Falsafah Hukum Fungsi Sosial Hak Atas Tanah

ARTIKEL HUKUM
Sering kita jumpai istilah hukum yang terkadang sukar dipahami oleh masyarakat awam, bahkan juga tampak ambigu bagi sebagian kalangan praktisi hukum, salah satunya ialah anekdot perihal “tanah memiliki fungsi sosial”. Tampak sederhana untuk disebutkan, namun simpang-siur makna yang mengandung dibaliknya, dapat menjadi demikian kentara multi-tafsir, ketika kita kemudian mengetahui sejarah asal-mula bagaimana peristilahan “fungsi sosial” hak atas tanah dapat dicetuskan, serta relevansinya dengan era kontemporer.
Istilah “fungsi sosial”, pertama kali dibakukan lewat keberlakuan Undang-Undang tentang Pokok Agraria (UU PA) yang diterbitkan pada tahun 1960, yakni saat rezim pemerintahan Orde Lama sedang pada puncak masa kejayaan dalam kiblatnya yang cenderung berhaluan pada ideologi “sosialisme”—jika tidak dapat disebut bernuansa “komunal”—terutama dalam kebutuhan pokok penduduk terkait hak atas tanah. Istilah “sosialisme” itu sendiri bahkan dapat kita jumpai dalam substansi UU PA bagi yang pernah mendalaminya. Menjadi pertanyaan yang cukup penting, apakah istilah “fungsi sosial” masih relevan untuk diangkat sebagai topik bahasan di era demokrasi ini?
Konsepsi “fungsi sosial” dirasakan masih relevan dan menjadi “jaring pengaman” (safety nett), agar rezim pemerintahan kontemporer tidak cenderung bergeser menjadi demilkian ekstrim berhaluan pada kiblat paham liberalisme, dimana individualisme dan kepemilikan atas properti tidak dibatasi aksesnya, mengakibatkan kaum yang tersisih kian tersisihkan dari percaturan perang ekonomi.
Yang disebut dengan “fungsi sosial”, bukanlah bermakna tidak diberikan ganti-kerugian terhadap pemilik tanah dalam ranah terjadinya pembebasan tanah untuk kepentingan umum. Sekalipun sebuah negara yang berhaluan sosialis ataupun komunal sekalipun, merampas hak atas tanah milik warga penduduknya tanpa ganti-kerugian, merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, yang akan distigma sebagai negara dengan pemerintahan yang otoriter-represif, yang pastilah akan dikucilkan dari pergaulan global. Sebuah negara berbasis ideologi komunal sekalipun, akan memberi sejumlah ganti-kerugian atas aset tanah yang dirampas untuk kepentingan umum dan negara.
Negara Republik Indonesia bukanlah negara berbasis komunalisme, namun negara berhaluan ideologi “moderat” dan demokrasi, dimana hak-hak asasi warga negaranya dilindungi dan dihormati oleh pemerintahnya selaku otoritas dan regulator. Untuk itu, yang disebut dengan “fungsi sosial” hak atas tanah hanya dapat dimaknai serta ditafsirkan sejalan dengan dua prinsip pokok yang bersifat primer, sebagai berikut:
1) Tak dibenarkan segala bentuk penyalah-gunaan hak oleh pemilik hak atas tanah; dan
2) Pemakaian hak atas tanah tidak dibenarkan membawa dampak yang merugikan bagi warga negara lainnya.
Kedua prinsip itulah yang penulis berikan julukan sebagai fungsi “berbagi ruang nafas” antar warga negara dalam konteks pemakaian hak atas tanah. Dengan implementasi kedua prinsip demikian, maka kita mulai menjadi mahfum bahwa memiliki sebidang tanah bukanlah menjadi justifikasi bagi pemilik hak untuk berbuat sebebas-bebasnya tanpa batasan dan tanpa limitasi kebolehan dalam derajat tertentu.
Sebagai contoh, tidaklah etis juga tidak dapat dibenarkan secara hukum, seorang pemilik bidang tanah membangun gedung untuk usaha budidaya “sarang burung walet” yang dapat mengganggu kesehatan serta merusak fungsi estetika maupun kebersihan yang menjadi hak warga sekitar bangunan “sarang burung walet” demikian, mengingat lokasinya dibangun di tempat padat pemukiman penduduk, kecuali dibangun di tengah hutan terpencil di pelosok yang tanpa terdapat penduduk lainnya di sekitar.
Begitupula membangun tempat usaha di atas sebidang tanah milik sang pengusaha, namun bidang kegiatan usahanya justru ternyata berdampak tidak baik bagi komunitas warga setempat akibat menimbulkan polusi air, polusi udara, dan berbagai polusi kebisingan lainnya dalam berkegiatan usaha yang mengganggu ketenangan hidup para penduduk setempat—alias menyalah-gunakan hak atas tanah dengan merampas kedamaian dan kesehatan hidup warga negara lainnya.
Kita harus mengingat, bahwa kita saling “berbagi ruang” dan “berbagi sumber daya” serta berbagi “ruang nafas”, entah air maupun udara dan ruang suara yang bersifat lintas bidang tanah, lintas teritori, bahkan lintas negara. Sebagai contoh, pemilik kebun membakar bidang tanah gambut demi jalan pintas upaya land clearing, mengakibatkan warga satu provinsi mengidap infeksi saluran pernafasan akut akibat menghirup partikel debu berukuran mili-mikron dalam asap kebakaran hutan yang memenuhi atmosfer, bahkan pernah mencapai taraf mengganggu penduduk di Negara Singapura ketika terjadi kebakaran hutan secara disengaja oleh pelaku usaha sawit di Kalimantan.
