KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Kisah Sang DEVIL ADVOCATE, Pengacara “Beken” dari NERAKA (Bagian Pertama)

ARTIKEL HUKUM
Tidak banyak diantara kita, yang mungkin mengetahui bahwa “advocate” (Bahasa Inggris), memiliki dua makna ketika kita terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Pertama, yakni sebentuk “noun” (kata benda) yang diartikan sebagai “pengacara”. Definisi kedua ketika kita terjemahkan ke dalam bentuk “verba”, menjadi berarti “menganjurkan”. Dengan kata lain, “advocate” atau “pengacara” sejatinya adalah profesi “penganjur”, bukan “makelar” kasus, “mafia”, atau sebagainya.
Entah bagaimana, kemudian konotasinya bergeser menjadi “bersidang dan mengadili” (bersinggungan dengan lema adjudicate). Meski untuk penulis pribadi lebih menyukai kata “avocado”, alias “alpukat”—namun berhubung “tidak nyambung” dengan tema kita dalam kesempatan kali ini, maka penulis tidak akan menyinggungnya lagi, mungkin di lain kesempatan, itu pun bila ada peminatnya.
Sekarang mari kita berkenalan dengan seorang pengacara ternama, sebut saja namanya si “Devil Advocate” begitu ia sering disebut-sebut namanya, sehingga itulah yang kemudian melekat sebagai namanya secara informal. Devil Advocate pagi itu sedang sibuk menggunting bulu hidungnya yang telah memanjang, sebelum kemudian dikejutkan oleh suara seorang klien mengetuk pintu kantornya yang lusuh. Entah sudah berapa generasi lamanya pintu kaca itu tidak pernah dibersihkan. Antara sarang penyamun dan kantor advokat satu ini, sudah tidak lagi mudah untuk dibedakan.
“Ya, silahkan masuk,” Devil Advocate menyahut dan mempersilahkan. Nada suaranya manis, cenderung membuat kaum hawa terlena dan terbuai oleh warna suaranya yang merdu terdengar di telinga. “Jangan lupa menutup kembali pintunya setelah masuk, dengan menggebrak, karena itulah aturan mainnya di kantor ini.”
Setelah mempersilahkan sang tamu untuk duduk, dan berbasa-basi singkat saja, Devil Advocate langsung menyebut angka tarif untuk layanan di kantor hukumnya. Sang klien, bernama Ema Judith Buletmanis, wanita umur empat puluhan dengan tubuh mekar padat namun modis. Mereka saling bersalaman setelah sang klien menyetujui angka tarif yang disebutkan oleh sang Devil Advocate. “Deal!”
“Nah, sekarang mari kita bahas masalah Anda, Nyonya Ema yang kukasihi. Oh, seandainya aku belum punya istri, tentu pastilah Anda sudah saya ajak untuk berkencan atau mengobrol bersama di kedai kopi di sebelah kantor ini.”
Sang klien, yang semula terpana sekaligus bingung dan heran menatap lekat-lekat kartu nama yang barusan diberikan oleh Devil Advocate, karena bertuliskan “Devil Advocate, pengacara spesialis khusus untuk bajingan dan penjahat paling berandal dan paling brengsek sedunia”, kini menengadah dengan sikap terkejut tak percaya.
Namun suara sang klien seperti tercekat, sehingga tak ada satu patah kata pun yang keluar dari bibirnya yang hanya ternganga, selain bisikan lirih, “Kupikir ini kantor pengacara.”
“Oh ayolah, aku hanya bercanda untuk mencairkan suasana. Saya mendengarkan.” Devil Advocate kini menyandar pada kursi besarnya yang empuk namun sama tua dan sama dekil dengan kondisi ruang kantor itu.
“Polisi ingin menangkap saya!” tiba-tiba sang klien memekik, dan menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya dengan sikap histeris sambil merengek ketakutan. Tubuhnya gemetar dan bergejolak, seolah ingin bergelung dan meringkuk mencari tempat perlindungan untuk menyembunyikan wajahnya. Perubahan sikap dan emosi sang klien, terlampau mendadak.
