HAK UNTUK MENENTUKAN NASIB SENDIRI, The Right of Self Determination sebagai Jantung dari Segala Hukum

ARTIKEL HUKUM
Setiap warga negara, oleh hukum, diberikan “the right of self determination”, yakni suatu prinsip yang memberikan setiap warga negara untuk menentukan nasibnya sendiri. Oleh karenanya, secara falsafahnya, segala hal yang hanya terkait hal yang bersifat personal diri pribadi warga negara yang bersangkutan, otoritas negara hanya dapat melakukan intervensi berupa “himbauan” semata (bukan penegakan hukum, karena norma hukum identik dengan ancaman sanksi), alih-alih menerapkan sanksi seperti denda administratif, pidana penjara, atau sejenisnya.
Pengecualian terhadap prinsip “the right of self determination”, ialah ketika warga negara bersangkutan:
1) menggunakan hak atas tubuh dan atas dirinya dengan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan dampaknya bukan lagi internal privat personal diri yang bersangkutan, namun sudah bersifat eksternal. Sebagai contoh, mempertontonkan seluruh bagian tubuh hingga organ vital tanpa busana di depan umum; dan/atau
2) penggunaan prinsip “menentukan nasib sendiri” demikian yang mana bila digunakan secara berlebihan dapat menciptakan “moral hazard” yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mengganggu ketertiban umum ataupun keselamatan publik luas pada umumnya.
Contoh implementasinya, seorang dokter dilarang oleh hukum negara untuk mengabulkan permohonan “suntik mati” (euthanasia) yang dimohonkan oleh sang pasien yang mengidab penyakit kronik. Namun, hukum negara tak dapat memaksa seseorang warga untuk tidak menyuntik mati dirinya sendiri atau dengan cara-cara lain seperti terjun bebas dari gedung bertingkat, karena itu adalah tubuh serta hidupnya sendiri, tanpa melibatkan dan tanpa membawa dampak bagi individu lain di luar dirinya—kecuali dirinya melompat dari gedung bertingkat dan mendarat tepat di atap rumah seorang penduduk sehingga mengakibatkan kerusakan properti penduduk lain yang terkena “getah”-nya.
Contoh pengecualian dari pemberlakuan prinsip demikian, ialah ketika menemui adanya sebentuk “moral hazard” yang dapat terjadi ketika dibiarkan berlangsung, tampak terhadap maraknya pemakaian obat-obatan terlarang. Secara ilmu sosiologi, seorang pemakai obat terlarang cenderung akan melakukan tindak kriminil untuk memenuhi kebutuhan dana untuk membeli obat terlarang tersebut. Sehingga eksesnya telah dapat diprediksi akan menjadi konsekuensi logis dari pemakaian barang madat.
Kedua, pemakai obat terlarang cenderung mendorong warga lain yang masih bersih untuk menjadi pemakai baru yang turut aktif mencandu seperti dirinya dengan harapan dapat menjadi target pasar baru—inilah sebabnya peredaran obat terlarang sulit ditekan dan prevalensinya terus meningkat meski para pengedar tidak memiliki ruang untuk “mengiklankan” produk jualannya, sekaligus betapa pemakai obat terlarang mudah direkrut untuk menjadi anggota jaringan pengedar.
Dengan demikian, memakai barang madat yang dapat mengakibatkan candu akibat zat adiktif yang melemahkan kesadaran seperti produk turunan tembakau maupun obat terlarang, bukanlah sebentuk hak untuk menentukan nasib sendiri. Karenanya, menyakiti diri sendiri bisa merupakan sebentuk “hak”, namun disaat lain dapat menjelma bukan merupakan “hak”, ketika parameter “self determination” telah dapat kita tentukan terlebih dahulu.
Namun, ternyata hukum tampaknya cukup tidak konsisten dalam hal ini, seakan tidak taat asas terhadap prinsip hukum itu sendiri. Sebagai contoh, ialah peraturan yang mewajiban pengendara kendaraan bermotor roda empat untuk mengenakan sabuk pengaman saat berkendara. Katakanlah, sang pengemudi tidak mengenakan sabuk pengaman saat mengemudi, ketika terjadi kecelakaan maut. Akibat tidak mengenakan sabuk pengaman, maka perilaku demikian hanya berimbas pada diri si pengemudi itu sendiri—lain halnya dengan mengemudi tanpa memberikan lampu sein saat membelok sehingga mengakibatkan pengguna jalan lain terkena imbasnya.