Hak atas tanah pun memiliki “fungsi sosial” secara “lintas generasi”. Sebagai contoh, pengelolaan tanah haruslah berkelanjutan, mengingat kegiatan secara eksploitatif yang mengakibatkan kesuburan tanah dan ekosistem terganggu, mulai dari punahnya flora maupun satwa, mengeringnya sumber mata air, rusaknya unsur hara yang menjadi tempat tumbuhnya tanaman pangan, hancurnya habitat gambut yang berusia ribuan tahun, hingga bekas-bekas galian bagaikan luka “menganga” paska penggalian pasir maupun bahan tambang lainnya.
Suku Indian di Benua Amerika memiliki pandangan hidup, bahwa kelestarian alam ini bukanlah kita wariskan bagi generasi penerus, namun kita sedang meminjamnya dari penerasi penerus kita. Sebaliknya, di Indonesia, kita justru mewariskan kerusakan alam dan merampas atas alam tempat mereka tumbuh dan besar nantinya, hanya demi keuntungan singkat semata generasi sekarang ini yang demikian boros mengumbar sumber energi fosil tidak berbarukan—itulah asal mula istilah “gelap mata”.
Secara falsafah, bukan hanya tanah yang memiliki (baca: mengemban) “fungsi sosial”, karena begitu pula dengan berbagai sumber daya lainnya seperti air maupun udara. Kita sadari sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa kita menghirup udara yang saling bersifat berbagi udara atar sesama warga penduduk dunia ini, atau antar penduduk suatu permukiman, atau dalam lingkup mikro seperti dalam kediaman rumah-tangga, perkantoran, sekolahan, dsb.
Karena itulah kegiatan tidak sehat seperti menghisap produk tembakau yang menimbulkan polusi asap berupa pencemaran udara mengandung karsinogenik yang membahayakan kesehatan perokok pasif, tidak lain merupakan bentuk-bentuk pelanggaran nyata terhadap “fungsi sosial”—kecuali si perokok aktif itu sendiri yang menghirup seluruh atau 100% dari asap pembakaran tembakau mereka tanpa mereka hembuskan keluar ketika menghisap bakaran produk tembakau.
Atau ketika seseorang pemilik lahan melakukan pembakaran sampah ataupun pembakaran semak yang mengakibatkan polusi udara yang berdampak bagi tetangga yang bermukim, lingkungan tempat tinggal, atau bahkan hingga menyebar terbawa angin menuju lintas negara, maka si pelaku pembakaran yang secara sengaja menimbulkan polusi udara demikian, demi kepentingan dirinya seorang diri, sama artinya telah melanggar “fungsi sosial” atas udara.
Begitupula seperti air, sumber daya yang juga bersifat “saling berbagi” ini menjadi salah satu elemen kebutuhan primer setiap penduduk. Katakanlah pasokan dari perusahaan daerah pemasok air baku atau air bersih untuk kebutuhan sehari-hari yang dialirkan lewat jaringan pipa ke berbagai pemukiman penduduk, justru dihambur-hamburkan oleh segelintir pelanggan pasokan air bersih yang beralasan bahwa mereka membayar dan sanggup untuk membayar tagihan bulanan pemakaian air bersih, mengakibatkan warga lain tidak tersalurkan pasokan air bersih secara optimal dan tidak lagi dapat terdistribusikan secara merata pasokan air bersih, sejatinya menjadi cerminan rendahnya kesadaran bangsa ini akan peran pentingnya penghormatan terhadap “fungsi sosial” sumber daya air.
Sebagai penutup, yang mungkin akan cukup jarang dibahas oleh berbagai karya tulis, ialah perihal “fungsi sosial” atas sumber ekonomi. Itulah falsafah yang melandasi sejarah pembentukan lembaga seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) maupun Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dalam membatasi mekanisme pasar dari cengkeraman pelaku usaha yang mendominasi, lewat berbagai langkah intervensi baik secara regulasi terkait anti monopoli usaha maupun anti kartel harga, serta berbagai aksi “operasi pasar” dengan dikuatkannya fungsi dan peran lembaga negara seperti Bulog yang kini bukan hanya menyerap pasokan dari tingkat petani, namun juga mulai merambah masuk ke segmen pasar eceran dengan komoditas merek dagang “Bulog”, semata demi menstabilkan harga—yakni dengan turut bermain masuk ke pasar, sebuah cara yang jauh lebih efektif ketimbang deregulasi harga eceran tertinggi.
Sejatinya juga terdapat “fungsi sosial”- “fungsi sosial” lainnya, seperti “fungsi sosial” atas akses terhadap pendidikan, “fungsi sosial” terhadap informasi publik dimana informasi publik haruslah mudah diakses dan aksesibilitas yang dipermudah untuk diketahui dan diberdayakan bagi segenap warga tanpa sekat ruang maupun waktu namun dengan tetap menghargai hak atas privasi masing-masing warga negara, “fungsi sosial” sebuah agama yakni dengan artian tidaklah dapat dibenarkan cara-cara kekerasan demi memaksakan sebuah keyakinan terhadap individu lainnya, hingga “fungsi sosial” sebuah tempat ibadah agama tertentu terhadap umat beragama lainnya. Praktis, segala hal dalam kehidupan ini, memiliki unsur “fungsi sosial”—sebagaimana telah penulis utarakan di muka, bahwa kita hidup saling “berbagi ruang gerak” dan saling “berbagi ruang nafas”, tanpa terkecuali.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.