Tapi untunglah, Devil Advocate sudah terbiasa dan terampil menghadapi klien semacam itu. “Jangan khawatir Nyonya Ema, ada saya, Devil Advocate. Anda tahu arti nama Devil Advocate? Sayangnya, saya sendiri sudah lupa apa arti Devil Advocate dan dari mana saya bisa memiliki nama itu. Oh, ngomong-ngomong jam tangan Anda bagus sekali. Anda beli di Paris? Berliannya sungguh tampak seperti asli. Boleh saya melihatnya?”
Sang klien terhenti tangisnya yang semula pecah, sama mendadaknya seperti ketika ia mulai bersikap histeris, kini hanya melongo heran. “Anda tidak bertanya mengapa saya hendak ditangkap polisi?”
“Jika begitu, Nyonya Ema Delima Manis, oh maafkan saya, maksud saya Nyonya Ema Judith Buletmanis, cobalah ceritakan, apa alasannya Anda akan ditangkap polisi sehingga membuat Anda masuk ke kandang harimau ini.”
“Kandang harimau?” sang klien semakin terheran-heran, seolah melihat manusia paling aneh di dunia.
“Bukankah Anda sudah tahu, semua pengacara adalah harimau? Kantor pengacara artinya kandang harimau. Kukira Anda sudah tahu. Jika begitu, lupakan saja. Anda boleh meninggalkan kantor ini sekarang jika Anda mau.”
Namun kini tampaknya keberanian sang klien untuk berbicara telah bangkit kembali. “Tidak, saya akan tetap di sini, karena saya seorang harimau juga.”
Devil Advocate menggebrak mejanya. “Aha, itu yang saya suka, bagus Nyonya Ema Buletmanis. Klien haruslah jujur pada pengacaranya. Saya tidak melayani klien yang munafik. Jika begitu, sekarang ceritakanlah. Telinga dan otak saya sudah siap untuk bertempur, mengapa polisi hendak menangkap Anda?” Benar-benar pengacara kondang yang eksentrik. Tapi memang itulah ciri khas Devil Advocate, sehingga dirinya dikenal banyak orang, tidak pernah sepi dari klien yang selalu mencari jasanya setiap saat.
“Begini,” sang klien memulai, namun dengan mimik wajah yang mulai sedikit tersipu, serta nada suara yang rendah. “Saya menipu seseorang rekan bisnis dengan membawa lari uang investasi senilai tiga miliar dollar.”
“Jika begitu mengapa Anda lari dari kejaran polisi?” tanya Devil Advocate, namun nada suaranya tidak sedikit pun menyiratkan keprihatinan.
“Apa? Apa maksud Anda? Saya ke kantor Anda, menemui Anda, justru karena masalah itu. Mengapa Anda bertanya mengapa saya lari dari polisi? itu pertanyaan bodoh macam apa?”
Kini Devil Advocate menegakkan tulang punggungnya, kemudian menyandarkan siku kedua tangannya pada meja, mendekatkan wajahnya pada sang klien sembari menyelus ujung dagunya dengan kedua jari ketika memandangi sang klien yang bagai elang sedang menyasar targetnya dengan mata yang tajam. “Anda sudah salah paham, Nyonya Buletmanis. Namun saya juga tidak salah dalam mengajukan pertanyaan, mengapa Anda harus lari dari polisi?”
“Tentu saja saya tidak ingin dipenjara!
“Jika begitu, Anda bersedia mengembalikan uang itu?”
“Tidak juga, jika saya kembalikan maka untuk apa saya mencari Anda?”
Devil Advocate kembali menggebrak meja, “Aha, saya suka klien yang berterus-terang seperti Anda. Anda telah berada di tempat yang tepat, Nyonya Ema.”
Sang klien mengambil air mineral dalam gelas plastik di atas meja sekalipun tanpa dipersilahkan oleh si pemilik kantor, dan langsung meneguknya dalam satu tegukan.
