Jika Telinga Kita Boleh Mendengar, Mengapa Alat Perekam Tidak Boleh Mendengar dan Merekam?

ARTIKEL HUKUM
Jika Mata Kita Boleh Melihat, Indera Telinga Kita Boleh Mendengar, Otak Kita Boleh Mengingat dan Menyimpan Memori, Mengapa Alat seperti Perekam AUDIO maupun VIDEO Tidak Dibolehkan Merekamnya?
Putusan Mahkamah Agung terkait perkara pidana Baiq Nuril, kini menjadi sorotan berbagai media dan mendapat sambutan khalayak ramai berupa kritik dan celaan bagi para Hakim Agung yang bagai memutus di atas “menara gading” yang kedap suara dari suara rakyat. Seorang pengadil yang baik, seyogianya “merakyat” dan “membumi”, bukan “berjarak” dari para pencari keadilan selaku konstituennya.
Kontroversi demikian tanpa dapat dihindari, mengundang pula tantangan bagi penulis untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi dalam perkara Baiq Nuril, secara netral dan objektif, tanpa perlu mengikuti opini publik yang menyerupai arus mainstream yang bisa jadi hanya memperkeruh keadaan—juga tanpa bermaksud untuk mendiskreditkan salah satu pihak. Telaah penulis hanya untuk tujuan kajian intelektual semata, yang sah-sah saja diperdebatkan dalam rangka dialektika.
Singkat cerita, Baiq Nuril merupakan seorang guru honorer di suatu sekolahan. Sang kepala sekolah, ternyata kerap menghubungi Baiq Nuril via telepon seluler. Namun isi pembicaraan sang kepala sekolah menjurus pada urusan kisah-kisah “mesum” sang kepala sekolah. Ternyata, tanpa sepengetahuan sang kepala sekolah, Baiq Nuril merekam pembicaraan mereka tersebut, lalu kemudian menyerahkan handphone berisi data digital perekaman kepada pihak ketiga, dimana kemudian pihak ketiga tersebut menyebar-luaskannya (share) kepada publik. Jempol-mu, adalah Harimau-mu.
Terjadilah kehebohan, masyarakat geger dibuatnya. Sang kepala sekolah merasa dipermalukan harkat dan martabatnya di depan keluarga sendiri akibat aib-nya terungkap ke publik—padahal sang kepala sekolah hanya menceritakan kisah mesumnya secara privat personal dengan Baiq Nuril seorang. Itulah keberatan utama sang kepala sekolah, yang mungkin merasa “terkena tipu” (sikap Baiq Nuril seakan mengindikasikan bahwa dirinya tidak menolak untuk “suka sama suka”) dan “dieksploitasi”. Baiq Nuril dinilai tidak dapat dipercaya dan tidak dapat menjaga rahasia privasi sang kepala sekolah.
Merasa tidak terima, sang kepala sekolah bukan menuntut delik “pencemaran nama baik” pada Baiq Nuril, namun karena telah menyebarkan-luaskan konten berbau tindak asusila lewat jejaring dunia digital, sehingga Baiq Nuril didakwa berdasarkan pasal-pasal pemidanaan dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dalam tingkat Pengadilan Negeri, Baiq Nuril diputus bebas, alias dinyatakan tidak bersalah oleh Majelis Hakim. Pihak Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi, dimana kemudian Mahkamah Agung RI menganulir putusan Pengadilan Negeri, selanjutnya mengambil-alih amar putusan berupa vonis pemidanaan kurungan penjara selama beberapa bulan serta denda sejumlah Rp. 500.000.000;-. Seolah menjadi antiklimaks, ketika permohonan Peninjauan Kembali Baiq Nuril pun tetap dimentahkan Mahkamah Agung RI sehingga Baiq Nuril berstatus sebagai narapidana yang dinyatakan bersalah secara hukum secara berkekuatan hukum tetap.
Sampai disitu, kita merasa adanya semacam “moral hazard” dibalik pendirian Mahkamah Agung RI. Hakim Agung yang memeriksa dan memutus, dinilai tidak memiliki “hati nurani”, tidak membuka mata terhadap fakta empirik sosiologis berupa status Baiq Nuril adalah guru honorer yang diangkat oleh sang kepala sekolah yang menjadi pihak pelapor, dimana terdapat ketimpangan relasi kekuasaan sebagai latar belakangnya. Setidaknya, demikianlah sebagian besar para “pakar” hukum kita berkomentar.
