Istilah Hukum Paling Konyol Sepanjang Sejarah, SUCCESS FEE Pengacara

ARTIKEL HUKUM
Istilah “Success Fee” sangat lekat pada profesi Debt Collector maupun kaum profesi ke-pengacara-an. Namun, ternyata terdapat perbedaan secara demikian kontras, antara terminologi “success fee” kaum Debt Collector terhadap makna “success fee” sebagaimana dalam perspektif berpikir kalangan Advokat. Untuk itu, dalam kesempatan yang berharga ini, penulis akan mengupas secara lugas betapa anehnya terminologi “success fee” yang selama ini selalu diminta oleh kalangan Pengacara dari para klien mereka.
Bila seorang Debt Collector ketika mengharap mendapat “success fee”, maka mereka harus terlebih dahulu mendapat objek barang kredit yang ditunggak cicilan atau pelunasannya oleh sang debitor “kredit macet”. Bila dalam satu hari itu, sang Debt Collector gagal menarik satu pun objek kendaraan kredit, maka ia sama sekali tidak mendapat penghasilan apapun untuk dibawa pulang, karena seorang Debt Collector hanya mengenal satu jenis tarif jasa, yakni “success fee” itu sendiri, diluar itu tiada tarif lainnya. Bahkan ongkos bensin pun ditanggung olehnya sendiri.
Berbeda dengan kalangan Debt Collector, seorang Pengacara (lawyer, atau juga sering disebut dengan julukan “beken” sebagai Advokat) sebelum mulai bekerja saja sudah menerima tarif, berupa “lawyering fee”. Ketika bersidang dan beracara di pengadilan, dibebankan pula klien dengan “reimburstment cost / payment” semisal ongkos bensin mobil sang pengacara, hingga “success fee” ketika sang pengacara berhasil memenangkan gugatan mewakili sang klien di persidangan Pengadilan Negeri—soal apakah nantinya putusan Pengadilan Negeri itu justru akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi, urusan lain.
Jika perlu, meminta “success fee” dari mulai tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga tingkat kasasi, atau bila perlu juga meminta “success fee” untuk tingkat Peninjauan Kembali—alias empat kali “success fee”. Itulah sebabnya, sering terdapat lontaran pernyataan sinisme kalangan umum, bahwa menggugat lewat jasa pengacara sama artinya “hilang kambing justru akan kehilangan sapi juga”.
Tuduhan demikian bukanlah mitos, namun benar-benar dialami mereka yang pernah menggunakan jasa pengacara, seolah-olah bersidang tidak dapat dilakukan sendiri dan seolah-olah akses terhadap peradilan hanya menjadi monopoli kaum Pengacara—meski senyatanya tidak seperti itu. Tidak ada cara yang lebih efektif dalam “memiskinkan” ekonomi diri sendiri dengan menyewa jasa Pengacara dalam menghadapi perkara gugat-menggugat. Membayangkan empat kali “success fee yang akan ditagihkan semata untuk satu perkara yang sama saja, sudah dapat membuat kita jatuh pingsan. Itu pun syukur-syukur jika menang. Jika kalah? Anda akan bangkrut, sementara sang Pengacara akan tetap “jalan” terus.
Gaibnya, ketika dalam tingkat banding dapat dimenangkan kembali oleh sang pengacara, sang pengacara memungut “success fee” untuk kedua kalinya (dua kali lipat, karena disertai “success fee” dalam tingkat Pengadilan Negeri). Namun ketika pada tingkat banding maupun kasasi, putusan Pengadilan Negeri ternyata dianulir dan dinyatakan “dari menang menjadi kalah”, maka sang pengacara tetap merasa berhak menguasai “success fee” yang pernah diterimanya saat di tingkat Pengadilan Negeri, tanpa bersedia mengembalikan.
Namun bukanlah itu yang paling lucu dan ambigu dari “aturan main” kalangan profesi Advokat, dan hal inilah yang akan menjadi pokok utama dari bahasan kita dalam kesempatan ini, sekaligus membuka mata masyarakat luas, betapa absurd praktik kalangan Advokat baik lokal maupun mancanegara. Sadarkah Anda, istilah “success fee” dalam dunia “lawyering” (ke-pengacara-an) seolah-olah hendak mengatakan: Jika sang Pengacara tidak mendapat “success fee”, maka sah-sah saja jika ia kalah saat mewakili sang klien bersidang—sekalipun dirinya di muka telah dibayar tarif jasa bersidang dan beracara (“lawyering fee”) senilai ratusan juta rupiah—suatu nilai yang tidak sedikit jumlahnya, namun sang Pengacara masih juga merasa belum cukup “menggerayangi” kantung saku dan dompet milik sang klien dengan membebani pula “success fee” dan tetek-bengek “reimburstment” yang tidak akan dikembalikan sekalipun ia kemudian akan kalah dalam persidangan.