Devil Advocate melanjutkan. “Saya berani bertaruh, Anda berubah pikiran soal tidak ingin dipenjara, Nyonya Ema.”
Setelah mengelap mulutnya dengan sapu tangan, sang klien menjawab, “Maksud Anda?”
“Nyonya Ema, Anda adalah orang cerdas. Cobalah berfantasi sejenak, mengapa orang sebesar dan sekuat Setya Novanto bisa sampai terjerat hukum dan masuk penjara. Adalah hal yang mustahil, birokrat sekaliber Setya Novanto si buaya bisa dikalahkan oleh seekor cicak. Anda tahu mengapa?”
“Tidak, mengapa?”
“Karena Setya Novanto adalah orang yang cerdas, karena itu ia memilih dipenjara dan masuk penjara bukan demi money laundring, tapi ‘CUCI DOSA’.”
“Apa, cuci dosa?”
“Tampaknya Anda tidak secerdas yang saya kira, Nyonya Ema. Tapi biarlah, jika Anda benar-benar cerdas maka Anda tidak akan perlu repot-repot mencari saya. Ya, betul sekali, ‘CUCI DOSA’. Sesekali, pemilik toko pun merasa perlu untuk cuci gudang.”
Setelah berdeham sejenak dan merapihkan jasnya yang entah sudah berapa tahun dikenakan tanpa pernah dicuci ataupun disetrika, Devil Advocate melanjutkan dengan penjelasan panjang-lebar berikut.
“Bayangkan, Nyonya Ema, bayangkan dengan otak Anda yang kecil itu, Nyonya Ema. Jika katakan, katakanlah, Anda sampai bebas berkeliaran tanpa tersentuh hukum, kemana kiranya Anda akan menuju setelah kematian Anda nantinya? Lima puluh tahun lagi mungkin, dari sekarang.”
“... Saya kira saya tidak akan mungkin ke surga.”
Devil Advocate kembali menggebrak mejanya, membuat kaki mejanya makin mudah bergoyang karena rapuh terlampau sering terkena gebrak si pemilik kantor. “Itu dia, Nyonya Ema, itu yang saya maksudkan. Untunglah saya menyukai sikap keterus-terangan Anda, jika tidak maka saya akan mati kena darah tinggi saya yang kumat akhir-akhir ini. Ehrrrmn, dengarkan, jika saja nantinya Anda mati masuk neraka, contohnya saja, maka Anda akan disiksa menjadi kambing guling untuk seumur hidup Anda tersiksa di neraka. Bayangkan, Nyonya Ema, bayangkan bila saja Anda mau ditangkap polisi, lalu dijebloskan ke penjara, maka berapa lama Anda akan berada di penjara, setelah itu bebas menikmati uang itu, tanpa perlu ditakutkan lagi oleh urusan neraka?”
“Saya kira tidak lebih lama dari lima tahun.”
Devil Advocate kembali lagi dengan kebiasaan buruknya menggebrak meja. Jika bisa menjerit, tentunya meja itu sudah lari pontang-panting dibuatnya dan melarikan diri dari kantor itu. “Pas sekali, Nyonya Ema. Tidak akan lebih dari lima tahun. Tapi jangan lupa, penjara di negeri kita ini sudah kelebihan kapasitas. Apa Anda pikir kepala penjara akan membiarkan Anda berlama-lama di penjara sementara narapidana baru lainnya belum kebagian kapling di sel penjara itu?”
“Tentu saja tidak,” sang klien mulai ‘ngudeng’.
Devil Advocate mengacungkan telunjuk jarinya ke arah sang klien, membenarkan sang klien, dengan begitu menghayati diskusi mereka. “Tentu saja, Nyonya Ema, tentu saja tidak akan Anda dibiarkan berlama-lama di penjara itu, agar kepala penjara dapat berbagi tempat di sana kepada para narapidana baru. Apa yang kemudian akan terjadi?”