Namun yang luput dari pengamatan publik dan para kritikus tersebut ialah, komunikasi dua arah antara “empat mata” bersifat privat dan hak-hak privasi demikian perlu dihargai serta dihormati sepanjang tidak terdapat unsur pelanggaran terhadap hukum di dalamnya. Apakah perilaku seperti menceritakan kisah mesum pribadi sang kepala sekolah kepada Baiq Nuril dan menggodanya untuk berhubungan intim, merupakan sebentuk tidak pidana? itu hanyalah sebatas tindakan tidak bermoral yang ditampilkan secara tidak patut oleh seorang atasan dari sang guru honorer.
Sang kepala sekolah tidak dapat dimaknai memaksa sang guru honorer untuk meladeni “nafsu bejat” sang kepala sekolah yang mengumbar kisah mesum pribadinya dengan harapan agar Baiq Nuril terjerat dalam hubungan asmara terlarang dengan sang kepala sekolah. Ketika masuk dalam tahap pemaksaan seperti ancaman nyata, teror, hingga pemerkosaan, itu barulah dapat disebut sebagai bentuk pemaksaan nyata. Sejatinya, Baiq Nuril dapat berhenti atau mengundurkan diri dari statusnya sebagai guru honorer agar tidak lagi terlibat dengan sang kepala sekolah “mesum”, atau semudah memblokir nomor telepon sang kepala sekolah agar tidak lagi dapat mengganggu dirinya atau secara halus menolak dan segera mengakhiri perbincangan bermuatan konten tidak pastas demikian—bukan justru berlarut-larut dan menarik-ulur.
Namun apa yang kemudian terjadi? Alih-alih menolak secara tegas ataupun secara halus, Baiq Nuril justru seolah pasrah dan bersedia berpanjang-lebar meladeni sang kepala sekolah, mendengarkan penuh kesabaran dan menerima apa semua lontaran kisah-kisah mesum pribadi sang kepala sekolah. Baiq Nuril tidak mempertunjukkan ketidak-sukaan ataupun penolakannya, secara tersurat maupun secara tersirat.
Karena tidak mendapat reaksi penolakan, sang kepala sekolah menggangap hubungan diantara mereka menjelma “sama-sama suka” dan dapat “lanjut terus”, karena itulah sang kepala sekolah menaruh kepercayaan pada Baiq Nuril untuk diperdengarkan kisah rahasia asmara “buah terlarang” sang kepala sekolah. Namun ternyata, Baiq Nuril dianggap telah menyalah-gunakan kepercayaan yang diberikan oleh sang kepala sekolah, dengan melanggar hak-hak privasinya dengan merekam dan menyebarnya kepada pihak ketiga. Sang kepala sekolah merasa bahwa dirinya telah DIJEBAK dan TERJEBAK. Untuk itulah, sampai taraf tertentu, upaya pembalasan “dendam” oleh sang kepala sekolah dapat dimaklumi.
Dalam bagian selanjutnya penulis akan menerangkan bahwa kegiatan “merekam” bukanlah sebentuk perbuatan ilegal. Namun saat kini secara urgen penulis perlu meluruskan sesuatu hal yang mendesak untuk kita mulai pahami bersama secara lebih holistik dalam menyikapi fenomena praktik peradilan terkait Baiq Nuril.
Jika saja Baiq Nuril bersikap sedikit lebih arif dan lebih bijak, dengan cara melaporkan perilaku penyalah-gunaan kekuasaan dominan sang kepala sekolah untuk menggoda guru honorernya dengan menceritakan kisah-kisah mesum yang tidak patut, kepada pihak menteri pendidikan ataupun kepada komisi pengawas sekolah (atau isitlah sejenis), agar sang kepala sekolah mendapat sanksi secara administrasi dan tertib kepegawaian, tanpa perlu terlebih dahulu mengungkap bukti rekaman, maka hal tersebut merupakan cara yang paling rasional untuk ditempuh.
Jikalau pun kemudian sang kepala sekolah merasa tersinggung, dan melaporkan “pencemaran nama baik” kepada pihak berwajib, barulah Baiq Nuril dapat melakukan upaya pembelaan diri berupa membuka alat bukti tak terbantahkan berupa fakta keberadaan rekaman pembicaraan dimaksud yang sebelumnya telah direkam oleh Baiq Nuril. Delik “pencemaran nama baik” tidak dapat menjerat tersangka bila ternyata tuduhan dapat dibuktikan kebenarannya oleh pihak Baiq Nuril selaku penuduh.
