Ibu Anda? Saya ini masih single, remaja manis, masih single, tapi bukan artinya gadis tidak laku, lho! Yang antri masih banyak. Jika saja bukan karena klien-klien yang selalu mengganggu saya di kantor ini, mungkin sekarang saya sedang kencan dengan kekasih impian saya. Aduuuuh, senangnya... . Ngomong-ngomong, Mr. PalaBotak membuat saya jadi teringat dengan seorang mantan pacar saya.”
Beruntung sang klien cukup memiliki selera humor, menanggapi sikap aneh sang pengacara. “Siapa, siapa mantan pacar Miss Devil?”
“Yang pasti ganteng, meski agak berbulu.”
“Berbulu?”
“Ya, Sungokong.”
Kali ini wajah sang klien mulai benar-benar bewarna pucat, sementara sang pengacara kembali dengan kebiasaan lamanya yang aneh, sibuk dengan pikirannya sendiri sembari tersenyum-senyum seraya memainkan ujung rambutnya.
“... Ehem.”
“Anda batuk? Di sini tidak jual obat batuk, sayang sekali, meski pada mulanya saya memang berkeinginan masuk jurusan kedokteran, namun ternyata tersesat menuju fakultas hukum yang isinya penuh dengan orang-orang yang patut menghukum dirinya sendiri.”
“Tidak, jadi begini. Ada seseorang preman yang menyerobot tanah milik keluarga saya. Mereka seenaknya menerobos, menguasai, dan membangun rumah di atas tanah milik kami tanpa izin dari kami selaku pemilik yang sah atas tanah itu. Ketika kami berkeberatan dan melawan, mereka justru melakukan aksi kekerasan premanisme dengan disertai berbagai aksi intimidasi perbuatan tidak menyenangkan dan teror kepada keluarga kami yang melakukan perlawanan. Karena itulah, saya datang mencari Devil Advokat untuk membantu kami menyelesaikan masalah hukum ini. Kami kini menaruh dendam kepada para preman yang sudah mengganggu hidup kami dan melakukan kekerasan fisik seperti itu.”
“Oh gitu, rupanya. Mr. PalaBotak inginnya agar para pelakunya dipenjara di sel tahanan negara atau inginnya agar mereka dipenjara di neraka selama-lamanya oleh raja neraka?”
“Tentu saja kami inginnya agar mereka dijebloskan ke negara, jika bisa.”
“Mengapa tidak bisa? Ingin saya beritahu caranya, agar mereka benar-benar bisa masuk neraka selama-lamanya?”
“Bagaimana caranya?”
“Kira-kira pencopet dan maling mana, yang paling malang, maling yang berhasil mencuri dari korbannya, ataukah maling yang selalu gagal melakukan aksi kejahatannya?”
“... Rasanya lebih mujur maling yang tidak pernah berhasil mencuri, dan yang lebih sial adalah maling yang selalu berhasil mencuri dan merugikan korbannya.”
“Yup, benar sekali. Penjahat yang beruntung adalah penjahat yang selalu gagal melakukan aksi kejahatannya. Sebaliknya, penjahat yang paling malang adalah penjahat yang bahkan korbannya membiarkan dirinya disakiti, tersakiti, dan dilukai oleh si penjahat. Itulah trik caranya mencelakai orang-orang jahat, yakni semudah menjadi korban yang pasif dan pasrah saja ketika disakiti. Tidak perlu dihindari, jika terkena tampar pada pipi kiri, maka berikanlah pipi kanan Anda untuk diberikan tamparan juga. Semakin keras tamparan itu, semakin bagus, karena artinya semakin dalam neraka tempat para berandal itu akan menjadi penghuninya.”
“Luar biasa. Tidak pernah terpikirkan oleh saya hal semacam ini. Kini saya benar-benar telah tercerahkan. Akan saya berikan mereka tiket tol jalan bebas hambatan menuju neraka. Anda adalah seorang pengacara dari neraka yang benar-benar handal, Miss Devil.”
“Panggil saya Angel.”
“Bukankah tadi nama Anda adalah Devil?”
“Saya seorang double agent.”
“Bolehkah jika saya ber-foto selfie dengan Miss Angel?”
“Rasanya tidak.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.