Devil Advocate tidak melanjutkan ucapannya, namun hanya menatap lekat-lekat sepasang mata sang klien yang mulai ‘tercerahkan’. Air mata mungkin akan menetes dari sepasang mata bulat mungil itu, sesaat lagi.
“Apa yang akan terjadi? Apa yang mungkin akan terjadi?” tanya sang klien kemudian, sudah tidak bersabar menunggu penjelasan lebih lanjut.
“Tentu saja, Nyonya Ema, tentu saja Anda akan mendapat obral remisi. Bayangkan, Nyonya Ema, tiga atau empat tahun vonis hukuman penjara untuk dosa-dosa Anda di-CUCI BERSIH, lalu Anda pun mendapat keistimewaan berupa pemotongan masa tahanan, lalu pula Anda mendapat remisi setiap tanggal 17 Agustus setiap tahunnya, plus pembebasan bersyarat jika Anda telah menjalani dua per tiga masa tahanan Anda, Nyonya Ema, tidak sampai lima tahun Anda menderita di penjara, Nyonya Ema, atau Anda lebih tetap memilih abadi terpanggang di NERAKA?”
“Oh tidak, betapa bodonya saya ini ternyata. Saya rasa saya harus memilih untuk sekarang ini juga mencari polisi agar menjebloskan saya ke penjara, tanpa ditunda-tunda lagi, sekarang juga!” sang klien dilanda antuasiasme yang berbinar-binar, seolah dirinya telah menjadi malaikat yang memperolah pancaran sinar surgawi. “Saya ingin CUCI DOSA, saya ingin masuk surga... Anda memang seorang pengacara yang hebat, Mr. Devil Advocate. Anda pasti akan saya rekomendasikan pada kawan-kawan koruptor saya lainnya.”
Devil Advocate tersenyum bangga, lalu melontarkan kalimat singkat berikut. “Kini Anda sudah tahu, mengapa saya dipanggil dengan julukan sebagai si Devil Advocate.”
Ketika sang klien merasa puas atas layanan Devil Advocate, bangkit dari kursinya yang sudah reot, memberi pelukan super erat pada Devil Advocate alih-alih menjabat tangannya, dirinya mengucap salam lalu dengan langkah tergopoh-gopoh pergi meninggalkan kantor itu agar dapat secepatnya dimasukkan ke “bui”.
“Jangan lupa menutup kembali pintunya dengan sebuah gebrakan, Nyonya Ema Bulatmanis, dan sampai berjumpa lagi di lain kesempatan.”
Sayangnya, pers maupun para jurnalis peliput berita kita tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi “di balik layar” setiap aksi maupun kisah-kisah penegakan hukum.
Beberapa waktu kemudian.
Masih di kantor yang sama, pengacara dekil eksentrik yang sama, dan pintu usang yang sama yang sudah perlu diganti. Klien baru lainnya datang berkunjung pada waktu yang tidak tepat, saat Devil Advocate sedang sibuk dengan acaranya membersihkan kotoran dari dalam lubang hidung.
“Selamat malam, saya Kurtis Kubis Kudisan. Saya mencari Mr. Devil Advocate untuk menangani masalah hukum saya.”
Setelah berjabat tangan, bertukar salam dan berbahasa-basi singkat dan setelah mempersilahkan sang klien untuk duduk, sang Devil Advocate karena telah menyepakati tarif layanannya bersama sang klien, tanpa lagi berpanjang-lebar langsung meminta sang klien untuk menceritakan masalahnya.
“Ada pembeli yang tidak membayar harga jual-beli barang-barang yang saya pasok. Saya hendak meminta bantuan Mr. Devil Advocate untuk menggugat pembeli saya itu, agar ia membayar uang yang menjadi hak saya itu.”
“Oh, Tuan Kurtis Kumisan, mengapa Anda ingin menggugat pelanggan Anda itu? Anda bilang Anda seorang pebisnis lulusan sekolah kejuruan akutansi dan sarjana ekonomi keuangan. Mengapa Anda ingin menggugat pembeli Anda?”