Pada saat itulah data hasil rekaman yang dilakukan oleh Baiq Nuril menjadi mendapat status sebagai “legal” secara retroaktif, dan Baiq Nuril tidak akan dipermasalahkan oleh hukum akibat merekam dan memiliki rekaman demikian, semata sebagai alat untuk melakukan pembelaan dan perlindungan diri, meski pada akhirnya saat proses pembelaan berlangsung, alat bukti berupa rekaman demikian terbuka di persidangan dan menjadi “santapan” publik pengunjung sidang maupun peliput pers. Pembelaan diri menjadi alasan pembenar sekaligus sebagai alasan pemaaf yang dibenarkan oleh asas hukum pidana.
Namun, ketika Baiq Nuril tidak pernah mempertunjukkan sikap ketidak-sukaan ataupun penolakan dalam bentuk apapun, sehingga sang kepala sekolah semakin tergoda untuk melakukan “PDKT” alias pendekatan lewat hubungan telepon yang mesra menjurus aksi mesum, namun kemudian alih-alih melaporkan perilaku sang kepala sekolah pada pihak otoritas yang berwenang menindak oknum pejabat sekolah demikian, justru men-share-nya kepada pihak ketiga, dimana kemudian pihak ketiga mem-publish-nya kepada publik, maka terang terdapat unsur “jebakan” dan bahkan dapat disinyalir adanya faktor “pemerasan” oleh Baiq Nuril itu sendiri.
Yang patut kita pertanyakan, apa motif dibalik sikap patuh dan penuh penerimaan sang guru honorer meladeni ulah sang kepala sekolah, dengan demikian sabarnya mendengarkan, namun kemudian justru menyebarkan rekaman cerita mesum sang kepala sekolah yang berhasil direkamnya kepada pihak ketiga alih-alih melaporkan perilaku sang kepala sekolah kepada pihak yang berwenang menindak sang pejabat sekolah? Apa juga yang menjadi maksud serta tujuan Baiq Nuril menyerahkan perangkat telepon genggamnya yang berisi data rekaman demikian kepada pihak ketiga tersebut?
Terdapat dua skenario yang mungkin dapat terjadi: Pertama, Baiq Nuril mengungkap keberadaan rekaman tersebut saat dirinya masih berstatus sebagai guru honorer, maka dapat diasumsikan bahwa “pemerasan” oleh Baiq Nuril telah gagal, atau; Kedua, Baiq Nuril mengungkap keberadaan rekaman ketika dirinya telah berhenti sebagai seorang guru honorer, maka perilaku demikian menyerupai sebuah “jebakan” yang penuh jebakan.
Opini penulis hanyalah berangkat dari asumsi, mengingat penulis tidak memiliki “mata dewa” untuk mengetahui seluruh fakta empirik, sehingga opini di atas jauh dari kata sempurna sehingga tidak dimaksudkan untuk menghakimi, dan bisa jadi keliru sepenuhnya atau melenceng dari fakta sebenarnya. Untuk itu penulis perlu menyatakan bahwa keseluruh uraian di atas dilandasi oleh asumsi penulis pribadi belaka, tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
Kini, marilah kita asumsikan sebaliknya, bahwa Baiq Nuril murni tidak bersalah, bersih, dan merupakan “korban” dari perilaku “bejat” sang kepala sekolah yang melaporkannya kepada pihak berwajib sehingga menjurus upaya kriminalisasi bermuara pada “tragedi” kemanusiaan di tangan Mahkamah Agung.
Sang kepala sekolah menyadari betul bahwa Baiq Nuril tidak dapat menolak mendengarkan panjang-lebar kisah mesum sang kepala sekolah, karena secara politis dirinya terikat dalam relasi status yang timpang tanpa terhindarkan. Begitupula mungkin saja Baiq Nuril telah mencoba melaporkan melalui koridor jalur resmi kepada otoritas sekolah, namun tidak mendapat respon sebagaimana mestinya, sehingga sebagai pembalasan terhadap pelecehan sang kepala sekolah, maka sebagai titik kulminasinya, Baiq Nuril mengungkap “wajah asli” sang kepala sekolah, agar tidak lagi jatuh korban-korban serupa dikemudian hari dari sang kepala sekolah, si “predator”.
