Istilah Politis yang Paling KONYOL Sepanjang Sejarah, Sudah Selesai dengan Dirinya Sendiri (artinya Meninggal)

ARTIKEL HUKUM
Saat Panitia Seleksi (Pansel) calon pimpinan baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai bekerja menyeleksi ratusan calon yang mendaftarkan dirinya sebagai calon pimpinan KPK, baik dari Pansel maupun ketua wadah perhimpunan pegawai KPK, menyatakan bahwa : “Yang layak dan pantas menjadi pimpinan KPK, adalah ia yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.”
Sudah selesai dengan dirinya sendiri? Namun, apakah hanya pimpinan KPK yang harus “sudah selesai dengan dirinya sendiri?” Apakah artinya para anggota Pansel juga harus “sudah selesai dengan dirinya sendiri”? Jika setiap anggota Pansel memang “sudah selesai dengan dirinya sendiri”, mengapa tidak anggota Pansel itu sendiri yang mencalonkan dirinya sendiri untuk menduduki posisi pimpinan KPK?
Jika pimpinan KPK dituntut oleh para karyawan KPK untuk “sudah selesai dengan dirinya sendiri”, maka apakah artinya para “buruh” KPK boleh “masih bermasalah dengan dirinya sendiri”? Bagaimana mungkin sebuah istitusi dapat berjalan sehat bila pucuk pimpinan “bersih” (gagang sapu) namun para ujung tombak staf eksekutornya (pada bagian sapu ijuk sapunya) ternyata “kotor”? Sapu kotor justru hanya memperkeruh kekotoran yang sudah kotor. Bukanlah kondisi gagang dari kain pel yang perlu dipastikan kebersihannya, namun pada bagian kain pel itu sendiri yang paling terpenting—sehingga justru, tuntutan kepala himpunan wadah pegawai KPK semestinya dialamatkan kepada dirinya sendiri.
Bahasan dalam artikel singkat ini tidak akan menyoroti banyaknya para petinggi institusi POLRI mendaftarkan diri sebagai calon KPK yang bahkan tidak “kompeten” membenahi korupsi institusi lembagannya sendiri (kepolisian), maupun para calon yang berumur telah memasuki usia pensiun sehingga ditengarai hanya “mencari-cari uang jajan” dengan mendaftarkan dirinya sebagai calon pimpinan KPK.
Yang ingin penulis sampaikan, ialah kejanggalan terhadap peristilahan “sudah selesai dengan dirinya sendiri”. Sudah selesai dengan dirinya sendiri? Lantas apa bedanya dengan seseorang yang sudah “mati” terbujur kaku dan diam seribu bahasa, jika demikian? Seseorang yang telah terbujur kaku menjadi “mayat” di liang kubur, itulah definisi yang paling cocok terhadap kriteria “sudah selesai dengan dirinya sendiri”. Bagaimana mungkin seorang mayat diharapkan dapat menjadi pimpinan KPK dan diandalkan untuk “melibas” para koruptor?
Hanya seorang mayat yang tidak lagi punya masalah dalam hidupnya, tidak akan lagi berteriak maupun menjerit, karena dirinya (si mayat) telah selesai dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, dari seluruh calon yang mendaftarkan diri dan mengikuti proses seleksi calon pimpinan KPK, tidak ada satupun dari mereka yang mampu menyaingi kriteria sempurna seorang “mayat”, yang notabene “sudah selesai dengan dirinya sendiri”.
Jika Anda meragukan pernyataan penulis, cobalah Anda tanyakan kepada diri Anda sendiri, “apa lagi masalah dari seorang mayat?” Dengan kata lain, jelas bahwa seorang mayat telah selesai dengan dirinya sendiri, bahkan juga telah selesai dengan dunia ini, sehingga calon pimpinan yang sudah “tidak duniawi” ini-lah, sosok calon yang paling tepat menempati kursi jabatan pimpinan KPK.
Artikel ini bukanlah lelocon tidak lucu ataupun dagelan, tapi lebih menyerupai sebuah ironi-satiris yang mengingatkan kita betapa semakin hari semakin kerap dijumpai peristilahan yang yang rancu, ambigu, dan sekaligus kontraproduktif. Merasa tidak habis pikir, maka penulis terpanggil untuk bertanya-tanya, apakah Pansel maupun sang ketua perhimpunan pegawai KPK tersebut sedang memperolok diri mereka sendiri?