Pemerintah tampaknya menganggap bahwa tidak mengenakan sabuk pengaman bagi pengendara saat mengemudi, memiliki ekses “moral hazard” tertentu bila dibiarkan bebas sepenuhnya untuk mementukan bagi setiap atau bagi masing-masing pengemudi. Sebagai contoh, ketika sang pengemudi yang terlibat kecelakaan maut ternyata adalah seorang kepala keluarga yang menjadi sumber pencari nafkah, maka ketika kepala keluarga pencari nafkah mengalami cedera serius yang mengancam ekonomi keluarganya, sehingga tampaknya itulah tujuan dibalik kewajiban penggunaan “safety belt”, yakni sebentuk perlindungan bagi anggota keluarga sang pengemudi agar tidak mengalami keruntuhan ekonomi secara tiba-tiba yang sebetulnya dapat diantisipasi dengan mengenakan sabuk pengaman saat mengemudi.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan pengecualian yang terjadi akibat terjadinya benturan dengan “moral hazard”, menyerupai “pasal karet” oleh sebab setiap warga negara sejatinya sedang “berbagi ruang hidup” sehingga secara langsung maupun tidak langsung setiap bentuk-bentuk “self of determination” akan berimbas pula pada para tetangga, anggota keluarga lainnya, komunitas kerja, lingkungan sekolah, hingga kondisi bangsa secara makro.
Bila kita membuat semacam tresshold yang demikian ketat, maka sejatinya hanya ranah “pikiran” (mind) masing-masing individu yang layak untuk disebut sebagai “the right of self determination”. Negara demokratis moderat, menerapkan kebijakan “jalan tengah”. Sebaliknya, baik negara liberalis maupun negara komunal-komunisme, menerapkan kebijakan tresshold yang seketat-ketatnya demikian “mencekik” sehingga tidak menyisakan ruang “self determination” apapun bagi segenap dan masing-masing warga negaranya—akan tetapi segalanya serba ditentukan oleh negara, termasuk perihal jumlah anak yang boleh atau harus dimiliki tanpa terkecuali.
Namun satu hal yang dapat penulis pastikan, ranah “keyakinan” masuk dalam ranah privat personal, selama tidak ada bentuk-bentuk “pemaksaan” dari satu orang kepada orang lainnya. Karenanya, kebebasan beragama dan menentukan keyakinan yang dipeluk, menjadi bagian dari hak asasi manusia yang tergolong “non derogable right” (tidak dapat disimpangi).
Keyakinan bersifat privat, sepanjang hal tersebut bersifat personal, tanpa menggunakan atribut-atribut keagamaan dalam hal berbusana ataupun penggunaan istilah-istilah agama tertentu ketika melakukan percakapan sehari-hari kepada lawan bicara yang belum tentu memiliki “satu agama” dengan si pembicara.
Keyakinan beragama juga bersifat privat, sepanjang diri yang bersangkutan tidak memaksa warga negara lainnya untuk memeluk keyakinan yang sama dengan dirinya, atau melarang pilihan agama tertentu, atau bahkan menyakiti dan melukai kaum yang berbeda keyakinan dengan dirinya—karena telah masuk dalam kategori pengecualian paling pertama dari prinsip “self determination”.
Sederhananya, prinsip “self determination” akan berakhir atau berhenti, khusus bagi individu diri yang bersangkutan, ketika dirinya memaksakan atau mengintervensi hak “penentuan nasib sendiri” milik warga negara lainnya. Menurut ilmu hukum hak asasi manusia, “hak” berhenti ketika menjumpai “kewajiban” dirinya sendiri, dan “hak” juga berhenti ketika bersinggungan dengan “hak” milik individu warga negara lainnya—sehingga menyerupai “sekat-sekat” yang tidak kasat mata saling membatasi ruang gerak antar individu agar dapat saling berbagi ruang gerak hidup tanpa saling mengganggu atau menerobos hal paling privat dari warga negara lainnya.
Dengan kata lain, sebentuk “pemaksaan” merupakan lawan kata dari “self determination”, karena “memaksa bukanlah sebentuk kebebasan” sehingga tidak dapat dipadu-padankan, karena sudah dipastikan akan merampas kebebasan memilih warga negara lainnya yang secara langsung maupun secara terselubung telah dipaksa—kecuali kebebasan untuk “memaksa” diri kita masing-masing dan kebebasan untuk menjatuhkan pilihan bagi diri kita sendiri.
Kini, penulis dengan sangat terpaksa merasa harus menyinggung dan masuk dalam ranah bahasan yang cukup sensitif di Tanah Air. Wacana berikut, penulis angkat mengingat kadarnya telah sedemikian menyimpangi falsafah hukum terkait “self determination” yang menjadi prinsip umum bangsa beradab.