Apa jadinya bila semua profesi penyedia jasa, menggunakan aturan main tarif “seaneh” dan “segila” kalangan Pengacara demikian? Untuk contoh ekstrimnya akan penulis angkat cerminan ilustrasi sederhana berikut ini. Seorang kontraktor bangunan, akan “memeras” pemilik lahan yang hendak dibangun rumah di atasnya, bahwa bila diri sang kontraktor tidak diberikan “success fee”, maka jangan salahkan sang kontraktor bila rumah yang dibangunnya kemudian akan rubuh sewaktu-waktu—sekalipun sang kontraktor telah diberikan tarif jasa kontraktor yang tidak sedikit nilainya.
Secara logika berakal-sehat, keamanan dan kesuksesan pembangunan gedung sudah menjadi satu-kesatuan (include) tarif jasa dengan jaminan keutuhan dan ketahanan bangunan yang dibangun oleh sang kontraktor, tanpa embel-embel “success fee”. Jika sekalipun ternyata bangunan yang dibangunnya memiliki ketahanan yang prima terhadap gempa bumi dan mampu bertahan hingga ratusan tahun, maka itu sudah merupakan lingkup pekerjaan serta tanggung jawab sang kontraktor saat menerima tarif jasa konstruksi dan pembangunan gedung—tanpa embel-embel “success fee.
Begitupula tanggung jawab profesi agar sang Pengacara bekerja sepenuh hati dan berdasarkan kemampuan terbaiknya, maka itu sudah bagian dari “lawyering fee”—sehingga menjadi absurd bila sang Pengacara masih juga meminta “success fee”, seolah-olah nilai “laywering fee” yang dterima olehnya dari sang klien sejak dimuka, sama sekali tidak mengandung elemen agar sang Pengacara melakukan / memberikan the best efford untuk mewakili sang klien bersidang / beracara di persidangan.
Menjadi kontras dengan kalangan profesi Konsultan Hukum. Seorang Konsultan Hukum, hanya memungut tarif jasa atas produk yang ditawarkan, seperti sesi konsultasi, pembuatan kontrak, riset data, Legal Opinion, permohonnan perizinan usaha mewakili sang klien dengan surat kuasa, dsb. Namun ketika sang klien benar-benar tertolong oleh sesi konsultasi yang dibawakan oleh sang Konsultan Hukum atau berhasil mendapat izin usaha dimaksud, dimana seluruh masalah hukumnya terpecahkan dan “benang kusut” berhasil diurai sepenuhnya, sang Konsultan Hukum tidak akan memungut “success fee”—oleh sebab “the best efford” sudah include melekat pada tarif jasa konsultasi sang Konsultan Hukum.
Bila sudah dibayar tarif, maka harus bekerja sebaik mungkin. Aturan main kalangan Pengacara perihal “success fee” merupakan sebentuk upaya “jungkir-balik beban moril”, bila tidak diwaspadai betul oleh kalangan masyarakat umum selaku klien dari sang Pengacara, maka dapat berbuntut masalah dikemudian hari. Curangnya lagi, ketika sang Pengacara justru mengalami “kalah”, apakah sang Pengacara bersedia menanggung kerugian yang dialami oleh sang klien pembayar tarif jasa? Bukankah tidak ada kalangan profesi yang sedemikian “mau menangnya sendiri” seperti kalangan profesi Advokat?
Betapa tidak, sekalipun sang klien pengguna jasa telah membayar “lawyering fee” yang tidak sedikit nilainya, dan kebetulan sang pengacara berhasil menang di persidangan demi kepentingan sang klien, namun hanya semata karena sang klien tidak membayar “success fee”, maka sang Pengacara akan “marah-marah”, menahan berkas perkara dan putusan, bahkan menggugat sang klien guna menuntut pembayaran “success fee” seperti yang beberapa kali pernah terjadi—tanpa mau berterimakasih atas “lawyering fee” yang sebelumnya telah dibayarkan oleh sang klien.
Itulah sebabnya, penulis kerap menyebut bahwa kalangan Advokat sangat menyerupai kalangan profesi yang bermental layaknya seorang Debt Collector, yang seolah-olah mereka baru mendapat bayaran ketika berhasil menang dalam gugatan, lalu mati-matian menagih dan menuntut pelunasan “success fee”, seakan sang klien tidak pernah membayar jasa mereka barang seperak pun (lawyering fee), dan seakan-akan untuk sukses saat mewakili sang klien bersidang bukanlah tanggung jawab dibalik “lawyering fee” yang telah mereka terima.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.