Kita selaku warga negara sipil, boleh saja menuntut seorang kepala negara agar memiliki karakter se-ideal mungkin. Sedikit saja menunjukkan cacat cela, akan dapat menjadi “bulan-bulanan” para netizen maupun komentator. Namun kita harus ingat, komentator hanya lebih cerdas dalam mengomentari para pemain, namun ia sendiri bukanlah seorang pemain yang akan mendapat lebih sedikit komentar “miring” jika ia sendiri yang menjadi pemainnya.
Akan tetapi yang paling terpenting ialah menjadi seorang warga negara yang baik dan patuh serta taat terhadap hukum. Lihat saja Indonesia, pemimpin / kepala negaranya silih-berganti, dimana-mana masing dari mereka selama ini digadang-gadang sebagai calon-calon pemimpin bangsa terbaik alias anak bangsa pilihan terbaik. Namun, lihatlah kemajuan seperti apa yang dimiliki oleh Indonesia? Mungkin saja presidennya baik dan telah bekerja keras, namun bila warga negaranya sendiri hanya memiliki mesin performa tenaga “keledai”, janganlah mengharap bangsa ini berlari dengan performa seekor “kuda mustang” yang melaju secepat laju terpedo yang mampu mengangkasa dan menebus awan.
Belum selesai seperti apakah seorang tokoh “besar” bernaam Setya Novanto dengan dirinya sendiri? Setya Novanto telah menapaki puncak pencapaian karir tertinggi bergensi sebagai Ketua Parlemen di Lembaga Legislatif, kaya raya (lebih dari berkecukupan secara ekonomi), lebih dari cukup dari segi pergaulan sosial dan relasi, menjadi ketua dari sebuah Partai Politik senior, sehingga patut menjadi pertanyaan bagi kita bersama, apanya lagi yang kurang dari seorang Setya Novanto untuk memenuhi kriteria sebagaimana disyaratkan oleh Pansel dan Ketua Wadah Perhimpunan Pegawai KPK untuk mencalonkan dan dipilih sebagai salah seorang pimpinan KPK?
Banyak manusia-manusia idealis, yang sayangnya sangat miskin dari segi kemampuan finansial. Apakah salah, bila mereka mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK? Apakah miskin adalah sebuah “kejahatan” ataupun “aib”? Sejak kapankah kemiskinan adalah sebuah “dosa” yang harus diberantas? Yang juga cukup disayangkan, negeri ini tidak memiliki KPKs (Komisi Pemberantasan KEMISKINAN).
Ketika misalkan Pansel membuat kriteria persyaratan “sudah selesai dengan dirinya sendiri” bagi seorang calon pimpinan KPK yang mendaftarkan dirinya, artinya hal tersebut telah seketika menyeleksi dan (secara prematur) menggugurkan para pelamar idealis yang hanya saja sayangnya berlatar belakang ekonomi yang kurang ideal (tidak ada manusia yang sempurna, cacat sang calon hanyalah “miskin” secara ekonomi). Gugur dan digugurkan hanya karena berlatar-belakang ekonomi kurang mampu, sekalipun sang calon pelamar sangat mampu untuk memberantas korupsi? Mengutip pendapat Mao Tze Tung, tidak penting apakah itu kucing putih ataukah kucing hitam (warna kulit), yang terpenting (kucing tersebut) dapat menangkap tikus.
Ketika kita menuntut sang calon harus “sudah selesai dengan dirinya sendiri”, sama artinya sang calon dituntut untuk bersikap subjektif, alih-alih objektif. Setya Novanto tidak merasa dirinya telah cukup dari segi kekuasaan (sebelum ia menguasi kerajaan surga langit dan bumi serta menjadi raja neraka), belum cukup dari segi harta kekayaan sehingga masih lapar memakan dan merampok hak-hak rakyat, belum cukup dari segi kepopuleran dan ketenaran, namun pastilah Pansel akan melihat harta kekayaan Setya Novanto sebagai sudah cukup dengan aspek finansial, jabatan Setya Novanto sebagai Ketua Legislatif sehingga cukup dari segi kekuasaan, dan sudah cukup dari segi aspek relasi dan jejaring dunia pergaulan.
Tidak terbayangkan ketika kelima pimpinan KPK baru terpilih dituntut untuk berperilaku layaknya seorang “mayat” yang terbujur kaku di peti jenazah hanya demi memuaskan keinginan Pansel maupun para pegawai lembaga KPK agar “sudah selesai dengan dirinya sendiri”. Ketika kita menuntut orang lain berperilaku jujur, maka kita sendiri yang terlebih dahulu menuntut diri kita sendiri untuk berperilaku jujur tanpa cela. Mungkinkah Pansel akan membedah tubuh (otopsi) sang mayat, demi menemukan diri sang mayat tidak benar-benar “sudah selesai dengan dirinya sendiri”?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.