Sang klien mulai terheran-heran. Betulkan reputasi Devil Advocate, sang pengacara kondang ini, hanya rumor bualan belaka. Sungguh jawaban yang tidak pernah ingin didengar oleh klien manapun. “Maksud Anda, mengapa Mr. Devil Advocate mempertanyakan maksud saya untuk menggugat pembeli saya agar memberikan uang jual-beli yang merupakan hak milik saya?”
“Tuan Kurtis, saya tidak salah mengajukan pertanyaan, juga Anda tidak ada salah dengan pendengaran Anda... Dengarkan baik-baik, jika Anda ngotot ingin sekarang ini juga menggugat, dan menang, katakanlah Anda benar-benar akan dimenangkan oleh pengadilan, maka Anda akan diberikan uang oleh si tergugat, setelah itu Anda timbun menyerupai gunung uang di rekening Anda, atau Anda belikan aset tanah. Anda pikir, katakan pada saya Tuan Kurtis, jika nantinya Anda meninggal dunia seratus tahun lagi dari sekarang, meski akan menyedihkan karena perpisahan ini, maka apakah Anda akan membawa isi tabungan pada rekening Anda atau aset-aset tanah milik Anda itu, ke alam baka?”
“... Rasanya mustahil.”
Lagi-lagi, meja tak bersalah itu menjadi sasaran gebrakan Devil Advocate. Sungguh malang meja yang bernasib menjadi meja sang Devil Advocate. “BETUL SEKALI, Tuan Kurtis, Anda hanya akan meninggalkan warisan yang hanya akan membuat anak dan cucu Anda saling bertikai dan bertengkar satu sama lain memperebutkan uang dan tanah warisan peninggalan Anda.”
Sang klien hanya terhenyak tanpa komentar ataupun tanggapan. Dirinya mulai bertanya-tanya apakah ia telah salah tempat dan sedang berbicara dengan orang yang tepat.
“Tuan Kurtis, tampaknya Anda perlu belajar mengenai instrumen keuangan yang lebih canggih daripada segala obligasi yang ditawarkan pemerintah. Coba bantu jawab pertanyaan saya, Tuan Kurtis, adakah instrumen keuangan di luar sana, yang bisa Anda bawa saat Anda meninggal dunia nantinya? Saham, obligasi, tabungan, deposito, semua akan Anda tinggalkan. Tidak ada satupun yang bisa Anda bawa serta, kecuali...”
Devil Advocate berdiam dalam postur tubuh menatap lekat sang klien yang mulai berdebar menunggu penjelasan selanjutnya. Sungguh tiada pengacara yang memiliki sorot mata setajam sang Devil Advocate.
“... Kecuali hutang-piutang karma, Tuan Kutis, HUTANG-PIUTANG KARMA. Itulah yang bisa Anda tagih setelah kalian sama-sama di alam baka, Tuan Kurtis. Adakah instrumen keuangan yang lebih canggih ketimbang PIUTANG KARMA ini?”
Sang klien terdiam sejenak, namun kemudian sorot mata tercerahkan mulai membuat tubuhnya bergairah dan bergetar penuh semangat kehidupan. Bagai bangkit dari keadaan koma setelah sekian lama. “Anda benar, Mr. Devil Advocate. Sungguh aku ini bodoh sekali, mengapa tidak pernah terpikirkan oleh saya ini si sarjana ekonomi, instrumen keuangan sehabat ini, secanggih ini, yang bahkan tidak mampu ditawarkan bank dan pasar modal manapun. Anda memang seorang advokat yang hebat, Mr. Devil Advocate, tidak diragukan lagi. Anda telah memecahkan masalah yang selama ini menjadi ganjalan saya selama ini.”
Devil Advocate hanya tersenyum, sambil dengan ringannya menanggapi, “Kini Anda sudah tahu, bagaimana saya mendapat gelar nama saya itu, Devil Advocate. ... Jangan lupa untuk menutup kembali pintunya dalam satu gebrakan.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.