Mana pun benar, tidak menjadi relevan dalam kesempatan bahasan kali ini. Fokus bahasan dalam kesempatan kali ini penulis akan menyinggung perihal hak untuk merekam isi pembicaraan ataupun untuk merekam video suatu perbincangan atau percakapan. Bila kita melakukan “penyadapan” tanpa hak, barulah itu melanggar hukum, mengingat bukanlah kita yang terlibat dalam suatu percakapan yang disadap demikian. Penyadapan, seringkali terjadi tanpa sepengetahuan para pihak yang saling bercakap-cakap. Menyadap adalah aksi merekam, namun tidak semua rekaman adalah hasil dari penyadapan.
Akan halnya menjadi berbeda tatkala diri kita menjadi salah satu partisipan dalam suatu percakapan. Bilamana kita menjadi salah satu anggota dalam suatu forum percakapan, baik empat mata maupun lebih, kita memiliki indera pendengaran, indera penglihatan, serta memori ingatan di otak yang merekam semua aktivitas tersebut, tanpa ada yang dikecualikan.
Bila indera penglihatan kita boleh melihat, bila indera pendengaran kita boleh mendengarkan, serta otak kita boleh merekamnya dalam sebentuk memori, maka yang cukup relevan menjadi pertanyaan bagi kita bersama ialah: Mengapa sebuah alat perekam dilarang untuk merekam audio maupun video, sementara si pihak perekam menjadi salah satu audiens dalam percakapan demikian?
Bila mata maupun telinga kita tidak bisa dilarang untuk “diam-diam” melihat maupun mendengar, dan memori ingatan otak kita tidak dapat dilarang untuk “diam-diam” merekam perbincangan demikian, maka mengapa sebuah alat perekam dilarang untuk “diam-diam” merekam baik secara audio maupun secara video?
Bukanlah sebuah kegiatan ilegal bila panca indera maupun daya otak kita untuk mengingat, untuk mampu menangkap penglihatan, pendengaran, maupun untuk merekamnya dalam sistem otak kita. Sama halnya, bukanlah sebuah kegiatan ilegal bila sebuah alat perekam audio maupun video turut merekamnya pula—sebagai alat bukti saat suatu ketika dibutuhkan dalam rangka pembelaan diri (bukan untuk tujuan lainnya).
Bila seseorang berdalih bahwa dirinya tidak bersedia direkam, baik secara audio maupun secara video, maka dirinya cukup membisu tanpa berbicara dan tanpa melakukan aksi apapun terhadap orang lain yang bisa melihat, mendengar, dan merekamnya dalam ingatan memori otak lawan bicara.
Sebaliknya, bila seseorang mengetahui adanya keberadaan diri kita, atau bahkan mengajak kita berbincang, sementara diketahui olehnya bahwa seseorang tersebut tidaklah tuli dan tidak buta, juga tidak pikun, maka sama artinya dirinya bersedia untuk direkam oleh indera penglihatan serta pendengaran kita, bahkan disimpan dalam memori di otak kita—yang sama artinya pula telah siap bila ternyata kesemua yang dilontarkan olehnya direkam baik oleh rekaman audio maupun video.
Sebagai contoh, kerap dijumpai pemberitaan dimana oknum petugas Brimob maupun Tentara Nasional Indonesia yang melakukan aksi kekerasan kepada warga, terekam oleh jurnalis yang meliput, lewat kamera foto maupun video, kemudian diunggah ke media sosial (medsos) maupun mengisi rubrik pemberitaan di surat kabar. Apakah artinya perbuatan sang jurnalis maupun citizen journalistic demikian, adalah perbuatan ilegal? Justru tanpa alat bukti rekaman video maupun potret yang berhasil didokumentasikan tersebut, tuduhan bahwa oknum militer melakukan kekerasan fisik terhadap rakyat, dapat menjurus kriminalisasi fitnah atau pencemaran nama baik.
Fokus bahasan kedua yang hendak penulis kemukakan ialah, tidak dipungkirinya bahwa jamak terdapat putusan-putusan Mahkamah Agung RI belakangan ini yang sangat ambigu, absurd, serta tumpang-tindih antar putusan sehingga menjelma penuh disparitas antar putusan dengan corak perkara serupa.
Hal demikian terjadi saat Ketua Mahkamah Agung RI menerapkan sistem “kejar setoran”, menghabiskan tunggakan perkara untuk diputus dari tahun sebelumnya, dan demi mencetak “prestasi” memutus terbanyak dalam setahunnya sepanjang sejarah, dan demi mencetak putusan “sebanyak-banyaknya” tanpa mendahulukan kualitas, namun semata kuantitas. Dalam ranah putus-memutus, antara kuantitas dan kualitas tidak dapat berjalan paralel. Harus ada salah satunya yang diprioritaskan, sementara satu lainnya dikorbankan.