Sudah beberapa kali tersiar kabar, Sekolah Negeri memaksa siswi non-muslim untuk memakai jilbab selama di lingkungan sekolah, dimana jilbab merupakan atribut suatu keagamaan tertentu, sehingga sifatnya menjadi “pemaksaan”, baik secara psikis-sosial (dengan ancaman pengucilan) ataupun dikukuhkan dalam sebentuk aturan otonom berupa peraturan sekolah dengan sanksi akademik yang ditentukan secara sepihak oleh pihak otoritas penyusun kebijakan sekolah.
Secara falsafah, “mengharuskan” ataupun “mewajibkan, artinya merupakan sebentuk “aturan”. Ciri khas “aturan”, yakni sifatnya selalu bersifat imperatif alias “memaksa”. Sementara yang dimaksud dengan “memaksa” artinya terdapat “ancaman sanksi” berupa hukuman bila dilanggar atau ditentang aatu perintahnya tidak ditaati. Sanksi disini bisa berupa saksi politis, sanksi psikis-sosial, sanksi administratif, dan berbagai bentuk-bentuk sanksi lainnya, bukan hanya berbentuk sanksi normatif hukum untuk dapat disebut sebentuk “pemaksaan”.
Begitupula pada berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang bersifat non-sekular, dalam artian mengatur ranah privat personal warga negaranya seperti menjamurnya Perda-Perda yang mewajibabkan penduduknya mengenakan jilbab dan rok panjang seperti di Aceh dengan ancaman hukuman cambuk bagi yang melalaikannya sekalipun yang bersangkutan notabene ialah seorang non-muslim, maupun menyerupai Perda-Perda yang tercermin di berbagai daerah yang substansinya melarang pembukaan tempat makan saat dibulan tertentu yang secara tak langsung menutup akses umat beragama lain untuk mencari tempat makan sekalipun pemilik rumah makan memiliki tradisi puasanya sendiri seperti dalam Buddhisme dikenal budaya puasa bernama “Uposatha” yang artinya hanya makan saat matahari terbit dan tidak lagi makan setelah matahari berada tepat diatas kepala—dengan kata lain hanya makan dalam tempo kurang-lebih 6 jam, sejak pukul 06.00 pagi hingga pukul 12.00 siang.
Penulis sendiri secara pribadi, kerap melatih praktik Uposatha, bahkan tanpa diketahui oleh orang lain yang berjumpa penulis, dan penulis tidak pernah sekalipun “minta dihargai / dihormati” (ajang narsistik) ketika sedang berlatih praktik Uposatha, tidak juga melarang orang lain ataupun toko-toko makanan untuk makan dan membuka tempat makan sepanjang hari—karena urusan latihan Uposatha merupakan urusan privat personal pribadi penulis semata, bukan urusan orang lain atas apa yang penulis latih dan praktikkan—self determination baru akan berakhir akibat terjadi pengecualian bila terjadi pelanggaran terhadap asas self determination sebagaimana telah penulis bahas di muka, semisal penulis memaksa orang lain yang penulis jumpai agar turut melakukan praktik Uposatha seperti yang penulis praktikkan.
Kebebasan beragama dan memeluk keyakinan, semestinya tetap dibiarkan personal, privat, dan individual, tanpa dapat dibenarkan praktik-praktik “pemaksaan” sehalus / se-terselubung apapun. Jika kita menghargai dan menghormati self determination diri kita sendiri, maka sejatinya kita pun harus mengakui dan menghormati self determination yang dipilih oleh orang lain—sekalipun itu artinya menjadi berbeda dan beragam (tidak seragam). Itulah sebabnya, menjadi seorang “ateis” sekalipun, tidak dikecualikan dari sebentuk penerapan prinsip “self determination”—sepanjang dirinya tidak memaksa orang lain untuk juga menjadi “ateis” serupa dengan dirinya.
Ironisnya, negara justru memaksakan setiap warga negara untuk memilih suatu agama tertentu dalam Kartu Tanda Penduduk mereka, tanpa diberi kebebasan untuk mencantum kata “ateis” untuk tertera di kartu identitasnya tersebut. Memilih untuk menjadi “non blok” pun artinya tetap dan sudah “memilih” itu sendiri.
Singkat kata, hargai keyakinan orang lain sebagai bagian dari hal privat dari diri mereka masing-masing (self determination), sebagaimana kita ingin agar keyakinan kita pun dihargai dan dihormati tanpa intervensi pihak manapun. Tiada self determination, sepanjang kita pun tidak mengakui bahwa warga negara lainnya pun memiliki hak untuk mementukan nasibnya sendiri. Bila kita merasa memiliki hak untuk membuat keputusan untuk diri kita sendiri, mengapa orang lain tidak?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.