Dalam laporan tahunannya, Ketua Mahkamah Agung RI demikian berbangga diri bahwa prestasi mencetak putusan Mahkamah Agung RI kini terbilang sangat tinggi ketimbang masa-masa kepemimpinan Ketua MA RI sebelumnya. Pada titik itulah, petaka yang terbit dari praktik peradilan, mulai mendapat momentumnya. Penulis dapat membuktikan tuduhan demikian, bila Mahkamah Agung RI merasa tersinggung atas uraian ini.
Tanpa bersikap kreatif yang mana untuk “mengerem” laju pertumbuhan permohonan upaya hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali yang kian tahun kian membanjiri Mahkamah Agung RI, seperti menerapkan sistem kekuatan mengikat preseden menjadi “binding force” sebagaimana yang kini diterapkan oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung di Belanda), agar para pengacara berhenti berspekulasi dengan mengajukan upaya hukum Kasasi ataupun Peninjauan Kembali secara irasional, Mahkamah Agung RI justru ternyata lebih mengedepankan cara-cara pragmatis seperti mengejar “setoran” putusan—dan itulah barometer yang dibuat sendiri oleh Mahkamah Agung RI sebagai indikator “prestasi” lembaga mereka. Kasus Baiq Nuril inikah yang disebut sebagai “prestasi”? Cacat-cela, mewarnai berbagai putusan Mahkamah Agung kontemporer.
Kasus “tragedi” Baiq Nuril bisa jadi merupakan akibat kebijakan Ketua Mahkamah Agung RI yang kejar target “kuantitas” putusan, bukan “kualitas”. Dalam setahun, Mahkamah Agung dibanjiri belasan ribu perkara permohonan Kasasi maupun Peninjauan Kembali yang masuk ke Mahkamah Agung untuk diperiksa dan diputus—dengan tren fenomena kian naik jumlah perkara setiap tahunnya. Sementara, jumlah Hakim Agung hanyalah sejumlah 60 orang.
Anggaplah dalam satu tahun masuk 10.000 perkara baru (faktanya kini hampir mencapai 20.000 dalam setahun). Dalam satu majelis, terdiri dari 3 orang hakim. Artinya, dalam satu waktu hanya terdapat 20 Majelis Hakim Agung untuk memeriksa dan memutus yang menjadi ujung tombak Mahkamah Agung dalam mencetak putusan. Dalam 1 tahun terdiri dari 365 hari (itu pun bila hari sabtu dan minggu kita asumsikan dihitung sebagai hari kerja). Artinya, dalam satu hari 1 Majelis Hakim Agung harus memutus sebanyak = 10.000 : 365 : 20 = 1,37 perkara.
Bandingkan dengan proses persidangan di Pengadilan Negeri, dimana satu perkara dapat memakan waktu hingga hampir satu tahun lamanya untuk diperiksa dan diputus, mungkinkah tempo waktu bagi 1 Majelis Hakim Agung untuk memutus 1,37 perkara untuk setiap harinya, mampu menghadirkan rona putusan yang betul-betul ideal dan tepat sasaran tanpa cela dan tanpa cacat fatal?
Terkadang, jumlah alat bukti dalam satu register perkara demikian masif, yang membutuhkan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu untuk ditelaah secara teliti dan cermat, belum lagi waktu untuk “mencernanya”, untuk kemudian dikaitkan dengan alat-alat bukti lainnya, belum lagi berbicara perihal riset regulasi.
Namun ketika dalam 1 hari diharapkan mampu memeriksa seluruh dalil dalam gugatan, bantahan, dokumen bukti, salinan putusan Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi, hingga membuat kesimpulan dan amar putusan setelah menentukan pertimbangan hukum, adalah suatu target yang bisa jadi akan membuat upaya Pengadilan Negeri menggelar sidang yang panjang dan berliku meletihkan, tampak seolah tiada artinya sama sekali dan menjadi mubazir tatkala begitu mudahnya dianulir oleh Mahkamah Agung Ri yang justru memutus secara terkesan demikian “terburu-buru”, sehingga sikap gegabah tidak dapat dihindari saat membuat putusan, alias penuh kecerobohan.
Putusan inkracht yang “prematur”, tercemin dari pertimbangan hukum yang ambigu, “kering”, serta melenceng dari pokok masalah. Kalangan akademisi pun sepakat, kualitas pertimbangan hukum Mahkamah Agung RI saat kini saat memutus perkara, sangatlah “kering” dan ‘miskin”. Dari segi kualitas, Mahkamah Agung RI saat kini justru merosot dari wajah Mahkamah Agung RI generasi kepemimpinan sebelumnya.
Sikap Mahkamah Agung RI yang bersikap “terburu-buru” dalam memeriksa dan memutus, seakan manafikan usaha keras Pengadilan Negeri saat menggelar sidang, dengan menganulir putusan Pengadilan Negeri dan menggantikannya dengan amar putusan yang belum tentu telah meninjau seluruh alat bukti maupun dalil-dalil hukum secara utuh sebagaimana telaah holistik Majelis Hakim Pengadilan Negeri.
Untuk apa semua upaya Pengadilan Negeri menggelar persidangan yang panjang dan meletihkan, bila dengan semudah dan sesingkat itu Mahkamah Agung RI memutar-balik semua konstruksi secara demikian prematur? Bahkan penulis pernah mendapati putusan kasasi yang menyatakan jual-beli tanah secara “dibawah tangan” (melanggar asas “terang” hukum agraria) adalah sah secara hukum—mengakibatkan klien dari penulis dirugikan secara vulgar oleh putusan yang korup demikian.
Baik pihak pihak pelapor, penyidik, maupun pihak jaksa penuntut umum, cukup cerdas untuk tidak mendakwa Baiq Nuril dengan pasal delik “pencemaran nama baik”. Mencemarkan nama baik haruslah berisi kandungan “fitnah”. Jika tidak tidak terbukti mengandung muatan fitnah, semisal benar-benar hendak dieksploitasi secara seksuil, maka merekam perbuatan tidak senonoh demikian bukanlah suatu fitnah—namun semata sebagai alat bukti untuk membela diri.
Sebagai contoh, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap dan menjerat koruptor berkat alat bukti rekaman suara perbincangan modus korupsi sang pelaku (lewat menyadap, karena penyidik KPK bukanlah salah satu audiens dalam forum diskusi para koruptor saat menyusun rencana dan melancarkan aksi korupnya), KPK tidak dapat disebut sebagai mencemarkan nama baik, karena isi rekamannya berisi fakta.
Contoh lainnya, seorang pejabat hendak memeras seorang pelaku usaha yang minta izin usaha, ternyata aksinya direkam dan di-publish ke publik, hal demikian itu sah saja, karena yang mencemarkan nama si pejabat ialah ulah perilaku sang pejabat itu sendiri. Ketika si pejabat mencoba melaporkan, sama artinya si pejabat itu sendiri yang hendak turut dipenjara karena secara tidak langsung mengakui telah melakukan aksi memeras (kolusi). KPK ungkap peristiwa korupsi, apa yang KPK lakukan juga membuat malu istri dan anak si pelaku yang tertangkap.
Satu hal yang pasti, kita tidak perlu perdebatkan yang menjerat atau dijeratkan pada terdakwa adalah pencemaran nama baik ataupun menyiarkan berita yang mengandung konten asusila. Semua berita terjadinya korupsi juga bersifat asusila (apakah ada korupsi yang tidak melanggar kesusilaan?).
Sebagai contoh lainnya, duhulu prenah diberitakan seorang artis Korea karena mabuk akibat meminum minuman beralkohol, melepas busana di depan publik. Pers kemudian meliputnya, mengakibatkan seluruh kontrak pembuatan iklan dan film sang aktor, dibatalkan pihak produser. Apakah bisa dipidana pers yang meliput aksi “membuat malu diri sendiri” sang artis Korea?
Terhadap perilaku yang sejatinya mencemarkan nama sendiri, maka bukanlah masyarakat yang harus dipersalahkan karena melihat, merekam, ataupun menyebar-luaskannya—kecuali, kontennya bernuansa privat personal dua arah (empat mata) karena mengandung unsur privasi dimana dirinya memberi kepercayaan untuk membuka tentang dirinya agar dijaga kerahasiannya, serta tanpa adanya unsur “jebakan” maupun “pemerasan” barang setitik pun. Telaah dahulu seluruh duduk perkaranya, sebelum kita membuat kesimpulan secara gegabah ataupun terlampau prematur.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.